Di atas langit yang tak tersentuh kefanaan, di antara lautan cahaya abadi yang mengalir tanpa henti, Zalleon berdiri di sebuah lapangan terbuka di alam ilahi. Tempat itu adalah arena para malaikat, di mana keindahan dan kekuatan bertemu dalam harmoni. Angin surgawi berhembus lembut, mengayunkan helai-helai jubah putih para malaikat, sementara awan-awan berkilauan membentuk latar megah bagi pertarungan yang akan segera dimulai.
Pada pagi itu, suasana berbeda terasa di arena. Zalleon, yang dikenal sebagai malaikat penjaga dengan kekuatan yang pernah berasal dari Sang Iblis, tengah bersiap untuk beradu kekuatan bersama dua sahabatnya, Carlo dan Rafello. Ketiganya telah lama berlatih dalam kedamaian surga, namun hari ini, sebuah keinginan untuk menguji kemampuan mereka mendorong mereka untuk menggelar pertarungan persahabatan. "Leon, siap-siap, ya!" seru Carlo dengan tawa riang, matanya berkilau penuh semangat. Ia melompat ke udara, mengepalkan tangan dengan energi yang mengalir deras. Rafello, dengan ekspresi lebih serius, mengangguk. "Ayo, kita tunjukkan seberapa kuat kita hari ini!" Zalleon hanya tersenyum tipis, mencoba menenangkan dirinya sebelum pertarungan dimulai. Ia tahu bahwa setiap adu kekuatan bukan hanya tentang mempertahankan kehormatan, tetapi juga tentang menjaga keseimbangan antara kekuatan ilahi dan kegelapan yang pernah mengancam. Pertarungan pun dimulai. Pada hitungan "Tiga... Dua... Satu... Mulai!" ketiganya melesat dengan kecepatan yang hampir tak tertangkap oleh mata. Carlo, dengan aura energi berwarna biru, menyerang dengan gelombang kekuatan yang menghantam tanah, menciptakan guncangan yang merambat ke seluruh arena. Rafello, yang menguasai energi berwarna merah menyala, segera membalas dengan pusaran api yang melingkupi dirinya, menantang kekuatan rekan-rekannya. Zalleon, di sisi lain, mengandalkan keseimbangan antara cahaya dan bayang-bayang. Tubuhnya memancarkan cahaya lembut, energi yang pernah menjadi warisan dari kekuatan Sang Iblis. Dalam pertarungan itu, gerakan-gerakannya sangat anggun dan penuh perhitungan. Ia meluncur di antara serangan, membalas dengan pukulan yang disertai semburan energi yang menggetarkan. Namun, di tengah pertempuran persahabatan itu, nasib berkata lain. Saat Carlo melancarkan serangan balasan, sebuah ledakan energi yang tidak terduga meleset dari kendali. Dalam kekacauan yang terjadi, serangan itu tidak mengenai target yang seharusnya-Zalleon atau Rafello-melainkan mengenai sesuatu yang jauh lebih penting: lambang kekuatan yang terpatri di pergelangan tangan Zalleon. Suara dentuman keras menggema di seluruh arena. Waktu seolah melambat ketika kilatan energi menghantam lambang itu. Dalam hitungan detik, cahaya yang biasanya menyinari lambangnya menghilang, seakan ditelan kegelapan. Zalleon menjerit kesakitan, tubuhnya terhempas ke tanah, menciptakan retakan kecil di permukaan yang mulus. "Leon!" teriak Carlo dengan nada cemas, sambil segera menghampiri sahabatnya. Rafello juga berlari mendekat, wajahnya terlihat khawatir. "Apa yang terjadi? Lambangmu...!" Zalleon berusaha bangkit, namun ia hanya bisa merasakan kekosongan dan kehampaan di tangannya yang dulu penuh cahaya. "Kok... kok bisa hilang? Gimana mungkin?" ujarnya dengan suara terputus-putus, rasa sakit dan kebingungan bercampur. Di antara jeritan dan tawa canggung yang pernah mengiringi pertempuran itu, ketiganya menyadari bahwa sesuatu yang jauh lebih besar telah terjadi. Carlo, dengan wajah menyesal, berkata, "Aku... aku gak sengaja. Rasanya aku salah arah dalam menyerang..." Rafello menatap Carlo dengan tajam, "Kita harus segera cari tahu apa arti dari kejadian ini. Ini bukan sekadar kesalahan biasa!" Zalleon, meski terbaring lemah, mencoba mengumpulkan kekuatannya. Di dalam dadanya, terpahat perasaan bahwa kehilangan lambangnya bukanlah kebetulan semata. Ia tahu, sejak dahulu, kekuatannya telah diberikan sebagai pengganti kekuatan Sang Iblis yang dihukumnya oleh para dewa. Namun, dengan hilangnya lambangnya itu, sebagian besar kekuatannya pun ikut lenyap. Rasa gentar menyelimuti dirinya, dan ia pun terpikir untuk mencari pertolongan dari Sang Dewa. Tanpa banyak perdebatan, Carlo dan Rafello membantu Zalleon bangkit. Dengan sisa kekuatannya, ia berjalan dengan kesulitan menuju gerbang surgawi, tempat di mana kehadiran Sang Dewa selalu terasa. Dalam perjalanan itu, setiap langkah terasa berat baginya, seolah beban kehilangan kekuatan yang begitu berarti semakin membebani jiwanya. Sesampainya di hadapan Sang Dewa, Zalleon segera berlutut, menundukkan kepala dengan penuh kesedihan dan penyesalan. "Dewa, mengapa lambang dan kekuatanku menghilang? Apa yang telah terjadi?" tanyanya dengan suara yang dipenuhi kebingungan dan harapan akan jawaban. "Zalleon, ini adalah ujian yang telah Aku tetapkan untukmu," suara Sang Dewa menggema, penuh wibawa namun menyiratkan belas kasih. "Sang Iblis, yang pernah dikutuk karena keserakahannya, telah lama mengincarmu. Ia menggunakan celah dalam takdir untuk merampas kekuatanmu secara perlahan. Aku tidak mencegahnya, karena ujian ini akan menentukan seberapa kuat tekad dan ketulusan hatimu." "Lewat kecelakaan itu, sebagian kekuatan dan lambangmu telah jatuh ke dunia manusia. Suatu hari nanti, kau akan mengerti di mana kekuatanmu berada dan apa yang harus kau lakukan." Zalleon mendongak, matanya membulat, sorot keheranan memancar dari dalamnya. "Di dunia manusia? Tapi... bagaimana bisa kekuatan dan lambangku sampai berada di antara mereka?" Sang Dewa menatapnya dalam diam sesaat, sebelum menjawab dengan suara merendah,namun penuh makna, "Ketika Sang Iblis menciptakan celah dalam takdirmu, sebagian kekuatanmu terlepas dan jatuh ke dunia manusia terikat pada sosok yang tanpa sadar menjadi penjaga kekuatan itu. Ini bukan kebetulan, melainkan bagian dari takdir yang lebih besar." "Aku akan memberimu waktu seratus hari di dunia manusia. Dalam waktu itu, kau harus menemukan kembali kekuatan dan lambangmu sebelum Sang Iblis berhasil merebutnya kembali sepenuhnya. Jika itu terjadi, segalanya akan berubah... dan kau tak akan pernah bisa kembali seperti semula." Kata-kata itu menggema di seluruh hati Zalleon. Rasa takut dan tekad beradu dalam dirinya. Ia tahu, perjalanannya di dunia fana akan penuh dengan tantangan, dan ia harus segera mencari tahu siapa manusia yang kini membawa lambangnya. "Baiklah, Dewa. Aku akan melakukan apa pun yang diperlukan," jawabnya dengan suara penuh ketegasan, meskipun keraguan masih menyelimuti setiap kata yang terucap. Sang Dewa kemudian memberikan petunjuk terakhir, "Pergilah ke dunia manusia dan samarkan dirimu. Kau akan ditempatkan di antara mereka. Dengan perintah itu, tubuh Zalleon dilingkupi oleh cahaya surgawi yang menyilaukan. Dalam sekejap, ia berpindah dari keagungan surga ke dunia fana. Carlo dan Rafello menyaksikan dengan campuran penyesalan dan harapan, meskipun mereka tahu bahwa perjalanan Zalleon baru saja memasuki babak yang lebih sulit. *** Setibanya di bumi, zalleon mendarat di sebuah pulau terpencil. Alam sekitar terasa berbeda. Angin laut yang lembut, aroma asin dari samudra, dan langit yang terbentang luas memberikan sambutan yang hangat namun asing bagi dirinya yang baru saja lepas dari keagungan surga. Ia mengenakan pakaian sederhana sebagai bagian dari penyamaran; identitas barunya harus benar-benar menyatu dengan dunia manusia. Di tengah keheningan pulau yang sunyi, Zalleon melangkah perlahan, matanya terus menatap sekeliling, seolah berharap menemukan petunjuk tentang keberadaan lambangnya. Dan Angin berhembus pelan, membawa aroma laut yang khas. Zalleon menatap sekeliling, namun tak ada satu pun makhluk di pulau itu. Namun, tiba-tiba, cahaya terang muncul di langit. Cahaya itu bergerak cepat, melesat turun ke arahnya. "Apa itu?!" Zalleon segera menutupi matanya dengan lengan, silau oleh pancaran cahaya yang begitu menyilaukan. Beberapa saat kemudian, sinar itu mulai meredup. Zalleon menurunkan tangannya dan menatapnya dengan penuh rasa ingin tahu. Perlahan, ia mengulurkan tangan, menyentuh cahaya tersebut. Namun, seketika tubuhnya tertarik masuk ke dalam cahaya itu! Zalleon merasa tubuhnya melayang, lalu tiba-tiba ia jatuh ke dalam sebuah terowongan cahaya yang memutar dan berputar seperti pusaran angin. Sebelum sempat memahami apa yang terjadi, ia sudah terhempas keluar-mendarat di lantai sebuah bangunan yang sangat megah. Ia segera bangkit dan mengedarkan pandangannya ke sekitar. Pilar-pilar tinggi berdiri kokoh, lantai marmer berkilauan, dan lampu kristal yang menggantung di langit-langit memancarkan cahaya yang lembut. "Wow! Tempat apa ini? Bagus dan megah sekali!" serunya takjub. Tiba-tiba, cahaya yang tadi membawanya muncul lagi di hadapannya. "Wahai malaikat Zalleon, aku adalah cahaya yang dikirimkan Dewa untuk menuntun jalanmu selama di dunia," ujar suara lembut dari dalam cahaya. Zalleon tersenyum. "Jadi, kamu yang membawaku ke sini?" "Iya," jawab sang cahaya. "Lalu, tempat apa ini?" tanya Zalleon penasaran. "Ini adalah rumah yang diberikan Dewa untukmu selama di dunia manusia." Zalleon menunduk sejenak, lalu berdoa dengan penuh rasa syukur. "Terima kasih, Dewa." Setelah itu, ia kembali menatap cahaya tersebut. "Sang cahaya, bagaimana aku bisa menemukan manusia yang mengambil kekuatan dan lambangku?" "Malaikat Zalleon, ketahuilah bahwa jika kau berpapasan dengannya, hatimu akan bergetar dan dadamu akan terasa sakit. Itu tanda bahwa kekuatanmu ada padanya." Zalleon mengangguk paham. "Baiklah. Tapi bagaimana aku harus memulai perjalanan ini?" "Daftarlah di SMA Starlight Academy. Manusia yang memiliki kekuatan dan lambangmu bersekolah di sana." Zalleon tercengang. "Tunggu... Apa? Maksudmu kekuatanku ada pada salah satu anak sekolah? Jadi aku harus menyamar menjadi murid?" "Ya, benar, wahai malaikat Zalleon." Zalleon terdiam sejenak sebelum tertawa kecil. "Hahaha, bagaimana bisa kekuatanku berada pada anak sekolah?" "Itulah bagian dari ujian yang diberikan Dewa. Kau harus melewatinya." Zalleon menghela napas panjang. "Huuu... Baiklah." Seketika, cahaya itu mengeluarkan sebuah berkas dan menyerahkannya kepada Zalleon. "Wahai malaikat Zalleon, ini adalah berkas pendaftaranmu untuk sekolah." Zalleon mengambil berkas itu dan mulai membacanya. Matanya melebar. "Hah?! Namaku... Leo Alfais? Namaku diganti?" "Benar. Ingatlah, di dunia ini kau hanya menyamar menjadi manusia. Kau harus tetap menyamar agar misi ini berhasil." Zalleon mengangguk mengerti. "Hmm, baiklah." Tanpa membuang waktu, ia segera mendaftar ke sekolah tersebut. "Pada pagi hari di hari Kamis, Zalleon mendapat pemberitahuan bahwa ia telah diterima di SMA Starlight Academy. Meski begitu, ia dijadwalkan untuk mulai bersekolah pada hari Senin mendatang." BERSAMBUNGSenin pagi akhirnya tiba.Hari pertama Zalleon masuk sekolah sebagai Leo Alfais. Identitas barunya sebagai manusia biasa harus ia jaga sebaik mungkin demi misinya di dunia ini.Udara pagi terasa segar dengan langit cerah dan matahari yang bersinar hangat di atas bangunan sekolah Starlight Academy. Sekolah elit itu berdiri megah dengan arsitektur modern dan taman hijau yang tertata rapi. Para siswa berlalu-lalang di halaman depan, sebagian besar sudah mengenakan seragam biru muda khas sekolah tersebut, lengkap dengan lambang bintang emas di dada kiri mereka.Zalleon berjalan perlahan melewati gerbang sekolah. Tatapannya tajam menelusuri setiap sudut bangunan. Bukan karena kagum, tapi lebih karena kewaspadaan. Dia tahu, tempat ini akan menjadi titik awal dari hari-hari yang mengubah segalanya.Aku harus terlihat biasa saja, batinnya.Langkahnya mantap menyusuri jalan menuju lobby sekolah, melewati deretan siswa yang sedang mengobrol, tertawa, atau terburu-buru masuk kelas.Namun, belum
Arka, Agra, dan Saka berjalan bersama Zalleon menuju kantin."Leo, kamu kenapa sih tadi?" tanya Agra penasaran."Iya, kenapa?" tambah Saka.Arka menyipitkan matanya curiga. "Apa jangan-jangan kamu suka sama cewek itu ya?"Zalleon tersentak. "Enggak... Aku nggak apa-apa," ujarnya sambil mengalihkan pandangan. "Ayo ke kantin."Mereka pun melanjutkan langkah menuju kantin. Saat sudah membeli makanan dan duduk bersama, Agra kembali membuka pembicaraan."Leo, kamu suka ya sama Zira?" tanyanya sambil menyenggol lengan Zalleon."Ha? Zira siapa?" Zalleon mengernyitkan dahi."Itu, Zira. Cewek yang tadi kamu pegang tangannya," jelas Agra.Zalleon terdiam sejenak, mencari alasan. "Nggak. Aku kira dia teman lama aku. Mirip banget soalnya.""Oh, begitu," Agra mengangguk paham.Arka menyandarkan punggungnya ke kursi dan berkata, "Tapi kalian tahu nggak sih? Zira itu agak aneh. Cuek banget sama cowok. Apa dia nggak suka sama cowok ya?""Mungkin dia cuma kurang bergaul aja, Ar. Jangan suudzon," timpa
Keesokan harinya, tepat pukul 06.00 pagi, Zalleon terbangun dari tidurnya. Dengan mata masih sedikit berat, ia bangkit dari tempat tidur dan langsung menuju kamar mandi untuk membersihkan diri. Setelah selesai, ia mengenakan seragam sekolah dan bersiap-siap untuk berangkat. Namun, saat hendak melangkah keluar dari rumah, tiba-tiba ia terdiam.Sesuatu terlintas di benaknya sesuatu yang membuat langkahnya tertunda sejenak."Oh iya, aku seharusnya membawa motor hari ini!" katanya sambil berpikir. "Tapi aku tidak punya motor."Kebingungan melanda dirinya, tetapi kemudian ia teringat bahwa sang Cahaya bisa memberinya apa pun yang ia butuhkan. Tanpa ragu, ia memanggilnya."Cahaya, keluarlah! Aku ingin meminta bantuanmu!"Seketika, sang Cahaya muncul di hadapannya."Cahaya, tolong berikan aku sebuah motor seperti yang biasa digunakan manusia," pinta Zalleon."Baiklah, Malaikat Zalleon," jawab sang Cahaya.Dalam sekejap, cahaya terang menyelimuti ruangan, dan sebuah motor sport ZX-25R muncul
Perlombaan pun telah usai, begitu pula dengan jam pelajaran olahraga. Pak Tomi berdiri di tengah lapangan, menatap para murid yang masih terengah-engah setelah pertandingan."Anak-anak, untuk perlombaan hari ini sudah selesai, dan jam pelajaran olahraga pun sudah habis. Sekarang, kalian berganti baju untuk pelajaran selanjutnya," ujar Pak Tomi dengan suara tegas namun hangat."Baik, Pak!" serentak para murid menjawab sebelum bergegas ke ruang ganti.Tak lama kemudian, bel berbunyi, menandakan dimulainya jam pelajaran berikutnya. Semua murid kembali ke kelas dan mulai belajar dengan serius. Namun, di tengah suasana tenang itu, Zalleon tampak diam, merenung sambil menatap Zira. Pikirannya melayang jauh.Bagaimana caraku mendapatkan kembali kekuatan dan lambangku? batinnya.Arka, yang duduk di sebelahnya, memperhatikan tatapan kosong Zalleon. Dengan iseng, dia menyenggol bahu sahabatnya itu."Jangan dipandangin terus, Leo. Nanti bisa jatuh cinta loh!" goda Arka dengan senyum jahil.Zalle
Di antara lautan murid yang berhamburan keluar gerbang sekolah, akhirnya matanya menangkap sosok yang dicarinya. Zira. Gadis itu berjalan dengan langkah pelan, seakan tenggelam dalam pikirannya sendiri.Saat Zalleon dan Zira akhirnya berpapasan, sejenak waktu terasa melambat. Mata mereka bertemu, saling menatap, seolah-olah ada sesuatu yang ingin mereka ungkapkan, tetapi tak satu pun kata keluar dari bibir mereka.Dengan langkah mantap, Zalleon akhirnya menghampiri Zira. Jantung mereka berdegup kencang, seakan ada sesuatu yang menghubungkan mereka lebih dari sekadar pertemuan biasa."Zira," panggil Zalleon pelan.Zira menatapnya, jantungnya berdegup semakin cepat. Ada sesuatu di wajah Zalleon yang membuatnya gelisah. "Ada apa, Leo?" tanyanya dengan suara sedikit gemetar.Zalleon menatap mata Zira dengan serius. "Ada yang ingin kubicarakan denganmu," ucapnya pelan namun tegas.Zira langsung menatapnya penuh tanya. "Bicara apa?"Zalleon menarik napas dalam, lalu melirik sekeliling. Temp
Langit masih kelabu ketika Zalleon menyalakan mesin motornya. Suara knalpot menderu pelan, mengisi kesunyian yang melingkupi mereka. Zira berdiri di sampingnya, sedikit ragu."Kau yakin ingin mengantarku?" tanyanya lagi.Zalleon menoleh, menatapnya serius. "Aku sudah bilang, aku tidak bisa membiarkanmu sendirian setelah apa yang terjadi."Zira menggigit bibirnya, lalu akhirnya menghela napas. "Baiklah..."Dengan sedikit canggung, ia menaiki motor dan duduk di belakang Zalleon. Tangannya ragu-ragu sebelum akhirnya dengan pelan memegang ujung jaket Zalleon."Pegang yang erat," ujar Zalleon tanpa menoleh.Zira mengangguk dan merapatkan pegangannya sedikit lebih kuat. Dalam sekejap, motor melaju meninggalkan sekolah, menyusuri jalanan kota yang mulai diselimuti kabut tipis.Hanya suara mesin dan angin yang mengiringi perjalanan mereka. Zira menatap punggung Zalleon, pikirannya masih dipenuhi kejadian tadi. Lambang itu... kekuatan itu... dan fakta bahwa Zalleon adalah seorang malaikat.Ses
Pagi itu, sinar matahari yang masuk melalui celah jendela membangunkan Zira dari tidurnya. Ia menggeliat pelan, mencoba mengusir rasa kantuk yang masih tersisa. Malam tadi terasa panjang, penuh ketegangan yang masih meninggalkan jejak di pikirannya.Ia duduk di tepi tempat tidur, mengusap wajahnya perlahan. Matanya menyapu sekeliling kamar, mencari seseorang yang semalam ada di sana."Ke mana Leo? Apakah dia sudah pergi?" gumamnya pelan.Namun, yang ia temukan hanya kesunyian. Tatapannya beralih ke lambang di tangannya. Masih sama. Tidak bersinar, tidak berubah. Seakan tidak ada yang terjadi.Entah kenapa, perasaan campur aduk memenuhi dadanya. Apakah semua yang ia rasakan hanya ilusi?Zira menghela napas panjang. Ia bangkit dari tempat tidur, merapikan rambutnya, lalu berjalan menuju kamar mandi untuk bersiap-siap menghadapi hari baru.Begitu turun ke ruang makan, aroma nasi goreng yang menggugah selera menyambutnya. Ibunya tengah sibuk di dapur, seperti biasa.“Kamu kelihatan capek,
Matahari mulai tenggelam, meninggalkan semburat jingga di langit saat motor Zalleon melaju pelan di sepanjang jalan. Angin sore berembus lembut, menerbangkan helaian rambut Zira yang keluar dari helmnya.Zira, yang duduk di belakang Zalleon, mencoba menjaga jarak sejauh mungkin, tapi motor sport yang mereka naiki tidak memberinya banyak pilihan.“Jangan terlalu mundur, nanti jatuh,” kata Zalleon, menyeringai kecil.“Aku nggak bakal jatuh,” sahut Zira cepat.“Oh ya?”Zalleon tiba-tiba menarik gas sedikit, membuat motor bergerak lebih cepat.Zira yang kaget refleks berpegangan erat pada jaket Zalleon. “H-Hey! Apa-apaan sih?! Mau bikin aku jatuh beneran?”Zalleon tertawa kecil. “Katanya nggak bakal jatuh?”Zira mendengus kesal, pipinya memanas karena malu. Ia berusaha melepas tangannya lagi, tapi motor sedikit berbelok, membuatnya kembali berpegangan erat.Zalleon tertawa, sementara Zira terus menggerutu sepanjang perjalanan. Namun, di balik wajah kesalnya, ada senyuman kecil yang tak bi
Hari itu, suasana sekolah terasa lebih ringan dari biasanya. Langit biru cerah terlihat dari jendela-jendela kelas, dan angin semilir bertiup lembut melewati lorong-lorong gedung. Suasana yang biasanya penuh hiruk pikuk kini terasa tenang, seolah sekolah sedang bernapas lega.Zira melangkah santai menyusuri lorong kelas sendirian. Di tangannya, sebuah buku sejarah terbuka, menampilkan halaman yang dipenuhi teks tentang perjuangan kemerdekaan. Ia begitu tenggelam dalam bacaan, keningnya sedikit berkerut, mencoba memahami kalimat-kalimat panjang yang kadang membingungkan.Langkah kakinya pelan dan tenang, seiring dengan matanya yang terus menelusuri baris demi baris. Suara sepatu yang menyentuh lantai keramik sesekali menggema, namun Zira tak memperdulikannya. Fokusnya hanya tertuju pada buku di tangannya.Tanpa ia sadari, dari belakang, langkah kaki lain mulai mendekat. Langkah yang lebih ringan, tapi sengaja dipelankan agar tak terdengar. Sosok itu terseny
Beberapa menit kemudian Motor Zalleon berhenti perlahan di depan rumah sederhana bercat putih itu. Zira turun lebih dulu, melepas helm dan merapikan rambutnya yang sedikit berantakan karena angin.Zalleon ikut turun, menaruh helm di atas jok motor. Ia menatap rumah itu sebentar, lalu menoleh ke Zira dengan senyuman tenang.“Terima kasih udah nganterin,” ucap Zira pelan.Zalleon hanya mengangguk. “Kapan pun kamu butuh.”Zira baru saja hendak membuka pagar rumah ketika tiba-tiba terdengar suara langkah cepat dari arah jalan. Ia menoleh dan melihat sosok yang tengah berjalan cepat menghampirinya."Ibu?" panggil Zira, sedikit terkejut.Ternyata benar. Seorang wanita paruh baya dengan rambut dikuncir dan tas belanja di tangan sedang melangkah cepat menuju rumah. Begitu melihat Zira, wajahnya langsung berseri. Namun, pandangannya kemudian jatuh pada sosok Zalleon dan langkahnya seketika terhenti.Mata sang ibu melebar. Ia nyar
Setelah pertemuan singkat itu, Zira kembali ke meja dengan langkah pelan dan pikiran yang penuh. Degup jantungnya belum juga normal. Tapi saat melihat Lia dan Manda yang sedang tertawa kecil membahas sesuatu, Zira menahan diri. Ia duduk seperti biasa, mencoba terlihat tenang. “Kamu dari mana aja?” tanya Lia sambil melirik ke arah Zira. Zira tersenyum tipis. “Ambil buku.” “Lama amat,” gumam Manda. “Ngambil buku atau nyari jodoh?” Zira hanya terkekeh kecil, berpura-pura sibuk membuka buku di depannya. Ia memilih diam. Tak ingin menjelaskan apa pun. Bukan karena tak percaya pada mereka, tapi... ada perasaan aneh yang belum bisa ia mengerti. Tentang Brayen. Tentang tatapannya Zira baru saja membuka halaman pertama bukunya, namun suara langkah kaki yang mendekat tiba-tiba menghentikan aktivitas kecilnya. Brayen. Dengan tenang, tanpa berkata apa pun, ia menarik kursi kos
Pagi itu, Zira terbangun dari tidurnya dengan sedikit malas. Sinar matahari yang masuk melalui celah jendela menyilaukan matanya. Dengan gerakan lambat, ia beranjak dari tempat tidur dan menuju kamar mandi untuk bersiap-siap berangkat ke sekolah. Saat sedang memasang dasi di lehernya, tiba-tiba terdengar ketukan di pintu kamarnya.Tok tok tokTanpa menunggu jawaban, pintu terbuka, menampakkan sosok adiknya, Syafiq, yang berdiri di ambang pintu dengan ekspresi bosan."Kak, turunlah. Ibu sudah menyuruhmu sarapan," katanya dengan nada mendesak.Zira mendengus kesal. "Iya, bawel! Sabar, ini Kakak lagi bersiap!"Syafiq mengangkat bahu. "Baiklah!" katanya sebelum menutup pintu dan pergi.Beberapa menit kemudian, Zira mengambil tasnya dan keluar dari kamar. Ia langsung menuju ruang makan dan duduk di kursinya. Saat sedang menikmati sarapannya, ibunya menatapnya dengan serius."Zira, kapan kamu akan menghadapi ujian tengah semes
Zira merasakan dunianya berputar. Pandangannya menjadi kabur, dan tubuhnya terasa semakin lemah. Nafasnya terasa berat, membuatnya sulit untuk tetap sadar.Tubuhnya oleng, hampir terjatuh ke tanah, tetapi dalam sekejap, sepasang tangan kokoh menangkapnya. Zalleon."Zira!" suaranya terdengar cemas. Ia menahan tubuh Zira dengan hati-hati, memastikan gadis itu tidak benar-benar jatuh.Zira ingin mengatakan sesuatu, tetapi kepalanya terlalu pusing untuk berpikir jernih. Lalu, tiba-tiba, rasa panas yang menyakitkan menjalar dari pergelangan tangannya. Seperti api yang membakar kulitnya dari dalam. Ia mengerang pelan, menggigit bibir menahan nyeri.Zalleon melihat itu. Matanya langsung tertuju pada pergelangan tangan Zira. Jaket yang dikenakan Zira sedikit tersingkap, memperlihatkan lambang yang berada di sana berpendar samar, bercahaya merah seperti bara yang menyala.Zalleon terkejut.Ini tidak mungkin… pikirnya. Lambangnya seharusnya tetap pasif, tidak seharusnya bereaksi seperti ini kec
Keesokan hari di pagi itu, Zira bangun dari tidurnya dengan perasaan campur aduk. Tidur semalam terasa tidak nyenyak, dan pikirannya terus teringat pada Zalleon. Kata-katanya, tindakannya, semuanya seolah terus terputar dalam benaknya.Zira berusaha menepis pikiran itu, berangkat lebih awal dari biasanya untuk menghindari pertemuan dengan sara dan gengnya. Ia tidak ingin mereka lagi-lagi menambah beban pikirannya. Namun, saat ia melangkah ke halaman sekolah, langkahnya terhenti.Di bawah pohon dekat gerbang, Zalleon sudah berdiri, tampak tenang seperti biasanya, meski ada sesuatu dalam tatapannya yang membuat Zira merasa jantungnya berdegup lebih cepat. Zalleon tidak pernah memberi tanda bahwa dia akan menunggu, apalagi di pagi hari seperti ini.Dengan enggan, Zira melangkah mendekat, berusaha berpura-pura tidak melihatnya. Namun, Zalleon tidak membiarkannya begitu saja."Kenapa jalannya cepat sekali?" suaranya terdengar jelas, penuh perhatian. Zira berhenti dan menoleh, mencoba untuk
Zira masih bisa merasakan dinginnya air yang membasahi seragamnya saat ia duduk di kelas. Meskipun mata pelajaran sudah dimulai, pikirannya tetap melayang ke kejadian tadi. Tatapan tajam Sara, ejekan gengnya, serta tangan kuat Zalleon yang menariknya keluar dari sana semuanya masih terasa nyata.Ia melirik ke samping. Zalleon duduk di kursinya, wajahnya tetap tenang seperti biasa, tapi ada sesuatu di matanya yang membuat Zira tahu bahwa dia masih marah.Bel pulang akhirnya berbunyi. Semua siswa segera berkemas dan keluar dari kelas. Zira masih memasukkan bukunya ke dalam tas ketika Manda dan Lia mendekat.“Zira, kamu beneran nggak papa?” tanya Manda.Zira tersenyum kecil. “Aku baik-baik aja, kok.”Lia menghela napas. “Kalau ada apa-apa, bilang sama kami ya. Jangan diam sendiri.”Zira mengangguk pelan. Manda dan Lia akhirnya berpamitan lebih dulu. Saat mereka pergi, Zira menoleh ke arah Zalleon yang sudah berdiri di samping mejanya."Aku antar pulang," katanya singkat.Zira tersenyum d
Suasana sekolah pagi itu terasa lebih sibuk dari biasanya. Zira berjalan menuju kelas dengan pikiran yang masih dipenuhi kejadian kemarin. Taman yang indah, percakapan dengan Zalleon, dan perasaan aneh yang semakin tumbuh di hatinya semuanya terasa begitu nyata.Zira menggigit bibirnya pelan. Ia mulai menyadari betapa pentingnya Zalleon dalam hidupnya. Tapi satu hal yang masih mengganggunya apakah Zalleon benar-benar memiliki perasaan yang sama? Atau apakah ia hanya bersikap baik padanya karena alasan lain?Saat Zira melamun di bangkunya, Manda dan Lia menghampirinya dengan wajah penasaran."Zira, kamu kenapa? Dari tadi diem aja," tanya Manda sambil menatapnya curiga.Lia ikut menyelidik. "Kamu mikirin siapa?"Zira tersentak. "Eh? Enggak! Aku cuma... ya, kepikiran aja."Manda dan Lia saling berpandangan lalu tertawa kecil. "Kalau bukan 'seseorang', kenapa wajah kamu merah begitu?" goda Lia.Zira langsung menutupi wajahnya dengan buku. "Sudahlah, jangan ganggu aku!"Tawa mereka masih t
Matahari mulai meninggi, sinarnya menembus kaca jendela kelas, menerangi setiap sudut ruangan. Zira duduk di bangkunya dengan tatapan kosong ke arah papan tulis. Guru matematika sedang menjelaskan sebuah rumus yang cukup rumit, tetapi pikirannya masih terbayang kejadian pagi tadi.Sara dan gengnya semakin terang-terangan menunjukkan ketidaksukaannya. Itu membuatnya merasa sedikit tertekan, tetapi ia berusaha mengabaikannya.Di sebelahnya, Manda mencolek lengannya. "Zira, kamu dengerin nggak?"Zira tersentak dari lamunannya. "Eh? Apa?"Manda menghela napas. "Kita lagi bahas materi ini. Kamu kelihatan nggak fokus banget dari tadi."Zira tersenyum kecil. "Aku baik-baik aja, kok."Lia, yang duduk di depan mereka, menoleh sebentar dan menatap Zira dengan penuh perhatian. "Kalau ada apa-apa, jangan dipendam sendiri, ya."Zira mengangguk pelan. Meski masih merasa sedikit gelisah, ia merasa tenang karena memiliki teman-teman yang peduli.***Beberapa jam kemudin Bel pulang sekolah akhirnya be