Senin pagi akhirnya tiba.
Hari pertama Zalleon masuk sekolah sebagai Leo Alfais. Identitas barunya sebagai manusia biasa harus ia jaga sebaik mungkin demi misinya di dunia ini. Udara pagi terasa segar dengan langit cerah dan matahari yang bersinar hangat di atas bangunan sekolah Starlight Academy. Sekolah elit itu berdiri megah dengan arsitektur modern dan taman hijau yang tertata rapi. Para siswa berlalu-lalang di halaman depan, sebagian besar sudah mengenakan seragam biru muda khas sekolah tersebut, lengkap dengan lambang bintang emas di dada kiri mereka. Zalleon berjalan perlahan melewati gerbang sekolah. Tatapannya tajam menelusuri setiap sudut bangunan. Bukan karena kagum, tapi lebih karena kewaspadaan. Dia tahu, tempat ini akan menjadi titik awal dari hari-hari yang mengubah segalanya. Aku harus terlihat biasa saja, batinnya. Langkahnya mantap menyusuri jalan menuju lobby sekolah, melewati deretan siswa yang sedang mengobrol, tertawa, atau terburu-buru masuk kelas. Namun, belum sampai ia melewati tangga menuju lobby- Bruk! Seseorang menabraknya cukup keras hingga membuat bahunya terdorong ke belakang sedikit. Zalleon tersentak, nyaris kehilangan keseimbangan. "Ah, maaf!" seru seorang wanita dengan nada tergesa. Rambutnya panjang tergerai, dan dia terlihat membawa beberapa buku di pelukannya. Ia langsung berlari tanpa sempat menoleh atau memastikan keadaan Zalleon. Zalleon hanya menatap punggung gadis itu yang semakin menjauh. Ia menghela napas pelan, tidak terlalu mempermasalahkan insiden kecil itu. "Manusia memang ceroboh..." gumamnya, hampir tak terdengar. Namun, beberapa detik setelahnya, tubuhnya mendadak terasa aneh. "Ugh..." desisnya pelan. Ia menghentikan langkah, lalu menekan dadanya dengan satu tangan. Ada rasa nyeri yang tiba-tiba muncul seperti denyutan halus namun menusuk, tepat di dada kirinya. Rasanya asing. Bukan seperti rasa sakit akibat tertabrak tadi, melainkan seolah berasal dari dalam tubuhnya sendiri. Kenapa dadaku tiba-tiba sakit? pikirnya, mencoba memahami sumber rasa itu. Tapi tak ada jawaban. Ia menarik napas perlahan, menenangkan diri. Meski rasa sakit itu mengganggu, Zalleon tahu ia tak boleh berhenti sekarang. Ini hari pertamanya, dan ia tak boleh menunjukkan kelemahan sedikit pun. Dengan sisa ketenangan yang ia miliki, ia kembali melangkah. Kali ini, langkahnya sedikit lebih hati-hati, seolah tubuhnya memberi peringatan. Setibanya di depan ruang guru, ia berhenti sejenak. Menatap papan nama di atas pintu, lalu mengangkat tangannya dan mengetuk perlahan. Tok, tok, tok. Tak lama kemudian, terdengar suara dari dalam, "Silakan masuk." Zalleon membuka pintu ruang guru dengan perlahan, berusaha menyembunyikan rasa nyeri di dadanya di balik ekspresi tenang yang ia pertahankan. Meski tubuhnya terasa sedikit tidak nyaman, ia tetap melangkah mantap ke dalam ruangan, menunjukkan sikap sopan dan penuh hormat. "Permisi, Bu," ucapnya dengan suara tenang namun jelas. Seorang guru wanita yang duduk di meja paling depan menoleh. Wajahnya tampak ramah dan bersahabat, dengan senyum hangat yang langsung menyambut kedatangannya. "Iya, Nak. Ada yang bisa Ibu bantu?" tanyanya sambil berdiri dari kursi. Zalleon melangkah mendekat dan membungkuk sedikit. "Saya murid baru, Bu. Nama saya Leo Alfais." Wajah sang guru langsung berubah antusias. "Oh! Jadi kamu murid pindahan itu, ya? Selamat datang di SMA Starlight Academy." Ia memberi isyarat kepada Zalleon untuk duduk di kursi tamu di depan mejanya. Zalleon pun menurut dan duduk dengan tenang, menjaga sikap sopannya. Sang guru mulai membalik-balikkan beberapa dokumen di atas mejanya, matanya menyapu cepat lembar demi lembar. "Leo, Leo... Ah, ini dia," katanya sambil menarik satu map berwarna biru muda. "Nama lengkapnya Leo Alfais, kan?" "Iya, Bu," jawab Zalleon dengan anggukan kecil. "Baik. Berdasarkan data, kamu masuk ke kelas E4D. Itu salah satu kelas IPA yang cukup aktif di sini. Tapi kamu tak perlu khawatir, murid-muridnya baik dan suportif." Zalleon mengangguk lagi. "Baik, Bu. Terima kasih." Guru itu tersenyum lembut. "Jangan sungkan bertanya kalau ada yang belum kamu mengerti, ya. Adaptasi di sekolah baru memang butuh waktu, tapi Ibu yakin kamu bisa cepat menyesuaikan diri." Zalleon hanya menjawab dengan senyum tipis. Di balik ketenangannya, ia masih menimbang banyak hal terutama tentang kehidupan barunya sebagai Leo, dan rasa nyeri aneh di dadanya yang belum sepenuhnya hilang. Beberapa menit berlalu, hingga suara bel masuk menggema di seluruh penjuru sekolah, menandakan bahwa jam pelajaran pertama akan segera dimulai. Suasana di luar ruang guru pun terdengar lebih ramai, para siswa mulai memasuki kelas masing-masing. Sang guru yang ternyata adalah wali kelas Zalleon bangkit dari kursinya dan mengambil beberapa lembar kertas. "Ayo, Leo. Ibu antar kamu ke kelas sekarang. Anak-anak pasti sudah mulai masuk." "Baik, Bu," jawab Zalleon sambil ikut berdiri. Ia pun mengikuti langkah gurunya keluar dari ruang guru, menyusuri lorong sekolah yang kini mulai sepi. Langkah mereka beriringan, dan di dalam hatinya, Zalleon tahu langkah ini adalah awal dari lembaran baru kehidupannya. Sebuah perjalanan yang entah akan membawanya menuju kedamaian... atau justru badai yang lebih besar. Setibanya guru memasuki kelas, para murid segera duduk dengan tertib. "Anak-anak, hari ini kita kedatangan murid baru," ujar sang guru. Beberapa murid langsung bersemangat. "Siapa, Bu?" tanya seorang murid perempuan penuh penasaran. "Seru nih, anak baru!" sahut seorang murid laki-laki. Sang guru tersenyum. "Ayo, Leo, masuklah." Zalleon melangkah masuk dengan tenang. Begitu ia berdiri di depan kelas, beberapa murid tampak terkejut dan berbisik satu sama lain. Tatapan mereka penuh kagum melihat ketampanan dan aura misterius yang dimiliki Zalleon. "Wah, dia sangat tampan!" bisik Sara kepada Lina. "Iya,dia sangat tampan!" Jawab lina teman sebangku sara. "Iya! Sepertinya dia cinta pertamaku!" balas Sara dengan pipi merona. Lina menoleh heran. "Apa kau menyukainya? Bagaimana dengan agra?" "Silakan perkenalkan diri," kata guru. Zalleon mengangguk. "Halo semuanya." "Hallooo!" sahut murid-murid serempak. "Nama saya Leo Alfais. Kalian bisa panggil saya Leo." "Hai, Leoo!!" seru beberapa murid perempuan dengan antusias. "Wih, keren namanya," komentar salah satu murid laki-laki. Guru tersenyum puas. "Baik, Leo. Silakan duduk di bangku kosong di sebelah Arka." Seorang murid laki-laki yang bernama Arka melambaikan tangan ke arahnya. Zalleon membalas dengan senyum tipis dan berjalan menuju bangkunya. Namun, di tengah perjalanan, dadanya kembali berdenyut sakit. Lagi? Kenapa dadaku terasa sakit lagi ya? pikirnya sambil menekan dadanya sebentar. Ia mengabaikan rasa sakit itu dan segera duduk di kursinya. "Baik, anak-anak, keluarkan buku fisika kalian. Kita lanjutkan pelajaran," kata guru. "Baik, Bu!" jawab para murid serempak, dan pelajaran pun dimulai. Saat pelajaran berlangsung, Zalleon termenung. Ia masih merasakan sakit di dadanya, perasaan yang aneh dan mengganggu. Ia mencoba mengabaikannya, tetapi rasa sakit itu tak kunjung hilang. Tiba-tiba, kata-kata sang cahaya kembali terngiang di benaknya: Malaikat Zalleon, ketahuilah bahwa jika kau berpapasan dengannya, hatimu akan bergetar dan dadamu akan terasa sakit. Itu tanda bahwa kekuatanmu ada padanya. Zalleon terkejut. "Apa?!" serunya dalam hati. Kini ia menyadari bahwa rasa sakit yang ia alami bukanlah hal biasa. Itu adalah tanda bahwa orang yang memegang kekuatan dan lambangnya ada di dekatnya. "Leo! Leo!" suara seseorang membuyarkan lamunannya. Zalleon tersadar dan menoleh. Ternyata Arka, teman sebangkunya, sedang memanggilnya. "Ah, iya?" jawab Zalleon masih sedikit linglung. "Kamu kenapa?" tanya Arka, terlihat sedikit khawatir. "Hmm... Aku nggak apa-apa," jawab Zalleon sambil tersenyum tipis. Arka mengulurkan tangan. "Kenalan dulu dong. Nama aku Arka Aditia Aska. Kamu bisa panggil aku Arka." Zalleon menjabat tangan Arka. "Hai, Arka. Aku Leo Alfais." "Kamu ada buku fisika, kan? Mana bukumu?" tanya Arka lagi. "Oh iya, hampir lupa." Zalleon buru-buru mengambil bukunya dari dalam tas. "Buka halaman 116," kata Arka. "Oke, Ar," jawab Zalleon sambil membuka buku. Beberapa menit kemudian, bel istirahat berbunyi. Para murid mulai berdiri dan bersiap meninggalkan kelas untuk beristirahat. Dua murid laki-laki yang duduk di depan meja Zalleon berbalik dan menyapanya. "Hai, Leo!" ujar salah satu dari mereka. "Hai, Leo!" sapa yang lainnya. Zalleon tersenyum. "Hai." "Kenalin, nama aku Agra," kata salah satu murid. "Dan aku Saka," tambah yang satunya lagi. "Senang kenal kalian, Agra, Saka," balas Zalleon ramah. Tiba-tiba, Arka menghentakkan tangannya di meja dengan keras. "HAH!" Zalleon, Agra, dan Saka sontak terkejut. "Astaga! Kebiasaan banget lo, Arka!" omel Agra. "Iya, nggak bisa apa kasih aba-aba dulu sebelum bikin orang kaget?!" tambah Saka. Arka hanya terkekeh. "Yaelah, cuman gitu doang. Ayo, Leo, ke kantin!" "Oh, ayo," jawab Zalleon. "Kami ikut dong!" seru Agra. "Gue juga!" tambah Saka. Mereka berempat pun berjalan menuju kantin. Namun, di tengah perjalanan, Zalleon tak sengaja bertabrakan dengan seorang gadis yang sedang berjalan cepat. Tubuhnya sedikit terdorong ke belakang, dan seketika dadanya terasa sakit lebih hebat dari sebelumnya. "Leo, kamu kenapa?" tanya Agra, melihat Zalleon yang tiba-tiba berhenti melangkah. "Leo, ada apa?" Arka menatapnya dengan cemas. Zalleon tidak menjawab. Ia berbalik, mencari sosok gadis yang menabraknya. Begitu melihatnya, tanpa berpikir panjang, ia segera berlari mengejarnya. Ia meraih tangan gadis itu, menghentikannya. Saat mata mereka bertemu, waktu terasa berhenti. Suasana di sekitar mereka menjadi mencekam. Tatapan Zalleon tertuju pada tangan gadis itu, dan matanya melebar saat melihatnya. Lambang serta kekuatannya ada di sana. Si gadis tampak terkejut dan segera menarik tangannya dari genggaman Zalleon. "Apa sih?!" ujarnya kesal. Temannya yang berdiri di sampingnya menatap Zalleon dengan aneh. "Lo kenapa sih? Aneh banget!" katanya sinis. Tanpa menunggu jawaban, ia menarik tangan temannya dan mengajaknya pergi. "Ayo, kita pergi. Gak jelas banget orang ini!" Zalleon hanya bisa diam, memperhatikan gadis itu menjauh. Ia yakin, gadis itulah yang memegang kekuatannya. Di saat itu, Arka, Agra, dan Saka yang melihat kejadian tadi semakin bingung. "Leo, ada apa sebenarnya?" tanya Arka penasaran. Namun, Zalleon tetap diam, tenggelam dalam pikirannya sendiri. Ia akhirnya menemukan orang yang ia cari, tapi apa yang harus ia lakukan sekarang? BERSAMBUNGArka, Agra, dan Saka berjalan bersama Zalleon menuju kantin."Leo, kamu kenapa sih tadi?" tanya Agra penasaran."Iya, kenapa?" tambah Saka.Arka menyipitkan matanya curiga. "Apa jangan-jangan kamu suka sama cewek itu ya?"Zalleon tersentak. "Enggak... Aku nggak apa-apa," ujarnya sambil mengalihkan pandangan. "Ayo ke kantin."Mereka pun melanjutkan langkah menuju kantin. Saat sudah membeli makanan dan duduk bersama, Agra kembali membuka pembicaraan."Leo, kamu suka ya sama Zira?" tanyanya sambil menyenggol lengan Zalleon."Ha? Zira siapa?" Zalleon mengernyitkan dahi."Itu, Zira. Cewek yang tadi kamu pegang tangannya," jelas Agra.Zalleon terdiam sejenak, mencari alasan. "Nggak. Aku kira dia teman lama aku. Mirip banget soalnya.""Oh, begitu," Agra mengangguk paham.Arka menyandarkan punggungnya ke kursi dan berkata, "Tapi kalian tahu nggak sih? Zira itu agak aneh. Cuek banget sama cowok. Apa dia nggak suka sama cowok ya?""Mungkin dia cuma kurang bergaul aja, Ar. Jangan suudzon," timpa
Keesokan harinya, tepat pukul 06.00 pagi, Zalleon terbangun dari tidurnya. Dengan mata masih sedikit berat, ia bangkit dari tempat tidur dan langsung menuju kamar mandi untuk membersihkan diri. Setelah selesai, ia mengenakan seragam sekolah dan bersiap-siap untuk berangkat. Namun, saat hendak melangkah keluar dari rumah, tiba-tiba ia terdiam.Sesuatu terlintas di benaknya sesuatu yang membuat langkahnya tertunda sejenak."Oh iya, aku seharusnya membawa motor hari ini!" katanya sambil berpikir. "Tapi aku tidak punya motor."Kebingungan melanda dirinya, tetapi kemudian ia teringat bahwa sang Cahaya bisa memberinya apa pun yang ia butuhkan. Tanpa ragu, ia memanggilnya."Cahaya, keluarlah! Aku ingin meminta bantuanmu!"Seketika, sang Cahaya muncul di hadapannya."Cahaya, tolong berikan aku sebuah motor seperti yang biasa digunakan manusia," pinta Zalleon."Baiklah, Malaikat Zalleon," jawab sang Cahaya.Dalam sekejap, cahaya terang menyelimuti ruangan, dan sebuah motor sport ZX-25R muncul
Perlombaan pun telah usai, begitu pula dengan jam pelajaran olahraga. Pak Tomi berdiri di tengah lapangan, menatap para murid yang masih terengah-engah setelah pertandingan."Anak-anak, untuk perlombaan hari ini sudah selesai, dan jam pelajaran olahraga pun sudah habis. Sekarang, kalian berganti baju untuk pelajaran selanjutnya," ujar Pak Tomi dengan suara tegas namun hangat."Baik, Pak!" serentak para murid menjawab sebelum bergegas ke ruang ganti.Tak lama kemudian, bel berbunyi, menandakan dimulainya jam pelajaran berikutnya. Semua murid kembali ke kelas dan mulai belajar dengan serius. Namun, di tengah suasana tenang itu, Zalleon tampak diam, merenung sambil menatap Zira. Pikirannya melayang jauh.Bagaimana caraku mendapatkan kembali kekuatan dan lambangku? batinnya.Arka, yang duduk di sebelahnya, memperhatikan tatapan kosong Zalleon. Dengan iseng, dia menyenggol bahu sahabatnya itu."Jangan dipandangin terus, Leo. Nanti bisa jatuh cinta loh!" goda Arka dengan senyum jahil.Zalle
Di antara lautan murid yang berhamburan keluar gerbang sekolah, akhirnya matanya menangkap sosok yang dicarinya. Zira. Gadis itu berjalan dengan langkah pelan, seakan tenggelam dalam pikirannya sendiri.Saat Zalleon dan Zira akhirnya berpapasan, sejenak waktu terasa melambat. Mata mereka bertemu, saling menatap, seolah-olah ada sesuatu yang ingin mereka ungkapkan, tetapi tak satu pun kata keluar dari bibir mereka.Dengan langkah mantap, Zalleon akhirnya menghampiri Zira. Jantung mereka berdegup kencang, seakan ada sesuatu yang menghubungkan mereka lebih dari sekadar pertemuan biasa."Zira," panggil Zalleon pelan.Zira menatapnya, jantungnya berdegup semakin cepat. Ada sesuatu di wajah Zalleon yang membuatnya gelisah. "Ada apa, Leo?" tanyanya dengan suara sedikit gemetar.Zalleon menatap mata Zira dengan serius. "Ada yang ingin kubicarakan denganmu," ucapnya pelan namun tegas.Zira langsung menatapnya penuh tanya. "Bicara apa?"Zalleon menarik napas dalam, lalu melirik sekeliling. Temp
Langit masih kelabu ketika Zalleon menyalakan mesin motornya. Suara knalpot menderu pelan, mengisi kesunyian yang melingkupi mereka. Zira berdiri di sampingnya, sedikit ragu."Kau yakin ingin mengantarku?" tanyanya lagi.Zalleon menoleh, menatapnya serius. "Aku sudah bilang, aku tidak bisa membiarkanmu sendirian setelah apa yang terjadi."Zira menggigit bibirnya, lalu akhirnya menghela napas. "Baiklah..."Dengan sedikit canggung, ia menaiki motor dan duduk di belakang Zalleon. Tangannya ragu-ragu sebelum akhirnya dengan pelan memegang ujung jaket Zalleon."Pegang yang erat," ujar Zalleon tanpa menoleh.Zira mengangguk dan merapatkan pegangannya sedikit lebih kuat. Dalam sekejap, motor melaju meninggalkan sekolah, menyusuri jalanan kota yang mulai diselimuti kabut tipis.Hanya suara mesin dan angin yang mengiringi perjalanan mereka. Zira menatap punggung Zalleon, pikirannya masih dipenuhi kejadian tadi. Lambang itu... kekuatan itu... dan fakta bahwa Zalleon adalah seorang malaikat.Ses
Pagi itu, sinar matahari yang masuk melalui celah jendela membangunkan Zira dari tidurnya. Ia menggeliat pelan, mencoba mengusir rasa kantuk yang masih tersisa. Malam tadi terasa panjang, penuh ketegangan yang masih meninggalkan jejak di pikirannya.Ia duduk di tepi tempat tidur, mengusap wajahnya perlahan. Matanya menyapu sekeliling kamar, mencari seseorang yang semalam ada di sana."Ke mana Leo? Apakah dia sudah pergi?" gumamnya pelan.Namun, yang ia temukan hanya kesunyian. Tatapannya beralih ke lambang di tangannya. Masih sama. Tidak bersinar, tidak berubah. Seakan tidak ada yang terjadi.Entah kenapa, perasaan campur aduk memenuhi dadanya. Apakah semua yang ia rasakan hanya ilusi?Zira menghela napas panjang. Ia bangkit dari tempat tidur, merapikan rambutnya, lalu berjalan menuju kamar mandi untuk bersiap-siap menghadapi hari baru.Begitu turun ke ruang makan, aroma nasi goreng yang menggugah selera menyambutnya. Ibunya tengah sibuk di dapur, seperti biasa.“Kamu kelihatan capek,
Matahari mulai tenggelam, meninggalkan semburat jingga di langit saat motor Zalleon melaju pelan di sepanjang jalan. Angin sore berembus lembut, menerbangkan helaian rambut Zira yang keluar dari helmnya.Zira, yang duduk di belakang Zalleon, mencoba menjaga jarak sejauh mungkin, tapi motor sport yang mereka naiki tidak memberinya banyak pilihan.“Jangan terlalu mundur, nanti jatuh,” kata Zalleon, menyeringai kecil.“Aku nggak bakal jatuh,” sahut Zira cepat.“Oh ya?”Zalleon tiba-tiba menarik gas sedikit, membuat motor bergerak lebih cepat.Zira yang kaget refleks berpegangan erat pada jaket Zalleon. “H-Hey! Apa-apaan sih?! Mau bikin aku jatuh beneran?”Zalleon tertawa kecil. “Katanya nggak bakal jatuh?”Zira mendengus kesal, pipinya memanas karena malu. Ia berusaha melepas tangannya lagi, tapi motor sedikit berbelok, membuatnya kembali berpegangan erat.Zalleon tertawa, sementara Zira terus menggerutu sepanjang perjalanan. Namun, di balik wajah kesalnya, ada senyuman kecil yang tak bi
Keesokan harinya di pagi hari,Zira berjalan santai keluar dari rumahnya, siap berangkat ke sekolah seperti biasa. Tapi, baru beberapa langkah, suara motor yang terlalu familiar tiba-tiba berhenti tepat di sampingnya."Pagi, Zira!"Zira menoleh dan langsung mendapati Zalleon duduk di atas motornya dengan gaya santai, helm tergantung di setang.Zira melipat tangan. "Kenapa kamu di sini?"Zalleon tersenyum lebar. "Jemput kamu, dong."Zira menghela napas. "Aku bisa jalan sendiri.""Tapi hatiku nggak bisa tenang kalau nggak jemput kamu."Zira menatapnya tanpa ekspresi. "Aku nggak butuh dijemput."Zalleon pura-pura berpikir, lalu mendesah dramatis. "Hmm... kalau aku biarin kamu jalan sendiri, gimana kalau tiba-tiba ada sesuatu yang melukai kamu?"Zira mengernyit bingung. "Hah? Sesuatu? Maksudnya?"Zalleon tersenyum kecil, berusaha mengalihkan. "Ya, mana tahu tiba-tiba ada kucing liar yang ngamuk atau... lubang di jalan yang bikin kamu kepleset. Bisa bahaya."Zira menatapnya dengan curiga. "
Hari itu, suasana sekolah terasa lebih ringan dari biasanya. Langit biru cerah terlihat dari jendela-jendela kelas, dan angin semilir bertiup lembut melewati lorong-lorong gedung. Suasana yang biasanya penuh hiruk pikuk kini terasa tenang, seolah sekolah sedang bernapas lega.Zira melangkah santai menyusuri lorong kelas sendirian. Di tangannya, sebuah buku sejarah terbuka, menampilkan halaman yang dipenuhi teks tentang perjuangan kemerdekaan. Ia begitu tenggelam dalam bacaan, keningnya sedikit berkerut, mencoba memahami kalimat-kalimat panjang yang kadang membingungkan.Langkah kakinya pelan dan tenang, seiring dengan matanya yang terus menelusuri baris demi baris. Suara sepatu yang menyentuh lantai keramik sesekali menggema, namun Zira tak memperdulikannya. Fokusnya hanya tertuju pada buku di tangannya.Tanpa ia sadari, dari belakang, langkah kaki lain mulai mendekat. Langkah yang lebih ringan, tapi sengaja dipelankan agar tak terdengar. Sosok itu terseny
Beberapa menit kemudian Motor Zalleon berhenti perlahan di depan rumah sederhana bercat putih itu. Zira turun lebih dulu, melepas helm dan merapikan rambutnya yang sedikit berantakan karena angin.Zalleon ikut turun, menaruh helm di atas jok motor. Ia menatap rumah itu sebentar, lalu menoleh ke Zira dengan senyuman tenang.“Terima kasih udah nganterin,” ucap Zira pelan.Zalleon hanya mengangguk. “Kapan pun kamu butuh.”Zira baru saja hendak membuka pagar rumah ketika tiba-tiba terdengar suara langkah cepat dari arah jalan. Ia menoleh dan melihat sosok yang tengah berjalan cepat menghampirinya."Ibu?" panggil Zira, sedikit terkejut.Ternyata benar. Seorang wanita paruh baya dengan rambut dikuncir dan tas belanja di tangan sedang melangkah cepat menuju rumah. Begitu melihat Zira, wajahnya langsung berseri. Namun, pandangannya kemudian jatuh pada sosok Zalleon dan langkahnya seketika terhenti.Mata sang ibu melebar. Ia nyar
Setelah pertemuan singkat itu, Zira kembali ke meja dengan langkah pelan dan pikiran yang penuh. Degup jantungnya belum juga normal. Tapi saat melihat Lia dan Manda yang sedang tertawa kecil membahas sesuatu, Zira menahan diri. Ia duduk seperti biasa, mencoba terlihat tenang. “Kamu dari mana aja?” tanya Lia sambil melirik ke arah Zira. Zira tersenyum tipis. “Ambil buku.” “Lama amat,” gumam Manda. “Ngambil buku atau nyari jodoh?” Zira hanya terkekeh kecil, berpura-pura sibuk membuka buku di depannya. Ia memilih diam. Tak ingin menjelaskan apa pun. Bukan karena tak percaya pada mereka, tapi... ada perasaan aneh yang belum bisa ia mengerti. Tentang Brayen. Tentang tatapannya Zira baru saja membuka halaman pertama bukunya, namun suara langkah kaki yang mendekat tiba-tiba menghentikan aktivitas kecilnya. Brayen. Dengan tenang, tanpa berkata apa pun, ia menarik kursi kos
Pagi itu, Zira terbangun dari tidurnya dengan sedikit malas. Sinar matahari yang masuk melalui celah jendela menyilaukan matanya. Dengan gerakan lambat, ia beranjak dari tempat tidur dan menuju kamar mandi untuk bersiap-siap berangkat ke sekolah. Saat sedang memasang dasi di lehernya, tiba-tiba terdengar ketukan di pintu kamarnya.Tok tok tokTanpa menunggu jawaban, pintu terbuka, menampakkan sosok adiknya, Syafiq, yang berdiri di ambang pintu dengan ekspresi bosan."Kak, turunlah. Ibu sudah menyuruhmu sarapan," katanya dengan nada mendesak.Zira mendengus kesal. "Iya, bawel! Sabar, ini Kakak lagi bersiap!"Syafiq mengangkat bahu. "Baiklah!" katanya sebelum menutup pintu dan pergi.Beberapa menit kemudian, Zira mengambil tasnya dan keluar dari kamar. Ia langsung menuju ruang makan dan duduk di kursinya. Saat sedang menikmati sarapannya, ibunya menatapnya dengan serius."Zira, kapan kamu akan menghadapi ujian tengah semes
Zira merasakan dunianya berputar. Pandangannya menjadi kabur, dan tubuhnya terasa semakin lemah. Nafasnya terasa berat, membuatnya sulit untuk tetap sadar.Tubuhnya oleng, hampir terjatuh ke tanah, tetapi dalam sekejap, sepasang tangan kokoh menangkapnya. Zalleon."Zira!" suaranya terdengar cemas. Ia menahan tubuh Zira dengan hati-hati, memastikan gadis itu tidak benar-benar jatuh.Zira ingin mengatakan sesuatu, tetapi kepalanya terlalu pusing untuk berpikir jernih. Lalu, tiba-tiba, rasa panas yang menyakitkan menjalar dari pergelangan tangannya. Seperti api yang membakar kulitnya dari dalam. Ia mengerang pelan, menggigit bibir menahan nyeri.Zalleon melihat itu. Matanya langsung tertuju pada pergelangan tangan Zira. Jaket yang dikenakan Zira sedikit tersingkap, memperlihatkan lambang yang berada di sana berpendar samar, bercahaya merah seperti bara yang menyala.Zalleon terkejut.Ini tidak mungkin… pikirnya. Lambangnya seharusnya tetap pasif, tidak seharusnya bereaksi seperti ini kec
Keesokan hari di pagi itu, Zira bangun dari tidurnya dengan perasaan campur aduk. Tidur semalam terasa tidak nyenyak, dan pikirannya terus teringat pada Zalleon. Kata-katanya, tindakannya, semuanya seolah terus terputar dalam benaknya.Zira berusaha menepis pikiran itu, berangkat lebih awal dari biasanya untuk menghindari pertemuan dengan sara dan gengnya. Ia tidak ingin mereka lagi-lagi menambah beban pikirannya. Namun, saat ia melangkah ke halaman sekolah, langkahnya terhenti.Di bawah pohon dekat gerbang, Zalleon sudah berdiri, tampak tenang seperti biasanya, meski ada sesuatu dalam tatapannya yang membuat Zira merasa jantungnya berdegup lebih cepat. Zalleon tidak pernah memberi tanda bahwa dia akan menunggu, apalagi di pagi hari seperti ini.Dengan enggan, Zira melangkah mendekat, berusaha berpura-pura tidak melihatnya. Namun, Zalleon tidak membiarkannya begitu saja."Kenapa jalannya cepat sekali?" suaranya terdengar jelas, penuh perhatian. Zira berhenti dan menoleh, mencoba untuk
Zira masih bisa merasakan dinginnya air yang membasahi seragamnya saat ia duduk di kelas. Meskipun mata pelajaran sudah dimulai, pikirannya tetap melayang ke kejadian tadi. Tatapan tajam Sara, ejekan gengnya, serta tangan kuat Zalleon yang menariknya keluar dari sana semuanya masih terasa nyata.Ia melirik ke samping. Zalleon duduk di kursinya, wajahnya tetap tenang seperti biasa, tapi ada sesuatu di matanya yang membuat Zira tahu bahwa dia masih marah.Bel pulang akhirnya berbunyi. Semua siswa segera berkemas dan keluar dari kelas. Zira masih memasukkan bukunya ke dalam tas ketika Manda dan Lia mendekat.“Zira, kamu beneran nggak papa?” tanya Manda.Zira tersenyum kecil. “Aku baik-baik aja, kok.”Lia menghela napas. “Kalau ada apa-apa, bilang sama kami ya. Jangan diam sendiri.”Zira mengangguk pelan. Manda dan Lia akhirnya berpamitan lebih dulu. Saat mereka pergi, Zira menoleh ke arah Zalleon yang sudah berdiri di samping mejanya."Aku antar pulang," katanya singkat.Zira tersenyum d
Suasana sekolah pagi itu terasa lebih sibuk dari biasanya. Zira berjalan menuju kelas dengan pikiran yang masih dipenuhi kejadian kemarin. Taman yang indah, percakapan dengan Zalleon, dan perasaan aneh yang semakin tumbuh di hatinya semuanya terasa begitu nyata.Zira menggigit bibirnya pelan. Ia mulai menyadari betapa pentingnya Zalleon dalam hidupnya. Tapi satu hal yang masih mengganggunya apakah Zalleon benar-benar memiliki perasaan yang sama? Atau apakah ia hanya bersikap baik padanya karena alasan lain?Saat Zira melamun di bangkunya, Manda dan Lia menghampirinya dengan wajah penasaran."Zira, kamu kenapa? Dari tadi diem aja," tanya Manda sambil menatapnya curiga.Lia ikut menyelidik. "Kamu mikirin siapa?"Zira tersentak. "Eh? Enggak! Aku cuma... ya, kepikiran aja."Manda dan Lia saling berpandangan lalu tertawa kecil. "Kalau bukan 'seseorang', kenapa wajah kamu merah begitu?" goda Lia.Zira langsung menutupi wajahnya dengan buku. "Sudahlah, jangan ganggu aku!"Tawa mereka masih t
Matahari mulai meninggi, sinarnya menembus kaca jendela kelas, menerangi setiap sudut ruangan. Zira duduk di bangkunya dengan tatapan kosong ke arah papan tulis. Guru matematika sedang menjelaskan sebuah rumus yang cukup rumit, tetapi pikirannya masih terbayang kejadian pagi tadi.Sara dan gengnya semakin terang-terangan menunjukkan ketidaksukaannya. Itu membuatnya merasa sedikit tertekan, tetapi ia berusaha mengabaikannya.Di sebelahnya, Manda mencolek lengannya. "Zira, kamu dengerin nggak?"Zira tersentak dari lamunannya. "Eh? Apa?"Manda menghela napas. "Kita lagi bahas materi ini. Kamu kelihatan nggak fokus banget dari tadi."Zira tersenyum kecil. "Aku baik-baik aja, kok."Lia, yang duduk di depan mereka, menoleh sebentar dan menatap Zira dengan penuh perhatian. "Kalau ada apa-apa, jangan dipendam sendiri, ya."Zira mengangguk pelan. Meski masih merasa sedikit gelisah, ia merasa tenang karena memiliki teman-teman yang peduli.***Beberapa jam kemudin Bel pulang sekolah akhirnya be