Namun, jika dibandingkan, aura Yudha juga hampir sama dengannya.Dia juga seseorang yang ditakuti di dunia bisnis. Dia bisa mengguncang perusahaan bernilai puluhan miliar hanya dengan satu perintah. Para bos yang hebat pun harus tunduk padanya.Dua orang ini menempuh jalan yang berbeda. Satu dimulai dari usia enam tahun, satunya lagi dimulai dari usia lima tahun. Dua jalan itu sama-sama sulitnya, yang akhirnya juga membawa mereka ke tingkat yang sebanding saat ini.Ekspresi Yudha masih dingin dan nada bicaranya lebih dingin lagi. "Bicara apa? Yara? Kamu pikir kamu bisa tetap tenang?""Kali ini bukan Yara," kata Felix segera.Sekilas rasa terkejut tergambar jelas di mata Yudha. Dia menanggalkan sedikit aura agresifnya dan duduk kembali di sofa.Felix duduk di sebelahnya. Melihatnya Yudha ingin bangun lagi, Felix mengulurkan tangan untuk menahannya."Jangan begitu. Aku ingat kamu sangat lengket denganku waktu kecil." Felix menatap Yudha, suaranya terdengar agak sedih.Yudha merilekskan t
Felix menyaksikan Yudha naik ke lantai, menghela napas dan bersiap-siap pergi ke kamarnya untuk beristirahat.Saat itulah, dia agak terkejut melihat Tanto kembali dari luar."Paman!" Felix menyapa dan bangkit untuk menyambutnya. Teringat akan keanehan Siska hari ini, dia merasa harus mengatakan sesuatu.Saat berjalan mendekat, Felix menyadari ada yang aneh. Tanto terlihat lebih kuyu, dengan dua kantung hitam besar di bawah matanya, seolah belum tidur selama beberapa malam."Paman, kamu kenapa?" Dia bertanya dengan penuh perhatian. "Tadi malam nggak tidur?""Ya." Tanto menyeret tubuhnya, seperti sangat kelelahan. "Ngantuk, aku mau tidur dulu. Kamu juga cepat tidur, jangan begadang kemalaman."Setelah menjejak di tangga, dia teringat sesuatu dan berhenti sebentar. "Ngomong-ngomong, kamu naik pangkat jadi letnan kolonel, ya? Selamat.""Terima kasih." Felix tiba-tiba sedikit senang mendengar seseorang mengucapkan selamat padanya. "Paman, kamu ... aku pergi ke rumah Siska tadi. Dia sepertin
"Aku sudah bertemu dengan spesialis kesuburan itu. Aku tahu kamu bohong kepadanya agar dia menyembunyikan kesuburan Melanie." Yara langsung mengatakan intinya dan menatap Liana sangat tajam.Liana duduk lebih tegak dan menyilangkan kedua lengan. "Ternyata kamu sedikit lebih pintar dari yang aku kita?""Yang seperti ini pintar?" Yara merasa wanita ini sangat konyol dan mengganti pertanyaannya lagi. "Jadi, menurutmu Yudha bodoh, karena nggak tahu apa-apa?"Liana menurunkan tangannya, tetapi tidak menjawab pertanyaan Yara.Yara bertanya lagi, "Bagaimana menurutmu kalau suatu saat Yudha tahu perbuatanmu?""Kamu mengancam?" Liana tertawa sinis. "Bukannya kamu sekarang pacaran dengan Felix? Kalau aku membantu Melanie, secara nggak langsung aku membantumu. Atau mungkin ... kamu nggak jadi ingin bercerai?"Wanita itu menggeleng-gelengkan kepalanya. "Apa kakak beradik itu tahu kamu bolak-balik di antara mereka?""Kamu salah, aku bukan ingin kembali bersama Yudha," ucap Yara dengan serius. "Aku
Di luar dugaan, Siska tidak merespons saat mendengar ada sesuatu yang tersembunyi."Lalu, apa pengaruhnya?" Suaranya menyiratkan kesedihan yang paling dalam. "Aku nggak peduli apa yang orang lain lakukan. Yang aku pedulikan cuma dia ...."Dia menatap Yara, merasa sekaan seluruh tubuhnya di ambang kehancuran. "Tapi dia sudah membuatku sangat kecewa.""Siska, aku mengerti perasaanmu." Yara perlahan menarik sudut bibirnya. "Mana mungkin nggak? Aku juga waktu itu merasakan hal yang sama soal Yudha."Dia menatap Siska dengan sangat serius. "Tapi, kalau waktu itu aku tahu Yudha cuma ingin membalas budi, kalau aku tahu seberapa banyak campur tangan Melanie di dalamnya, aku pasti akan memberi tahu Yudha. Daripada membiarkan luka yang awalnya kecil itu tumbuh semakin besar, dan pada akhirnya membunuh hubungan kami.""Walaupun aku masih belum yakin soal perasaan Yudha kepadaku, tapi aku tahu, bahwa aku sangat, sangat mencintainya saat itu." Yara tertawa pahit. "Saat itu, aku nggak akan membiarka
Mata Yara sudah memerah sebelum Felix selesai menjelaskan."Jangan menangis, Kakek jadi sedih nanti." Felix buru-buru menjulurkan tangan, ingin menyeka mata Yara, tapi dia tidak berani menyentuh."Ya, aku nggak apa-apa." Yara menyeka asal-asalan dengan lengan bajunya dan berusaha tersenyum. "Ya sudah, aku masuk dulu."Ketika pengasuh Kakek melihatnya datang, dia berbisik, "Kakek sedang tidur. Nona Yara silakan duduk sebentar. Saya keluar dulu, tinggal tekan belnya kalau butuh sesuatu.""Oke, terima kasih." Yara berjalan dengan lembut ke samping tempat tidur dan duduk di kursi dengan hati-hati.Di tempat tidur, Kakek Susilo berbalut selimut. Napasnya sedikit keras dan wajahnya agak pucat.Dada Yara terasa sesak dan air matanya tidak bisa dibendung lagi. Dia hanya bersyukur bahwa Kakek tidak bisa melihatnya saat ini. Namun, kemudian dia melihat Kakek membuka mata dengan linglung.Dia cepat-cepat menoleh ke samping untuk menghapus air mata, lalu berbalik dan menatap mata Kakek."Kakek, su
"Kakek, maafkan aku, maafkan aku." Masa lalu berkecamuk, dan hati Yara semakin terasa berat.Dia teringat akan perintah yang pernah diberikan Kakek Susilo, memperlakukannya sebagai penyelamat Yudha. Tapi pada akhirnya apa?Dia benar-benar lelah dan tidak bisa mendapatkan hati Yudha, jadi dia hanya bisa pasrah."Anak bodoh, jangan minta maaf. kamu nggak pernah berbuat salah pada siapa pun." Suara Kakek Susilo tercekat selama beberapa saat. "Keluarga kamilah yang berbuat salah padamu."Yara terisak tak terkendali dan hanya bisa menggelengkan kepalanya.Setelah begitu banyak hal yang terjadi padanya dengan Yudha dan Felix ... dia tidak bisa membedakan siapa yang benar dan siapa yang salah. Dan siapa yang telah berbuat salah kepada siapa."Ya sudah, jangan menangis. Jangan sampai orang yang lihat mengira Kakek membuatmu menindasmu." Kakek Susilo membujuknya dengan tidak sabar.Yara menyeka air matanya dan berusaha sekuat tenaga untuk mengendalikan emosinya. "Iya, aku nggak akan menangis la
Yara menggeleng dan berdiri diam sejenak sambil berpegangan pada pagar di sebelahnya. Jantungnya berdegup kencang sekarang dan dia benar-benar takut.Jika Yudha tahu bahwa yang dia kandung adalah anaknya, maka dia dengan Felix ... Yara merasa seakan kepalanya hampir meledak."Rara, ayo aku antar pulang." Ekspresi Felix juga tampak berat."Tunggu." Yara menarik napas dalam-dalam dan berusaha menenangkan diri. "Ibumu di rumah?""Ya, di kamarnya." Felix mengerutkan kening. "Kamu mau ketemu dia? Ada apa?""Ya, aku ingin bicara dengannya." Yara harus mencari tahu tentang Tanto hari ini juga dan pulang membawa jawaban untuk Siska."Oke, aku temani kalau begitu." Felix menggandeng Yara dengan hati-hati."Aku nggak apa-apa, bisa jalan sendiri." Yara terlihat sengaja menjauhkan diri. Dia lebih memilih berpegangan pada pagar di sampingnya daripada dibantu Felix.Felix menghela napas pelan, tetapi memilih untuk menghormatinya dan mengikutinya dengan tenang.Sesampainya di depan pintu kamar Agnes,
Yara berangsur-angsur semakin berspekulasi. Dia memikirkan sebuah kemungkinan, mungkinkah Tanto bukan anak kandung Kakek Susilo?"Apa yang kamu pikirkan?" Agnes seakan bisa membaca pikiran Yara dan berkata terus terang, "Tentu saja Tanto anak Ayah. Cuma ..."Dia menghela napas berat. "Kamu tahu bagaimana ibu Tanto meninggal?"Yara menggeleng. Jika bukan karena Siska, bahkan dia tidak akan menanyakan hal ini."Depresi." Agnes memandangi perut Yara yang buncit. "Saat dia hamil Tanto, keluarga Lastana nggak mau mengakui anak itu. Dia dipaksa tes DNA anaknya saat masih hamil. Tentu saja, dia mengalami depresi sejak kejadian itu.""Lalu setelah Tanto lahir, keluarga Lastana tetap tidak mau mengakuinya. Ibunya kemudian ... lompat dari gedung." Agnes mendesah lagi. "Saat itu, Ayah sangat sibuk dan nggak punya waktu mengurus istri dan anaknya. Jadi dia selalu merasa bersalah kepada Tanto."Yara masih bingung. "Kalau memang begitu, kenapa anak Paman nggak bisa jadi pewaris?""Rara, aku tanya se