"Pagi kak," ucap Mita kepada Dimas saat baru datang di ruko Dimas. Mita melambaikan tangannya tanda sapaannya kepada Dimas dengan wajah tersenyum ramah. Kini Mita sudah bukanlah gadis cuek dengan muka datar yang selama ini Dimas kenal. Mita sudah menjadi gadis ceria dengan muka yang ekspresif. Entah apa yang sudah terjadi dengan Mita, tapi Dimas tetap mencoba bersikap biasa saja.
"Pagi Mita, sini, duduk," Dimas pun menjawab salam Mita dengan ramah. Ia memberikan sebuah kursi supaya Mita dapat duduk disitu.
"Paman yang kemarin belum kesini?" tanya Mita. Ia kembali menanyakan Rusli yang memang sampai sekarang belum juga datang. Kini Mita pun jauh lebih asik untuk mengobrol dengan sedikit berbasa-basi.
"Belum Mit, sudah tiga hari ini paman nggak kesini," jawab Dimas. Raut mukanya pun sedih dan kepalanya tertunduk lesu. Sepertinya Dimas sudah merasa rindu kepada Rusli dan ingin segera bertemu dengan Rusli. Sikap Mita yang tidak cuek lagi itu pun membuat Dimas mau menunjukkan ekspresi sedihnya itu.
"Kakak tinggal disini sendiri ya?" ucap Mita yang saat ini sedang melihat langit-langit ruko itu kemudian memalingkan pandangannya kepada Dimas. Mita saat ini terlihat sangatlah peduli kepada Dimas.
"Iya, aku tinggal sendiri, yah, sebenarnya sering ditemani oleh paman sih, tapi sekarang paman malah tidak ada," begitulah jawab Dimas. Ia pun kini menjadi terbuka kepada Mita dan tidak enggan untuk curhat kepada Mita.
"Kakak bisa nglukis aku kan?" tanya Mita lagi kepada Dimas. Kini Mita pun juga sudah siap dengan pakaian bak seorang pendaki gunung, bahkan ia pun sudah menyiapkan jaket tebal untuk dikenakannya. Mita benar-benar memiliki persiapan yang matang.
"Bisa kok Mita, ayo aku lukis sekarang," jawab Dimas kepada Mita. Ia pun segera mempersiapkan peralatan melukisnya dari pensil lukis hingga kanvas kosong. Kini Dimas mulai melukis Mita yang sudah berdiri dan berpose ala ala model. Dimas sudah tahu bahwa Mita sudah berpose seperti itu, Mita tidak akan bisa diajak mengobrol lagi. Jadi Dimas pun berfokus untuk menyelesaikan sketsanya.
"Sudah jadi sketsanya Mit, maaf ya, saya nggak bisa kayak paman yang langsung selesai dengan cepat," begitulah ucap Dimas setelah dua jam dia berjibaku dengan pensil sketsanya itu. Ia pun meminta maaf jika kemampuan melukisnya tidak secepat Rusli. Tapi sebenarnya kecepatan melukis Dimas pun sudah meningkat. Karena biasanya Dimas membutuhkan waktu 3 jam untuk menyelesaikan sketsanya, tapi kini Dimas hanya membutuhkan waktu 2 jam.
"Iya kak, nggak papa kok, lukisan itu tidak dilihat dari seberapa cepat selesainya kak, tapi dari seberapa indah hasilnya," tutur Mita yang sedikit memberikan nasihat kepada Dimas. Kini Mita pun menjadi gadis yang lembut, perhatian dan ramah kepada Dimas.
"Kamu cita-citanya model ya?" tanya Dimas kepada Mita. Dimas pun memberanikan diri untuk bertanya kepada Mita setelah ia melihat Mita yang kini telah berubah. Dimas juga sedang membutuhkan teman mengobrol setelah tiga hari tidak ditemani oleh Rusli.
"Iya kak, tapi aku dilarang orangtuaku untuk jadi model. Aku disuruh kuliah di kedokteran saja supaya masa depanku cerah, gitu katanya," begitulah jawab Mita yang mulai terbuka dengan Dimas. Ia sudah mau mengobrol panjang dengan Dimas dan tidak langsung pulang saat selesai dilukis. Sepertinya Mita menaruh rasa iba kepada Dimas setelah ia mendengarkan curhatan tentang dirinya yang sedang kesepian.
"Kamu memang cocok Mita jadi model, tapi lebih baik turuti apa kata orangtuamu aja, mereka pasti tahu yang terbaik untukmu," begitulah ucap Dimas mencoba menasihati Mita. Lagi-lagi sisi bijak Dimas kembali muncul.
"Eh, kakak hari minggu sibuk gak?" tanya Mita dengan tiba-tiba. Dimas pun kaget dengan pertanyaan yang tidak disangka itu. Lagi-lagi Mita kembali menanyakan apakah dirinya sibuk atau tidak.
"Tidak sih," jawab Dimas singkat. Memang saat ini Dimas sedang sepi pesanan. Rata-rata sehari Dimas hanya mendapat satu hingga dua pesanan. Itu pun kebanyakan juga pesanan-pesanan kecil di kertas A4. Pesanan Dimas masih tidak seramai saat di jalanan dulu meskipun Dimas juga sudah. Melakukan pameran
"Besok minggu temenin aku jalan jalan ya kak, aku nggak ada temen buat liburan soalnya," pinta Mita yang sontak mengagetkan Dimas. Dimas mengira jika Mita menanyakan kesibukannya, agar Mita dapat dilukis lagi dengan Dimas. Tapi Mita malah mengajak Dimas jalan-jalan. Benar-benar bukanlah Mita yang biasanya.
"Eh, tapi, aku masih harus jaga ruko ini Mit," jawab Dimas dengan suara pelan. Dimas pun tak langsung menerima ajakan Mita. Dia juga berpikir bagaimana jika Rusli datang saat dia tidak ada di ruko. Pasti Dimas akan sangat menyesal jika hal tersebut terjadi.
"Plis lah kak, aku lagi butuh teman banget ini kak, tadi katanya gak sibuk," Ucap Mita memaksa. Entah mengapa, Mita begitu kekeh ingin mengajak Dimas pergi liburan. Mita benar-benar gadis yang aneh.
"Eh, nanti aku pikir-pikir dulu ya, kalo sudah aku pikir-pikir nanti aku kabarin deh," begitu ucap Dimas. Dimas pun tidak bisa memberi jawaban langsung apakah ia menerima ajakan Mita ataukah tidak. Ia berpikir jika Rusli datang sebelum hari minggu, mungkin dia bisa menemani Mita untuk pergi berlibur.
"Eh memangnya liburannya mau kemana?" lanjut tanya Dimas. Ia pun berusaha untuk membuka obrolan lagi supaya mereka dapat lebih akrab.
"Yah, itu belum tau sih kak, hehe," jawab Mita dengan sedikit tawa meringis. Sebuah ekspresi yang sangat tak biasa dari Mita yang terkenal judes. Memang Mita masih bingung mau pergi kemana. Baginya yang penting Dimas mau dulu untuk diajak pergi liburan.
"Gimana sih, ngajak ngajak tapi nggak tau mau kemana," begitulah ucap Dimas protes. Ia sedikit mengherankan Mita yang mengajaknya pergi liburan namun belum tahu destinasi mana yang akan dituju.
"Aku maunya sih ke gunung kak, kayaknya indah deh, terus nanti kakak bisa lukis aku disana, kayaknya seru deh," ucap Mita yang terlihat sedang memikirkan sesuatu. Ia mengetukkan jari telunjuknya ke dagunya dengan tatapan mata ke arah atas.
"Ya, kamu cari aja dulu tempat wisata yang mau dituju, nanti kabarin aku kalau sudah ketemu, nanti kalo cocok aku mau nemenin kamu," begitulah tutur Dimas yang nggak mau repot-repot ikut mikirin destinasi mana yang akan dituju. Dimas memang bukan anak yang suka memikirkan hal seperti itu. Saat dulu ke gunung Arjuna saja, Roni yang menentukan tempat mereka liburan.
"Oke kak, siap, tapi kakak harus ikut ya," jawab Mita yang mengiyakan ucapan Dimas.
"Ya sudah ya, Mita pulang dulu, bye," lanjut Mita yang tiba-tiba pergi meninggalkan Dimas saat Dimas belum mengucapkan sepatah katapun. Dimas pun belum sempat membalas ucapan Mita dan Mita sudah terlanjur pergi meninggalkannya.
Dimas benar-benar bingung terhadap keadaan di SMA barunya sekarang. Lantaran ia dimasukkan ke jurusan bahasa, padahal dia memilih jurusan MIPA saat pendaftaran SMA kemarin. Nilai matematikanya juga jauh lebih tinggi dari nilai bahasa Indonesianya. Dia kini harus mengurusi surat pindah jurusannya kepada pihak kesiswaan agar dirinya bisa masuk ke jurusan yang diinginkannya."Pagi pak," salam Dimas, pria tinggi berkulit putih dengan rambut sedikit ikal itu. Dia masuk ke ruang kesiswaan dimana sudah ada seorang guru berjenggot lebat dengan kulit tubuh sedikit legam duduk di ruangan tersebut."Iya, pagi, silahkan duduk," Pak Drajat yang merupakan guru di bagian kesiswaan itu mempersilahkan Dimas untuk duduk."Ada yang bisa saya bantu nak?" tanya dia sopan dengan senyum manis yang sebenarnya gak cocok dengan muka seramnya itu."Maaf pak, saya ingin mengajukan surat perpindahan jurusan pak, karena saya sejak awal tidak menginginkan untuk masuk ke j
"Hai Dimas Ristian Putra, aku Refita I Ismiliasari, teman kelasmu yang tadi kamu kasih nomer wa ini," sebuah pesan WhatsApp dari nomer yang tidak dikenali oleh Dimas. Dimas tahu bahwa yang memberikan pesan chat itu adalah wanita cantik pujaannya itu. Akhirnya sekarang dia tahu bahwa namanya Refita I Ismiliasari. Tapi kok aneh ya namanya?"Hai juga, kok namamu Refita I Ismiliasari, I nya itu apa ya?" balas Dimas dalam chat nya dengan lanjut menanyakan keanehan nama I dalam nama lengkap Refita."Iya namaku seperti itu, di kartu keluarga dan di akta kelahiranku juga I namanya," jawab Refita yang menjelaskan memang namanya seperti itu, aneh tapi memang begitu."Oh iya, kamu mau ngomong penting apa?" lanjutnya menanyakan perihal omongan Dimas saat di kelas tadi."Oh yang tadi itu ya, aduh maaf aku lupa mau ngomong apa," Jawab Dimas mencoba mengeles. Dia sebenarnya bukan lupa dengan apa yang mau diomongin, tapi memang gak ada yang mau diomongin. Dimas cuma ingi
"Pagi ref," Dimas menyapa Refita yang sudah datang ke sekolah lebih awal dan telah duduk di bangkunya. Dimas pun menurunkan tas nya dan duduk di bangkunya yang berada di depan bangku Refita."Pagi," jawabnya singkat dengan senyuman dekiknya nan manis itu. Tidak seperti di chat WhatsApp kemarin. Kini Dimas dan Refita sama-sama diam, sepi tak ada obrolan. Mereka lebih memilih membuka bukunya masing-masing dan menunggu jam pelajaran dimulai."Selamat pagi anak-anak," sapa Bu Sandra, guru mata pelajaran kimia yang sekaligus menjadi walikelas X MIPA 7. Tampilannya kini hampir sama seperti kemarin namun roknya berwarna sedikit kecoklatan dengan baju batik dengan corak simple dan designnya yang kekinian."Pagi hari ini kita akan menentukan siapa ketua, sekretaris dan bendahara di kelas ini," jelas Bu Sandra. Seisi kelas langsung terdiam, mereka saling tatap satu dengan yang lain. Seperti mencari siapa yang akan dijadikan korban untuk memimpin kelas X MIPA 7 ini.
"Hai Refita," Dimas mencoba menghubungi Refita melalui pesan di WhatsApp. Sudah dua Minggu ini mereka tidak saling chating. Ya, itu semua karena Dimas yang seenaknya menunjuk Refita menjadi sekretarisnya. Rencana ngerjain tugas bareng pun juga gagal karena Refita yang selalu bergegas pulang ketika jam pelajaran berakhir. Hubungan mereka mulai renggang, namun di kelas mereka masih tetap menjalankan tugasnya sebagai ketua dan sekretaris dengan baik.Refita tak kunjung membalas, membacanya pun tidak. Sepertinya Dimas harus ngobrolin hal serius agar Refita mau menanggapi. Tapi sepertinya Dimas kehabisan ide. Ia pun lebih memilih meletakkan HP nya dan memulai untuk melukis di canvas yang sudah ia persiapkan di kamarnya."Hai pak ketua, kamu jadi bikin lukisan untuk pameran kelas?" sebuah pesan WhatsApp yang sedikit mengagetkan Dimas. Ia mengira bahwa Refita membalas pesannya. Eh, ternyata pesan itu dari Roni, teman satu kelasnya yang akhir-akhir ini sering main ke rumah Dim
"Bagaimana teman-teman, sudah bawa karyanya masing-masing kan?" tanya Dimas yang sekarang sedang di depan kelas dengan lagaknya sebagai ketua kelas. Semua murid X MIPA 7 sudah mempersiapkan karya terbaiknya untuk dipamerkan termasuk Dimas. Dirinya membawa sebuah lukisan yang masih ditutup oleh kain putih sehingga tidak ada yang tahu apa yang ditulisnya. "Sudah Dim, eh kamu ngelukis apa itu dim?" tanya Roni yang sudah sangat penasaran dengan lukisan Dimas. Pasalnya ia yang sering ke rumah Dimas saja tidak pernah diberitahu perihal lukisan tersebut. Lukisan itu selalu disembunyikan Dimas ketika Roni datang ke rumahnya. Dan kali ini pun juga masih di rahasiakan, padahal pameran sudah sebantar lagi. "Oke, sekarang kita punya waktu satu jam untuk mendesain ruang kelas kita agar menarik sebagai ajang pameran seni nantinya," ucap Dimas sambil membawa kain batik yang besar. Ia ingin menutupi sekeliling dinding kelasnya dengan kain batik yang didominasi dengan warna hitam dan
"Ref, nanti sepulang sekolah, jangan langsung pulang dulu ya, ada yang mau aku berikan kepadamu," ucap Dimas kepada Refita saat pelajaran terakhir akan dimulai. Kini hubungan mereka sudah membaik kembali. Refita pun juga sudah membalas pesan dari Dimas tempo hari. Mereka sudah cukup akrab dan sering bersama di sekolah sebagai ketua dan sekretaris."Iya," Refita mengiyakan perkataan Dimas. Pastinya dilengkapi dengan senyum manisnya itu.Pelajaran terakhir pun dimulai dengan Pak Abed sebagai guru matematika yang sangatlah jenaka dalam mengajar. Ia sangat sukai oleh murid-murid di kelas termasuk Dimas yang cukup menyukai pelajaran matematika."Baik anak-anak, pelajaran hari ini selesai," begitu ucap Pak Ubed saat jam menunjukkan hampir jam 1 siang. Ucapan itu juga menjadi ucapan yang ditunggu-tunggu oleh Dimas. Lantaran Dimas ingin memberikan sebuah kado terindah untuk Refita, wanita yang saat ini cukup dekat dengannya.Seperti biasa, pelajaran diakhiri deng
"Sudah rapi banget, malem malem gini mau kemana?" tanya Sonya pada Dimas yang dandannya tampak rapi dengan kemeja panjang berwarna biru yang memiliki motif kotak kotak dan celana jeans warna biru lengkap dengan sepatu sneaker yang juga berwarna biru. Dimas nampak tampan sekali dengan rambut klimis yang sedikit diolesi Pomade. "Mau kerja kelompok Bu," jawab Dimas kepada ibunya sambil mengenakan tas punggungnya. Dimas mencoba mengeles kepada ibunya, tak memberitahukan apa yang sebenarnya ingin dilakukan oleh Dimas. "Nggak papa kan Bu kali kerja kelompoknya malem malem begini?" tanya Dimas mencoba meminta ijin kepada Sonya. Sonya yang sedang menonton televisi dan mengistirahatkan tubuhnya di kursi Sofanya waktu itu pun mulai berdiri dan menghampiri Dimas yang sedang berdiri di samping sofa depan tv itu. "Iya boleh kok, tapi kalo bisa pulangnya di bawah jam 10 malam ya, kalo ngerjain tugasnya jangan lama-lama, jangan sambil ghibah, gak selesai-selesai nanti," Son
"Hai Ref, ada surat nih," ujar Cherry kepada Refita sambil memberikan sebuah amplop berwarna merah, mirip seperti angpao Imlek. Dimas pun melihat hal itu, dia nampak penasaran dan secara diam-diam menguping pembicaraan Cherry dan Refita. "Dari siapa ini Cher?" tanya Refita yang nampak terkejut dengan surat beramplop merah itu. Dia penasaran siapa yang memberikan amplop itu. Jika Dimas kan pasti akan memberikannya secara langsung, nggak lewat perantara kayak gini. "Dari cowok pokoknya, aku nggak tau siapa dia, tapi dia anak kelas XI pokoknya," jawab Cherry yang juga masih belum mengenali siapa pria yang menitipkan surat padanya. Cherry waktu itu hanya asal terima aja karena yang menitipkan surat itu adalah pria kelas XI, kakak kelasnya. Jadi, tidak mungkin jika Cherry menolak titipan kakak kelasnya itu. "Lah, kamu kok terima terima aja sih?" tanya Refita yang sedikit sebel sama tindakan Cherry yang nggak mau menolak titipan itu. "Udah, buka aja, siapa
"Pagi kak," ucap Mita kepada Dimas saat baru datang di ruko Dimas. Mita melambaikan tangannya tanda sapaannya kepada Dimas dengan wajah tersenyum ramah. Kini Mita sudah bukanlah gadis cuek dengan muka datar yang selama ini Dimas kenal. Mita sudah menjadi gadis ceria dengan muka yang ekspresif. Entah apa yang sudah terjadi dengan Mita, tapi Dimas tetap mencoba bersikap biasa saja. "Pagi Mita, sini, duduk," Dimas pun menjawab salam Mita dengan ramah. Ia memberikan sebuah kursi supaya Mita dapat duduk disitu. "Paman yang kemarin belum kesini?" tanya Mita. Ia kembali menanyakan Rusli yang memang sampai sekarang belum juga datang. Kini Mita pun jauh lebih asik untuk mengobrol dengan sedikit berbasa-basi. "Belum Mit, sudah tiga hari ini paman nggak kesini," jawab Dimas. Raut mukanya pun sedih dan kepalanya tertunduk lesu. Sepertinya Dimas sudah merasa rindu kepada Rusli dan ingin segera bertemu dengan Rusli. Sikap Mita yang tidak cuek lagi itu pun membuat Dimas mau
"Siang," sapa Mita kepada Dimas yang sedang melamun. Mita melambaikan tangannya tepat di hadapan Dimas yang pandangannya sangat kosong. Mita pun memberikan sedikit senyuman manis kepada Dimas. "Eh, siang, mau ambil lukisan ya?" ucap Dimas kaget. Ia pun terbangun dari lamunan panjangnya. Dimas pun sedikit kaget dengan Mita yang tak biasanya memberikan senyum tepat di depannya. "Iya," jawab Mita singkat. Dimas pun segera mengambil lukisan milik Mita yang sudah dibungkus dengan bingkisan yang menarik. Ide membungkus lukisan pesanan ini merupakan ide dari Rusli agar pelayanan Dimas terlihat lebih menarik. "Paman pelukis yang kemarin mana ya?" tanya Mita kepada Dimas. Dimas kali ini benar-benar heran kepada Mita. Tumben sekali Mita mau berbasa-basi menanyakan hal yang berada diluar tujuan utamanya, yaitu mengambil lukisan. "Eh, sudah dua hari paman Rusli tidak kesini," jawab Dimas. Sebenarnya sedari tadi Dimas melamunkan Rusli yang tak kunjung datang. Bias
"Aku tidak menyangka, paman bisa melukis," ucap Dimas kepada pamannya. Kini Rusli sedang melukis di rukonya, tempat Dimas biasa melukis. Rusli sebenarnya sudah tidak ingin melukis lagi, tapi kini dirinya harus menuruti permintaan Dimas yang memaksanya untuk melukis. "Ah, paman ya cuman bisa melukis, nggak jago," begitulah jawab Rusli merendah. Dimas pun hanya tersenyum karena memang Rusli bukanlah pelukis biasa. Bahkan lukisan yang Rusli buat saat ini pun benar-benar indah di mata Dimas. Sebuah lukisan yang menggambarkan suasana luar angkasa yang begitu menakjubkan dengan beebagai bintang yang tersebar di sana. "Oh iya, kemarin gadis itu tidak jadi datang ya?, Kapan dia mau kesini?" lagi lagi Rusli menanyakan tentang Mita kepada Dimas. Semenjak ketidakdatangan Mita di acara pameran itu, Rusli selalu menanyakan kapan Mita akan ke rukonya. Rusli seperti tak sabar ingin melihat bagaimana sosok gadis yang berani membayar mahal lukisan Dimas itu. "Eh, gak tau juga
"ini adalah karya paling berkesan bagi saya, lukisan wajah seseorang yang sangat saya cintai," terang Dimas kepada orang-orang yang melihat lukisannya. Kini Dimas dengan gagah memamerkan semua lukisannya. Tangannya menunjuk lukisan wajah Refita itu sebagai lukisan yang paling berkesan baginya. "Yang ini bagus ya kak," ucap salah seorang anak muda. Ia sepertinya sangat menyukai sebuah seni, khususnya seni rupa. Pengamatannya begitu detail, matanya berkeliaran menyusuri setiap aksen yang ada pada ruangan tersebut, hingga ia menemukan satu lukisan yang sangat hidup baginya. Lukisan tentang sebuah kelas yang diisi oleh banyak siswa yang sedang melakukan kegiatannya masing-masing. Itu adalah lukisan Dimas yang menggambarkan suasana kelasnya dulu. "Iya kak, itu adalah suasana kelas saya dulu, ketika saya masih SMA," begitu terang Dimas. Ia memang benar-benar melukisnya dengan nyata. Setiap wajah yang tergambar memiliki detail yang sangat bagus, dari lekuk tubuh, rambut hin
"Pagi Dim," sapa Rusli yang baru saja datang ke ruko tersebut. Tangannya menenteng sebuah kresek berisi nasi kotak. Seperti biasa Rusli selalu datang ke ruko itu setiap pagi dengan membawakan sarapan untuk Dimas. "Pagi paman," jawab Dimas tersenyum kepada Rusli. Dirinya tengah sibuk mengerjakan lukisan pesanan Mita yang akan diambil hari ini juga. Ternyata tidaklah mudah jika harus menggunakan background pantai yang sebelumnya memang tidak pernah dilakukan Dimas. "Ada pesanan?" tanya Rusli kepada Dimas sembari tangannya meletakkan nasi kotak tersebut ke meja yang berada di tepi ruangan ruko. "Iya paman," jawab Dimas singkat karena ia begitu fokus dengan lukisannya. Dia masih mengerjakan detail-detail lukisannya seperti batu karang ataupun manusia yang sedang bermain selancar. Apalagi dia juga harus dikejar waktu. "Eh, kamu nggak mau ikut pameran lukisan di graha?" lagi kata Rusli sembari ia menyodorkan sebuah selebaran kepada Dimas. "Apa
"Halo, ini dengan Kakak Dimas?" sebuah suara yang keluar dari telepon Dimas setelah Dimas menjawab panggilan dari nomor tidak dikenal tersebut. Dimas yang semula melukis pun menghentikan kegiatan melukisnya dan meladeni telepon itu. "Iya, saya Dimas, ini dengan siapa ya?" Balas Dimas sopan dengan nada suara yang merendah. Bisa jadi itu adalah orang yang akan memesan jasa lukisannya. "Kakak dimana? Sudah tidak melukis lagi ya?" ucap orang dalam telepon itu yang sepertinya seorang gadis muda jika didengar dari suaranya. Gadis tersebut pun langsung menanyakan keberadaan Dimas tanpa sedikit basa basi. Bahkan pertanyaan tentang siapa dirinya tidak dihiraukannya. "Oh iya kak, saya sekarang masih tetap melukis kok, hanya saja sudah tidak di jalanan lagi, kalau kakak mau kesini, nanti saya kirim i alamat baru saya ya kak?" Begitulah ucap Dimas halus dengan menjelaskan kejadian sebenarnya. Dia pun tidak memikirkan siapa gadis dibalik suara itu. Nanti jika bertemu Dima
"Selamat pagi paman," ucap Dimas yang baru saja datang di ruko milik Rusli tersebut. Dimas membawa ransel besar yang ia tanggalkan di punggungnya dan dua kardus besar yang berisi gulungan lukisan-lukisannya. Waktu itu Rusli sedang duduk di dalam ruko yang terlihat sangat kotor karena lama tidak dipakai. "Pagi Dimas, masuk sini Dim, tapi barang-barangmu kamu taruh diluar saja, rukonya belum dibersihkan soalnya," kata Rusli menjawab salam dari Dimas. Rusli pun menyuruh Dimas untuk menaruh barang-barangnya diluar ruko saja agar tidak terkena debu saat nanti rukonya dibersihkan. "Baik paman, rukonya biar saya saja yang membersihkannya paman," ucap Dimas setelah menaruh barang-barangnya dan langsung merebut sapu yang sedari tadi dipegang oleh Rusli. "Jangan seperti itu Dimas, kali ini kita membersihkannya bersama-sama, biar cepat selesai dan kamu cepat bekerja," begitulah ucap Rusli yang kini terlihat lebih bijak daripada Dimas. Kata-katanya sangat masuk akal mesk
"Kamu sedang apa Dimas?" ucap Rusli yang menemui Dimas sedang duduk di bangku panjang di taman kota Bandung. Rusli menepuk pundak Dimas dari belakang dan Dimas pun menoleh ke arah belakang. "Eh paman, silahkan duduk paman," bukannya menjawab pertanyaan Ruslan, Dimas malah mempersilahkan Rusli untuk duduk disampingnya yakni di bangku panjang berwarna putih itu. "Kamu nggak kerja Dim?" tanya Ruslan yang heran melihat Dimas saat ini. Tak biasanya Dimas seperti ini, Dimas yang rajin bekerja kini malah hanya duduk diam di taman tanpa melakukan suatu pekerjaan apapun. Dimas tak membawa alat lukis apapun baik itu cat air, kuas maupun kanvas. "Nggak paman, saya mau cari tempat mangkal baru paman," ucap Dimas kepada Ruslan yang kini sudah duduk di sampingnya. Pandangan Dimas pun kosong seperti masih bingung dengan apa yang akan ia lakukan. Dimas sebenarnya ingin menyewa lapak saja agar tidak usah khawatir jika sewaktu-waktu ada razia. Tapi dirinya tidak punya cukup ua
"Halo nak, apa kabar nak?" tanya Sonya, ibu Dimas di telepon. Kini Dimas sedang di kamar kosnya dan sudah dua hari Dimas masih belum mendapatkan tempat untuk ia kembali bekerja sebagai pelukis lagi. Uang yang Dimas miliki pin semakin menipis dan harus segera mendapatkan pesanan lukisan ke dirinya lagi. "Iya Bu, Dimas baik Bu," jawab Dimas berusaha memberikan kabar yang menenangkan ibunya. Dimas tidak ingin membuat ibunya khawatir akan keadaannya yang sebenarnya tidak baik-baik saja. Ini merupakan telepon keduanya setelah Dimas memtuskan hidup di Bandung. Sudah hampir dua bulan Dimas ada di Bandung dan ia pun berhasil bertahan hidup dengan gaya yang sederhana. "Gimana pekerjaanmu? Banyak yang pesan?" lagi, tanya Sonya. Ia ingin memastikan bahwa anak satu-satunya dalam keadaan yang baik-baik saja. Kini Sonya pun juga masih bekerja keras di rumah dan menyisihkan penghasilannya untuk ditabung. "Lancar Bu, meskipun yang pesan nggak terlalu banyak, tapi uangnya sud