Perlombaan pun telah usai, begitu pula dengan jam pelajaran olahraga. Pak Tomi berdiri di tengah lapangan, menatap para murid yang masih terengah-engah setelah pertandingan.
"Anak-anak, untuk perlombaan hari ini sudah selesai, dan jam pelajaran olahraga pun sudah habis. Sekarang, kalian berganti baju untuk pelajaran selanjutnya," ujar Pak Tomi dengan suara tegas namun hangat. "Baik, Pak!" serentak para murid menjawab sebelum bergegas ke ruang ganti. Tak lama kemudian, bel berbunyi, menandakan dimulainya jam pelajaran berikutnya. Semua murid kembali ke kelas dan mulai belajar dengan serius. Namun, di tengah suasana tenang itu, Zalleon tampak diam, merenung sambil menatap Zira. Pikirannya melayang jauh. Bagaimana caraku mendapatkan kembali kekuatan dan lambangku? batinnya. Arka, yang duduk di sebelahnya, memperhatikan tatapan kosong Zalleon. Dengan iseng, dia menyenggol bahu sahabatnya itu. "Jangan dipandangin terus, Leo. Nanti bisa jatuh cinta loh!" goda Arka dengan senyum jahil. Zalleon terkejut dan segera mengalihkan pandangannya. "Ah, iya, Ar!" jawabnya gugup. Arka semakin tergelitik. "Kenapa, Leo? Kamu suka sama Zira ya?" tanyanya sambil tersenyum penuh arti. "Enggak, Ar!" Zalleon tersenyum tipis, berusaha menyangkal. "Gak apa-apa, Leo. Jujur aja. Nanti gue bantu bilangin ke dia nih!" goda Arka lebih lanjut. "Ya ampun, Ar! Sudahlah!" Zalleon menghela napas panjang, merasa tak ingin melanjutkan percakapan ini. Arka pun masih terus meledeknya sambil menyenggol bahunya. Namun, tawa kecil mereka terhenti saat guru yang sedang mengajar memperhatikan mereka. "Arka! Kenapa kamu ribut sendiri?!" tegur sang guru dengan nada sedikit kesal. Semua murid langsung menoleh ke arah Arka dan Zalleon, membuat mereka menjadi pusat perhatian. "Hmm... nggak ada, Bu," jawab Arka dengan canggung. "Kalau begitu, coba kamu jelaskan kembali materi yang tadi Ibu jelaskan!" perintah guru itu dengan tatapan tajam. Arka menelan ludah, berpikir keras. "Hmm... tadi Ibu menjelaskan tentang... eh..." Kelas menjadi hening, menunggu jawabannya. "Oh iya! Tadi Ibu menjelaskan tentang... kenapa benda yang jatuh di Bumi mengalami percepatan gravitasi..." katanya ragu. "Terus?" sang guru menunggu kelanjutan jawabannya. Arka berpikir cepat, lalu menjawab dengan percaya diri, "Benda yang jatuh di Bumi mengalami percepatan gravitasi karena... 'berpikir keras'. Bumi itu pemarah! Semakin jauh benda jatuh, semakin cepat dia ingin benda itu sampai ke tanah supaya tidak mengganggu udara di sekitarnya. Jadi, makin tinggi jatuhnya, makin cepat Bumi menyuruhnya turun!" Seluruh kelas langsung meledak dalam tawa. Jawaban Arka yang konyol benar-benar membuat suasana kelas mencair. Namun, Arka sendiri merasa malu. Guru hanya menggeleng sambil tersenyum kecil. "Arka, Arka... Makanya kalau Ibu sedang menjelaskan, perhatikan baik-baik! Jangan sibuk sendiri!" "Iya, Bu. Maaf..." jawab Arka dengan wajah tertunduk. Tak lama kemudian, bel istirahat berbunyi. "Baiklah, anak-anak. Istirahat dulu. Besok kita lanjutkan lagi pelajarannya!" kata sang guru sebelum meninggalkan kelas. "Iya, Bu!" jawab seluruh murid dengan semangat. *** Saat waktu istirahat suasana koridor sekolah langsung dipenuhi suara langkah kaki para siswa yang berbondong-bondong menuju kantin. Namun, di antara kerumunan itu, ada empat sosok yang mencuri perhatian lebih dari siapa pun. Arka, Zalleon, Saka, dan Agra berjalan berdampingan dengan langkah santai. Wajah mereka tenang, seolah tidak terganggu oleh sorakan dan bisikan penuh kekaguman dari para siswi yang memandangi mereka dengan tatapan berbinar. "Wah, mereka tampan sekali!" bisik seorang siswi dengan suara tertahan. "Iya! Aku berharap ada di antara mereka yang jadi pacarku!" sahut yang lain penuh semangat. Beberapa siswi bahkan tak ragu untuk memanggil nama mereka. "Arkaaa!" "Leooo!" "Agraaaa!" "Sakaaa!" Namun, di tengah euforia yang melingkupi keempat cowok itu, Zira hanya menatap mereka dengan ekspresi datar. Tidak seperti teman-temannya, Lia dan Manda, yang jelas-jelas terpesona. "Wah, mereka benar-benar tampan!" seru Manda dengan mata berbinar. "Iya! Aku ingin punya pacar seperti mereka!" tambah Lia, nyaris berbisik. Zira menghela napas dan menggeleng pelan. Baginya, wajah tampan saja tidak cukup untuk membuat seseorang menarik. Dia memang tidak menyangkal bahwa keempat cowok itu punya daya tarik tersendiri, tapi tetap saja bukan sesuatu yang membuatnya terkesan. "Kenapa sih kamu biasa aja, Zira?" tanya Manda heran. Zira mengangkat bahu. "Ganteng doang nggak cukup buat bikin aku terpesona." Lia mendengus. "Mereka itu bukan cuma ganteng doang, tahu! Mereka adalah Luminous Four, bintang sekolah yang punya bakat dan kemampuan luar biasa!" Zira hanya mengangguk seadanya, tidak tertarik untuk memperpanjang pembicaraan. *** Saat mereka tiba di kantin, suasana semakin riuh. Hampir semua siswi tampak berusaha menarik perhatian Arka, Zalleon, Saka, dan Agra, yang kini sedang memilih makanan di salah satu stan. Beberapa bahkan menawarkan tempat duduk atau membawakan minuman. Zira menggeleng pelan. "Norak banget," gumamnya. Namun, baru saja ia ingin berbalik untuk memesan makanannya sendiri, tiba-tiba seseorang menabraknya dari belakang. Tubuhnya hampir kehilangan keseimbangan, tetapi sebelum ia sempat jatuh, sebuah tangan sigap menangkap lengannya. "Eh, hati-hati," suara itu terdengar dalam dan lembut. Zira mendongak. Sepasang mata cokelat gelap menatapnya dengan ekspresi tenang. Zalleon. Suasana kantin yang ramai seketika terasa lebih sunyi bagi Zira, meskipun di sekeliling mereka masih penuh dengan suara orang berbicara. "Kamu nggak apa-apa?" tanya Zalleon singkat sambil melepaskan pegangan tangannya. Zira segera berdiri tegak, menghindari tatapan leo. "Nggak apa-apa," jawabnya datar. Namun, ketika ia berbalik hendak menjauh, sesuatu yang aneh terjadi. Lambang di pergelangan tangannya, yang selama ini tampak seperti tato, tiba-tiba mengeluarkan cahaya. Cahaya keemasan berkilauan samar, tapi cukup nyata untuk membuat Zira membelalakkan mata. Panik, ia segera menutupinya dengan tangan dan berlari keluar dari kantin, tanpa memedulikan tatapan bingung yang ditujukan padanya termasuk dari Zalleon. Zalleon masih berdiri di tempatnya, menatap kepergian Zira dengan ekspresi penuh tanya. *** Saat Di meja kantin, Arka, Saka, dan Agra sudah duduk dengan santai, menikmati makan siang mereka,dan arka membuka obrolan "Sumpah, tadi kayaknya semua cewek terpesona sama ketampanan gue!" ujar Arka dengan percaya diri. Agra mendengus. "Kepedean lu!" Zalleon, yang baru saja duduk di kursinya, mengerutkan kening. "Iya, ya... Kenapa mereka semua pada terpesona?" tanyanya heran. Saka menatapnya santai. "Leo, kamu belum sadar ya? Kita ini memang terkenal." Arka mengangguk setuju. "Betul!" Zalleon masih tampak kebingungan. "Terkenal karena apa? Kita kan biasa-biasa aja..." Agra tertawa kecil. "Ya ampun, Leo. Nih, gue jelasin. Gue ketua OSIS dan atlet junior basket. Arka itu musisi band sekolah. Saka atlet renang junior. Dan kamu..." Agra menepuk bahu Zalleon. "Kamu sangat tampan, dan semua orang tergila-gila sama kamu." Arka menambahkan dengan bangga, "Makanya, kita disebut LF." "Luminous Four," tambah Saka. "Luminous Four? Artinya apa?" tanya Zalleon dengan alis terangkat. Arka tersenyum lebar. "Luminous berarti bercahaya. Kita ini empat orang yang bersinar di sekolah ini!" katanya dengan tawa ringan. Zalleon hanya bisa tersenyum kecil, tetapi pikirannya masih tertuju pada sesuatu yang lain Zira, yang tiba-tiba berlari dengan ekspresi panik sambil menggenggam dan menutupi lambang di pergelangan tangannya. Apa yang sedang terjadi dengan nya? Pikirnya dalam hati. Sebuah senggolan di bahunya mengagetkan Zalleon dari lamunannya. "Leo!" panggil Agra. "Iya?" "Hobi kamu apa? Kita belum tahu hobi lo," lanjutnya. "Iya, kasih tahu dong!" timpal Arka dengan antusias. Zalleon berpikir sejenak. "Hmm, gue gak punya hobi." Saka mengernyit. "Ah, masa sih? Gak mungkin gak ada hobi lo." "Iya, gue gak punya hobi. Eh, tapi kayaknya hobi gue suka melihat awan deh," jawabnya sambil menatap awan di langit. Ketiga temannya langsung tertawa mendengar jawaban itu. "Hahaha, Leo... Leo..." Arka tertawa keras. "Serius banget sih," tambah Agra sambil terkekeh. "Hahaha, lo unik banget, Leo," kata Saka. Agra lalu berkata, "Gini aja, mending lo ikut gue bertanding basket!" "Atau lo ikut gue latihan band!" Arka menimpali. "Nah, atau lo coba renang bareng gue!" tambah Saka. Mereka bertiga berusaha membujuk Zalleon untuk mencoba hobi baru. Zalleon tampak ragu. "Hmm... Tapi gue gak tertarik sama sekali." Arka menepuk pundaknya. "Ya ampun, Leo! Udah ah, lo coba aja dulu!" "Iya, dari hobi kita masing-masing, siapa tahu lo suka salah satunya!" bujuk Agra. Saka ikut mengangguk. "Betul! Cobain aja!" Akhirnya, setelah sedikit berpikir, Zalleon mengangguk. "Ya udah deh, boleh." Arka langsung merangkulnya. "Oke! Bagus, temanku!" Tak lama kemudian, bel masuk istirahat berbunyi. Suasana sekolah menjadi ramai dengan langkah kaki siswa yang berhamburan kembali ke kelas. Beberapa menit kemudian, bel pelajaran berbunyi lagi, menandakan dimulainya sesi pembelajaran. *** Waktu berlalu, hingga akhirnya bel pulang sekolah menggema di seluruh sudut gedung. Suara kursi bergeser dan obrolan siswa yang mulai berkemas memenuhi kelas. Zalleon meraih tasnya, tapi pikirannya masih dipenuhi oleh kejadian siang tadi. Matanya mencari sosok Zira di antara kerumunan siswa, tapi tak terlihat. "Zalleon, ayo pulang!" seru Arka, menepuk pundaknya. "Iya, sebentar," jawabnya singkat. Saat mereka berjalan keluar kelas, Zalleon masih saja menelusuri kerumunan dengan matanya, berharap menemukan Zira. Namun, sebelum ia bisa melihat lebih jauh, Agra menghampirinya dengan semangat. "Ayo, teman! Kita pulang," ujar Agra sambil merangkulnya. Saka ikut menimpali, "Iya, lo bawa motor kan, Leo?" Zalleon mengangguk. "Iya, gue bawa." Arka menatapnya kagum. "Motor lo keren banget, sumpah, Leo." Zalleon hanya tersenyum kecil. "Enggak ah, Ar." Agra kemudian bertanya, "Pulang bareng, kan, kita?" Arka menggeleng. "Yah, gue gak bisa. Gue ada latihan band nanti." Agra menghela napas. "Yah, udah deh…" Tiba-tiba, Zalleon merasa ragu. Dia masih ingin mencari Zira. Dengan cepat, dia mencari alasan. "Hmm… Gue juga gak bisa. Gue mau pergi ke suatu tempat dulu," ujarnya. Agra mendesah kecewa. "Yah, Leo… Ya udah deh." Saka menepuk pundak Agra. "Ayo, Gra. Kita pulang." "Dah, gue duluan ya!" pamit Agra sambil melambaikan tangan. "Gue juga, bro. Duluan ya!" sahut Saka. Arka pun ikut berpamitan. "Yah, udah, Leo. Gue duluan juga ya. Sampai ketemu besok!" Setelah mereka pergi, Zalleon kembali menyapu pandangannya ke sekeliling. Rasa gelisahnya makin menjadi. Dia harus menemukan Zira. BERSAMBUNGDi antara lautan murid yang berhamburan keluar gerbang sekolah, akhirnya matanya menangkap sosok yang dicarinya. Zira. Gadis itu berjalan dengan langkah pelan, seakan tenggelam dalam pikirannya sendiri.Saat Zalleon dan Zira akhirnya berpapasan, sejenak waktu terasa melambat. Mata mereka bertemu, saling menatap, seolah-olah ada sesuatu yang ingin mereka ungkapkan, tetapi tak satu pun kata keluar dari bibir mereka.Dengan langkah mantap, Zalleon akhirnya menghampiri Zira. Jantung mereka berdegup kencang, seakan ada sesuatu yang menghubungkan mereka lebih dari sekadar pertemuan biasa."Zira," panggil Zalleon pelan.Zira menatapnya, jantungnya berdegup semakin cepat. Ada sesuatu di wajah Zalleon yang membuatnya gelisah. "Ada apa, Leo?" tanyanya dengan suara sedikit gemetar.Zalleon menatap mata Zira dengan serius. "Ada yang ingin kubicarakan denganmu," ucapnya pelan namun tegas.Zira langsung menatapnya penuh tanya. "Bicara apa?"Zalleon menarik napas dalam, lalu melirik sekeliling. Temp
Langit masih kelabu ketika Zalleon menyalakan mesin motornya. Suara knalpot menderu pelan, mengisi kesunyian yang melingkupi mereka. Zira berdiri di sampingnya, sedikit ragu."Kau yakin ingin mengantarku?" tanyanya lagi.Zalleon menoleh, menatapnya serius. "Aku sudah bilang, aku tidak bisa membiarkanmu sendirian setelah apa yang terjadi."Zira menggigit bibirnya, lalu akhirnya menghela napas. "Baiklah..."Dengan sedikit canggung, ia menaiki motor dan duduk di belakang Zalleon. Tangannya ragu-ragu sebelum akhirnya dengan pelan memegang ujung jaket Zalleon."Pegang yang erat," ujar Zalleon tanpa menoleh.Zira mengangguk dan merapatkan pegangannya sedikit lebih kuat. Dalam sekejap, motor melaju meninggalkan sekolah, menyusuri jalanan kota yang mulai diselimuti kabut tipis.Hanya suara mesin dan angin yang mengiringi perjalanan mereka. Zira menatap punggung Zalleon, pikirannya masih dipenuhi kejadian tadi. Lambang itu... kekuatan itu... dan fakta bahwa Zalleon adalah seorang malaikat.Ses
Pagi itu, sinar matahari yang masuk melalui celah jendela membangunkan Zira dari tidurnya. Ia menggeliat pelan, mencoba mengusir rasa kantuk yang masih tersisa. Malam tadi terasa panjang, penuh ketegangan yang masih meninggalkan jejak di pikirannya.Ia duduk di tepi tempat tidur, mengusap wajahnya perlahan. Matanya menyapu sekeliling kamar, mencari seseorang yang semalam ada di sana."Ke mana Leo? Apakah dia sudah pergi?" gumamnya pelan.Namun, yang ia temukan hanya kesunyian. Tatapannya beralih ke lambang di tangannya. Masih sama. Tidak bersinar, tidak berubah. Seakan tidak ada yang terjadi.Entah kenapa, perasaan campur aduk memenuhi dadanya. Apakah semua yang ia rasakan hanya ilusi?Zira menghela napas panjang. Ia bangkit dari tempat tidur, merapikan rambutnya, lalu berjalan menuju kamar mandi untuk bersiap-siap menghadapi hari baru.Begitu turun ke ruang makan, aroma nasi goreng yang menggugah selera menyambutnya. Ibunya tengah sibuk di dapur, seperti biasa.“Kamu kelihatan capek,
Matahari mulai tenggelam, meninggalkan semburat jingga di langit saat motor Zalleon melaju pelan di sepanjang jalan. Angin sore berembus lembut, menerbangkan helaian rambut Zira yang keluar dari helmnya.Zira, yang duduk di belakang Zalleon, mencoba menjaga jarak sejauh mungkin, tapi motor sport yang mereka naiki tidak memberinya banyak pilihan.“Jangan terlalu mundur, nanti jatuh,” kata Zalleon, menyeringai kecil.“Aku nggak bakal jatuh,” sahut Zira cepat.“Oh ya?”Zalleon tiba-tiba menarik gas sedikit, membuat motor bergerak lebih cepat.Zira yang kaget refleks berpegangan erat pada jaket Zalleon. “H-Hey! Apa-apaan sih?! Mau bikin aku jatuh beneran?”Zalleon tertawa kecil. “Katanya nggak bakal jatuh?”Zira mendengus kesal, pipinya memanas karena malu. Ia berusaha melepas tangannya lagi, tapi motor sedikit berbelok, membuatnya kembali berpegangan erat.Zalleon tertawa, sementara Zira terus menggerutu sepanjang perjalanan. Namun, di balik wajah kesalnya, ada senyuman kecil yang tak bi
Keesokan harinya di pagi hari,Zira berjalan santai keluar dari rumahnya, siap berangkat ke sekolah seperti biasa. Tapi, baru beberapa langkah, suara motor yang terlalu familiar tiba-tiba berhenti tepat di sampingnya."Pagi, Zira!"Zira menoleh dan langsung mendapati Zalleon duduk di atas motornya dengan gaya santai, helm tergantung di setang.Zira melipat tangan. "Kenapa kamu di sini?"Zalleon tersenyum lebar. "Jemput kamu, dong."Zira menghela napas. "Aku bisa jalan sendiri.""Tapi hatiku nggak bisa tenang kalau nggak jemput kamu."Zira menatapnya tanpa ekspresi. "Aku nggak butuh dijemput."Zalleon pura-pura berpikir, lalu mendesah dramatis. "Hmm... kalau aku biarin kamu jalan sendiri, gimana kalau tiba-tiba ada sesuatu yang melukai kamu?"Zira mengernyit bingung. "Hah? Sesuatu? Maksudnya?"Zalleon tersenyum kecil, berusaha mengalihkan. "Ya, mana tahu tiba-tiba ada kucing liar yang ngamuk atau... lubang di jalan yang bikin kamu kepleset. Bisa bahaya."Zira menatapnya dengan curiga. "
Matahari mulai meninggi, sinarnya menembus kaca jendela kelas, menerangi setiap sudut ruangan. Zira duduk di bangkunya dengan tatapan kosong ke arah papan tulis. Guru matematika sedang menjelaskan sebuah rumus yang cukup rumit, tetapi pikirannya masih terbayang kejadian pagi tadi.Sara dan gengnya semakin terang-terangan menunjukkan ketidaksukaannya. Itu membuatnya merasa sedikit tertekan, tetapi ia berusaha mengabaikannya.Di sebelahnya, Manda mencolek lengannya. "Zira, kamu dengerin nggak?"Zira tersentak dari lamunannya. "Eh? Apa?"Manda menghela napas. "Kita lagi bahas materi ini. Kamu kelihatan nggak fokus banget dari tadi."Zira tersenyum kecil. "Aku baik-baik aja, kok."Lia, yang duduk di depan mereka, menoleh sebentar dan menatap Zira dengan penuh perhatian. "Kalau ada apa-apa, jangan dipendam sendiri, ya."Zira mengangguk pelan. Meski masih merasa sedikit gelisah, ia merasa tenang karena memiliki teman-teman yang peduli.***Beberapa jam kemudin Bel pulang sekolah akhirnya be
Suasana sekolah pagi itu terasa lebih sibuk dari biasanya. Zira berjalan menuju kelas dengan pikiran yang masih dipenuhi kejadian kemarin. Taman yang indah, percakapan dengan Zalleon, dan perasaan aneh yang semakin tumbuh di hatinya semuanya terasa begitu nyata.Zira menggigit bibirnya pelan. Ia mulai menyadari betapa pentingnya Zalleon dalam hidupnya. Tapi satu hal yang masih mengganggunya apakah Zalleon benar-benar memiliki perasaan yang sama? Atau apakah ia hanya bersikap baik padanya karena alasan lain?Saat Zira melamun di bangkunya, Manda dan Lia menghampirinya dengan wajah penasaran."Zira, kamu kenapa? Dari tadi diem aja," tanya Manda sambil menatapnya curiga.Lia ikut menyelidik. "Kamu mikirin siapa?"Zira tersentak. "Eh? Enggak! Aku cuma... ya, kepikiran aja."Manda dan Lia saling berpandangan lalu tertawa kecil. "Kalau bukan 'seseorang', kenapa wajah kamu merah begitu?" goda Lia.Zira langsung menutupi wajahnya dengan buku. "Sudahlah, jangan ganggu aku!"Tawa mereka masih t
Zira masih bisa merasakan dinginnya air yang membasahi seragamnya saat ia duduk di kelas. Meskipun mata pelajaran sudah dimulai, pikirannya tetap melayang ke kejadian tadi. Tatapan tajam Sara, ejekan gengnya, serta tangan kuat Zalleon yang menariknya keluar dari sana semuanya masih terasa nyata.Ia melirik ke samping. Zalleon duduk di kursinya, wajahnya tetap tenang seperti biasa, tapi ada sesuatu di matanya yang membuat Zira tahu bahwa dia masih marah.Bel pulang akhirnya berbunyi. Semua siswa segera berkemas dan keluar dari kelas. Zira masih memasukkan bukunya ke dalam tas ketika Manda dan Lia mendekat.“Zira, kamu beneran nggak papa?” tanya Manda.Zira tersenyum kecil. “Aku baik-baik aja, kok.”Lia menghela napas. “Kalau ada apa-apa, bilang sama kami ya. Jangan diam sendiri.”Zira mengangguk pelan. Manda dan Lia akhirnya berpamitan lebih dulu. Saat mereka pergi, Zira menoleh ke arah Zalleon yang sudah berdiri di samping mejanya."Aku antar pulang," katanya singkat.Zira tersenyum d
Hari itu, suasana sekolah terasa lebih ringan dari biasanya. Langit biru cerah terlihat dari jendela-jendela kelas, dan angin semilir bertiup lembut melewati lorong-lorong gedung. Suasana yang biasanya penuh hiruk pikuk kini terasa tenang, seolah sekolah sedang bernapas lega.Zira melangkah santai menyusuri lorong kelas sendirian. Di tangannya, sebuah buku sejarah terbuka, menampilkan halaman yang dipenuhi teks tentang perjuangan kemerdekaan. Ia begitu tenggelam dalam bacaan, keningnya sedikit berkerut, mencoba memahami kalimat-kalimat panjang yang kadang membingungkan.Langkah kakinya pelan dan tenang, seiring dengan matanya yang terus menelusuri baris demi baris. Suara sepatu yang menyentuh lantai keramik sesekali menggema, namun Zira tak memperdulikannya. Fokusnya hanya tertuju pada buku di tangannya.Tanpa ia sadari, dari belakang, langkah kaki lain mulai mendekat. Langkah yang lebih ringan, tapi sengaja dipelankan agar tak terdengar. Sosok itu terseny
Beberapa menit kemudian Motor Zalleon berhenti perlahan di depan rumah sederhana bercat putih itu. Zira turun lebih dulu, melepas helm dan merapikan rambutnya yang sedikit berantakan karena angin.Zalleon ikut turun, menaruh helm di atas jok motor. Ia menatap rumah itu sebentar, lalu menoleh ke Zira dengan senyuman tenang.“Terima kasih udah nganterin,” ucap Zira pelan.Zalleon hanya mengangguk. “Kapan pun kamu butuh.”Zira baru saja hendak membuka pagar rumah ketika tiba-tiba terdengar suara langkah cepat dari arah jalan. Ia menoleh dan melihat sosok yang tengah berjalan cepat menghampirinya."Ibu?" panggil Zira, sedikit terkejut.Ternyata benar. Seorang wanita paruh baya dengan rambut dikuncir dan tas belanja di tangan sedang melangkah cepat menuju rumah. Begitu melihat Zira, wajahnya langsung berseri. Namun, pandangannya kemudian jatuh pada sosok Zalleon dan langkahnya seketika terhenti.Mata sang ibu melebar. Ia nyar
Setelah pertemuan singkat itu, Zira kembali ke meja dengan langkah pelan dan pikiran yang penuh. Degup jantungnya belum juga normal. Tapi saat melihat Lia dan Manda yang sedang tertawa kecil membahas sesuatu, Zira menahan diri. Ia duduk seperti biasa, mencoba terlihat tenang. “Kamu dari mana aja?” tanya Lia sambil melirik ke arah Zira. Zira tersenyum tipis. “Ambil buku.” “Lama amat,” gumam Manda. “Ngambil buku atau nyari jodoh?” Zira hanya terkekeh kecil, berpura-pura sibuk membuka buku di depannya. Ia memilih diam. Tak ingin menjelaskan apa pun. Bukan karena tak percaya pada mereka, tapi... ada perasaan aneh yang belum bisa ia mengerti. Tentang Brayen. Tentang tatapannya Zira baru saja membuka halaman pertama bukunya, namun suara langkah kaki yang mendekat tiba-tiba menghentikan aktivitas kecilnya. Brayen. Dengan tenang, tanpa berkata apa pun, ia menarik kursi kos
Pagi itu, Zira terbangun dari tidurnya dengan sedikit malas. Sinar matahari yang masuk melalui celah jendela menyilaukan matanya. Dengan gerakan lambat, ia beranjak dari tempat tidur dan menuju kamar mandi untuk bersiap-siap berangkat ke sekolah. Saat sedang memasang dasi di lehernya, tiba-tiba terdengar ketukan di pintu kamarnya.Tok tok tokTanpa menunggu jawaban, pintu terbuka, menampakkan sosok adiknya, Syafiq, yang berdiri di ambang pintu dengan ekspresi bosan."Kak, turunlah. Ibu sudah menyuruhmu sarapan," katanya dengan nada mendesak.Zira mendengus kesal. "Iya, bawel! Sabar, ini Kakak lagi bersiap!"Syafiq mengangkat bahu. "Baiklah!" katanya sebelum menutup pintu dan pergi.Beberapa menit kemudian, Zira mengambil tasnya dan keluar dari kamar. Ia langsung menuju ruang makan dan duduk di kursinya. Saat sedang menikmati sarapannya, ibunya menatapnya dengan serius."Zira, kapan kamu akan menghadapi ujian tengah semes
Zira merasakan dunianya berputar. Pandangannya menjadi kabur, dan tubuhnya terasa semakin lemah. Nafasnya terasa berat, membuatnya sulit untuk tetap sadar.Tubuhnya oleng, hampir terjatuh ke tanah, tetapi dalam sekejap, sepasang tangan kokoh menangkapnya. Zalleon."Zira!" suaranya terdengar cemas. Ia menahan tubuh Zira dengan hati-hati, memastikan gadis itu tidak benar-benar jatuh.Zira ingin mengatakan sesuatu, tetapi kepalanya terlalu pusing untuk berpikir jernih. Lalu, tiba-tiba, rasa panas yang menyakitkan menjalar dari pergelangan tangannya. Seperti api yang membakar kulitnya dari dalam. Ia mengerang pelan, menggigit bibir menahan nyeri.Zalleon melihat itu. Matanya langsung tertuju pada pergelangan tangan Zira. Jaket yang dikenakan Zira sedikit tersingkap, memperlihatkan lambang yang berada di sana berpendar samar, bercahaya merah seperti bara yang menyala.Zalleon terkejut.Ini tidak mungkin… pikirnya. Lambangnya seharusnya tetap pasif, tidak seharusnya bereaksi seperti ini kec
Keesokan hari di pagi itu, Zira bangun dari tidurnya dengan perasaan campur aduk. Tidur semalam terasa tidak nyenyak, dan pikirannya terus teringat pada Zalleon. Kata-katanya, tindakannya, semuanya seolah terus terputar dalam benaknya.Zira berusaha menepis pikiran itu, berangkat lebih awal dari biasanya untuk menghindari pertemuan dengan sara dan gengnya. Ia tidak ingin mereka lagi-lagi menambah beban pikirannya. Namun, saat ia melangkah ke halaman sekolah, langkahnya terhenti.Di bawah pohon dekat gerbang, Zalleon sudah berdiri, tampak tenang seperti biasanya, meski ada sesuatu dalam tatapannya yang membuat Zira merasa jantungnya berdegup lebih cepat. Zalleon tidak pernah memberi tanda bahwa dia akan menunggu, apalagi di pagi hari seperti ini.Dengan enggan, Zira melangkah mendekat, berusaha berpura-pura tidak melihatnya. Namun, Zalleon tidak membiarkannya begitu saja."Kenapa jalannya cepat sekali?" suaranya terdengar jelas, penuh perhatian. Zira berhenti dan menoleh, mencoba untuk
Zira masih bisa merasakan dinginnya air yang membasahi seragamnya saat ia duduk di kelas. Meskipun mata pelajaran sudah dimulai, pikirannya tetap melayang ke kejadian tadi. Tatapan tajam Sara, ejekan gengnya, serta tangan kuat Zalleon yang menariknya keluar dari sana semuanya masih terasa nyata.Ia melirik ke samping. Zalleon duduk di kursinya, wajahnya tetap tenang seperti biasa, tapi ada sesuatu di matanya yang membuat Zira tahu bahwa dia masih marah.Bel pulang akhirnya berbunyi. Semua siswa segera berkemas dan keluar dari kelas. Zira masih memasukkan bukunya ke dalam tas ketika Manda dan Lia mendekat.“Zira, kamu beneran nggak papa?” tanya Manda.Zira tersenyum kecil. “Aku baik-baik aja, kok.”Lia menghela napas. “Kalau ada apa-apa, bilang sama kami ya. Jangan diam sendiri.”Zira mengangguk pelan. Manda dan Lia akhirnya berpamitan lebih dulu. Saat mereka pergi, Zira menoleh ke arah Zalleon yang sudah berdiri di samping mejanya."Aku antar pulang," katanya singkat.Zira tersenyum d
Suasana sekolah pagi itu terasa lebih sibuk dari biasanya. Zira berjalan menuju kelas dengan pikiran yang masih dipenuhi kejadian kemarin. Taman yang indah, percakapan dengan Zalleon, dan perasaan aneh yang semakin tumbuh di hatinya semuanya terasa begitu nyata.Zira menggigit bibirnya pelan. Ia mulai menyadari betapa pentingnya Zalleon dalam hidupnya. Tapi satu hal yang masih mengganggunya apakah Zalleon benar-benar memiliki perasaan yang sama? Atau apakah ia hanya bersikap baik padanya karena alasan lain?Saat Zira melamun di bangkunya, Manda dan Lia menghampirinya dengan wajah penasaran."Zira, kamu kenapa? Dari tadi diem aja," tanya Manda sambil menatapnya curiga.Lia ikut menyelidik. "Kamu mikirin siapa?"Zira tersentak. "Eh? Enggak! Aku cuma... ya, kepikiran aja."Manda dan Lia saling berpandangan lalu tertawa kecil. "Kalau bukan 'seseorang', kenapa wajah kamu merah begitu?" goda Lia.Zira langsung menutupi wajahnya dengan buku. "Sudahlah, jangan ganggu aku!"Tawa mereka masih t
Matahari mulai meninggi, sinarnya menembus kaca jendela kelas, menerangi setiap sudut ruangan. Zira duduk di bangkunya dengan tatapan kosong ke arah papan tulis. Guru matematika sedang menjelaskan sebuah rumus yang cukup rumit, tetapi pikirannya masih terbayang kejadian pagi tadi.Sara dan gengnya semakin terang-terangan menunjukkan ketidaksukaannya. Itu membuatnya merasa sedikit tertekan, tetapi ia berusaha mengabaikannya.Di sebelahnya, Manda mencolek lengannya. "Zira, kamu dengerin nggak?"Zira tersentak dari lamunannya. "Eh? Apa?"Manda menghela napas. "Kita lagi bahas materi ini. Kamu kelihatan nggak fokus banget dari tadi."Zira tersenyum kecil. "Aku baik-baik aja, kok."Lia, yang duduk di depan mereka, menoleh sebentar dan menatap Zira dengan penuh perhatian. "Kalau ada apa-apa, jangan dipendam sendiri, ya."Zira mengangguk pelan. Meski masih merasa sedikit gelisah, ia merasa tenang karena memiliki teman-teman yang peduli.***Beberapa jam kemudin Bel pulang sekolah akhirnya be