°°°°°
" Gena, sini nak duduk." Titah Adnan lembut menepuk sofa.
" Eh, iya Pah."
Berjalan pelan Gena ikut duduk di samping Mariana. Gadis itu harap - harap cemas saat ini. Entah kenapa dia merasa seakan mau diadili oleh kedua orang tuanya dan juga sosok Moriz.
" Karena Gena juga udah datang, jadi Anda mau berbicara apa Tuan Moriz?"
Adnan kembali bersuara mencoba memecah keheningan yang ada, setelah kepulangan Gena barusan.
Moriz menganggukan kepalanya pelan. Sebelum dia berbicara mengutarakan niatnya datang ke sini.
" Tak perlu formal seperti itu, Tuan Adnan. Panggil saja saya dengan sebutan nama." Ujarnya, " sebelumnya saya ucapkan terima kasih untuk sambutan baik anda dan istri terhadap kedatangan saya yang mendadak ini, tanpa memberi kabar lebih dulu." Ucapnya sengaja di jeda,
yang membuat ketiga orang tersebut begitu penasaran apa maksud kedatangan Moriz kekediaman mereka ini.
" Saya tidak akan berbasa - basi, saya ingin melamar putri anda Tuan adnan, atau Genandra Pransetya untuk menjadi calon istri saya."
Sangking terkejutnya dengan pernyataan Moriz, Gena menutup mulutnya tak percaya. Sungguh hari ini rasanya begitu banyak kejutan untuknya.
Sedangkan kedua orang tuanya saling melempar pandang lalu tersenyum kecil. Adnan maupun Mariana sejujurnya dalam hati mereka tak kalah terkejutnya dari Gena.
Namun, mereka mampu mempertahankan ekspresi wajah mereka. Keduanya sama - sama menatap pada Moriz sembari tersenyum lembut.
" Apa Nak Moriz tidak salah berbicara? Maksudnya apa yang tadi kamu ucapkan itu benar - benar? Atau hanya bercanda saja. " kali ini Mariana yang bertanya pada Moriz.
Sudah Moriz duga, pasti orang tua Gena akan menanyakan hal ini padanya. Bagaimana pun selama dirinya di kejar - kejar oleh Gena. Tak sekali pun dia menunjukan respon atau reaksi apapun itu.
" Tentu saja saya sedang tidak bercanda Nyonya. Saya sangat serius dengan ucapan saya yang ingin melamar Gena. Jadi, bagaimana? Apakah lamaran saya ini di terima atau sebaliknya?"
" Soal di terima atau tidaknya, saya sebagai seorang Ayah akan menyerahkan jawabanya pada Gena langsung." Jawab Adnan.
Adnan lalu menatap putrinya yang terlihat masih syok di tempatnya. Mariana menepuk paha Gena, menyadarkan gadis itu. menggenggam tangan anaknya dan ternyata terasa begitu dingin, Mariana memaklumi itu.
Ini sebuah reaksi yang wajar pada putrinya. Dirinya juga pasti akan merasakan hal yang sama, jika tengah berada dalam situasi tak terduga dan mendadak seperti ini.
" Sayang, jadi gimana? Kamu mau atau tidak menerima lamaran Nak Moriz?" Mariana bertanya dengan lembutnya sembari tangan satunya mengelus punggung Gena.
Gena menoleh menatap Ibunya, dia sebenarnya ingin sekali langsung berteriak menjawab ' IYA ' menerima lamaran Moriz.
Tapi dia menahanya sekuat tenaga. Tak mungkin kan, dia bersikap gampangan seperti itu. Setidaknya dia harus terlihat berpikir keras dan jual mahal pada Moriz.
Meski dalam hatinya bersorak senang dan tak tahan ingin segera melompat - lompat. Sangking merasa bahagianya saat, ini tiba - tiba di lamar oleh Moriz. Entah semalam saat dia tidur bermimpi apa?
Sampai mendapatkan hal yang selama berbulan - bulan lamanya dia hayalkan. Sebentar lagi akan menjadi kenyataan tentunya.
" Ehem, apa Mamah dan Papah setuju, jika aku menerima lamaran dari Om Moriz?" Gena malah bertanya pada kedua orang tuanya lebih dulu.
" Mamah dan Papah akan mendukung apapun keputusan kamu, Nak." Sahut Mariana cepat, di ikuti anggukan oleh Adnan juga.
" Jadi bagaimana, Gena?"
Moriz yang tak sabar menunggu apa jawaban dari Gena. Kembali bertanya, entah kenapa hatinya merasa cemas. Takut malah akan mendapat sebuah penolakan.
Di sudut hatinya yang paling dalam, ada rasa takut akan mendapat jawaban yang tak sesuai dari Gena. Tapi bukankah hal inilah yang tadi gadis itu inginkan darinya. Meminta sebuah tanggung jawab, atas ciuman pertamanya.
Dia sudah dengan suka rela mempertaruhkan harga dirinya, demi mengikuti ancaman Gena. Egonya yang begitu tinggi harus dia rendahkan di depan kedua orang tua Gena.
" Gena,"
Moriz merasa sangat gemas sekali, dia menatap Gena dengan raut wajah terlihat sekali tak sabaran ingin mendengar jawaban dari Gena.
" Iya, iya. Sabar Om!" Gena menghela nafas sebelum kembali berucap. " Ya, aku mau menikah sama Om Moriz." Jawabnya dengan tersenyum manis.
Moriz mengerjapkan matanya beberapa kali. Dia berusaha mencerna apa yang tadi Gena katakan sebagai jawaban atas lamaranya itu.
Setelah beberapa saat, otak pintarnya kembali kesetelan pabrik. Moriz mengembangkan senyum tipisnya tanpa sadar. Dan hal itu malah membuat Gena terpukau.
Ini kali pertamanya bisa melihat senyum Moriz. Meski hanya senyum kecil dan sesaat saja, tapi mampu membuat hatinya meleleh seketika.
" Selamat Nak Moriz, putri saya telah menerima lamaran anda."
Ucapan selamat di berikan Adnan pada Moriz, terdengar begitu tulus sekali. Pria paruh baya itu tak menyangka, putrinya akan berakhir di persunting oleh rekan kerjanya sendiri.
" Entah apa yang membuat Nak Moriz mau melamar Gena? Yang jelas saya sebagai Ibunya merasa sangat bahagia, Gena bisa mendapatkan pria baik seperti anda."
Mariana ikut bersuara, dia bahkan sampai meneteskan air matanya. Dengan cepat mengusap air mata di sudut matanya. Dia sebagai orang yang melahirkan Gena, sangat - sangat bersyukur.
Memilih Moriz sebagai calon suami, adalah pilihan tepat untuk hidup Gena nantinya. Bukan hanya sekedar karena Moriz kaya saja. Tapi pria itu juga sudah pasti akan bertanggung jawab nantinya.
Dalam kehidupan Gena yang sedari kecil terjamin. Mariana akan sangat tenang melepas putrinya untuk hidup bersama Moriz. Walau pun perbedaan usia keduanya cukup jauh.
Namun, tak membuat Mariana ragu akan sosok Moriz. Lagi pula usia berapa pun tak akan menjadi alasan jika memang sudah di takdirkan berjodoh. Tuhan akan tetap mempertemukanya.
" Terima kasih sudah mau menerima lamaran saya." Moriz berucap tulus menatap Gena.
" Karena sepeti yang kalian tahu, saya tidak memiliki orang tua maupun keluarga lainya. Bisakah sekalian kita membicarakan tanggal pernikahanya?"
" P -pernikahan?" Tanya Gena terbata.
" Ya pernikahan, bukankah tadi kamu sudah menerima lamaran saya?"
" Iya sih, tapi apa secepat ini membicarakan tanggal pernikahan?"
" Nak, hal baik itu memang harus di segerakan. Apalagi ini tentang pernikahan, memang lebih baik di langsungkan secepatnya." Mariana mencoba memberi pengertian pada Gena.
" Benar kata Mamah, sayang. Tak ada alasan untuk menunda sebuah pernikahan."
Kalau kedua orang tuanya sudah bersuara, tentu saja Gena tidak lagi bisa membantahnya. Gadis itu menghela nafasnya pelan, lalu mengangguk pasrah.
Dia menurut saja apa kata orang tuanya. Dia berharap keputusan hari ini, tak akan pernah menjadi sebuah penyesalan di suatu hari nantinya.
Dia begitu yakin, setelah resmi menikah dan menjadi istri dari Moriz. Gena akan jauh lebih bahagia dari hidupnya saat ini. Menjalani hidup bersama orang yang di cintainya,
Gena pastikan akan dia lalui dengan senyuman dan canda tawa. Tak akan ada tangisan sakit hati maupun penyesalan.
°°°°°
°°°°°Terhitung sudah satu minggu berlalu. Setelah acara lamaran mendadak dari Moriz untuk Gena. Kini tinggalah acara pesta pernikahan keduanya yang akan di gelar nanti malam.Gena merasa begitu gugup dan takut, kini tengah sibuk mondar - mandir di dalam kamarnya sendiri. Tinggal Beberapa jam lagi pestanya akan di mulai.Namun, rasa gugupnya tak kunjung hilang. Malah bertambah saja. Dia masih tak percaya akan secepat ini menikah. Apalagi itu dengan sosok pria yang dia kagumi." Apa kamu tak bisa diam, Gen?" Dara mendengus jengah melihat tingkah laku sahabatnya itu. Dia rasanya pusing sejak tadi mendapati Gena terus saja berjalan mondar - mandir di depanya." Duduklah, dan coba tenang sedikit. Kamu itu akan menikah, bukan ingin pergi bertempur ke medan perang."Dara menarik paksa tangan Gena. Mendudukan tubuh sahabatnya itu di atas kasur sebelahnya. Membuat Gena mau tak mau menurut saja, dari pada mendapat protes lagi." Aku sangat gugup sekali, Dar." Adunya." Ya, aku tahu. Tapi coba
°°°°°" Emmhhptt ... "Di dalam kamar hotel beraroma lavender, pasangan yang hari ini baru saja halal. Tengah saling mencumbu satu sama lainya.Gena begitu menikmati ciuman keduanya itu dengan Moriz. Bahkan tanpa kesulitan sedikitpun, Moriz sembari membuka jas yang melekat di tubuhnya.Dan melemparnya secara asal. tanganya kembali bergerak mngapit kepala Gena. Membuat ciuman mereka semakin dalam.Gena hanya bisa pasrah saja, saat tubuhnya semakin di himpitkan ke dinding kamar. Keduanya terlalu larut dalam ciuman tersebut.Merasa sudah akan kehabisan nafasnya, Gena mencoba mendorong tubuh Moriz. Namun, tak ada perubahan sama sekali. Sampai percobaan kedua, dengan mengerahkan seluruh tenaganya.Gena akhirnya berhasil melepas pangutan keduanya. Dengan bibir yang sudah terlihat bengkak dan memerah. Belum lagi rambut yang tadinya tertata rapi,Kini sudah berantakan sekali oleh ulah Moriz, pastinya. Moriz menggeram lirih, merasa kesal saat tubuhnya di dorong begitu saja oleh Gena.Belum lag
....."Sudah bangun?"Suara serak namun malah terdengar sexy itu, menyapa indra pendengaran Gena. Gadis itu, aahh bukan! Dia sudah bukan gadis lagi.Gena mengerjakan matanya beberapa kali, untuk menyesuaikan cahaya. Di sekitarnya. Senyum malu - malu wanita itu perlihatkan pada Moriz sang suami.Moriz menaikan sebelah alisnya. Lalu bertanya, "kenapa?" Dan Gena hanya menjawab dengan menggeleng pelan saja." Bangunlah, akan ku siapkan air hangat untukmu"Belum sempat Gena menjawab ucapan Moriz barusan. Pria itu sudah lebih dulu beranjak turun dari atas ranjang.Gena yang melihatnya melotot tak percaya. Bagaimana tidak! Moriz tanpa rasa malu melenggang berjalan masuk kedalam kamar mandi, tanpa memakai pakaian apapun."Ya Tuhan ..." Gumam Gena pelan.Wanita itu memilih menutupi seluruh tubuhnya sampai kepala. Malah kini dialah yang merasa malu melihat suaminya bertelanjang seperti itu.Tengah asyik melamun, tiba - tiba saja selimut yang menutupi tubuhnya terbuka. Gena terlonjak kaget bukan
.....Gena memilih duduk di pinggir kasur, menghadap kearah kaca balkon kamar tersebut. Matanya malah sibuk memindai seluruh isi kamar.Kamar yang akan menjadi kamarnya juga. Terlihat cukup luas dengan di dominasi warna putih. Moriz masih menatap Gena. Menunggu istrinya menjawab pertanyaannya tadi. Dia yakin jika Gena ingin menanyakan sesuatu padanya."Om!" Panggilnya lagi. Namun kali ini tak melirik kearah Moriz." Apa kamu bisa berhenti memanggilku dengan sebutan, Om!" Decaknya kesal. Merasa tak suka.Moriz merasa belum setua itu untuk di panggil menggunakan kata, Om. Dia dan Gena hanya beda delapan tahun saja."Eh," Gena baru menoleh mendengar protes Moriz padanya itu."Terus aku harus manggil apa?""Terserah. Asalkan jangan panggilan Om lagi."Gena berpikir akan mengganti panggilan apa, sekiranya cocok untuk Moriz."Gimana kalau Abang? Mas, atau Kak?"Moriz kembali menoleh, " panggil Mas saja, itu lebih baik.""Oh, ok!"Keduanya lalu sama-sama terdiam, larut dalam pikiran masing-
....."Eeuugghhh ... Udah,""Udah? Bahkan saya belum sekalipun pelepasan."Moriz tak memperdulikan rengekan Gena yang meminta untuk menyudahi permainan mereka."Nikmati saja, sayang" Moriz merunduk menciumi leher lalu turun memainkan kembali buah dada Gena. Wanita itu rasanya ingin menangis.Namun, apalah daya. Tubuhnya malah mengkhianati hatinya. Respon dari tubuhnya malah seakan meminta terus di jamah oleh tangan Moriz.Tak sampai disitu, Moriz juga tak segan-segan menghentak kuat miliknya. agar masuk lebih dalam lagi didalam inti Gena.Tanpa melepas penyatuan mereka. Moriz membalikan tubuh Gena memunggunginya. Di posisi seperti ini menambah kegilaan seorang Moriz tentunya."Aaakkhhh ... " Teriak Gena cukup kencang.Dia merasa kaget sekaligus sedikit linu karena posisinya di ganti begitu saja, Tanpa aba-aba sebelumnya."Uugghhh ... Pelan, Mas!' pintanya dengan mata memejam menikmati hujaman dari Moriz.Bukanya menuruti ucapan Gena, Moriz malah menambah kecepatan tubuhnya. Kedua tan
...... Di sinilah kini Moriz berada. di sebuah taman tak jauh dari rumahnya. Sia sengaja memilih keluar dan meninggalkan Gena begitu saja. Moriz mengusap wajahnya kasar. menjambak rambutnya sesekali, guna menyalurkan emosinya yang tengah menggebu-gebu. Dia merasa sangat marah, saat melihat Gena sedang memegang bingkai berisi foto yang selama ini dia simpan di lemari pakaiannya. Padahal istrinya itu tak melakukan apapun. hanya sekedar memegang saja. Tapi dia seakan di pancing emosinya, hingga ingin meledak saat itu juga pada Gena. "Sial!" umpatnya sembari kakinya menendang angin. Baru saja dia pulang setelah membeli makanan, yang niatnya ingin ia makan bersama Gena. Namun, siapa sangka malah terjadi ketegangan pada keduanya. Sebenarnya ini salahnya. Karena menaruh bingkai tersebut bukan di tempat yang aman. Dia lupa memindahkannya lebih dulu. Pada akhirnya Gena bisa melihat foto tersebut. Untung saja istrinya tak bertanya aneh-aneh tentang foto itu. Tapi dengan perginya dia be
......Dengan terpaksa, Gena makan malam sendirian. Rasa lapar yang tadinya begitu terasa. kini entah pergi kemana. Mencoba menelan makanan di mulutnya, sembari berpikir kenapa semuanya tiba-tiba malah jadi rumit seperti ini?Pernikahan yang dari awal dia impikan indah, malah justru mendadak kacau secara mendadak. Hanya karena sebuah bingkai foto yang tak sengaja dia temukan di dalam lemari.Akhirnya makanan tersebut habis juga tanpa dia sadari. Lantas beranjak dari duduknya untuk mencuci piring tersebut di wastafel.Masih dengan pikiran tak tenang, Gena terpikirkan sebuah ide ingin membuatkan minuman seperti kopi maupun teh untuk sang suami."Ya aku bikinin minuman aja."Dengan wajah kembali cerah, Gena bergegas membuat kopi dan akan dia antarkan ke ruang kerja Moriz.Akhirnya setelah beberapa kali mencobanya, kopi buatnya jadi juga. Hanya membuat satu cangkir kopi saja, Gena membutuhkan waktu bermenit-menit lamanya.Mungkin bagi sebagian besar wanita diluaran sana, membuat kopi ada
.....Tak terasa pernikahan Gena dan Moriz, kini sudah memasuki bulan pertama. Dari kejadian saat Gena ketumpahan kopi.Sikap Moriz kembali berubah manis pada Gena. Dan hal itu juga membuat Gena tak merasa kalau sudah satu bulan hidup bersama Moriz."Selesai"Gena bertepuk tangan bangga. Melihat makanan yang sudah dia siapkan, dan akan dia antarkan ke kantor Moriz.Selama sebulan ini, Gena memang belajar memasak berbagai makanan. Dia bahkan sampai ikut les memasak setiap hari Rabu dan Jumat.Belum lagi, dirinya selalu meminta resep pada Mariana sang Mamah. Dia ingin menjadi sosok istri yang baik.Bisa melayani Moriz dalam berbagai hal. Tak hanya sekedar di ranjang saja. Gena benar-benar bekerja keras untuk bisa membuat Moriz senang.Untungnya, Moriz mengijinkannya dan tak melarang apapun yang ingin dia lakukan. Selama itu hal baik.Bahkan Mariana sampai takjub pada perubahan besar putrinya itu. Dia sangat senang sekali, saat Gena berniat belajar memasak....."Mamah masih gak nyangka
....."Mas kangen, sayang"Moriz memeluk Gena dari arah belakang. Keduang tanganya bergerilya kemana-mana. Menciumi cuping telinga Gena, sembari mengendus-ngendus leher Gena.Memberi gigitan kecil disana. Gena di buat terangsang oleh perbuatan Moriz. Namun, Hena harus secepatnya mengakhiri kegiatan Moriz ini.Sebelum suaminya semakin terbakar gairahnya. Buru-buru Gena membalikan tubuhnya. Membuat Moriz seketika berhenti dengan aksinya menciumi Gena."Mas, stop!" Cegahnya, membungkam mulut Moriz menggunakan telapak tanganya."Kenapa, sayang?" Tanya Moriz sedikit kesal di buatnya.Dia sedang asyik menikmati kegiatanya, namun harus di hentikan secara tiba-tiba oleh istrinya itu."Jangan lanjutin lagi, aku lagi datang bulan." Beritahunya, memperlihatkan wajah seakan menyesal."Ck!" Moriz berdecak, kali ini dia benar-brnar sangat kesal sekali. Menyugar rambutnya kasar, menggeram pelan meluapkan rasa kecewanya."Kenapa gak bilang dari tadi?" Dengusnya menatap Gena."Loh, kok malah marah sih
.....Adnan memijat pelipisnya yang terasa nyeri. Harusnya di umurnya sekarang, dia sudah tak berkutat dengan pekerjaan atau dipusingkan oleh masalah perusahaan.Seperti sekarang ini, Adnan merasa kepalanya pusing dengan pekerjaan yang selalu saja menumpuk di meja kerjanya.Menyandarkan punggungnya di sandaran kursi kebesarannya. Harusnya Gena yang meneruskan perusahaan miliknya ini.Harusnya putri tunggalnya itu yang menggantikan dirinya, menjadi pemimpin di sini. Dan dia tinggal duduk manis menikmati masa tuanya bersama sang istri tercinta.Tangannya menarik laci, berniat mengambil roll on yang biasa ia oleskan di dahinya saat merasa sakit kepala seperti sekarang ini.Namun matanya malah menangkap sebuah benda berbentuk persegi panjang, berwarna hitam. Menatap sebentar benda tersebut.Lalu tangannya bergerak mengambil benda itu. Menekan tombol on off, layar ponsel yang di pegang ya langsung menyala. Menampilkan sebuah foto perempuan di sana.Adnan di buat terpaku di tempatnya. Dia t
.....Moriz menghela nafasnya setelah memarkirkan mobilnya di depan rumah. Menatap kedepan, dimana terlihat jika rumahnya sangatlah sepi.Jam sudah menunjukkan pukul sebelas malam. Rasanya lelah sekali hari ini. Bahkan kemeja yang di pakainya pun sudah sangat berantakan.Dua kancing atas sudah terbuka, dan dasi di lehernya juga dia buka. Melihat ponselnya. Menyalakannya.Dahinya mengernyit tak mendapatkan balasan pesan dari sang istri."Apa Gena sudah tidur?" Tanyanya pada diri sendiri.Dari pada bertanya-tanya tak jelas. Moriz memilih segera turun dari mobil. Tak lupa membawa turun jas dan juga sebuah tote bag berisi cemilan yang sengaja dia beli untuk Gena.Untung saja pintu rumahnya sudah menggunakan Electronik Lo, Moriz hanya tinggal memasukan pin saja dan terbukalah pintu tersebut.Satu kata menyambutnya, yaitu 'sunyi' sangat sunyi dan sepi. Lampu di ruang tamu sudah mati. Tak ada sambutan dari Gena yang dia dapatkan seperti biasanya.Melangkah masuk, menaruh cemilan yang dia baw
....."Saya berangkat dulu," Moriz mencium dahi Gena lalu mengusap kepala istrinya.Sebelum benar-benar pergi, Moriz kembali berucap "Nanti kamu gak perlu nganter makanan ke kantor." Beritahunya.Gena yang mendengar ucapan Moriz barusan,mengeryit heran. Menatap menyelidik pada suaminya."Kenapa?" Heranya. Ini pertama kalinya Moriz melarangnya mengantarkan makan siang ke kantor."Jangan menatap saya seperti itu," sebelum Gena berpikiran macam-macam, Moriz lebih dulu menjelaskan pada wanita itu. Agar nantinya tak terjadi kesalah pahaman diantara keduanya."Nanti siang ada pertemuan dengan klien, di sebuah restoran. Jadi mungkin saya akan sekalian makan siang bersama klien" jelasnya.Gena mengangguk paham, "oh gitu. Aku pikir kamu udah gak mau aku main ke kantor.""Ckk!" Decak Moriz, " Jangan suka berpikir hal macam-macam yang belum tentu itu kebenaran. Ya sudah saya berangkat dulu!"Gena melambaikan tangannya, melihat kepergian mobil yang di tumpangi Moriz. Sampai tak terlihat lagi.Lal
....."Sudah minum vitaminnya?"Moriz merengkuh tubuh Gena dari belakang. Wanita itu tengah mematut dirinya di depan cermin. Sebenarnya dia baru saja selesai mengoles wajahnya dengan serangkaian skincare seperti biasanya."Kenapa sih, Mas? Selalu nyuruh aku buat minum vitamin terus. Aku baik-baik saja loh, Mas."Gena memang merasa sehat-sehat saja. Tanpa perlu mengkonsumsi vitamin pun, dia akan baik-baik saja.Dia juga memakan makanan sehat setiap harinya. Apalagi dia sangat rajin berolahraga setiap pagi sebelum membuat sarapan."Jadi, sudah di minum apa belum?" Moriz tak memperdulikan pertanyaan Gena barusan. Dia malah bertanya kembali, dengan pertanyaan yang masih sama."Udah-udah," sebak Gena.Wanita itu lalu melepas rangkulan Moriz dari tubuhnya. Gena memilih naik keatas ranjang dan langsung merebahkan tubuhnya disana.Dia tak mau berdebat lagi dengan suaminya itu. Cukup sudah tadi siang saja, perdebatan terjadi antara dirinya dan Moriz.Dia terlalu malas melihat sikap maupun sif
.....Tak terasa pernikahan Gena dan Moriz, kini sudah memasuki bulan pertama. Dari kejadian saat Gena ketumpahan kopi.Sikap Moriz kembali berubah manis pada Gena. Dan hal itu juga membuat Gena tak merasa kalau sudah satu bulan hidup bersama Moriz."Selesai"Gena bertepuk tangan bangga. Melihat makanan yang sudah dia siapkan, dan akan dia antarkan ke kantor Moriz.Selama sebulan ini, Gena memang belajar memasak berbagai makanan. Dia bahkan sampai ikut les memasak setiap hari Rabu dan Jumat.Belum lagi, dirinya selalu meminta resep pada Mariana sang Mamah. Dia ingin menjadi sosok istri yang baik.Bisa melayani Moriz dalam berbagai hal. Tak hanya sekedar di ranjang saja. Gena benar-benar bekerja keras untuk bisa membuat Moriz senang.Untungnya, Moriz mengijinkannya dan tak melarang apapun yang ingin dia lakukan. Selama itu hal baik.Bahkan Mariana sampai takjub pada perubahan besar putrinya itu. Dia sangat senang sekali, saat Gena berniat belajar memasak....."Mamah masih gak nyangka
......Dengan terpaksa, Gena makan malam sendirian. Rasa lapar yang tadinya begitu terasa. kini entah pergi kemana. Mencoba menelan makanan di mulutnya, sembari berpikir kenapa semuanya tiba-tiba malah jadi rumit seperti ini?Pernikahan yang dari awal dia impikan indah, malah justru mendadak kacau secara mendadak. Hanya karena sebuah bingkai foto yang tak sengaja dia temukan di dalam lemari.Akhirnya makanan tersebut habis juga tanpa dia sadari. Lantas beranjak dari duduknya untuk mencuci piring tersebut di wastafel.Masih dengan pikiran tak tenang, Gena terpikirkan sebuah ide ingin membuatkan minuman seperti kopi maupun teh untuk sang suami."Ya aku bikinin minuman aja."Dengan wajah kembali cerah, Gena bergegas membuat kopi dan akan dia antarkan ke ruang kerja Moriz.Akhirnya setelah beberapa kali mencobanya, kopi buatnya jadi juga. Hanya membuat satu cangkir kopi saja, Gena membutuhkan waktu bermenit-menit lamanya.Mungkin bagi sebagian besar wanita diluaran sana, membuat kopi ada
...... Di sinilah kini Moriz berada. di sebuah taman tak jauh dari rumahnya. Sia sengaja memilih keluar dan meninggalkan Gena begitu saja. Moriz mengusap wajahnya kasar. menjambak rambutnya sesekali, guna menyalurkan emosinya yang tengah menggebu-gebu. Dia merasa sangat marah, saat melihat Gena sedang memegang bingkai berisi foto yang selama ini dia simpan di lemari pakaiannya. Padahal istrinya itu tak melakukan apapun. hanya sekedar memegang saja. Tapi dia seakan di pancing emosinya, hingga ingin meledak saat itu juga pada Gena. "Sial!" umpatnya sembari kakinya menendang angin. Baru saja dia pulang setelah membeli makanan, yang niatnya ingin ia makan bersama Gena. Namun, siapa sangka malah terjadi ketegangan pada keduanya. Sebenarnya ini salahnya. Karena menaruh bingkai tersebut bukan di tempat yang aman. Dia lupa memindahkannya lebih dulu. Pada akhirnya Gena bisa melihat foto tersebut. Untung saja istrinya tak bertanya aneh-aneh tentang foto itu. Tapi dengan perginya dia be
....."Eeuugghhh ... Udah,""Udah? Bahkan saya belum sekalipun pelepasan."Moriz tak memperdulikan rengekan Gena yang meminta untuk menyudahi permainan mereka."Nikmati saja, sayang" Moriz merunduk menciumi leher lalu turun memainkan kembali buah dada Gena. Wanita itu rasanya ingin menangis.Namun, apalah daya. Tubuhnya malah mengkhianati hatinya. Respon dari tubuhnya malah seakan meminta terus di jamah oleh tangan Moriz.Tak sampai disitu, Moriz juga tak segan-segan menghentak kuat miliknya. agar masuk lebih dalam lagi didalam inti Gena.Tanpa melepas penyatuan mereka. Moriz membalikan tubuh Gena memunggunginya. Di posisi seperti ini menambah kegilaan seorang Moriz tentunya."Aaakkhhh ... " Teriak Gena cukup kencang.Dia merasa kaget sekaligus sedikit linu karena posisinya di ganti begitu saja, Tanpa aba-aba sebelumnya."Uugghhh ... Pelan, Mas!' pintanya dengan mata memejam menikmati hujaman dari Moriz.Bukanya menuruti ucapan Gena, Moriz malah menambah kecepatan tubuhnya. Kedua tan