Keesokan harinya, tepat pukul 06.00 pagi, Zalleon terbangun dari tidurnya. Dengan mata masih sedikit berat, ia bangkit dari tempat tidur dan langsung menuju kamar mandi untuk membersihkan diri. Setelah selesai, ia mengenakan seragam sekolah dan bersiap-siap untuk berangkat. Namun, saat hendak melangkah keluar dari rumah, tiba-tiba ia terdiam.
Sesuatu terlintas di benaknya sesuatu yang membuat langkahnya tertunda sejenak. "Oh iya, aku seharusnya membawa motor hari ini!" katanya sambil berpikir. "Tapi aku tidak punya motor." Kebingungan melanda dirinya, tetapi kemudian ia teringat bahwa sang Cahaya bisa memberinya apa pun yang ia butuhkan. Tanpa ragu, ia memanggilnya. "Cahaya, keluarlah! Aku ingin meminta bantuanmu!" Seketika, sang Cahaya muncul di hadapannya. "Cahaya, tolong berikan aku sebuah motor seperti yang biasa digunakan manusia," pinta Zalleon. "Baiklah, Malaikat Zalleon," jawab sang Cahaya. Dalam sekejap, cahaya terang menyelimuti ruangan, dan sebuah motor sport ZX-25R muncul di hadapan Zalleon. Ia terperangah melihatnya. "Wah! Motor ini luar biasa! Terima kasih, Cahaya." "Sama-sama, Malaikat Zalleon," jawab sang Cahaya sebelum menghilang. Zalleon segera mengenakan helm dan menaiki motornya. Namun, ada satu masalah-ia tidak tahu cara menggunakannya. "Bagaimana cara menjalankan kendaraan ini?" gumamnya sambil melihat-lihat motor itu. Tanpa sengaja, tangannya memutar gas, dan motor itu melaju dengan kencang, membuatnya hampir terjatuh. "Oh!" serunya kaget. "Ternyata ini cara menggerakkannya!" Setelah beberapa kali mencoba, akhirnya ia bisa mengendarainya dengan baik. Beberapa menit kemudian, ia sudah tiba di sekolah dan memarkir motornya di area parkir. Saat itu, Arka datang dan menyapanya. "Leo!" panggil Arka. Zalleon membuka helmnya. "Eh, Ar!" balasnya. Arka menatap motor Zalleon dengan penuh kekaguman. "Motor lo keren banget!" Zalleon tersenyum. "Ah, biasa aja, Ar. Udah, ayo masuk. Sebentar lagi bel masuk." Mereka pun berjalan menuju kelas. Sesampainya di depan pintu kelas, Zalleon melihat Zira yang juga sedang menatapnya. Namun, ia tak berkata apa-apa dan langsung menuju bangkunya. Tak lama kemudian, bel berbunyi, menandakan dimulainya pelajaran. Guru olahraga mereka, Pak Tomi, masuk ke dalam kelas. "Baik, anak-anak, sebelum kita mulai, saya akan absen. Yang tidak membawa baju olahraga akan saya buat alpa!" ucap Pak Tomi. "Baik, Pak!" jawab para murid serentak. Di tengah suasana itu, Arka menoleh ke arah Zalleon. "Leo, lo bawa baju olahraga nggak?" Zalleon terdiam sejenak. "Aduh, gue lupa bawa!" "Wah, gimana nih? Lo bisa-bisa dibuat alpa!" Namun, Arka tiba-tiba memperhatikan tas Zalleon. "Eh, tapi kok tas lo gembung banget?" Zalleon membuka tasnya dan menemukan baju olahraga di dalamnya. Ia terkejut. "Loh? Kok ada di sini? Siapa yang menaruh ini?" pikirnya dalam hati. "Itu kan baju olahraga lo? Lo bohong tadi!" kata Arka. "Gue nggak bohong, Ar! Mungkin gue lupa," kilah Zalleon, meskipun dalam hatinya ia masih bertanya-tanya. Setelah absen selesai, Pak Tomi menginstruksikan semua murid untuk berganti pakaian olahraga Setelah semua murid berganti pakaian, mereka menuju lapangan untuk pemanasan. Pak Tomi meminta seseorang untuk memimpin pemanasan, tetapi tak ada yang mau. "Baiklah, Agra! Kamu yang pimpin pemanasan!" perintah Pak Tomi. "Yaelah, Pak. Saya lagi?" keluh Agra, tetapi ia tetap maju. Saat pemanasan berlangsung, Zalleon kembali melirik Zira. Ia berpikir bagaimana cara mendekatinya untuk mengambil kembali kekuatannya. Namun, ia terlalu asyik melamun hingga tak menyadari kehadiran Pak Tomi di belakangnya. Plak! Sebuah buku mengenai kepalanya. "Aduh!" Zalleon kaget. "Apa yang kau pikirkan, Zalleon?!" tegur Pak Tomi. "Eh, tidak ada, Pak!" jawabnya gugup. Para murid langsung tertawa melihat kejadian itu, sementara Zalleon hanya bisa tersenyum canggung. Setelah pemanasan selesai, dan Pak Tomi mengumumkan bahwa mereka akan bermain dalam permainan berpasangan. "Kalian akan bermain dalam tim berpasangan, satu laki-laki dan satu perempuan. Kaki kalian akan diikat bersama, dan kalian harus berlari ke garis finis. Pasangan yang mencapai garis finis lebih dulu akan menang!" jelas Pak Tomi. Dan Semua murid mulai mencari pasangan masing-masing. Tanpa ragu, Zalleon langsung menghampiri Zira. "Zira, mau jadi pasanganku?" tanyanya. Zira berpikir sejenak, lalu mengangguk. "Baiklah." Zalleon tersenyum senang. Namun, tiba-tiba seorang murid perempuan bernama Sara menghampiri mereka. "Leo, berpasanganlah denganku," kata Sara sambil tersenyum manis. Zalleon menatapnya sebentar, lalu menjawab, "Maaf, aku sudah berpasangan dengan Zira." Sara tampak kecewa dan melirik Zira dengan sinis sebelum pergi mencari pasangan lain. Permainan pun dimulai dengan beberapa pasangan pertama yang berlomba lebih dulu. Sorak-sorai murid-murid menggema di lapangan. "Ayo, Lina!" teriak Sara. "Arka, semangat!" tambah Agra. Saat perlombaan berlangsung, tiba-tiba pasangan Arka dan Lina terjatuh. "Yah, gimana sih!" protes Saka. "Itu gara-gara lo, Lina!" seru Arka. "Apaan sih! Lo yang nggak bisa jaga keseimbangan!" balas Lina, kesal. Mereka akhirnya bangkit dan melanjutkan perlombaan. Akhirnya, pasangan Gibran dan Arin berhasil mencapai garis finis terlebih dahulu. "Selamat untuk Gibran dan Arin!" kata Pak Tomi. Para murid bersorak menyambut kemenangan mereka. Zalleon, yang masih bersama Zira, kembali berpikir keras. "Bagaimana cara mendekatinya? Aku harus menemukan cara untuk mendapatkan kekuatanku kembali," gumamnya dalam hati. Setelah pasangan pertama menyelesaikan perlombaan, kini giliran pasangan berikutnya, termasuk Zalleon dan Zira. Pak Tomi mengangkat peluitnya, bersiap memberikan aba-aba. "Baik, pasangan berikutnya bersiap di garis start!" seru Pak Tomi. Zalleon dan Zira berdiri berdampingan, kaki mereka diikat bersama. Zalleon melirik Zira yang tampak sedikit gugup. "Kamu siap?" tanya Zalleon pelan. Zira mengangguk, "Aku akan mencoba yang terbaik." Pak Tomi meniup peluitnya, menandakan permainan dimulai. Zalleon dan Zira langsung mencoba menyamakan langkah mereka, tetapi di awal, Zira hampir terjatuh. "Pelan-pelan, ikuti ritme langkahku," bisik Zalleon, meraih tangan Zira untuk menjaga keseimbangan. Zira mengangguk dan mencoba menyesuaikan langkahnya dengan Zalleon. Perlahan-lahan, mereka mulai berlari lebih stabil. Sorakan dari para murid semakin keras. "Ayo Zira! Ayo Leo!" teriak saka dan arka dari kejauhan. "Ayo Zira!" teriak Manda dan Lia dari kejauhan. Namun, tak lama kemudian, pasangan lain mulai menyusul mereka. Zira merasa panik dan mencoba berlari lebih cepat, tetapi itu malah membuatnya kehilangan keseimbangan. Ia nyaris jatuh jika saja Zalleon tidak dengan sigap menahannya. "Jangan terburu-buru, tetap fokus pada ritme," kata Zalleon dengan suara tenang. Zira mengambil napas dalam dan mencoba menyesuaikan diri kembali. Mereka kembali melangkah serempak dan kini berada di posisi kedua, hanya sedikit tertinggal dari pasangan dika dan sara Saat mereka semakin dekat dengan garis finish, Zalleon melihat ada batu kecil di lintasan. Jika Zira tidak hati-hati, ia bisa tersandung. "Zira, hati-hati!" seru Zalleon sambil menggenggam tangan Zira lebih erat. Zira mengerti maksudnya dan sedikit melompat, menghindari batu itu. Mereka terus berlari dengan kecepatan yang lebih stabil. Kini jarak mereka dengan pasangan dika dan sara semakin dekat. Semua murid bersorak riuh, menyemangati kedua pasangan yang nyaris bersamaan mencapai garis finish. Dengan semangat yang membara, Zalleon dan Zira akhirnya melintasi garis finish terlebih dahulu, meninggalkan Dika dan Sara beberapa langkah di belakang. "Dan pemenangnya adalah pasangan Leo dan Zira!" seru Pak Tomi lantang. "Kemenangan mutlak! Dika dan Sara nyaris saja menang, tapi kali ini mereka belum berhasil mengalahkan pasangan juara!" Zalleon dan Zira tersenyum kelelahan, tetapi mereka puas dengan hasilnya. "Kamu hebat," kata Zalleon sambil tersenyum. Zira tersenyum kecil, "Kamu juga. Terima kasih sudah membantuku tadi." Di kejauhan, Sara melihat interaksi mereka dengan tatapan kesal. Sementara itu, Zalleon merasa semakin yakin bahwa ada sesuatu yang lebih dalam tentang Zira, sesuatu yang harus ia cari tahu lebih lanjut... BERSAMBUNGPerlombaan pun telah usai, begitu pula dengan jam pelajaran olahraga. Pak Tomi berdiri di tengah lapangan, menatap para murid yang masih terengah-engah setelah pertandingan."Anak-anak, untuk perlombaan hari ini sudah selesai, dan jam pelajaran olahraga pun sudah habis. Sekarang, kalian berganti baju untuk pelajaran selanjutnya," ujar Pak Tomi dengan suara tegas namun hangat."Baik, Pak!" serentak para murid menjawab sebelum bergegas ke ruang ganti.Tak lama kemudian, bel berbunyi, menandakan dimulainya jam pelajaran berikutnya. Semua murid kembali ke kelas dan mulai belajar dengan serius. Namun, di tengah suasana tenang itu, Zalleon tampak diam, merenung sambil menatap Zira. Pikirannya melayang jauh.Bagaimana caraku mendapatkan kembali kekuatan dan lambangku? batinnya.Arka, yang duduk di sebelahnya, memperhatikan tatapan kosong Zalleon. Dengan iseng, dia menyenggol bahu sahabatnya itu."Jangan dipandangin terus, Leo. Nanti bisa jatuh cinta loh!" goda Arka dengan senyum jahil.Zalle
Di antara lautan murid yang berhamburan keluar gerbang sekolah, akhirnya matanya menangkap sosok yang dicarinya. Zira. Gadis itu berjalan dengan langkah pelan, seakan tenggelam dalam pikirannya sendiri.Saat Zalleon dan Zira akhirnya berpapasan, sejenak waktu terasa melambat. Mata mereka bertemu, saling menatap, seolah-olah ada sesuatu yang ingin mereka ungkapkan, tetapi tak satu pun kata keluar dari bibir mereka.Dengan langkah mantap, Zalleon akhirnya menghampiri Zira. Jantung mereka berdegup kencang, seakan ada sesuatu yang menghubungkan mereka lebih dari sekadar pertemuan biasa."Zira," panggil Zalleon pelan.Zira menatapnya, jantungnya berdegup semakin cepat. Ada sesuatu di wajah Zalleon yang membuatnya gelisah. "Ada apa, Leo?" tanyanya dengan suara sedikit gemetar.Zalleon menatap mata Zira dengan serius. "Ada yang ingin kubicarakan denganmu," ucapnya pelan namun tegas.Zira langsung menatapnya penuh tanya. "Bicara apa?"Zalleon menarik napas dalam, lalu melirik sekeliling. Temp
Langit masih kelabu ketika Zalleon menyalakan mesin motornya. Suara knalpot menderu pelan, mengisi kesunyian yang melingkupi mereka. Zira berdiri di sampingnya, sedikit ragu."Kau yakin ingin mengantarku?" tanyanya lagi.Zalleon menoleh, menatapnya serius. "Aku sudah bilang, aku tidak bisa membiarkanmu sendirian setelah apa yang terjadi."Zira menggigit bibirnya, lalu akhirnya menghela napas. "Baiklah..."Dengan sedikit canggung, ia menaiki motor dan duduk di belakang Zalleon. Tangannya ragu-ragu sebelum akhirnya dengan pelan memegang ujung jaket Zalleon."Pegang yang erat," ujar Zalleon tanpa menoleh.Zira mengangguk dan merapatkan pegangannya sedikit lebih kuat. Dalam sekejap, motor melaju meninggalkan sekolah, menyusuri jalanan kota yang mulai diselimuti kabut tipis.Hanya suara mesin dan angin yang mengiringi perjalanan mereka. Zira menatap punggung Zalleon, pikirannya masih dipenuhi kejadian tadi. Lambang itu... kekuatan itu... dan fakta bahwa Zalleon adalah seorang malaikat.Ses
Pagi itu, sinar matahari yang masuk melalui celah jendela membangunkan Zira dari tidurnya. Ia menggeliat pelan, mencoba mengusir rasa kantuk yang masih tersisa. Malam tadi terasa panjang, penuh ketegangan yang masih meninggalkan jejak di pikirannya.Ia duduk di tepi tempat tidur, mengusap wajahnya perlahan. Matanya menyapu sekeliling kamar, mencari seseorang yang semalam ada di sana."Ke mana Leo? Apakah dia sudah pergi?" gumamnya pelan.Namun, yang ia temukan hanya kesunyian. Tatapannya beralih ke lambang di tangannya. Masih sama. Tidak bersinar, tidak berubah. Seakan tidak ada yang terjadi.Entah kenapa, perasaan campur aduk memenuhi dadanya. Apakah semua yang ia rasakan hanya ilusi?Zira menghela napas panjang. Ia bangkit dari tempat tidur, merapikan rambutnya, lalu berjalan menuju kamar mandi untuk bersiap-siap menghadapi hari baru.Begitu turun ke ruang makan, aroma nasi goreng yang menggugah selera menyambutnya. Ibunya tengah sibuk di dapur, seperti biasa.“Kamu kelihatan capek,
Matahari mulai tenggelam, meninggalkan semburat jingga di langit saat motor Zalleon melaju pelan di sepanjang jalan. Angin sore berembus lembut, menerbangkan helaian rambut Zira yang keluar dari helmnya.Zira, yang duduk di belakang Zalleon, mencoba menjaga jarak sejauh mungkin, tapi motor sport yang mereka naiki tidak memberinya banyak pilihan.“Jangan terlalu mundur, nanti jatuh,” kata Zalleon, menyeringai kecil.“Aku nggak bakal jatuh,” sahut Zira cepat.“Oh ya?”Zalleon tiba-tiba menarik gas sedikit, membuat motor bergerak lebih cepat.Zira yang kaget refleks berpegangan erat pada jaket Zalleon. “H-Hey! Apa-apaan sih?! Mau bikin aku jatuh beneran?”Zalleon tertawa kecil. “Katanya nggak bakal jatuh?”Zira mendengus kesal, pipinya memanas karena malu. Ia berusaha melepas tangannya lagi, tapi motor sedikit berbelok, membuatnya kembali berpegangan erat.Zalleon tertawa, sementara Zira terus menggerutu sepanjang perjalanan. Namun, di balik wajah kesalnya, ada senyuman kecil yang tak bi
Keesokan harinya di pagi hari,Zira berjalan santai keluar dari rumahnya, siap berangkat ke sekolah seperti biasa. Tapi, baru beberapa langkah, suara motor yang terlalu familiar tiba-tiba berhenti tepat di sampingnya."Pagi, Zira!"Zira menoleh dan langsung mendapati Zalleon duduk di atas motornya dengan gaya santai, helm tergantung di setang.Zira melipat tangan. "Kenapa kamu di sini?"Zalleon tersenyum lebar. "Jemput kamu, dong."Zira menghela napas. "Aku bisa jalan sendiri.""Tapi hatiku nggak bisa tenang kalau nggak jemput kamu."Zira menatapnya tanpa ekspresi. "Aku nggak butuh dijemput."Zalleon pura-pura berpikir, lalu mendesah dramatis. "Hmm... kalau aku biarin kamu jalan sendiri, gimana kalau tiba-tiba ada sesuatu yang melukai kamu?"Zira mengernyit bingung. "Hah? Sesuatu? Maksudnya?"Zalleon tersenyum kecil, berusaha mengalihkan. "Ya, mana tahu tiba-tiba ada kucing liar yang ngamuk atau... lubang di jalan yang bikin kamu kepleset. Bisa bahaya."Zira menatapnya dengan curiga. "
Matahari mulai meninggi, sinarnya menembus kaca jendela kelas, menerangi setiap sudut ruangan. Zira duduk di bangkunya dengan tatapan kosong ke arah papan tulis. Guru matematika sedang menjelaskan sebuah rumus yang cukup rumit, tetapi pikirannya masih terbayang kejadian pagi tadi.Sara dan gengnya semakin terang-terangan menunjukkan ketidaksukaannya. Itu membuatnya merasa sedikit tertekan, tetapi ia berusaha mengabaikannya.Di sebelahnya, Manda mencolek lengannya. "Zira, kamu dengerin nggak?"Zira tersentak dari lamunannya. "Eh? Apa?"Manda menghela napas. "Kita lagi bahas materi ini. Kamu kelihatan nggak fokus banget dari tadi."Zira tersenyum kecil. "Aku baik-baik aja, kok."Lia, yang duduk di depan mereka, menoleh sebentar dan menatap Zira dengan penuh perhatian. "Kalau ada apa-apa, jangan dipendam sendiri, ya."Zira mengangguk pelan. Meski masih merasa sedikit gelisah, ia merasa tenang karena memiliki teman-teman yang peduli.***Beberapa jam kemudin Bel pulang sekolah akhirnya be
Suasana sekolah pagi itu terasa lebih sibuk dari biasanya. Zira berjalan menuju kelas dengan pikiran yang masih dipenuhi kejadian kemarin. Taman yang indah, percakapan dengan Zalleon, dan perasaan aneh yang semakin tumbuh di hatinya semuanya terasa begitu nyata.Zira menggigit bibirnya pelan. Ia mulai menyadari betapa pentingnya Zalleon dalam hidupnya. Tapi satu hal yang masih mengganggunya apakah Zalleon benar-benar memiliki perasaan yang sama? Atau apakah ia hanya bersikap baik padanya karena alasan lain?Saat Zira melamun di bangkunya, Manda dan Lia menghampirinya dengan wajah penasaran."Zira, kamu kenapa? Dari tadi diem aja," tanya Manda sambil menatapnya curiga.Lia ikut menyelidik. "Kamu mikirin siapa?"Zira tersentak. "Eh? Enggak! Aku cuma... ya, kepikiran aja."Manda dan Lia saling berpandangan lalu tertawa kecil. "Kalau bukan 'seseorang', kenapa wajah kamu merah begitu?" goda Lia.Zira langsung menutupi wajahnya dengan buku. "Sudahlah, jangan ganggu aku!"Tawa mereka masih t
Hari itu, suasana sekolah terasa lebih ringan dari biasanya. Langit biru cerah terlihat dari jendela-jendela kelas, dan angin semilir bertiup lembut melewati lorong-lorong gedung. Suasana yang biasanya penuh hiruk pikuk kini terasa tenang, seolah sekolah sedang bernapas lega.Zira melangkah santai menyusuri lorong kelas sendirian. Di tangannya, sebuah buku sejarah terbuka, menampilkan halaman yang dipenuhi teks tentang perjuangan kemerdekaan. Ia begitu tenggelam dalam bacaan, keningnya sedikit berkerut, mencoba memahami kalimat-kalimat panjang yang kadang membingungkan.Langkah kakinya pelan dan tenang, seiring dengan matanya yang terus menelusuri baris demi baris. Suara sepatu yang menyentuh lantai keramik sesekali menggema, namun Zira tak memperdulikannya. Fokusnya hanya tertuju pada buku di tangannya.Tanpa ia sadari, dari belakang, langkah kaki lain mulai mendekat. Langkah yang lebih ringan, tapi sengaja dipelankan agar tak terdengar. Sosok itu terseny
Beberapa menit kemudian Motor Zalleon berhenti perlahan di depan rumah sederhana bercat putih itu. Zira turun lebih dulu, melepas helm dan merapikan rambutnya yang sedikit berantakan karena angin.Zalleon ikut turun, menaruh helm di atas jok motor. Ia menatap rumah itu sebentar, lalu menoleh ke Zira dengan senyuman tenang.“Terima kasih udah nganterin,” ucap Zira pelan.Zalleon hanya mengangguk. “Kapan pun kamu butuh.”Zira baru saja hendak membuka pagar rumah ketika tiba-tiba terdengar suara langkah cepat dari arah jalan. Ia menoleh dan melihat sosok yang tengah berjalan cepat menghampirinya."Ibu?" panggil Zira, sedikit terkejut.Ternyata benar. Seorang wanita paruh baya dengan rambut dikuncir dan tas belanja di tangan sedang melangkah cepat menuju rumah. Begitu melihat Zira, wajahnya langsung berseri. Namun, pandangannya kemudian jatuh pada sosok Zalleon dan langkahnya seketika terhenti.Mata sang ibu melebar. Ia nyar
Setelah pertemuan singkat itu, Zira kembali ke meja dengan langkah pelan dan pikiran yang penuh. Degup jantungnya belum juga normal. Tapi saat melihat Lia dan Manda yang sedang tertawa kecil membahas sesuatu, Zira menahan diri. Ia duduk seperti biasa, mencoba terlihat tenang. “Kamu dari mana aja?” tanya Lia sambil melirik ke arah Zira. Zira tersenyum tipis. “Ambil buku.” “Lama amat,” gumam Manda. “Ngambil buku atau nyari jodoh?” Zira hanya terkekeh kecil, berpura-pura sibuk membuka buku di depannya. Ia memilih diam. Tak ingin menjelaskan apa pun. Bukan karena tak percaya pada mereka, tapi... ada perasaan aneh yang belum bisa ia mengerti. Tentang Brayen. Tentang tatapannya Zira baru saja membuka halaman pertama bukunya, namun suara langkah kaki yang mendekat tiba-tiba menghentikan aktivitas kecilnya. Brayen. Dengan tenang, tanpa berkata apa pun, ia menarik kursi kos
Pagi itu, Zira terbangun dari tidurnya dengan sedikit malas. Sinar matahari yang masuk melalui celah jendela menyilaukan matanya. Dengan gerakan lambat, ia beranjak dari tempat tidur dan menuju kamar mandi untuk bersiap-siap berangkat ke sekolah. Saat sedang memasang dasi di lehernya, tiba-tiba terdengar ketukan di pintu kamarnya.Tok tok tokTanpa menunggu jawaban, pintu terbuka, menampakkan sosok adiknya, Syafiq, yang berdiri di ambang pintu dengan ekspresi bosan."Kak, turunlah. Ibu sudah menyuruhmu sarapan," katanya dengan nada mendesak.Zira mendengus kesal. "Iya, bawel! Sabar, ini Kakak lagi bersiap!"Syafiq mengangkat bahu. "Baiklah!" katanya sebelum menutup pintu dan pergi.Beberapa menit kemudian, Zira mengambil tasnya dan keluar dari kamar. Ia langsung menuju ruang makan dan duduk di kursinya. Saat sedang menikmati sarapannya, ibunya menatapnya dengan serius."Zira, kapan kamu akan menghadapi ujian tengah semes
Zira merasakan dunianya berputar. Pandangannya menjadi kabur, dan tubuhnya terasa semakin lemah. Nafasnya terasa berat, membuatnya sulit untuk tetap sadar.Tubuhnya oleng, hampir terjatuh ke tanah, tetapi dalam sekejap, sepasang tangan kokoh menangkapnya. Zalleon."Zira!" suaranya terdengar cemas. Ia menahan tubuh Zira dengan hati-hati, memastikan gadis itu tidak benar-benar jatuh.Zira ingin mengatakan sesuatu, tetapi kepalanya terlalu pusing untuk berpikir jernih. Lalu, tiba-tiba, rasa panas yang menyakitkan menjalar dari pergelangan tangannya. Seperti api yang membakar kulitnya dari dalam. Ia mengerang pelan, menggigit bibir menahan nyeri.Zalleon melihat itu. Matanya langsung tertuju pada pergelangan tangan Zira. Jaket yang dikenakan Zira sedikit tersingkap, memperlihatkan lambang yang berada di sana berpendar samar, bercahaya merah seperti bara yang menyala.Zalleon terkejut.Ini tidak mungkin… pikirnya. Lambangnya seharusnya tetap pasif, tidak seharusnya bereaksi seperti ini kec
Keesokan hari di pagi itu, Zira bangun dari tidurnya dengan perasaan campur aduk. Tidur semalam terasa tidak nyenyak, dan pikirannya terus teringat pada Zalleon. Kata-katanya, tindakannya, semuanya seolah terus terputar dalam benaknya.Zira berusaha menepis pikiran itu, berangkat lebih awal dari biasanya untuk menghindari pertemuan dengan sara dan gengnya. Ia tidak ingin mereka lagi-lagi menambah beban pikirannya. Namun, saat ia melangkah ke halaman sekolah, langkahnya terhenti.Di bawah pohon dekat gerbang, Zalleon sudah berdiri, tampak tenang seperti biasanya, meski ada sesuatu dalam tatapannya yang membuat Zira merasa jantungnya berdegup lebih cepat. Zalleon tidak pernah memberi tanda bahwa dia akan menunggu, apalagi di pagi hari seperti ini.Dengan enggan, Zira melangkah mendekat, berusaha berpura-pura tidak melihatnya. Namun, Zalleon tidak membiarkannya begitu saja."Kenapa jalannya cepat sekali?" suaranya terdengar jelas, penuh perhatian. Zira berhenti dan menoleh, mencoba untuk
Zira masih bisa merasakan dinginnya air yang membasahi seragamnya saat ia duduk di kelas. Meskipun mata pelajaran sudah dimulai, pikirannya tetap melayang ke kejadian tadi. Tatapan tajam Sara, ejekan gengnya, serta tangan kuat Zalleon yang menariknya keluar dari sana semuanya masih terasa nyata.Ia melirik ke samping. Zalleon duduk di kursinya, wajahnya tetap tenang seperti biasa, tapi ada sesuatu di matanya yang membuat Zira tahu bahwa dia masih marah.Bel pulang akhirnya berbunyi. Semua siswa segera berkemas dan keluar dari kelas. Zira masih memasukkan bukunya ke dalam tas ketika Manda dan Lia mendekat.“Zira, kamu beneran nggak papa?” tanya Manda.Zira tersenyum kecil. “Aku baik-baik aja, kok.”Lia menghela napas. “Kalau ada apa-apa, bilang sama kami ya. Jangan diam sendiri.”Zira mengangguk pelan. Manda dan Lia akhirnya berpamitan lebih dulu. Saat mereka pergi, Zira menoleh ke arah Zalleon yang sudah berdiri di samping mejanya."Aku antar pulang," katanya singkat.Zira tersenyum d
Suasana sekolah pagi itu terasa lebih sibuk dari biasanya. Zira berjalan menuju kelas dengan pikiran yang masih dipenuhi kejadian kemarin. Taman yang indah, percakapan dengan Zalleon, dan perasaan aneh yang semakin tumbuh di hatinya semuanya terasa begitu nyata.Zira menggigit bibirnya pelan. Ia mulai menyadari betapa pentingnya Zalleon dalam hidupnya. Tapi satu hal yang masih mengganggunya apakah Zalleon benar-benar memiliki perasaan yang sama? Atau apakah ia hanya bersikap baik padanya karena alasan lain?Saat Zira melamun di bangkunya, Manda dan Lia menghampirinya dengan wajah penasaran."Zira, kamu kenapa? Dari tadi diem aja," tanya Manda sambil menatapnya curiga.Lia ikut menyelidik. "Kamu mikirin siapa?"Zira tersentak. "Eh? Enggak! Aku cuma... ya, kepikiran aja."Manda dan Lia saling berpandangan lalu tertawa kecil. "Kalau bukan 'seseorang', kenapa wajah kamu merah begitu?" goda Lia.Zira langsung menutupi wajahnya dengan buku. "Sudahlah, jangan ganggu aku!"Tawa mereka masih t
Matahari mulai meninggi, sinarnya menembus kaca jendela kelas, menerangi setiap sudut ruangan. Zira duduk di bangkunya dengan tatapan kosong ke arah papan tulis. Guru matematika sedang menjelaskan sebuah rumus yang cukup rumit, tetapi pikirannya masih terbayang kejadian pagi tadi.Sara dan gengnya semakin terang-terangan menunjukkan ketidaksukaannya. Itu membuatnya merasa sedikit tertekan, tetapi ia berusaha mengabaikannya.Di sebelahnya, Manda mencolek lengannya. "Zira, kamu dengerin nggak?"Zira tersentak dari lamunannya. "Eh? Apa?"Manda menghela napas. "Kita lagi bahas materi ini. Kamu kelihatan nggak fokus banget dari tadi."Zira tersenyum kecil. "Aku baik-baik aja, kok."Lia, yang duduk di depan mereka, menoleh sebentar dan menatap Zira dengan penuh perhatian. "Kalau ada apa-apa, jangan dipendam sendiri, ya."Zira mengangguk pelan. Meski masih merasa sedikit gelisah, ia merasa tenang karena memiliki teman-teman yang peduli.***Beberapa jam kemudin Bel pulang sekolah akhirnya be