.....
"Sudah bangun?"Suara serak namun malah terdengar sexy itu, menyapa indra pendengaran Gena. Gadis itu, aahh bukan! Dia sudah bukan gadis lagi.
Gena mengerjakan matanya beberapa kali, untuk menyesuaikan cahaya. Di sekitarnya. Senyum malu - malu wanita itu perlihatkan pada Moriz sang suami.
Moriz menaikan sebelah alisnya. Lalu bertanya, "kenapa?" Dan Gena hanya menjawab dengan menggeleng pelan saja.
" Bangunlah, akan ku siapkan air hangat untukmu"
Belum sempat Gena menjawab ucapan Moriz barusan. Pria itu sudah lebih dulu beranjak turun dari atas ranjang.
Gena yang melihatnya melotot tak percaya. Bagaimana tidak! Moriz tanpa rasa malu melenggang berjalan masuk kedalam kamar mandi, tanpa memakai pakaian apapun.
"Ya Tuhan ..." Gumam Gena pelan.
Wanita itu memilih menutupi seluruh tubuhnya sampai kepala. Malah kini dialah yang merasa malu melihat suaminya bertelanjang seperti itu.
Tengah asyik melamun, tiba - tiba saja selimut yang menutupi tubuhnya terbuka. Gena terlonjak kaget bukan main.
"Om!" Tegurnya tak terima.
"Airnya sudah siap. Mandilah, hari ini kita akan pindah" ujar Moriz memberitahu Gena.
"Pindah, pindah kemana?" Bingungnya.
"Nanti juga kamu akan tahu," jawabanya singkat.
Karena sedikit kesal melihat tak ada pergerakan dari Gena. Membuat Moriz gemas sendiri, lalu tanpa meminta persetujuan lebih dulu dari istrinya itu.
Moriz langsung saja mengangkat tubuh Gena, tanpa menutupinya dengan selimut.
"Om! Turunin gak? Aku bisa jalan sendiri," protesnya.
Moriz berhenti sejenak untuk menundukkan kepalanya menatap wajah Gena, " Kamu yakin bisa jalan?" Tanyanya dengan wajah menyebalkan menurut Gena.
Gena terdiam malah teringat adegan panas semalam yang mereka lakukan bersama. Tanpa Gena sadari keduanya sudah ada di dalam kamar mandi.
Dengan hati-hati Moriz menurunkan Gena, mendudukanya di pinggir bathtub. Gena mendongak menatap Moriz. Keduanya malah saling menatap untuk beberapa saat.
Sampai Moriz bersuara lebih dulu, "berendamlah dulu. Atau mau berendam bersama, hm?" Godanya.
"Eh, enggak!" Sontak saja Gena menolaknya.
Gena segera masuk kedalam bathtub, dan merasakan nyeri diarea intinya. Pantas saja Moriz menggendongnya tadi.
Merendam tubuhnya yang terasa pegal. Gena merasakan sensasi menenangkan dari air hangat tersebut.
Pikirannya kembali mengingat bagaimana semalam Moriz menggagahinya. Dari awalanya begitu lembut penuh kehati-hatian, berubah bringas tak melepasnya begitu saja.
Suaminya itu benar-benar memuaskan dirinya. Sampai Gena merasa tak berdaya, baru Moriz mau menyudahi penyatuan mereka.
Sembari menunggu Gena selesai dengan kegiatannya didalam kamar mandi, Moriz memilih membereskan barang mereka.
Agar nanti tak membuat dia maupun Gena repot. Moriz juga membuka koper milik Gena, mengambil pakaian ganti untuk istrinya.
....
"Jadi kalian mau pindah?" Tanya Adnan menatap anak dan menantunya secara bergantian.
"Benar, Pah. Kami kesini karena ingin meminta ijin membawa putri Papah pindah ke kediaman saya."
Adnan menghela nafasnya pelan, dia sebenarnya merasa berat mengijinkan Gena putri satu-satunya harus pindah.
Namun, mau bagaimana pun kini putrinya sudah menjadi tanggung jawab sang menantu. Yaitu Moriz, yang artinya dia sudah tak berhak lagi mengatur kehidupan Gena.
"Biarin aja, Pah. Memang sudah seharusnya kan Gena ikut Moriz suaminya."
Mariana ikut menimpali. Dia cukup paham pada suaminya yang merasa berat melepaskan putri mereka.
"Lagian nanti Gena pasti bakal sering-sering main kesini kok, Pah." Ujar Gena pada akhirnya.
"Nah, bener tuh. Atau enggak nanti kita yang main jengukin Gena." Mariana tersenyum menyetujui ucapan Gena barusan.
"Ya sudah, mau bagaimana lagi. Papah juga udah gak ada hak ngelarang kamu. Sekarang kamukan udah jadi tanggung jawab Moriz. Papah cuman minta sama kamu Moriz, tolong jaga Gena baik-baik dan jangan sesekali sakitin dia, atau saya akan membawa Gena pergi."
"Tentu saja, Pah. Saya akan menjaga Gena dan membahagiakanya. Tidak mungkin kan, saya hanya membuatnya menderita," jawabnya menatap Adnan dengan sorot mata yang sulit diartikan.
Sedangkan Mariana dan Gena tak menyadari dengan tatapan Moriz pada Adnan. Keduanya sibuk berpelukan untuk berpamitan, sebelum Gena benar-benar pergi.
Adnan sejenak termangu di tatap seperti itu oleh Moriz. Lalu setelahnya dia merasa biasa saja. Adnan beranggapan, jika Moriz memang seperti itu.
"Kalau sudah sampai kabarin Mamah ya, sayang?"
"Siap, Mah! Kalau gitu kita pergi dulu."
Mariana melambaikan tangannya. menatap kepergian mobil yang di tumpangi Gena dan Moriz, sudah mulai menghilang dari pandangannya.
"Ayok, masuk!" Ajak Adnan merangkul pundak sang istri.
"Semoga Gena selalu bahagia ya, Pah."
"Mamah gak perlu khawatir, Papah yakin sama Moriz. Dia akan membahagiakan putri kita itu."
"Aamiin ... "
...
Di dalam mobil keduanya tak terlibat percakapan apapun. Gena juga memilih menyenderkan punggungnya pada sandaran jok mobil.
Entah kenapa dia masih merasa lelah dan ingin kembali tidur lagi. Rasanya dia masih butuh istirahat, agar tubuhnya kembali kesediaan kala.
"Mau makan?"
Perkataan Moriz barusan membuat Gena menoleh pada suaminya. Dia yang tadinya sudah memejamkan matanya, kini kembali terbuka.
"Di rumah aja. Emangnya di rumah Om gak ada makanan?" Tanya Gena masih menatap ke arah Moriz.
"Tentu saja ada. Kamu pikir saya semiskin apa sampai tak memiliki makanan di rumah?" Dengusnya sedikit merasa kesal.
Gena mengerutkan dahinya bingung. Padahal diakan hanya bertanya saja, tapi kenapa Moriz malah seakan tersinggung dengan pertanyaanya tadi.
"Akukan cuma nanya, Om. Ya udah sih kalau ada. Kita makan di rumah aja kalau gitu."
"Hm,"
Setelahnya tak ada lagi pembicaraan dari keduanya. Sampai mobil mereka berhenti di halaman sebuah rumah berlantai dua.
Tanpa menunggu perintah dari sang empu, Gena ikut turun dari mobil. Menatap kedepan rumah tersebut.
Jujur saja ini kali pertamanya menginjak kediaman Moriz. Sedari dulu dirinya hanya ke perusahaan Moriz saja.
Moriz menggeret koper Gena dan mengajak istrinya itu masuk kedalam. Gena hanya mengekor dari belakang.
Kesan pertama saat masuk, sepi. Ya sangat sepi dan sunyi sekali menurut pandangan Gena saat ini.
"Kita akan tinggal berdua disini. Akan ada pekerja jika pagi sampai siang saja, untuk beberes dan merapihkan rumah." Ujar Moriz menjelaskan.
"Kenapa?" Tanya Gena heran.
"Saya tidak suka keramaian."
Gena mengangguk paham. Dia lalu berjalan masuk lebih dalam lagi berkeliling untuk melihat-lihat isi dalam rumah ini.
Moriz membiarkan saja apa yang Gena lakukan. Dia lebih memilih segera naik kelantai atas membawa koper Gena ke kamar yang akan mereka tempati bersama.
"Kalau si Om kerja, berarti aku sendirian?"
Mendadak bulu kuduknya berdiri merinding. Membayangkan akan sendirian di rumah sebesar ini nantinya.
Buru-buru Gena berjalan cepat menaiki tangga menyusul Moriz. Melihat sebuah pintu terbuka, Gena yakini itu kamar Moriz.
"Om!" Panggilnya.
"Hm,"
Moriz menoleh menatap Gena yang kini sedang berjalan kearahnya, "kenapa?"
.....
.....Gena memilih duduk di pinggir kasur, menghadap kearah kaca balkon kamar tersebut. Matanya malah sibuk memindai seluruh isi kamar.Kamar yang akan menjadi kamarnya juga. Terlihat cukup luas dengan di dominasi warna putih. Moriz masih menatap Gena. Menunggu istrinya menjawab pertanyaannya tadi. Dia yakin jika Gena ingin menanyakan sesuatu padanya."Om!" Panggilnya lagi. Namun kali ini tak melirik kearah Moriz." Apa kamu bisa berhenti memanggilku dengan sebutan, Om!" Decaknya kesal. Merasa tak suka.Moriz merasa belum setua itu untuk di panggil menggunakan kata, Om. Dia dan Gena hanya beda delapan tahun saja."Eh," Gena baru menoleh mendengar protes Moriz padanya itu."Terus aku harus manggil apa?""Terserah. Asalkan jangan panggilan Om lagi."Gena berpikir akan mengganti panggilan apa, sekiranya cocok untuk Moriz."Gimana kalau Abang? Mas, atau Kak?"Moriz kembali menoleh, " panggil Mas saja, itu lebih baik.""Oh, ok!"Keduanya lalu sama-sama terdiam, larut dalam pikiran masing-
....."Eeuugghhh ... Udah,""Udah? Bahkan saya belum sekalipun pelepasan."Moriz tak memperdulikan rengekan Gena yang meminta untuk menyudahi permainan mereka."Nikmati saja, sayang" Moriz merunduk menciumi leher lalu turun memainkan kembali buah dada Gena. Wanita itu rasanya ingin menangis.Namun, apalah daya. Tubuhnya malah mengkhianati hatinya. Respon dari tubuhnya malah seakan meminta terus di jamah oleh tangan Moriz.Tak sampai disitu, Moriz juga tak segan-segan menghentak kuat miliknya. agar masuk lebih dalam lagi didalam inti Gena.Tanpa melepas penyatuan mereka. Moriz membalikan tubuh Gena memunggunginya. Di posisi seperti ini menambah kegilaan seorang Moriz tentunya."Aaakkhhh ... " Teriak Gena cukup kencang.Dia merasa kaget sekaligus sedikit linu karena posisinya di ganti begitu saja, Tanpa aba-aba sebelumnya."Uugghhh ... Pelan, Mas!' pintanya dengan mata memejam menikmati hujaman dari Moriz.Bukanya menuruti ucapan Gena, Moriz malah menambah kecepatan tubuhnya. Kedua tan
...... Di sinilah kini Moriz berada. di sebuah taman tak jauh dari rumahnya. Sia sengaja memilih keluar dan meninggalkan Gena begitu saja. Moriz mengusap wajahnya kasar. menjambak rambutnya sesekali, guna menyalurkan emosinya yang tengah menggebu-gebu. Dia merasa sangat marah, saat melihat Gena sedang memegang bingkai berisi foto yang selama ini dia simpan di lemari pakaiannya. Padahal istrinya itu tak melakukan apapun. hanya sekedar memegang saja. Tapi dia seakan di pancing emosinya, hingga ingin meledak saat itu juga pada Gena. "Sial!" umpatnya sembari kakinya menendang angin. Baru saja dia pulang setelah membeli makanan, yang niatnya ingin ia makan bersama Gena. Namun, siapa sangka malah terjadi ketegangan pada keduanya. Sebenarnya ini salahnya. Karena menaruh bingkai tersebut bukan di tempat yang aman. Dia lupa memindahkannya lebih dulu. Pada akhirnya Gena bisa melihat foto tersebut. Untung saja istrinya tak bertanya aneh-aneh tentang foto itu. Tapi dengan perginya dia be
......Dengan terpaksa, Gena makan malam sendirian. Rasa lapar yang tadinya begitu terasa. kini entah pergi kemana. Mencoba menelan makanan di mulutnya, sembari berpikir kenapa semuanya tiba-tiba malah jadi rumit seperti ini?Pernikahan yang dari awal dia impikan indah, malah justru mendadak kacau secara mendadak. Hanya karena sebuah bingkai foto yang tak sengaja dia temukan di dalam lemari.Akhirnya makanan tersebut habis juga tanpa dia sadari. Lantas beranjak dari duduknya untuk mencuci piring tersebut di wastafel.Masih dengan pikiran tak tenang, Gena terpikirkan sebuah ide ingin membuatkan minuman seperti kopi maupun teh untuk sang suami."Ya aku bikinin minuman aja."Dengan wajah kembali cerah, Gena bergegas membuat kopi dan akan dia antarkan ke ruang kerja Moriz.Akhirnya setelah beberapa kali mencobanya, kopi buatnya jadi juga. Hanya membuat satu cangkir kopi saja, Gena membutuhkan waktu bermenit-menit lamanya.Mungkin bagi sebagian besar wanita diluaran sana, membuat kopi ada
.....Tak terasa pernikahan Gena dan Moriz, kini sudah memasuki bulan pertama. Dari kejadian saat Gena ketumpahan kopi.Sikap Moriz kembali berubah manis pada Gena. Dan hal itu juga membuat Gena tak merasa kalau sudah satu bulan hidup bersama Moriz."Selesai"Gena bertepuk tangan bangga. Melihat makanan yang sudah dia siapkan, dan akan dia antarkan ke kantor Moriz.Selama sebulan ini, Gena memang belajar memasak berbagai makanan. Dia bahkan sampai ikut les memasak setiap hari Rabu dan Jumat.Belum lagi, dirinya selalu meminta resep pada Mariana sang Mamah. Dia ingin menjadi sosok istri yang baik.Bisa melayani Moriz dalam berbagai hal. Tak hanya sekedar di ranjang saja. Gena benar-benar bekerja keras untuk bisa membuat Moriz senang.Untungnya, Moriz mengijinkannya dan tak melarang apapun yang ingin dia lakukan. Selama itu hal baik.Bahkan Mariana sampai takjub pada perubahan besar putrinya itu. Dia sangat senang sekali, saat Gena berniat belajar memasak....."Mamah masih gak nyangka
....."Sudah minum vitaminnya?"Moriz merengkuh tubuh Gena dari belakang. Wanita itu tengah mematut dirinya di depan cermin. Sebenarnya dia baru saja selesai mengoles wajahnya dengan serangkaian skincare seperti biasanya."Kenapa sih, Mas? Selalu nyuruh aku buat minum vitamin terus. Aku baik-baik saja loh, Mas."Gena memang merasa sehat-sehat saja. Tanpa perlu mengkonsumsi vitamin pun, dia akan baik-baik saja.Dia juga memakan makanan sehat setiap harinya. Apalagi dia sangat rajin berolahraga setiap pagi sebelum membuat sarapan."Jadi, sudah di minum apa belum?" Moriz tak memperdulikan pertanyaan Gena barusan. Dia malah bertanya kembali, dengan pertanyaan yang masih sama."Udah-udah," sebak Gena.Wanita itu lalu melepas rangkulan Moriz dari tubuhnya. Gena memilih naik keatas ranjang dan langsung merebahkan tubuhnya disana.Dia tak mau berdebat lagi dengan suaminya itu. Cukup sudah tadi siang saja, perdebatan terjadi antara dirinya dan Moriz.Dia terlalu malas melihat sikap maupun sif
....."Saya berangkat dulu," Moriz mencium dahi Gena lalu mengusap kepala istrinya.Sebelum benar-benar pergi, Moriz kembali berucap "Nanti kamu gak perlu nganter makanan ke kantor." Beritahunya.Gena yang mendengar ucapan Moriz barusan,mengeryit heran. Menatap menyelidik pada suaminya."Kenapa?" Heranya. Ini pertama kalinya Moriz melarangnya mengantarkan makan siang ke kantor."Jangan menatap saya seperti itu," sebelum Gena berpikiran macam-macam, Moriz lebih dulu menjelaskan pada wanita itu. Agar nantinya tak terjadi kesalah pahaman diantara keduanya."Nanti siang ada pertemuan dengan klien, di sebuah restoran. Jadi mungkin saya akan sekalian makan siang bersama klien" jelasnya.Gena mengangguk paham, "oh gitu. Aku pikir kamu udah gak mau aku main ke kantor.""Ckk!" Decak Moriz, " Jangan suka berpikir hal macam-macam yang belum tentu itu kebenaran. Ya sudah saya berangkat dulu!"Gena melambaikan tangannya, melihat kepergian mobil yang di tumpangi Moriz. Sampai tak terlihat lagi.Lal
.....Moriz menghela nafasnya setelah memarkirkan mobilnya di depan rumah. Menatap kedepan, dimana terlihat jika rumahnya sangatlah sepi.Jam sudah menunjukkan pukul sebelas malam. Rasanya lelah sekali hari ini. Bahkan kemeja yang di pakainya pun sudah sangat berantakan.Dua kancing atas sudah terbuka, dan dasi di lehernya juga dia buka. Melihat ponselnya. Menyalakannya.Dahinya mengernyit tak mendapatkan balasan pesan dari sang istri."Apa Gena sudah tidur?" Tanyanya pada diri sendiri.Dari pada bertanya-tanya tak jelas. Moriz memilih segera turun dari mobil. Tak lupa membawa turun jas dan juga sebuah tote bag berisi cemilan yang sengaja dia beli untuk Gena.Untung saja pintu rumahnya sudah menggunakan Electronik Lo, Moriz hanya tinggal memasukan pin saja dan terbukalah pintu tersebut.Satu kata menyambutnya, yaitu 'sunyi' sangat sunyi dan sepi. Lampu di ruang tamu sudah mati. Tak ada sambutan dari Gena yang dia dapatkan seperti biasanya.Melangkah masuk, menaruh cemilan yang dia baw
....."Mas kangen, sayang"Moriz memeluk Gena dari arah belakang. Keduang tanganya bergerilya kemana-mana. Menciumi cuping telinga Gena, sembari mengendus-ngendus leher Gena.Memberi gigitan kecil disana. Gena di buat terangsang oleh perbuatan Moriz. Namun, Hena harus secepatnya mengakhiri kegiatan Moriz ini.Sebelum suaminya semakin terbakar gairahnya. Buru-buru Gena membalikan tubuhnya. Membuat Moriz seketika berhenti dengan aksinya menciumi Gena."Mas, stop!" Cegahnya, membungkam mulut Moriz menggunakan telapak tanganya."Kenapa, sayang?" Tanya Moriz sedikit kesal di buatnya.Dia sedang asyik menikmati kegiatanya, namun harus di hentikan secara tiba-tiba oleh istrinya itu."Jangan lanjutin lagi, aku lagi datang bulan." Beritahunya, memperlihatkan wajah seakan menyesal."Ck!" Moriz berdecak, kali ini dia benar-brnar sangat kesal sekali. Menyugar rambutnya kasar, menggeram pelan meluapkan rasa kecewanya."Kenapa gak bilang dari tadi?" Dengusnya menatap Gena."Loh, kok malah marah sih
.....Adnan memijat pelipisnya yang terasa nyeri. Harusnya di umurnya sekarang, dia sudah tak berkutat dengan pekerjaan atau dipusingkan oleh masalah perusahaan.Seperti sekarang ini, Adnan merasa kepalanya pusing dengan pekerjaan yang selalu saja menumpuk di meja kerjanya.Menyandarkan punggungnya di sandaran kursi kebesarannya. Harusnya Gena yang meneruskan perusahaan miliknya ini.Harusnya putri tunggalnya itu yang menggantikan dirinya, menjadi pemimpin di sini. Dan dia tinggal duduk manis menikmati masa tuanya bersama sang istri tercinta.Tangannya menarik laci, berniat mengambil roll on yang biasa ia oleskan di dahinya saat merasa sakit kepala seperti sekarang ini.Namun matanya malah menangkap sebuah benda berbentuk persegi panjang, berwarna hitam. Menatap sebentar benda tersebut.Lalu tangannya bergerak mengambil benda itu. Menekan tombol on off, layar ponsel yang di pegang ya langsung menyala. Menampilkan sebuah foto perempuan di sana.Adnan di buat terpaku di tempatnya. Dia t
.....Moriz menghela nafasnya setelah memarkirkan mobilnya di depan rumah. Menatap kedepan, dimana terlihat jika rumahnya sangatlah sepi.Jam sudah menunjukkan pukul sebelas malam. Rasanya lelah sekali hari ini. Bahkan kemeja yang di pakainya pun sudah sangat berantakan.Dua kancing atas sudah terbuka, dan dasi di lehernya juga dia buka. Melihat ponselnya. Menyalakannya.Dahinya mengernyit tak mendapatkan balasan pesan dari sang istri."Apa Gena sudah tidur?" Tanyanya pada diri sendiri.Dari pada bertanya-tanya tak jelas. Moriz memilih segera turun dari mobil. Tak lupa membawa turun jas dan juga sebuah tote bag berisi cemilan yang sengaja dia beli untuk Gena.Untung saja pintu rumahnya sudah menggunakan Electronik Lo, Moriz hanya tinggal memasukan pin saja dan terbukalah pintu tersebut.Satu kata menyambutnya, yaitu 'sunyi' sangat sunyi dan sepi. Lampu di ruang tamu sudah mati. Tak ada sambutan dari Gena yang dia dapatkan seperti biasanya.Melangkah masuk, menaruh cemilan yang dia baw
....."Saya berangkat dulu," Moriz mencium dahi Gena lalu mengusap kepala istrinya.Sebelum benar-benar pergi, Moriz kembali berucap "Nanti kamu gak perlu nganter makanan ke kantor." Beritahunya.Gena yang mendengar ucapan Moriz barusan,mengeryit heran. Menatap menyelidik pada suaminya."Kenapa?" Heranya. Ini pertama kalinya Moriz melarangnya mengantarkan makan siang ke kantor."Jangan menatap saya seperti itu," sebelum Gena berpikiran macam-macam, Moriz lebih dulu menjelaskan pada wanita itu. Agar nantinya tak terjadi kesalah pahaman diantara keduanya."Nanti siang ada pertemuan dengan klien, di sebuah restoran. Jadi mungkin saya akan sekalian makan siang bersama klien" jelasnya.Gena mengangguk paham, "oh gitu. Aku pikir kamu udah gak mau aku main ke kantor.""Ckk!" Decak Moriz, " Jangan suka berpikir hal macam-macam yang belum tentu itu kebenaran. Ya sudah saya berangkat dulu!"Gena melambaikan tangannya, melihat kepergian mobil yang di tumpangi Moriz. Sampai tak terlihat lagi.Lal
....."Sudah minum vitaminnya?"Moriz merengkuh tubuh Gena dari belakang. Wanita itu tengah mematut dirinya di depan cermin. Sebenarnya dia baru saja selesai mengoles wajahnya dengan serangkaian skincare seperti biasanya."Kenapa sih, Mas? Selalu nyuruh aku buat minum vitamin terus. Aku baik-baik saja loh, Mas."Gena memang merasa sehat-sehat saja. Tanpa perlu mengkonsumsi vitamin pun, dia akan baik-baik saja.Dia juga memakan makanan sehat setiap harinya. Apalagi dia sangat rajin berolahraga setiap pagi sebelum membuat sarapan."Jadi, sudah di minum apa belum?" Moriz tak memperdulikan pertanyaan Gena barusan. Dia malah bertanya kembali, dengan pertanyaan yang masih sama."Udah-udah," sebak Gena.Wanita itu lalu melepas rangkulan Moriz dari tubuhnya. Gena memilih naik keatas ranjang dan langsung merebahkan tubuhnya disana.Dia tak mau berdebat lagi dengan suaminya itu. Cukup sudah tadi siang saja, perdebatan terjadi antara dirinya dan Moriz.Dia terlalu malas melihat sikap maupun sif
.....Tak terasa pernikahan Gena dan Moriz, kini sudah memasuki bulan pertama. Dari kejadian saat Gena ketumpahan kopi.Sikap Moriz kembali berubah manis pada Gena. Dan hal itu juga membuat Gena tak merasa kalau sudah satu bulan hidup bersama Moriz."Selesai"Gena bertepuk tangan bangga. Melihat makanan yang sudah dia siapkan, dan akan dia antarkan ke kantor Moriz.Selama sebulan ini, Gena memang belajar memasak berbagai makanan. Dia bahkan sampai ikut les memasak setiap hari Rabu dan Jumat.Belum lagi, dirinya selalu meminta resep pada Mariana sang Mamah. Dia ingin menjadi sosok istri yang baik.Bisa melayani Moriz dalam berbagai hal. Tak hanya sekedar di ranjang saja. Gena benar-benar bekerja keras untuk bisa membuat Moriz senang.Untungnya, Moriz mengijinkannya dan tak melarang apapun yang ingin dia lakukan. Selama itu hal baik.Bahkan Mariana sampai takjub pada perubahan besar putrinya itu. Dia sangat senang sekali, saat Gena berniat belajar memasak....."Mamah masih gak nyangka
......Dengan terpaksa, Gena makan malam sendirian. Rasa lapar yang tadinya begitu terasa. kini entah pergi kemana. Mencoba menelan makanan di mulutnya, sembari berpikir kenapa semuanya tiba-tiba malah jadi rumit seperti ini?Pernikahan yang dari awal dia impikan indah, malah justru mendadak kacau secara mendadak. Hanya karena sebuah bingkai foto yang tak sengaja dia temukan di dalam lemari.Akhirnya makanan tersebut habis juga tanpa dia sadari. Lantas beranjak dari duduknya untuk mencuci piring tersebut di wastafel.Masih dengan pikiran tak tenang, Gena terpikirkan sebuah ide ingin membuatkan minuman seperti kopi maupun teh untuk sang suami."Ya aku bikinin minuman aja."Dengan wajah kembali cerah, Gena bergegas membuat kopi dan akan dia antarkan ke ruang kerja Moriz.Akhirnya setelah beberapa kali mencobanya, kopi buatnya jadi juga. Hanya membuat satu cangkir kopi saja, Gena membutuhkan waktu bermenit-menit lamanya.Mungkin bagi sebagian besar wanita diluaran sana, membuat kopi ada
...... Di sinilah kini Moriz berada. di sebuah taman tak jauh dari rumahnya. Sia sengaja memilih keluar dan meninggalkan Gena begitu saja. Moriz mengusap wajahnya kasar. menjambak rambutnya sesekali, guna menyalurkan emosinya yang tengah menggebu-gebu. Dia merasa sangat marah, saat melihat Gena sedang memegang bingkai berisi foto yang selama ini dia simpan di lemari pakaiannya. Padahal istrinya itu tak melakukan apapun. hanya sekedar memegang saja. Tapi dia seakan di pancing emosinya, hingga ingin meledak saat itu juga pada Gena. "Sial!" umpatnya sembari kakinya menendang angin. Baru saja dia pulang setelah membeli makanan, yang niatnya ingin ia makan bersama Gena. Namun, siapa sangka malah terjadi ketegangan pada keduanya. Sebenarnya ini salahnya. Karena menaruh bingkai tersebut bukan di tempat yang aman. Dia lupa memindahkannya lebih dulu. Pada akhirnya Gena bisa melihat foto tersebut. Untung saja istrinya tak bertanya aneh-aneh tentang foto itu. Tapi dengan perginya dia be
....."Eeuugghhh ... Udah,""Udah? Bahkan saya belum sekalipun pelepasan."Moriz tak memperdulikan rengekan Gena yang meminta untuk menyudahi permainan mereka."Nikmati saja, sayang" Moriz merunduk menciumi leher lalu turun memainkan kembali buah dada Gena. Wanita itu rasanya ingin menangis.Namun, apalah daya. Tubuhnya malah mengkhianati hatinya. Respon dari tubuhnya malah seakan meminta terus di jamah oleh tangan Moriz.Tak sampai disitu, Moriz juga tak segan-segan menghentak kuat miliknya. agar masuk lebih dalam lagi didalam inti Gena.Tanpa melepas penyatuan mereka. Moriz membalikan tubuh Gena memunggunginya. Di posisi seperti ini menambah kegilaan seorang Moriz tentunya."Aaakkhhh ... " Teriak Gena cukup kencang.Dia merasa kaget sekaligus sedikit linu karena posisinya di ganti begitu saja, Tanpa aba-aba sebelumnya."Uugghhh ... Pelan, Mas!' pintanya dengan mata memejam menikmati hujaman dari Moriz.Bukanya menuruti ucapan Gena, Moriz malah menambah kecepatan tubuhnya. Kedua tan