"ini pak dendanya," ucap Dimas kepada seorang kepala satpol PP yang sedang menjaga gudang hasil penertiban. Terdapat banyak barang-barang sitaan di gudang tersebut, termasuk dengan lukisan-lukisan Dimas. Kini Dimas pun harus membayar denda setelah selesai melakukan sidang pidana ringan. Ia dikenai denda 200.000 rupiah untuk bisa mengambil lukisan-lukisannya yang disita itu.
"Iya, kamu ambil saja lukisannya," begitulah ucap kepala satpol PP itu. Pandangannya sangatlah cuek dan tangannya sibuk menghitung uang hasil denda para pedagang kaki lima. Sesekali tangannya juga memegang rokok yang ada di mulutnya dan menghisap rokok tersebut dengan asap yang keluar dari hidungnya.
"Baik pak, terimakasih pak," kata Dimas dengan membungkukkan tubuhnya untuk melewati kepala satpol PP itu dan masuk ke dalam ruangan gudang hasil sitaan itu. Ia melihat sekeliling gudang yang dipenuhi oleh gerobak-gerobak milik para pedagang kaki lima.
Matanya bergeliat menyusuri setiap sudut ruangan gudang itu. Ia mencoba mencari 4 lukisannya yang disita oleh satpol PP waktu itu. Kini ia berhasil menemukan tumpukan kanvas yang merupakan lukisannya itu. Ia pun segera meraih lukisan-lukisannya itu. Tangannya pun meraba-raba lukisan itu, memastikan bahwa lukisan-lukisan tersebut dalam keadaan baik-baik saja dan tidak memiliki kerusakan sama sekali.
Dimas pun mencoba memastikan lukisan-lukisannya lagi. Ia menyadari bahwa hanya terdapat tiga lukisan yang ia temukan. Dia masih belum menemukan lukisan wajah Refita yang merupakan karya terlamanya dan kesayangannya. Kini ia pun berusaha mencari lukisannya yang hilang itu. Matanya kembali bergeliat menyusuri setiap sisi gudang itu. Tangannya pun bergerak mencoba memindahkan barang-barang di gudang itu untuk dapat mengetahui keadaan di balik barang tersebut. Namun, dia tidak kunjung menemukan lukisannya yang hilang itu.
"Pak, lukisan saya tidak ada pak," ujar Dimas kepada kepala satpol PP setelah cukup lama mencari lukisannya yang hilang itu. Nafasnya pun juga tersengal-sengal karena kepanikannya dan itu membuatnya mencari-cari dengan terburu-buru.
"Coba kamu cari lagi dek, mungkin terselip dengan barang-barang yang lain," ucap kepala satpol PP itu. Dia sangatlah cuek dan seperti tidak peduli dengan kepanikan Dimas. Kepala satpol PP itu pun hanya memilih duduk di depan gudang dan menyuruh Dimas untuk mencarinya lagi. Mungkin kejadian barang yang hilang memang sudah lumrah terjadi di gudang penyimpanan barang sitaan itu yang memang sangatlah berantakan.
"Baik pak," Dimas pun hanya dapat menuruti ucapan kepala satpol PP itu. Dimas kembali masuk ke gudang dan mencari-cari lukisan wajah Refita itu. Dia benar-benar panik dan kini ia pun mencari dengan brutal. Dia membongkar tumpukan-tumpukan barang di gudang itu dengan melemparkan-melemparkannya. Dimas sangatlah panik dan khawatir jika lukisannya tak kunjung ia temukan.
"Haa," kata Dimas pelan dengan mengambil nafas yang besar. Kini Dimas pun menyerah, ia sudah lelah dengan pencariannya. Dia pun harus merelakan lukisannya itu. Mungkin nanti Dimas akan melukis wajah Refita lagi agar dia tetap memiliki hal yang terus mengingatkannya pada Refita. Lukisan tersebut juga akan menjadi lukisan yang akan ia pandangi ketika hatinya merasa kangen terhadap kekasih pujaannya itu.
"Permisi pak, saya pulang ya pak, lukisan saya masih kurang satu pak, jika ada lukisan saya di dalam minta tolong hubungi saya ya pak," ucap Dimas dengan memberikan nomor WhatsAppnya kepada kepala satpol PP itu. Sebenarnya Dimas cukup kesal dengan petugas yang sangat tidak peduli itu. Dimas yang sudah melaksanakan kewajibannya dengan membayar denda kepada kepala satpol PP tidak mendapatkan pelayanan yang baik. Tapi Dimas mencoba sabar dan tetap bersikap sopan kepada kepala satpol PP yang berusia lebih tua darinya. Memang, Dimas merupakan anak yang bijak dan tau apa yang seharusnya ia lakukan meskipun itu juga berat baginya.
"Iya dek, kalo ketemu saya kabari," begitulah jawab kepala satpol PP itu. Dia tetap dengan wajah cueknya, tidak ada senyum ramah sedikitpun. Dimas pun pergi dan tidak memiliki harapan apapun tentang lukisannya yang hilang. Dimas sudah tidak yakin jika kepala satpol PP akan mengabarinya. Namun, Dimas tetap memberikan nomor WhatsAppnya untuk basa basi semata.
Kini Dimas pun pergi dengan menenteng tiga lukisannya itu. Lukisan itu berukuran cukup besar namun ia tidak kesulitan untuk membawa lukisan tersebut karena sudah terbiasa. Kakinya melangkah menyusuri setiap jalanan kota. Dia pun tidak dapat untuk naik angkutan umum karena lukisannya yang besar itu sehingga dia harus berjalan kaki dengan jarak yang cukup jauh.
"Pak beli es degannya satu pak," kata Dimas ke salah satu pedagang kaki lima. Ia menghentikan langkah perjalanannya untuk istirahat. Jarak antara kosnya dan gudang sitaan itu memang sangatlah jauh dan itu cukup membuat tenaga Dimas terkuras. Ia duduk di sebuah kursi plastik yang disediakan pedagang kaki lima itu dan menyandarkan lukisan-lukisannya pada pohon besar yang ada di belakangnya.
"Baik dek," jawab pedagang itu dengan sopan. Sebuah senyum ramah dadi seorang pedagang kaki lima yang berkebalikan dengan sikap cuek dari orang yang selalu merampas kebahagiaan para pedagang kaki lima. Dimas pun menyahuti senyum ramah pedagang itu dengan berbalik tersenyum.
Kini Dimas meluruskan pandangannya. Matanya melihat jalanan kota yang dipenuhi oleh kendaraan yang berlalu lalang. Kepalanya kini sudah tidak lagi memikirkan lukisannya yang hilang. Namun kini ia lebih memikirkan bagaimana karirnya kedepannya.
Dimas tidak mau lagi di grebek grebek oleh satpol PP lagi. Dia tidak mau ribet dengan harus melakukan sidang pidana ringan dan dikenai denda untuk dapat menebus barang sitaannya. Baginya, itu hanya mengenakkan para aparat itu.
"Ini dek silahkan," ucap pedagang kaki lima itu dengan memberikan segelas es degan lengkap dengan sedotan dan sendoknya.
"Trimakasih ya pak," jawab Dimas dengan senyum ramahnya. Kini, hampir semua orang yang ia temui memanggilnya dek dan ia memanggil orang tersebut dengan pak. Memang dia sendiri jarang menemui anak-anak muda yang menjadi pedagang kaki lima. Anak-anak muda seusianya masih lebih memilih untuk sekolah ata manjadi mahasiswa ketimbang harus menelan pahitnya kehidupan di jalanan. Tapi Dimas sendiri juga bersyukur atas keadaannya sekarang. Kini ia merasakan apa yang selama ini dirasakan oleh ibunya. Harus bekerja dengan sangat keras hanya untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.
Dimas pun menikmati segelas es degan itu. Meminum air degan tersebut dengan sedotannya dan memakan daging degan teraebut dengan sendoknya. Sesekali dia meluruskan pandangannya ke jalan dan menikmati aliran angin sepoi-sepoi yang menghempas tubuhnya. Mungkin, dengan sejenak melupakan masalah dan kesedihannya, dia akan bisa sedikit bahagia dan menikmati hidup. Melepas penat di pikirannya untuk sementara waktu, dan mencoba menenangkan diri merupakan hal terbaik yang bisa Dimas lakukan untuk mendapatkan sebuah kebahagian dan kedamaian.
"Halo nak, apa kabar nak?" tanya Sonya, ibu Dimas di telepon. Kini Dimas sedang di kamar kosnya dan sudah dua hari Dimas masih belum mendapatkan tempat untuk ia kembali bekerja sebagai pelukis lagi. Uang yang Dimas miliki pin semakin menipis dan harus segera mendapatkan pesanan lukisan ke dirinya lagi. "Iya Bu, Dimas baik Bu," jawab Dimas berusaha memberikan kabar yang menenangkan ibunya. Dimas tidak ingin membuat ibunya khawatir akan keadaannya yang sebenarnya tidak baik-baik saja. Ini merupakan telepon keduanya setelah Dimas memtuskan hidup di Bandung. Sudah hampir dua bulan Dimas ada di Bandung dan ia pun berhasil bertahan hidup dengan gaya yang sederhana. "Gimana pekerjaanmu? Banyak yang pesan?" lagi, tanya Sonya. Ia ingin memastikan bahwa anak satu-satunya dalam keadaan yang baik-baik saja. Kini Sonya pun juga masih bekerja keras di rumah dan menyisihkan penghasilannya untuk ditabung. "Lancar Bu, meskipun yang pesan nggak terlalu banyak, tapi uangnya sud
"Kamu sedang apa Dimas?" ucap Rusli yang menemui Dimas sedang duduk di bangku panjang di taman kota Bandung. Rusli menepuk pundak Dimas dari belakang dan Dimas pun menoleh ke arah belakang. "Eh paman, silahkan duduk paman," bukannya menjawab pertanyaan Ruslan, Dimas malah mempersilahkan Rusli untuk duduk disampingnya yakni di bangku panjang berwarna putih itu. "Kamu nggak kerja Dim?" tanya Ruslan yang heran melihat Dimas saat ini. Tak biasanya Dimas seperti ini, Dimas yang rajin bekerja kini malah hanya duduk diam di taman tanpa melakukan suatu pekerjaan apapun. Dimas tak membawa alat lukis apapun baik itu cat air, kuas maupun kanvas. "Nggak paman, saya mau cari tempat mangkal baru paman," ucap Dimas kepada Ruslan yang kini sudah duduk di sampingnya. Pandangan Dimas pun kosong seperti masih bingung dengan apa yang akan ia lakukan. Dimas sebenarnya ingin menyewa lapak saja agar tidak usah khawatir jika sewaktu-waktu ada razia. Tapi dirinya tidak punya cukup ua
"Selamat pagi paman," ucap Dimas yang baru saja datang di ruko milik Rusli tersebut. Dimas membawa ransel besar yang ia tanggalkan di punggungnya dan dua kardus besar yang berisi gulungan lukisan-lukisannya. Waktu itu Rusli sedang duduk di dalam ruko yang terlihat sangat kotor karena lama tidak dipakai. "Pagi Dimas, masuk sini Dim, tapi barang-barangmu kamu taruh diluar saja, rukonya belum dibersihkan soalnya," kata Rusli menjawab salam dari Dimas. Rusli pun menyuruh Dimas untuk menaruh barang-barangnya diluar ruko saja agar tidak terkena debu saat nanti rukonya dibersihkan. "Baik paman, rukonya biar saya saja yang membersihkannya paman," ucap Dimas setelah menaruh barang-barangnya dan langsung merebut sapu yang sedari tadi dipegang oleh Rusli. "Jangan seperti itu Dimas, kali ini kita membersihkannya bersama-sama, biar cepat selesai dan kamu cepat bekerja," begitulah ucap Rusli yang kini terlihat lebih bijak daripada Dimas. Kata-katanya sangat masuk akal mesk
"Halo, ini dengan Kakak Dimas?" sebuah suara yang keluar dari telepon Dimas setelah Dimas menjawab panggilan dari nomor tidak dikenal tersebut. Dimas yang semula melukis pun menghentikan kegiatan melukisnya dan meladeni telepon itu. "Iya, saya Dimas, ini dengan siapa ya?" Balas Dimas sopan dengan nada suara yang merendah. Bisa jadi itu adalah orang yang akan memesan jasa lukisannya. "Kakak dimana? Sudah tidak melukis lagi ya?" ucap orang dalam telepon itu yang sepertinya seorang gadis muda jika didengar dari suaranya. Gadis tersebut pun langsung menanyakan keberadaan Dimas tanpa sedikit basa basi. Bahkan pertanyaan tentang siapa dirinya tidak dihiraukannya. "Oh iya kak, saya sekarang masih tetap melukis kok, hanya saja sudah tidak di jalanan lagi, kalau kakak mau kesini, nanti saya kirim i alamat baru saya ya kak?" Begitulah ucap Dimas halus dengan menjelaskan kejadian sebenarnya. Dia pun tidak memikirkan siapa gadis dibalik suara itu. Nanti jika bertemu Dima
"Pagi Dim," sapa Rusli yang baru saja datang ke ruko tersebut. Tangannya menenteng sebuah kresek berisi nasi kotak. Seperti biasa Rusli selalu datang ke ruko itu setiap pagi dengan membawakan sarapan untuk Dimas. "Pagi paman," jawab Dimas tersenyum kepada Rusli. Dirinya tengah sibuk mengerjakan lukisan pesanan Mita yang akan diambil hari ini juga. Ternyata tidaklah mudah jika harus menggunakan background pantai yang sebelumnya memang tidak pernah dilakukan Dimas. "Ada pesanan?" tanya Rusli kepada Dimas sembari tangannya meletakkan nasi kotak tersebut ke meja yang berada di tepi ruangan ruko. "Iya paman," jawab Dimas singkat karena ia begitu fokus dengan lukisannya. Dia masih mengerjakan detail-detail lukisannya seperti batu karang ataupun manusia yang sedang bermain selancar. Apalagi dia juga harus dikejar waktu. "Eh, kamu nggak mau ikut pameran lukisan di graha?" lagi kata Rusli sembari ia menyodorkan sebuah selebaran kepada Dimas. "Apa
"ini adalah karya paling berkesan bagi saya, lukisan wajah seseorang yang sangat saya cintai," terang Dimas kepada orang-orang yang melihat lukisannya. Kini Dimas dengan gagah memamerkan semua lukisannya. Tangannya menunjuk lukisan wajah Refita itu sebagai lukisan yang paling berkesan baginya. "Yang ini bagus ya kak," ucap salah seorang anak muda. Ia sepertinya sangat menyukai sebuah seni, khususnya seni rupa. Pengamatannya begitu detail, matanya berkeliaran menyusuri setiap aksen yang ada pada ruangan tersebut, hingga ia menemukan satu lukisan yang sangat hidup baginya. Lukisan tentang sebuah kelas yang diisi oleh banyak siswa yang sedang melakukan kegiatannya masing-masing. Itu adalah lukisan Dimas yang menggambarkan suasana kelasnya dulu. "Iya kak, itu adalah suasana kelas saya dulu, ketika saya masih SMA," begitu terang Dimas. Ia memang benar-benar melukisnya dengan nyata. Setiap wajah yang tergambar memiliki detail yang sangat bagus, dari lekuk tubuh, rambut hin
"Aku tidak menyangka, paman bisa melukis," ucap Dimas kepada pamannya. Kini Rusli sedang melukis di rukonya, tempat Dimas biasa melukis. Rusli sebenarnya sudah tidak ingin melukis lagi, tapi kini dirinya harus menuruti permintaan Dimas yang memaksanya untuk melukis. "Ah, paman ya cuman bisa melukis, nggak jago," begitulah jawab Rusli merendah. Dimas pun hanya tersenyum karena memang Rusli bukanlah pelukis biasa. Bahkan lukisan yang Rusli buat saat ini pun benar-benar indah di mata Dimas. Sebuah lukisan yang menggambarkan suasana luar angkasa yang begitu menakjubkan dengan beebagai bintang yang tersebar di sana. "Oh iya, kemarin gadis itu tidak jadi datang ya?, Kapan dia mau kesini?" lagi lagi Rusli menanyakan tentang Mita kepada Dimas. Semenjak ketidakdatangan Mita di acara pameran itu, Rusli selalu menanyakan kapan Mita akan ke rukonya. Rusli seperti tak sabar ingin melihat bagaimana sosok gadis yang berani membayar mahal lukisan Dimas itu. "Eh, gak tau juga
"Siang," sapa Mita kepada Dimas yang sedang melamun. Mita melambaikan tangannya tepat di hadapan Dimas yang pandangannya sangat kosong. Mita pun memberikan sedikit senyuman manis kepada Dimas. "Eh, siang, mau ambil lukisan ya?" ucap Dimas kaget. Ia pun terbangun dari lamunan panjangnya. Dimas pun sedikit kaget dengan Mita yang tak biasanya memberikan senyum tepat di depannya. "Iya," jawab Mita singkat. Dimas pun segera mengambil lukisan milik Mita yang sudah dibungkus dengan bingkisan yang menarik. Ide membungkus lukisan pesanan ini merupakan ide dari Rusli agar pelayanan Dimas terlihat lebih menarik. "Paman pelukis yang kemarin mana ya?" tanya Mita kepada Dimas. Dimas kali ini benar-benar heran kepada Mita. Tumben sekali Mita mau berbasa-basi menanyakan hal yang berada diluar tujuan utamanya, yaitu mengambil lukisan. "Eh, sudah dua hari paman Rusli tidak kesini," jawab Dimas. Sebenarnya sedari tadi Dimas melamunkan Rusli yang tak kunjung datang. Bias
"Pagi kak," ucap Mita kepada Dimas saat baru datang di ruko Dimas. Mita melambaikan tangannya tanda sapaannya kepada Dimas dengan wajah tersenyum ramah. Kini Mita sudah bukanlah gadis cuek dengan muka datar yang selama ini Dimas kenal. Mita sudah menjadi gadis ceria dengan muka yang ekspresif. Entah apa yang sudah terjadi dengan Mita, tapi Dimas tetap mencoba bersikap biasa saja. "Pagi Mita, sini, duduk," Dimas pun menjawab salam Mita dengan ramah. Ia memberikan sebuah kursi supaya Mita dapat duduk disitu. "Paman yang kemarin belum kesini?" tanya Mita. Ia kembali menanyakan Rusli yang memang sampai sekarang belum juga datang. Kini Mita pun jauh lebih asik untuk mengobrol dengan sedikit berbasa-basi. "Belum Mit, sudah tiga hari ini paman nggak kesini," jawab Dimas. Raut mukanya pun sedih dan kepalanya tertunduk lesu. Sepertinya Dimas sudah merasa rindu kepada Rusli dan ingin segera bertemu dengan Rusli. Sikap Mita yang tidak cuek lagi itu pun membuat Dimas mau
"Siang," sapa Mita kepada Dimas yang sedang melamun. Mita melambaikan tangannya tepat di hadapan Dimas yang pandangannya sangat kosong. Mita pun memberikan sedikit senyuman manis kepada Dimas. "Eh, siang, mau ambil lukisan ya?" ucap Dimas kaget. Ia pun terbangun dari lamunan panjangnya. Dimas pun sedikit kaget dengan Mita yang tak biasanya memberikan senyum tepat di depannya. "Iya," jawab Mita singkat. Dimas pun segera mengambil lukisan milik Mita yang sudah dibungkus dengan bingkisan yang menarik. Ide membungkus lukisan pesanan ini merupakan ide dari Rusli agar pelayanan Dimas terlihat lebih menarik. "Paman pelukis yang kemarin mana ya?" tanya Mita kepada Dimas. Dimas kali ini benar-benar heran kepada Mita. Tumben sekali Mita mau berbasa-basi menanyakan hal yang berada diluar tujuan utamanya, yaitu mengambil lukisan. "Eh, sudah dua hari paman Rusli tidak kesini," jawab Dimas. Sebenarnya sedari tadi Dimas melamunkan Rusli yang tak kunjung datang. Bias
"Aku tidak menyangka, paman bisa melukis," ucap Dimas kepada pamannya. Kini Rusli sedang melukis di rukonya, tempat Dimas biasa melukis. Rusli sebenarnya sudah tidak ingin melukis lagi, tapi kini dirinya harus menuruti permintaan Dimas yang memaksanya untuk melukis. "Ah, paman ya cuman bisa melukis, nggak jago," begitulah jawab Rusli merendah. Dimas pun hanya tersenyum karena memang Rusli bukanlah pelukis biasa. Bahkan lukisan yang Rusli buat saat ini pun benar-benar indah di mata Dimas. Sebuah lukisan yang menggambarkan suasana luar angkasa yang begitu menakjubkan dengan beebagai bintang yang tersebar di sana. "Oh iya, kemarin gadis itu tidak jadi datang ya?, Kapan dia mau kesini?" lagi lagi Rusli menanyakan tentang Mita kepada Dimas. Semenjak ketidakdatangan Mita di acara pameran itu, Rusli selalu menanyakan kapan Mita akan ke rukonya. Rusli seperti tak sabar ingin melihat bagaimana sosok gadis yang berani membayar mahal lukisan Dimas itu. "Eh, gak tau juga
"ini adalah karya paling berkesan bagi saya, lukisan wajah seseorang yang sangat saya cintai," terang Dimas kepada orang-orang yang melihat lukisannya. Kini Dimas dengan gagah memamerkan semua lukisannya. Tangannya menunjuk lukisan wajah Refita itu sebagai lukisan yang paling berkesan baginya. "Yang ini bagus ya kak," ucap salah seorang anak muda. Ia sepertinya sangat menyukai sebuah seni, khususnya seni rupa. Pengamatannya begitu detail, matanya berkeliaran menyusuri setiap aksen yang ada pada ruangan tersebut, hingga ia menemukan satu lukisan yang sangat hidup baginya. Lukisan tentang sebuah kelas yang diisi oleh banyak siswa yang sedang melakukan kegiatannya masing-masing. Itu adalah lukisan Dimas yang menggambarkan suasana kelasnya dulu. "Iya kak, itu adalah suasana kelas saya dulu, ketika saya masih SMA," begitu terang Dimas. Ia memang benar-benar melukisnya dengan nyata. Setiap wajah yang tergambar memiliki detail yang sangat bagus, dari lekuk tubuh, rambut hin
"Pagi Dim," sapa Rusli yang baru saja datang ke ruko tersebut. Tangannya menenteng sebuah kresek berisi nasi kotak. Seperti biasa Rusli selalu datang ke ruko itu setiap pagi dengan membawakan sarapan untuk Dimas. "Pagi paman," jawab Dimas tersenyum kepada Rusli. Dirinya tengah sibuk mengerjakan lukisan pesanan Mita yang akan diambil hari ini juga. Ternyata tidaklah mudah jika harus menggunakan background pantai yang sebelumnya memang tidak pernah dilakukan Dimas. "Ada pesanan?" tanya Rusli kepada Dimas sembari tangannya meletakkan nasi kotak tersebut ke meja yang berada di tepi ruangan ruko. "Iya paman," jawab Dimas singkat karena ia begitu fokus dengan lukisannya. Dia masih mengerjakan detail-detail lukisannya seperti batu karang ataupun manusia yang sedang bermain selancar. Apalagi dia juga harus dikejar waktu. "Eh, kamu nggak mau ikut pameran lukisan di graha?" lagi kata Rusli sembari ia menyodorkan sebuah selebaran kepada Dimas. "Apa
"Halo, ini dengan Kakak Dimas?" sebuah suara yang keluar dari telepon Dimas setelah Dimas menjawab panggilan dari nomor tidak dikenal tersebut. Dimas yang semula melukis pun menghentikan kegiatan melukisnya dan meladeni telepon itu. "Iya, saya Dimas, ini dengan siapa ya?" Balas Dimas sopan dengan nada suara yang merendah. Bisa jadi itu adalah orang yang akan memesan jasa lukisannya. "Kakak dimana? Sudah tidak melukis lagi ya?" ucap orang dalam telepon itu yang sepertinya seorang gadis muda jika didengar dari suaranya. Gadis tersebut pun langsung menanyakan keberadaan Dimas tanpa sedikit basa basi. Bahkan pertanyaan tentang siapa dirinya tidak dihiraukannya. "Oh iya kak, saya sekarang masih tetap melukis kok, hanya saja sudah tidak di jalanan lagi, kalau kakak mau kesini, nanti saya kirim i alamat baru saya ya kak?" Begitulah ucap Dimas halus dengan menjelaskan kejadian sebenarnya. Dia pun tidak memikirkan siapa gadis dibalik suara itu. Nanti jika bertemu Dima
"Selamat pagi paman," ucap Dimas yang baru saja datang di ruko milik Rusli tersebut. Dimas membawa ransel besar yang ia tanggalkan di punggungnya dan dua kardus besar yang berisi gulungan lukisan-lukisannya. Waktu itu Rusli sedang duduk di dalam ruko yang terlihat sangat kotor karena lama tidak dipakai. "Pagi Dimas, masuk sini Dim, tapi barang-barangmu kamu taruh diluar saja, rukonya belum dibersihkan soalnya," kata Rusli menjawab salam dari Dimas. Rusli pun menyuruh Dimas untuk menaruh barang-barangnya diluar ruko saja agar tidak terkena debu saat nanti rukonya dibersihkan. "Baik paman, rukonya biar saya saja yang membersihkannya paman," ucap Dimas setelah menaruh barang-barangnya dan langsung merebut sapu yang sedari tadi dipegang oleh Rusli. "Jangan seperti itu Dimas, kali ini kita membersihkannya bersama-sama, biar cepat selesai dan kamu cepat bekerja," begitulah ucap Rusli yang kini terlihat lebih bijak daripada Dimas. Kata-katanya sangat masuk akal mesk
"Kamu sedang apa Dimas?" ucap Rusli yang menemui Dimas sedang duduk di bangku panjang di taman kota Bandung. Rusli menepuk pundak Dimas dari belakang dan Dimas pun menoleh ke arah belakang. "Eh paman, silahkan duduk paman," bukannya menjawab pertanyaan Ruslan, Dimas malah mempersilahkan Rusli untuk duduk disampingnya yakni di bangku panjang berwarna putih itu. "Kamu nggak kerja Dim?" tanya Ruslan yang heran melihat Dimas saat ini. Tak biasanya Dimas seperti ini, Dimas yang rajin bekerja kini malah hanya duduk diam di taman tanpa melakukan suatu pekerjaan apapun. Dimas tak membawa alat lukis apapun baik itu cat air, kuas maupun kanvas. "Nggak paman, saya mau cari tempat mangkal baru paman," ucap Dimas kepada Ruslan yang kini sudah duduk di sampingnya. Pandangan Dimas pun kosong seperti masih bingung dengan apa yang akan ia lakukan. Dimas sebenarnya ingin menyewa lapak saja agar tidak usah khawatir jika sewaktu-waktu ada razia. Tapi dirinya tidak punya cukup ua
"Halo nak, apa kabar nak?" tanya Sonya, ibu Dimas di telepon. Kini Dimas sedang di kamar kosnya dan sudah dua hari Dimas masih belum mendapatkan tempat untuk ia kembali bekerja sebagai pelukis lagi. Uang yang Dimas miliki pin semakin menipis dan harus segera mendapatkan pesanan lukisan ke dirinya lagi. "Iya Bu, Dimas baik Bu," jawab Dimas berusaha memberikan kabar yang menenangkan ibunya. Dimas tidak ingin membuat ibunya khawatir akan keadaannya yang sebenarnya tidak baik-baik saja. Ini merupakan telepon keduanya setelah Dimas memtuskan hidup di Bandung. Sudah hampir dua bulan Dimas ada di Bandung dan ia pun berhasil bertahan hidup dengan gaya yang sederhana. "Gimana pekerjaanmu? Banyak yang pesan?" lagi, tanya Sonya. Ia ingin memastikan bahwa anak satu-satunya dalam keadaan yang baik-baik saja. Kini Sonya pun juga masih bekerja keras di rumah dan menyisihkan penghasilannya untuk ditabung. "Lancar Bu, meskipun yang pesan nggak terlalu banyak, tapi uangnya sud