Yara menggeleng dan berdiri diam sejenak sambil berpegangan pada pagar di sebelahnya. Jantungnya berdegup kencang sekarang dan dia benar-benar takut.Jika Yudha tahu bahwa yang dia kandung adalah anaknya, maka dia dengan Felix ... Yara merasa seakan kepalanya hampir meledak."Rara, ayo aku antar pulang." Ekspresi Felix juga tampak berat."Tunggu." Yara menarik napas dalam-dalam dan berusaha menenangkan diri. "Ibumu di rumah?""Ya, di kamarnya." Felix mengerutkan kening. "Kamu mau ketemu dia? Ada apa?""Ya, aku ingin bicara dengannya." Yara harus mencari tahu tentang Tanto hari ini juga dan pulang membawa jawaban untuk Siska."Oke, aku temani kalau begitu." Felix menggandeng Yara dengan hati-hati."Aku nggak apa-apa, bisa jalan sendiri." Yara terlihat sengaja menjauhkan diri. Dia lebih memilih berpegangan pada pagar di sampingnya daripada dibantu Felix.Felix menghela napas pelan, tetapi memilih untuk menghormatinya dan mengikutinya dengan tenang.Sesampainya di depan pintu kamar Agnes,
Yara berangsur-angsur semakin berspekulasi. Dia memikirkan sebuah kemungkinan, mungkinkah Tanto bukan anak kandung Kakek Susilo?"Apa yang kamu pikirkan?" Agnes seakan bisa membaca pikiran Yara dan berkata terus terang, "Tentu saja Tanto anak Ayah. Cuma ..."Dia menghela napas berat. "Kamu tahu bagaimana ibu Tanto meninggal?"Yara menggeleng. Jika bukan karena Siska, bahkan dia tidak akan menanyakan hal ini."Depresi." Agnes memandangi perut Yara yang buncit. "Saat dia hamil Tanto, keluarga Lastana nggak mau mengakui anak itu. Dia dipaksa tes DNA anaknya saat masih hamil. Tentu saja, dia mengalami depresi sejak kejadian itu.""Lalu setelah Tanto lahir, keluarga Lastana tetap tidak mau mengakuinya. Ibunya kemudian ... lompat dari gedung." Agnes mendesah lagi. "Saat itu, Ayah sangat sibuk dan nggak punya waktu mengurus istri dan anaknya. Jadi dia selalu merasa bersalah kepada Tanto."Yara masih bingung. "Kalau memang begitu, kenapa anak Paman nggak bisa jadi pewaris?""Rara, aku tanya se
"Rara, tentang tadi malam." Felix tidak tahan lagi dan memulai pembicaraan. "Bisakah kita pura-pura tadi malam nggak pernah terjadi?""Eh?" Yara menatapnya keheranan."Aku nggak mau kamu mengasingkan aku karena ini." Felix melirik ke arah Yara sekilas. "Anggap saja nggak pernah terjadi dan kita tetap sama seperti sebelumnya."Dia berjanji kepada Yara agar lebih meyakinkan. "Aku sumpah nggak akan mengungkit-ungkitnya lagi. Aku akan diam dan menunggu.""Kak ..." Yara tampak merasa bersalah. "Sebenarnya, kamu nggak perlu mempertimbangkan perasaanku setiap melakukan apa pun. Tadi malam itu harusnya aku ...""Itu bukan salahmu. Aku memilih waktu yang salah." Felix menepikan mobilnya di pinggir jalan dan menoleh, menatap Yara dengan serius. "Jadi biarkan saja berlalu, kita masih sama seperti dulu, oke?""Oke." Yara tersenyum, merasa jauh lebih rileks. "Terima kasih, Kak.""Sama-sama, asal kamu nggak sengaja menghindari dariku." Felix tampaknya juga jauh lebih lega."Ngomong-ngomong." Dia tib
Saat menerima telepon, Yudha sedang menonton rekaman kamera pengawas Yara di kamar Kakek.Dia mengamati ekspresi Yara di setiap adegan, mencoba menebak apakah wanita itu berbohong atau tidak saat mengatakan bahwa bayi itu adalah anaknya.Melihat nama Sophia di telepon, dia hampir bisa menebak apa yang ingin dibicarakan penelepon.Setelah menunggu beberapa saat dan melihat bahwa pihak sana tidak berniat untuk menutup telepon, dia tidak punya pilihan lain selain mengangkatnya."Pak Yudha?" Suara Sophia terdengar serius."Saya di sini." Yudha mengerutkan keningnya."Sidang perceraian Pak Yudha dengan Nona Yara dijadwalkan hari Rabu depan. Tolong pastikan datang ke pengadilan tepat waktu." Sophia benar-benar bersikap formal."Saya mengerti." Yudha hendak menutup telepon ketika dia mendengar Sophia membuka mulutnya lagi."Pak Yudha, sebagai hakim dalam perkara ini, saya ingin mengingatkan. Kalau memang Pak Yudha nggak berkehendak menceraikan Nona Yara, Bapak bisa mengajukan keberatan atau b
Namun, keduanya menunggu hingga pukul tiga. Tanto tak kunjung muncul.Yara menatap Siska dengan sedih. "Apa aku telepon biar dia cepat datang?""Nggak usah, tunggu saja." Siska berpikir bahwa karena dia sudah di sini, lebih baik menunggu dengan tenang. "Jam empat. Kalau dia nggak datang, aku telepon dia.""Oke."Mereka berdua pun kembali menunggu dalam diam, tetapi Tanto masih belum juga muncul hingga pukul empat.Ekspresi Siska tidak terkontrol lagi. Dia mengeluarkan ponselnya dengan gerakan lambat dan menekan nomor Tanto, lalu menelepon tiga atau empat kali sebelum akhirnya Tanto mengangkatnya."Tanto, aku masih menunggumu di kafe. Kamu kapan mau datang?""Kafe apa?"Lingkungan sekitar Tanto berisik, sepertinya sangat ramai.Setelah memikirkannya, dia pun tersadar. "Oh, aku lupa. Rita sedang nggak enak badan hari ini. Aku nggak bisa pergi. Siska, kamu pulang dulu saja.""Tanto, aku serius ada urusan penting denganmu. Aku cuma akan menyita waktumu sepuluh menit. Nggak bisakah kamu mem
Wajah Tanto semakin kelam. "Mana buktinya?"Yara terdiam. Dia benar-benar tidak punya bukti, tapi Liana sudah mengakuinya, jadi dia hanya bisa berkata, "Tanto, aku nggak bohong.""Tanto, perutku sakit ..." Rita, yang telah tergeletak di lantai tidak jauh dari situ, mengangkat kepalanya dan berteriak lemah.Tanto melirik Siska dengan ekspresi tidak percaya, mengira bahwa Yara dan Siska sama-sama membohonginya.Dia menepis tangan Yara dengan paksa. "Oke, kalian pulanglah."Setelah mengatakan itu, dia berbalik dan berlari ke sisi Rita, lalu menggendongnya dengan lembut. "Kamu nggak apa-apa? Yang sakit di mana? Apa perlu aku panggilkan dokter?""Perut, sakit." Rita merosot di bahu Tanto seakan tak bertulang. Matanya menatap tajam ke arah Yara dan Siska."Aku bantu masuk ke dalam, lalu panggilkan dokter." Tanto membantu Rita masuk ke dalam kamar dengan hati-hati.Siska mematung di tempat sambil bergumam tidak percaya, "Dia pikir aku bohong, mengaku-ngaku hamil."Dia menoleh kepada Yara dan
Siska menyeka air matanya dan membantu Yara berdiri. "Rara, kamu nggak apa-apa?""Nggak apa-apa." Yara menatap Siska dengan cemas. "Di mana laporan tesnya? Kamu keluarkan saja.""Nggak ada laporan hasil tes." Siska membantu Yara berdiri. "Rara, ayo, aku temani kamu periksa.""Siska ..." Yara tahu bahwa sampai di sini, hati Siska sudah mati. Dia menatap Tanto dengan cemas. "Paman, apa kamu nggak mengerti? Siska beneran hamil, dia nggak bohong. Dia juga nggak bermaksud membuat keributan."Tanto berdiri tak bergerak, tapi dari ekspresinya jelas terlihat bahwa hatinya sedang bergejolak."Tanto, sakit sekali." Rita merintih sambil terisak. "Tanto, panggilkan dokter. Aku sangat sakit.""Oke, jangan takut, aku di sini." Tanto menoleh menatap Siska. "Urusan kita, tunggu sebentar. Kita bicarakan lagi nanti.""Haha ..." Siska merasa semua ini sangat lucu. Dia malah tertawa. "Nggak perlu. Urus saja Rita-mu baik-baik."Tanpa ragu, dia membantu Yara berjalan keluar dari kamar."Siska, atau kamu ...
Yara dan Siska pergi menemui Teresa.Teresa memeriksa Yara sebentar, lalu menghela napas lega. "Untung nggak ada yang serius."Dia menatap keduanya dengan nada mencela, "Walaupun Rara sudah masuk trimester ketiga, dia tetap harus hati-hati. Apa jadinya nanti kalau sampai lahir prematur?""Maaf Dok, aku akan lebih hati-hati lagi," jawab Yara dengan agak malu.Teresa menggelengkan kepalanya tanpa daya. "Kamu nggak perlu minta maaf padaku. Kalau benar terjadi sesuatu, kamu sendirilah yang harus kamu mintai maaf."Dia juga bertanya penuh perhatian kepada Siska tentang keadaannya akhir-akhir ini. Dia samar-samar bisa menebak apa yang sedang terjadi.Sebelum mereka berdua pergi, dia berpesan kepada Yara, "Tolong nasihati dia. Dengan kondisi tubuhnya, bisa hamil adalah sebuah keajaiban. Kalau dia benar-benar aborsi, ah ... ""Aku mengerti Dok, terima kasih." Yara pun pergi bersama Siska.Tak lama kemudian, Tanto datang."Pak," sapa Teresa dengan hormat. Bagaimanapun juga, Tanto juga dari kelu
Pada hari yang telah disepakati, Yudha menerima telepon dari Revan di pagi hari."Pak Yudha, saya di Meria sekarang, sedang menunggu penerbangan pulang. Seluruh informasinya sudah hampir lengkap.""Bagus." Yudha agak terkejut. Dia tidak menyangka Revan perlu pergi ke Meria. dia menambahkan, "Hati-hati di perjalanan. Aku tunggu kepulanganmu.""Pak Yudha." Revan menatap dokumen di tangannya. "Saya akan pergi ke rumahmu setelah sampai di sana. Sebelum itu ... siapkan mentalmu.""Oke." Yudha menutup telepon. Dia sebenarnya merasakan sedikit firasat buruk dalam hatinya.Dia menatap kalender dan melihat hari persidangan perceraiannya akan tiba dua hari lagi. Masih ada waktu.Satu hari terasa sangat panjang bagi Yudha. Dia meninggalkan semua pekerjaan dan kembali ke rumah keluarga besar untuk bermain sebentar dengan Agnes dan Yovi, lalu kembali ke vilanya dan menunggu.Agnes bertanya, "Kerjaanmu hari ini sudah selesai 'kan? Kenapa buru-buru pergi? Temani anakmu lebih lama lagi."Sejak ada Yov
Saat masuk ke ruang tamu, Santo jelas merasa agak malu, tapi Felix dan Gio bersikap seolah-olah tidak terjadi apa-apa dan bicara dengannya seperti biasa.Yara membawa album foto yang baru diambilnya dan mereka semua berkumpul untuk melihat."Ayah, lihat, ini foto pernikahanmu. Kalian masih sangat muda waktu itu, sangat tampan dan cantik."Santo tersenyum dan mengulurkan tangan untuk menyentuh Zaina di foto itu."Senyum Ibu sangat cantik di foto ini. Yang ini, Ayah, kamu sangat tampan ...."Sambil berbicara, Yara memperhatikan ekspresi Santo. Di dalamnya banyak foto-foto Melanie. Dia berusaha untuk menyebutnya sesedikit mungkin.Lambat laun, raut wajah Santo menjadi semakin serius.Tiba-tiba, air mata menetes membasahi album foto."Ayah, kamu kenapa?" Yara sedikit panik dan berusaha menyingkirkan album foto itu. "Kita lihat besok lagi saja, nggak apa-apa."Santo menunduk. Tangannya membelai wanita yang ada di foto tersebut dengan penuh kasih sayang. "Kenapa aku nggak pulang lebih cepat
Segera setelah pintu kamar mandi terbuka, bau menyengat menghantam. Ada noda air berwarna kuning di lantai. Tidak perlu ditanya lagi apa itu.Santo membelakangi semua orang, meringkuk di sudut ruangan. Seluruh tubuhnya gemetar."Kalian keluar dulu." Yara merasa dadanya sangat sesak dan meminta semuanya pergi."Rara, nggak apa-apa, biarkan aku membantumu." Siska bergegas berkata."Nggak usah." Yara menggeleng dan menatap mereka dengan memohon, "Keluar dulu, oke? Keluar!""Ayo, kita tunggu di ruang tamu." Gio akhirnya merespons, mengangguk kepada Yara, dan menarik pergi Felix dan Siska.Yara berdiri di ambang pintu, mengendus-endus, dan berseru lirih, "Ayah, mereka sudah pergi. Nggak apa-apa."Santo masih meringkuk di pojokan.Dia adalah kepala keluarga Lubis, yang berwibawa dan terhormat seumur hidup. Tapi sekarang ... pikirannya sudah tidak jernih lagi dan menghadapi hal semacam ini saja tidak bisa."Ayah!" Yara dengan hati-hati melangkah maju dan menarik lembut pakaian Santo. "Ayah, n
Yara juga berdiri dan menatap mata Melanie. "Bahkan meski mereka tahu kebenarannya dan menukar kita kembali, mereka tetap akan sangat mencintaimu dengan kasih sayang yang sama.""Melanie, kamu kehilangan dua orang yang paling menyayangimu. Kamu benar-benar nggak menyesalinya?" Yara sedikit emosional."Nggak!" kata Melanie dengan sangat tegas. "Yara, asal kamu tahu, nggak ada kata "menyesal" dalam kamus hidupku. Ambil barang-barangmu dan cepat pergi. Nggak usah ngoceh nggak jelas di sini."Yara menggelengkan kepalanya, mengambil album foto itu dan mengatakan satu hal lagi, "Jaga dirimu baik-baik."Dia keluar dari vila, mengucapkan selamat tinggal kepada Amel, dan segera pergi.Amel kembali ke vila dan melihat Melanie melamun sambil memandangi foto Zaina. Dia bertanya dengan suara kecil, "Bu, kamu juga kangen ibumu?""Dia bukan ibuku." Melanie mengambil foto itu dari dinding dan melemparkannya ke lantai. "Aku nggak kangen dia. Nggak sedikit pun!"Orang yang paling disayangi Zaina semasa
Setelah kehilangan Santo sekali, Yara dan yang lainnya tidak berani ceroboh lagi, terutama Siska."Rara, aku janji nggak akan membiarkan Paman Santo lepas dari pandanganku."Yara tertawa sambil menggelengkan kepalanya. "Oke, tutup pintunya, dia nggak akan bisa keluar. Aku keluar sebentar."Karena Santo selalu bicara soal menemui Zaina, Yara ingin pergi ke rumah keluarga Lubis untuk mengambil foto-foto Zaina. Dia sudah menelepon Melanie.Sampai di sana, dia melihat Amel sudah menunggunya dari kejauhan."Bibi Rara!" Amel melihat kedatangannya dan langsung berlari menghampiri. "Bibi Rara, kamu di sini."Yara memeluk Amel. "Wah, Amel sudah tambah tinggi dan cantik.""Bibi Rara juga tambah cantik," balas si kecil bermulut manis.Yara membawanya masuk ke dalam vila. Melanie sudah menunggu di ruang tamu."Barangnya di lantai atas, mungkin di kamar mereka." Melanie bangkit dan berjalan ke arah tangga. "Ayo kuantar ke atas.""Terima kasih." Yara meminta Amel bermain sendirian dan mengikuti ke a
Ini pertama kalinya Amel melihat Yudha berbicara sangat serius dengannya. Wajahnya langsung terlihat takut dan dia berbisik, "Amel kasihan sama Ibu.""Ibumu kenapa?" Yudha berjongkok dan sedikit melunakkan nada bicaranya.Amel menggeleng dan mengulangi, "Ibu kasihan sekali."Yudha tidak bertanya lagi dan mengelus kepala si kecil. "Amel, mungkin suasana hati ibumu sedang buruk. Paman akan menghiburnya, tenang saja.""Terima kasih, Paman." Amel menghela napas dan melanjutkan bermain.Yudha duduk di sofa dan menunggu. Pikirannya terus terbayang penampilan Melanie barusan. Gelagatnya seperti orang mabuk, tapi tidak ada bau alkohol sama sekali di dalam kamar. Bau itu ...Yudha belum pernah merasakan bau seperti itu sebelumnya. Menyengat dan sangat tidak enak.Dia menunggu beberapa saat dan kemudian melihat Melanie turun. Melanie sudah berganti pakaian dan menata rambutnya, nyaris seperti orang yang berbeda, membuat Yudha bertanya-tanya apakah yang dilihatnya tadi itu hanya ilusi."Yudha, ke
Selama beberapa hari berikutnya, Yara menghabiskan waktu bersama Yola dan Santo di siang hari. Lalu malamnya mengerjakan desain perhiasan bertemakan "Pulau" itu.Tapi, inspirasinya seakan sedang surut dan ide-ide yang dia pikirkan masih kurang memuaskan.Sidang perceraiannya semakin dekat.Di suatu sore, Yudha menerima telepon dari Amel sebelum pulang dari kantor."Paman sedang sibuk?" ucap gadis kecil itu dengan suara manis. "Amel sudah lama nggak ketemu Paman. Paman sedang sibuk bersama adikku ya?"Yudha terdiam. Beberapa waktu telah berlalu sejak Yovian datang ke rumah. Dia memang sudah lama belum bertemu Amel.Sejenak, dia merasa malu. "Paman minta maaf. Malam ini Paman ke rumahmu, oke?""Sekarang saja. Ayo makan di luar bersama Ibu." Amel tertawa usil. "Tapi jangan bilang Ibu. Beri dia kejutan.""Oke." Yudha menjawab ringan.Dia membereskan pekerjaannya sebentar dan segera pergi ke rumah keluarga Lubis. Tak disangka, Amel sudah menunggu di depan pintu."Amel ...""Ssst!" Amel mene
"Nggak mungkin." Yara berpikir, satu-satunya pria yang dekat dengannya baru-baru ini adalah Felix.Menurutnya, dengan sifat Felix, dia tidak mungkin punya ini seperti ini. Saran dari Gio juga rasanya tidak mungkin sampai ke sini.Dia tidak tahu siapa lagi yang mungkin."Rara, gawat!"Yara tiba-tiba mendengar suara Siska dari belakangnya. Dia buru-buru menutup telepon. "Safira, aku ada urusan mendadak. Sampai di sini dulu ya, terima kasih!""Ada apa?" Dia menatap Siska dengan cemas."Ayahmu ... ayahmu hilang." Siska terengah-engah karena kelelahan. Dia jelas sudah mencari di sekitar untuk mencoba mencarinya sebelum memberi tahu Yara.Suaranya seperti menahan tangisan. "Kami terlalu fokus dengan Yola. Aku nggak tahu sejak kapan ayahmu pergi.""Nggak apa-apa. Tolong jaga Yola dulu, aku akan mencarinya." Yara menenangkan Siska dan segera menelepon polisi.Setelah menelepon polisi, dia menelepon Felix dan Gio."Oke, jangan khawatir, kami akan membantu mencari." Felix menenangkan Yara dan me
Keesokan harinya setelah sarapan, cuaca di luar sangat cerah. Yara ingin mengajak Yola dan Santo berjalan-jalan."Aku ikut juga." Siska melambaikan kedua tangannya. Reaksi kehamilannya sudah jauh membaik akhir-akhir ini. Usia kandungannya sudah lima minggu.Yara meminta pengasuh memakaikan baju kepada Yola sementara dia pergi membantu Santo."Ayah, ganti baju dulu, lalu pergi jalan-jalan, oke?""Jalan-jalan?" Santo berpikir sejenak, "Ketemu Zaina?"Hati Yara terasa pilu. Dia hanya bisa berbohong, "Ya, jalan-jalan, menemui ibuku. Ayo Ayah, aku bantu pakai baju.""Oke, ketemu Zaina, ketemu Zaina ..." Santo terus bergumam dan segera berganti pakaian.Mereka turun ke bawah dan pergi ke lapangan kompleks. Yola di dalam kereta dorong bayi. Mata lebarnya berkedip-kedip, melihat ke mana-mana penuh rasa ingin tahu.Yara awalnya khawatir anaknya terlalu kecil untuk dibawa keluar. Tapi pengasuhnya mengatakan bahwa Yola tumbuh dengan sangat baik. Cuacanya sedang bagus, tidak terlalu dingin dan tid