"Halo nak, apa kabar nak?" tanya Sonya, ibu Dimas di telepon. Kini Dimas sedang di kamar kosnya dan sudah dua hari Dimas masih belum mendapatkan tempat untuk ia kembali bekerja sebagai pelukis lagi. Uang yang Dimas miliki pin semakin menipis dan harus segera mendapatkan pesanan lukisan ke dirinya lagi.
"Iya Bu, Dimas baik Bu," jawab Dimas berusaha memberikan kabar yang menenangkan ibunya. Dimas tidak ingin membuat ibunya khawatir akan keadaannya yang sebenarnya tidak baik-baik saja. Ini merupakan telepon keduanya setelah Dimas memtuskan hidup di Bandung. Sudah hampir dua bulan Dimas ada di Bandung dan ia pun berhasil bertahan hidup dengan gaya yang sederhana.
"Gimana pekerjaanmu? Banyak yang pesan?" lagi, tanya Sonya. Ia ingin memastikan bahwa anak satu-satunya dalam keadaan yang baik-baik saja. Kini Sonya pun juga masih bekerja keras di rumah dan menyisihkan penghasilannya untuk ditabung.
"Lancar Bu, meskipun yang pesan nggak terlalu banyak, tapi uangnya sudah cukup buat hidup Dimas di kos Bu," begitulah jawab Dimas yang lagi-lagi berusaha menenangkan ibunya. Baginya, berbohong sedikit tidak masalah jika itu akan memberikan ketenangan bagi ibunya. Dimas masih sangat yakin akan kemampuannya dan tidak akan merepotkan ibunya lagi.
"Beneran? Kami sudah bayar uang kos kan?" tanya ibunya lagi yang mengetahui bahwa kebutuhan Dimas tidak hanya makan sehari-hari saja. Tapi dia harus memikirkan kebutuhan kos di Bandung yang harganya juga tidak murah.
"Sudah Bu, penghasilan Dimas sudah cukup kok bu, ibu tidak usah khawatir," begitulah jawab Dimas. Dimas sebenarnya masih belum membayar kos untuk bulan ini, tapi dia tetap menenangkan ibunya.
"Tok.. tok... tok.. ," suara ketokan tiba-tiba datang dari balik pintu kamarnya. Dimas pun sontak kaget dan bangun dari tidurnya.
"Bu, saya matikan telponnya dulu ya bu, ada tamu Bu," ucap Dimas kepada ibunya kemudian ia pun langsung mematikan telponnya. Ia pun bergegas bangun dari kasurnya dan pergi menuju pintu kamarnya. Tangannya memegang gagang pintu kamarnya dan membukanya secara perlahan. Seseorang dari balik pintu pun mulai terlihat secara perlahan.
"Eh, Bu Anya, malem Bu," ucap Dimas kepada seorang ibu-ibu berdaster dengan terdapat roll rambut berwarna merah muda di rambutnya. Muka ibu-ibu itu begitu menyeramkan dan tampak mengekspresikan kemarahan.
"He Dim, hari ini sudah jatuh tempo bayar kos, mana? Cepat bayar kosnya," ucap Anya seorang ibu kos yang memiliki tubuh berisi dengan nada marah dan sedikit teriak. Anya berniat untuk menagih uang kos yang harus dibayar hari ini juga. Layaknya ibu-ibu kos yang lain, ia akan marah jika penghuni kosnya tidak segera membayar uang sewa kosnya hingga jatuh tempo.
"Aduh Bu, maaf, uang saya masih di ATM dan masih belum saya ambil Bu, besok ya Bu, pasti saya bayar kok Bu," begitulah kata Dimas dengan menempelkan kedua tangannya mencoba meminta maaf kepada Anya selaku ibu kosnya. Sebenarnya Dimas memang belum punya uang yang cukup untuk membayar biaya sewa kosnya. Tapi dia mengatakan hal seperti itu agar ibu kosnya tidak marah terlalu besar padanya. Dimas tidak ingin jika telinganya harus sakit karena teriakan-teriakan sang ibu kos gemuk itu.
"Beneran ya? Kamu anak baru jangan macem-macem disini," ungkap Anya dengan menunjuk wajah Dimas dan sedikit mengeluarkan kalimat-kalimat ancaman. Sikapnya kini sangatlah berbeda saat awal pertama ia menemui Anya. Anya yang dulu sangat ramah dan halus kini laksana monster yang garang dan pemarah.
"Iya Bu," jawab Dimas halus dengan tubuhnya yang tetap memperlihatkan ucapan maaf kepada Anya. Anya yang masih menaruh kepercayaan kepada Dimas pun akhirnya pergi meninggalkan Dimas dan menagih orang-orang kos lainnya.
Kini Dimas pun balik menutup pintu kamarnya dan berbaring di kasurnya. Dia pun menjadi bingung atas keadaannya, tidak tahu apa yang harus dia lakukan untuk mendapatkan sejumlah uang yang cukup banyak dalam waktu sehari saja.
"Ting... Ting.. Ting..," sebuah telepon berbunyi dari ponselnya. Itu adalah telpon dari ibunya, Sonya. Rupanya Sonya masih kangen kepada Dimas dan ingin mengobrol lebih panjang lagi kepada Dimas. Dimas duduk dan menenangkan dirinya sejenak, ia tidak mau kekhawatirannya dirasakan oleh ibunya.
"Halo Bu, maaf ya Bu, tadi Dimas matiin," begitulah ucap Dimas dengan kata-kata yang begitu tenang. Sebuah nada ucapan yang mampu meyakinkan ibunya bahwa dirinya dalam keadaan yang baik-baik saja.
"Iya nak, tadi siapa yang datang nak?" tanya Sonya yang tadi juga mendengar suara ketokan dari balik pintu itu saat dia masih telponan dengan Dimas.
"Oalah, itu tadi hantu Bu," ucap Dimas dengan sedikit bercanda kepada Sonya. Dimas pun sedikit tertawa dan Sonya juga mengikuti tawa yang dibuat oleh anaknya itu.
"Yang benar Dim, tadi siapa yang nelpon kamu?" ujar Sonya setelah sedikit ia tertawa oleh Dimas. Sonya pun kembali menanyakan sosok yang mengetuk pintu kamar Dimas dan kini Dimas harus menjawabnya dengan serius.
"Iya iya Bu, tadi itu pelanggan ku, dia mengambil pesanannya Bu," begitulah jawab Dimas mencoba untuk memberikan ketenang pada ibunya. Dimas kini pun harus cukup sering berbohong demi keinginannya untuk membuat ibunya selalu merasa tenang dan tidak mengkhawatirkannya.
"Oalah, kamu sudah makan belum nak? Juga sudah mandi apa belum?" sebuah pertanyaan yang selalu ditanyakan oleh Sonya saat mereka saling bertelepon. Dimas pun teringat kepada ibunya yang selalu tegas untuk mengingatkannya untuk sarapan dan mandi sebelum Maghrib tiba. Ibunya akan marah besar kepadanya jika Dimas melupakan kedua hal tersebut. Sebuah jeweran di telinganya pasti akan dirasakannya ketika ibunya marah dulu. Tapi Dimas pun tahu, karena didikannya itu Dimas menjadi anak yang kuat dan tahan banting seperti ini.
"Sudah kok Bu, sekarang Dimas sudah jauh lebih gemuk dan ganteng pastinya," jawab Dimas dengan sedikit tambahan gelak tawa di mulutnya. Ia yang sebenarnya masih kurus pun mengaku sudah gemuk di hadapan ibunya. Memang sedari dulu Sonya menginginkan Dimas untuk tumbuh gemuk. Tapi Dimas yang sudah dipaksa makan banyak dan minum susu setiap hari pun tak kunjung gemuk. Dan kini Dimas pun harus berbohong lagi dengan mengatakan dia menjadi gemuk sekarang. Tapi tidak dengan gantengnya, Dimas masih ganteng seperti dulu dan tetap tahu bagaimana cara berpenampilan yang baik.
Mereka akhirnya pun melakukan obrolan panjang sepanjang malam. Kini Dimas pun dapat lebih panjang mengobrol dengan ibunya karena dirinya memang sedang tidak mendapatkan pesanan. Baginya uang memang penting, tapi waktu-waktu berharga dengan ibunya seperti ini merupakan hal yang akan sulit ia temukan ketika nanti ia disibukkan dengan pekerjaannya lagi.
"Ya sudah ya nak, sudah malam, cepat tidur, jangan banyak begadang, harus dijaga kesehatannya," ucap Sonya, seorang ibu yang sangat perhatian kepada anak satu-satunya. Kata-kata itupun menutup pembicaraan panjang mereka. Dan kini Dimas pun merasa sedikit bahagia karena rasa kangen terhadap ibunya sudah terbalaskan. Memang sedang banyak masalah yang menimpanya. Tapi dia masih tetap yakin untuk melewati itu semua.
"Kamu sedang apa Dimas?" ucap Rusli yang menemui Dimas sedang duduk di bangku panjang di taman kota Bandung. Rusli menepuk pundak Dimas dari belakang dan Dimas pun menoleh ke arah belakang. "Eh paman, silahkan duduk paman," bukannya menjawab pertanyaan Ruslan, Dimas malah mempersilahkan Rusli untuk duduk disampingnya yakni di bangku panjang berwarna putih itu. "Kamu nggak kerja Dim?" tanya Ruslan yang heran melihat Dimas saat ini. Tak biasanya Dimas seperti ini, Dimas yang rajin bekerja kini malah hanya duduk diam di taman tanpa melakukan suatu pekerjaan apapun. Dimas tak membawa alat lukis apapun baik itu cat air, kuas maupun kanvas. "Nggak paman, saya mau cari tempat mangkal baru paman," ucap Dimas kepada Ruslan yang kini sudah duduk di sampingnya. Pandangan Dimas pun kosong seperti masih bingung dengan apa yang akan ia lakukan. Dimas sebenarnya ingin menyewa lapak saja agar tidak usah khawatir jika sewaktu-waktu ada razia. Tapi dirinya tidak punya cukup ua
"Selamat pagi paman," ucap Dimas yang baru saja datang di ruko milik Rusli tersebut. Dimas membawa ransel besar yang ia tanggalkan di punggungnya dan dua kardus besar yang berisi gulungan lukisan-lukisannya. Waktu itu Rusli sedang duduk di dalam ruko yang terlihat sangat kotor karena lama tidak dipakai. "Pagi Dimas, masuk sini Dim, tapi barang-barangmu kamu taruh diluar saja, rukonya belum dibersihkan soalnya," kata Rusli menjawab salam dari Dimas. Rusli pun menyuruh Dimas untuk menaruh barang-barangnya diluar ruko saja agar tidak terkena debu saat nanti rukonya dibersihkan. "Baik paman, rukonya biar saya saja yang membersihkannya paman," ucap Dimas setelah menaruh barang-barangnya dan langsung merebut sapu yang sedari tadi dipegang oleh Rusli. "Jangan seperti itu Dimas, kali ini kita membersihkannya bersama-sama, biar cepat selesai dan kamu cepat bekerja," begitulah ucap Rusli yang kini terlihat lebih bijak daripada Dimas. Kata-katanya sangat masuk akal mesk
"Halo, ini dengan Kakak Dimas?" sebuah suara yang keluar dari telepon Dimas setelah Dimas menjawab panggilan dari nomor tidak dikenal tersebut. Dimas yang semula melukis pun menghentikan kegiatan melukisnya dan meladeni telepon itu. "Iya, saya Dimas, ini dengan siapa ya?" Balas Dimas sopan dengan nada suara yang merendah. Bisa jadi itu adalah orang yang akan memesan jasa lukisannya. "Kakak dimana? Sudah tidak melukis lagi ya?" ucap orang dalam telepon itu yang sepertinya seorang gadis muda jika didengar dari suaranya. Gadis tersebut pun langsung menanyakan keberadaan Dimas tanpa sedikit basa basi. Bahkan pertanyaan tentang siapa dirinya tidak dihiraukannya. "Oh iya kak, saya sekarang masih tetap melukis kok, hanya saja sudah tidak di jalanan lagi, kalau kakak mau kesini, nanti saya kirim i alamat baru saya ya kak?" Begitulah ucap Dimas halus dengan menjelaskan kejadian sebenarnya. Dia pun tidak memikirkan siapa gadis dibalik suara itu. Nanti jika bertemu Dima
"Pagi Dim," sapa Rusli yang baru saja datang ke ruko tersebut. Tangannya menenteng sebuah kresek berisi nasi kotak. Seperti biasa Rusli selalu datang ke ruko itu setiap pagi dengan membawakan sarapan untuk Dimas. "Pagi paman," jawab Dimas tersenyum kepada Rusli. Dirinya tengah sibuk mengerjakan lukisan pesanan Mita yang akan diambil hari ini juga. Ternyata tidaklah mudah jika harus menggunakan background pantai yang sebelumnya memang tidak pernah dilakukan Dimas. "Ada pesanan?" tanya Rusli kepada Dimas sembari tangannya meletakkan nasi kotak tersebut ke meja yang berada di tepi ruangan ruko. "Iya paman," jawab Dimas singkat karena ia begitu fokus dengan lukisannya. Dia masih mengerjakan detail-detail lukisannya seperti batu karang ataupun manusia yang sedang bermain selancar. Apalagi dia juga harus dikejar waktu. "Eh, kamu nggak mau ikut pameran lukisan di graha?" lagi kata Rusli sembari ia menyodorkan sebuah selebaran kepada Dimas. "Apa
"ini adalah karya paling berkesan bagi saya, lukisan wajah seseorang yang sangat saya cintai," terang Dimas kepada orang-orang yang melihat lukisannya. Kini Dimas dengan gagah memamerkan semua lukisannya. Tangannya menunjuk lukisan wajah Refita itu sebagai lukisan yang paling berkesan baginya. "Yang ini bagus ya kak," ucap salah seorang anak muda. Ia sepertinya sangat menyukai sebuah seni, khususnya seni rupa. Pengamatannya begitu detail, matanya berkeliaran menyusuri setiap aksen yang ada pada ruangan tersebut, hingga ia menemukan satu lukisan yang sangat hidup baginya. Lukisan tentang sebuah kelas yang diisi oleh banyak siswa yang sedang melakukan kegiatannya masing-masing. Itu adalah lukisan Dimas yang menggambarkan suasana kelasnya dulu. "Iya kak, itu adalah suasana kelas saya dulu, ketika saya masih SMA," begitu terang Dimas. Ia memang benar-benar melukisnya dengan nyata. Setiap wajah yang tergambar memiliki detail yang sangat bagus, dari lekuk tubuh, rambut hin
"Aku tidak menyangka, paman bisa melukis," ucap Dimas kepada pamannya. Kini Rusli sedang melukis di rukonya, tempat Dimas biasa melukis. Rusli sebenarnya sudah tidak ingin melukis lagi, tapi kini dirinya harus menuruti permintaan Dimas yang memaksanya untuk melukis. "Ah, paman ya cuman bisa melukis, nggak jago," begitulah jawab Rusli merendah. Dimas pun hanya tersenyum karena memang Rusli bukanlah pelukis biasa. Bahkan lukisan yang Rusli buat saat ini pun benar-benar indah di mata Dimas. Sebuah lukisan yang menggambarkan suasana luar angkasa yang begitu menakjubkan dengan beebagai bintang yang tersebar di sana. "Oh iya, kemarin gadis itu tidak jadi datang ya?, Kapan dia mau kesini?" lagi lagi Rusli menanyakan tentang Mita kepada Dimas. Semenjak ketidakdatangan Mita di acara pameran itu, Rusli selalu menanyakan kapan Mita akan ke rukonya. Rusli seperti tak sabar ingin melihat bagaimana sosok gadis yang berani membayar mahal lukisan Dimas itu. "Eh, gak tau juga
"Siang," sapa Mita kepada Dimas yang sedang melamun. Mita melambaikan tangannya tepat di hadapan Dimas yang pandangannya sangat kosong. Mita pun memberikan sedikit senyuman manis kepada Dimas. "Eh, siang, mau ambil lukisan ya?" ucap Dimas kaget. Ia pun terbangun dari lamunan panjangnya. Dimas pun sedikit kaget dengan Mita yang tak biasanya memberikan senyum tepat di depannya. "Iya," jawab Mita singkat. Dimas pun segera mengambil lukisan milik Mita yang sudah dibungkus dengan bingkisan yang menarik. Ide membungkus lukisan pesanan ini merupakan ide dari Rusli agar pelayanan Dimas terlihat lebih menarik. "Paman pelukis yang kemarin mana ya?" tanya Mita kepada Dimas. Dimas kali ini benar-benar heran kepada Mita. Tumben sekali Mita mau berbasa-basi menanyakan hal yang berada diluar tujuan utamanya, yaitu mengambil lukisan. "Eh, sudah dua hari paman Rusli tidak kesini," jawab Dimas. Sebenarnya sedari tadi Dimas melamunkan Rusli yang tak kunjung datang. Bias
"Pagi kak," ucap Mita kepada Dimas saat baru datang di ruko Dimas. Mita melambaikan tangannya tanda sapaannya kepada Dimas dengan wajah tersenyum ramah. Kini Mita sudah bukanlah gadis cuek dengan muka datar yang selama ini Dimas kenal. Mita sudah menjadi gadis ceria dengan muka yang ekspresif. Entah apa yang sudah terjadi dengan Mita, tapi Dimas tetap mencoba bersikap biasa saja. "Pagi Mita, sini, duduk," Dimas pun menjawab salam Mita dengan ramah. Ia memberikan sebuah kursi supaya Mita dapat duduk disitu. "Paman yang kemarin belum kesini?" tanya Mita. Ia kembali menanyakan Rusli yang memang sampai sekarang belum juga datang. Kini Mita pun jauh lebih asik untuk mengobrol dengan sedikit berbasa-basi. "Belum Mit, sudah tiga hari ini paman nggak kesini," jawab Dimas. Raut mukanya pun sedih dan kepalanya tertunduk lesu. Sepertinya Dimas sudah merasa rindu kepada Rusli dan ingin segera bertemu dengan Rusli. Sikap Mita yang tidak cuek lagi itu pun membuat Dimas mau
"Pagi kak," ucap Mita kepada Dimas saat baru datang di ruko Dimas. Mita melambaikan tangannya tanda sapaannya kepada Dimas dengan wajah tersenyum ramah. Kini Mita sudah bukanlah gadis cuek dengan muka datar yang selama ini Dimas kenal. Mita sudah menjadi gadis ceria dengan muka yang ekspresif. Entah apa yang sudah terjadi dengan Mita, tapi Dimas tetap mencoba bersikap biasa saja. "Pagi Mita, sini, duduk," Dimas pun menjawab salam Mita dengan ramah. Ia memberikan sebuah kursi supaya Mita dapat duduk disitu. "Paman yang kemarin belum kesini?" tanya Mita. Ia kembali menanyakan Rusli yang memang sampai sekarang belum juga datang. Kini Mita pun jauh lebih asik untuk mengobrol dengan sedikit berbasa-basi. "Belum Mit, sudah tiga hari ini paman nggak kesini," jawab Dimas. Raut mukanya pun sedih dan kepalanya tertunduk lesu. Sepertinya Dimas sudah merasa rindu kepada Rusli dan ingin segera bertemu dengan Rusli. Sikap Mita yang tidak cuek lagi itu pun membuat Dimas mau
"Siang," sapa Mita kepada Dimas yang sedang melamun. Mita melambaikan tangannya tepat di hadapan Dimas yang pandangannya sangat kosong. Mita pun memberikan sedikit senyuman manis kepada Dimas. "Eh, siang, mau ambil lukisan ya?" ucap Dimas kaget. Ia pun terbangun dari lamunan panjangnya. Dimas pun sedikit kaget dengan Mita yang tak biasanya memberikan senyum tepat di depannya. "Iya," jawab Mita singkat. Dimas pun segera mengambil lukisan milik Mita yang sudah dibungkus dengan bingkisan yang menarik. Ide membungkus lukisan pesanan ini merupakan ide dari Rusli agar pelayanan Dimas terlihat lebih menarik. "Paman pelukis yang kemarin mana ya?" tanya Mita kepada Dimas. Dimas kali ini benar-benar heran kepada Mita. Tumben sekali Mita mau berbasa-basi menanyakan hal yang berada diluar tujuan utamanya, yaitu mengambil lukisan. "Eh, sudah dua hari paman Rusli tidak kesini," jawab Dimas. Sebenarnya sedari tadi Dimas melamunkan Rusli yang tak kunjung datang. Bias
"Aku tidak menyangka, paman bisa melukis," ucap Dimas kepada pamannya. Kini Rusli sedang melukis di rukonya, tempat Dimas biasa melukis. Rusli sebenarnya sudah tidak ingin melukis lagi, tapi kini dirinya harus menuruti permintaan Dimas yang memaksanya untuk melukis. "Ah, paman ya cuman bisa melukis, nggak jago," begitulah jawab Rusli merendah. Dimas pun hanya tersenyum karena memang Rusli bukanlah pelukis biasa. Bahkan lukisan yang Rusli buat saat ini pun benar-benar indah di mata Dimas. Sebuah lukisan yang menggambarkan suasana luar angkasa yang begitu menakjubkan dengan beebagai bintang yang tersebar di sana. "Oh iya, kemarin gadis itu tidak jadi datang ya?, Kapan dia mau kesini?" lagi lagi Rusli menanyakan tentang Mita kepada Dimas. Semenjak ketidakdatangan Mita di acara pameran itu, Rusli selalu menanyakan kapan Mita akan ke rukonya. Rusli seperti tak sabar ingin melihat bagaimana sosok gadis yang berani membayar mahal lukisan Dimas itu. "Eh, gak tau juga
"ini adalah karya paling berkesan bagi saya, lukisan wajah seseorang yang sangat saya cintai," terang Dimas kepada orang-orang yang melihat lukisannya. Kini Dimas dengan gagah memamerkan semua lukisannya. Tangannya menunjuk lukisan wajah Refita itu sebagai lukisan yang paling berkesan baginya. "Yang ini bagus ya kak," ucap salah seorang anak muda. Ia sepertinya sangat menyukai sebuah seni, khususnya seni rupa. Pengamatannya begitu detail, matanya berkeliaran menyusuri setiap aksen yang ada pada ruangan tersebut, hingga ia menemukan satu lukisan yang sangat hidup baginya. Lukisan tentang sebuah kelas yang diisi oleh banyak siswa yang sedang melakukan kegiatannya masing-masing. Itu adalah lukisan Dimas yang menggambarkan suasana kelasnya dulu. "Iya kak, itu adalah suasana kelas saya dulu, ketika saya masih SMA," begitu terang Dimas. Ia memang benar-benar melukisnya dengan nyata. Setiap wajah yang tergambar memiliki detail yang sangat bagus, dari lekuk tubuh, rambut hin
"Pagi Dim," sapa Rusli yang baru saja datang ke ruko tersebut. Tangannya menenteng sebuah kresek berisi nasi kotak. Seperti biasa Rusli selalu datang ke ruko itu setiap pagi dengan membawakan sarapan untuk Dimas. "Pagi paman," jawab Dimas tersenyum kepada Rusli. Dirinya tengah sibuk mengerjakan lukisan pesanan Mita yang akan diambil hari ini juga. Ternyata tidaklah mudah jika harus menggunakan background pantai yang sebelumnya memang tidak pernah dilakukan Dimas. "Ada pesanan?" tanya Rusli kepada Dimas sembari tangannya meletakkan nasi kotak tersebut ke meja yang berada di tepi ruangan ruko. "Iya paman," jawab Dimas singkat karena ia begitu fokus dengan lukisannya. Dia masih mengerjakan detail-detail lukisannya seperti batu karang ataupun manusia yang sedang bermain selancar. Apalagi dia juga harus dikejar waktu. "Eh, kamu nggak mau ikut pameran lukisan di graha?" lagi kata Rusli sembari ia menyodorkan sebuah selebaran kepada Dimas. "Apa
"Halo, ini dengan Kakak Dimas?" sebuah suara yang keluar dari telepon Dimas setelah Dimas menjawab panggilan dari nomor tidak dikenal tersebut. Dimas yang semula melukis pun menghentikan kegiatan melukisnya dan meladeni telepon itu. "Iya, saya Dimas, ini dengan siapa ya?" Balas Dimas sopan dengan nada suara yang merendah. Bisa jadi itu adalah orang yang akan memesan jasa lukisannya. "Kakak dimana? Sudah tidak melukis lagi ya?" ucap orang dalam telepon itu yang sepertinya seorang gadis muda jika didengar dari suaranya. Gadis tersebut pun langsung menanyakan keberadaan Dimas tanpa sedikit basa basi. Bahkan pertanyaan tentang siapa dirinya tidak dihiraukannya. "Oh iya kak, saya sekarang masih tetap melukis kok, hanya saja sudah tidak di jalanan lagi, kalau kakak mau kesini, nanti saya kirim i alamat baru saya ya kak?" Begitulah ucap Dimas halus dengan menjelaskan kejadian sebenarnya. Dia pun tidak memikirkan siapa gadis dibalik suara itu. Nanti jika bertemu Dima
"Selamat pagi paman," ucap Dimas yang baru saja datang di ruko milik Rusli tersebut. Dimas membawa ransel besar yang ia tanggalkan di punggungnya dan dua kardus besar yang berisi gulungan lukisan-lukisannya. Waktu itu Rusli sedang duduk di dalam ruko yang terlihat sangat kotor karena lama tidak dipakai. "Pagi Dimas, masuk sini Dim, tapi barang-barangmu kamu taruh diluar saja, rukonya belum dibersihkan soalnya," kata Rusli menjawab salam dari Dimas. Rusli pun menyuruh Dimas untuk menaruh barang-barangnya diluar ruko saja agar tidak terkena debu saat nanti rukonya dibersihkan. "Baik paman, rukonya biar saya saja yang membersihkannya paman," ucap Dimas setelah menaruh barang-barangnya dan langsung merebut sapu yang sedari tadi dipegang oleh Rusli. "Jangan seperti itu Dimas, kali ini kita membersihkannya bersama-sama, biar cepat selesai dan kamu cepat bekerja," begitulah ucap Rusli yang kini terlihat lebih bijak daripada Dimas. Kata-katanya sangat masuk akal mesk
"Kamu sedang apa Dimas?" ucap Rusli yang menemui Dimas sedang duduk di bangku panjang di taman kota Bandung. Rusli menepuk pundak Dimas dari belakang dan Dimas pun menoleh ke arah belakang. "Eh paman, silahkan duduk paman," bukannya menjawab pertanyaan Ruslan, Dimas malah mempersilahkan Rusli untuk duduk disampingnya yakni di bangku panjang berwarna putih itu. "Kamu nggak kerja Dim?" tanya Ruslan yang heran melihat Dimas saat ini. Tak biasanya Dimas seperti ini, Dimas yang rajin bekerja kini malah hanya duduk diam di taman tanpa melakukan suatu pekerjaan apapun. Dimas tak membawa alat lukis apapun baik itu cat air, kuas maupun kanvas. "Nggak paman, saya mau cari tempat mangkal baru paman," ucap Dimas kepada Ruslan yang kini sudah duduk di sampingnya. Pandangan Dimas pun kosong seperti masih bingung dengan apa yang akan ia lakukan. Dimas sebenarnya ingin menyewa lapak saja agar tidak usah khawatir jika sewaktu-waktu ada razia. Tapi dirinya tidak punya cukup ua
"Halo nak, apa kabar nak?" tanya Sonya, ibu Dimas di telepon. Kini Dimas sedang di kamar kosnya dan sudah dua hari Dimas masih belum mendapatkan tempat untuk ia kembali bekerja sebagai pelukis lagi. Uang yang Dimas miliki pin semakin menipis dan harus segera mendapatkan pesanan lukisan ke dirinya lagi. "Iya Bu, Dimas baik Bu," jawab Dimas berusaha memberikan kabar yang menenangkan ibunya. Dimas tidak ingin membuat ibunya khawatir akan keadaannya yang sebenarnya tidak baik-baik saja. Ini merupakan telepon keduanya setelah Dimas memtuskan hidup di Bandung. Sudah hampir dua bulan Dimas ada di Bandung dan ia pun berhasil bertahan hidup dengan gaya yang sederhana. "Gimana pekerjaanmu? Banyak yang pesan?" lagi, tanya Sonya. Ia ingin memastikan bahwa anak satu-satunya dalam keadaan yang baik-baik saja. Kini Sonya pun juga masih bekerja keras di rumah dan menyisihkan penghasilannya untuk ditabung. "Lancar Bu, meskipun yang pesan nggak terlalu banyak, tapi uangnya sud