Namun, keduanya menunggu hingga pukul tiga. Tanto tak kunjung muncul.Yara menatap Siska dengan sedih. "Apa aku telepon biar dia cepat datang?""Nggak usah, tunggu saja." Siska berpikir bahwa karena dia sudah di sini, lebih baik menunggu dengan tenang. "Jam empat. Kalau dia nggak datang, aku telepon dia.""Oke."Mereka berdua pun kembali menunggu dalam diam, tetapi Tanto masih belum juga muncul hingga pukul empat.Ekspresi Siska tidak terkontrol lagi. Dia mengeluarkan ponselnya dengan gerakan lambat dan menekan nomor Tanto, lalu menelepon tiga atau empat kali sebelum akhirnya Tanto mengangkatnya."Tanto, aku masih menunggumu di kafe. Kamu kapan mau datang?""Kafe apa?"Lingkungan sekitar Tanto berisik, sepertinya sangat ramai.Setelah memikirkannya, dia pun tersadar. "Oh, aku lupa. Rita sedang nggak enak badan hari ini. Aku nggak bisa pergi. Siska, kamu pulang dulu saja.""Tanto, aku serius ada urusan penting denganmu. Aku cuma akan menyita waktumu sepuluh menit. Nggak bisakah kamu mem
Wajah Tanto semakin kelam. "Mana buktinya?"Yara terdiam. Dia benar-benar tidak punya bukti, tapi Liana sudah mengakuinya, jadi dia hanya bisa berkata, "Tanto, aku nggak bohong.""Tanto, perutku sakit ..." Rita, yang telah tergeletak di lantai tidak jauh dari situ, mengangkat kepalanya dan berteriak lemah.Tanto melirik Siska dengan ekspresi tidak percaya, mengira bahwa Yara dan Siska sama-sama membohonginya.Dia menepis tangan Yara dengan paksa. "Oke, kalian pulanglah."Setelah mengatakan itu, dia berbalik dan berlari ke sisi Rita, lalu menggendongnya dengan lembut. "Kamu nggak apa-apa? Yang sakit di mana? Apa perlu aku panggilkan dokter?""Perut, sakit." Rita merosot di bahu Tanto seakan tak bertulang. Matanya menatap tajam ke arah Yara dan Siska."Aku bantu masuk ke dalam, lalu panggilkan dokter." Tanto membantu Rita masuk ke dalam kamar dengan hati-hati.Siska mematung di tempat sambil bergumam tidak percaya, "Dia pikir aku bohong, mengaku-ngaku hamil."Dia menoleh kepada Yara dan
Siska menyeka air matanya dan membantu Yara berdiri. "Rara, kamu nggak apa-apa?""Nggak apa-apa." Yara menatap Siska dengan cemas. "Di mana laporan tesnya? Kamu keluarkan saja.""Nggak ada laporan hasil tes." Siska membantu Yara berdiri. "Rara, ayo, aku temani kamu periksa.""Siska ..." Yara tahu bahwa sampai di sini, hati Siska sudah mati. Dia menatap Tanto dengan cemas. "Paman, apa kamu nggak mengerti? Siska beneran hamil, dia nggak bohong. Dia juga nggak bermaksud membuat keributan."Tanto berdiri tak bergerak, tapi dari ekspresinya jelas terlihat bahwa hatinya sedang bergejolak."Tanto, sakit sekali." Rita merintih sambil terisak. "Tanto, panggilkan dokter. Aku sangat sakit.""Oke, jangan takut, aku di sini." Tanto menoleh menatap Siska. "Urusan kita, tunggu sebentar. Kita bicarakan lagi nanti.""Haha ..." Siska merasa semua ini sangat lucu. Dia malah tertawa. "Nggak perlu. Urus saja Rita-mu baik-baik."Tanpa ragu, dia membantu Yara berjalan keluar dari kamar."Siska, atau kamu ...
Yara dan Siska pergi menemui Teresa.Teresa memeriksa Yara sebentar, lalu menghela napas lega. "Untung nggak ada yang serius."Dia menatap keduanya dengan nada mencela, "Walaupun Rara sudah masuk trimester ketiga, dia tetap harus hati-hati. Apa jadinya nanti kalau sampai lahir prematur?""Maaf Dok, aku akan lebih hati-hati lagi," jawab Yara dengan agak malu.Teresa menggelengkan kepalanya tanpa daya. "Kamu nggak perlu minta maaf padaku. Kalau benar terjadi sesuatu, kamu sendirilah yang harus kamu mintai maaf."Dia juga bertanya penuh perhatian kepada Siska tentang keadaannya akhir-akhir ini. Dia samar-samar bisa menebak apa yang sedang terjadi.Sebelum mereka berdua pergi, dia berpesan kepada Yara, "Tolong nasihati dia. Dengan kondisi tubuhnya, bisa hamil adalah sebuah keajaiban. Kalau dia benar-benar aborsi, ah ... ""Aku mengerti Dok, terima kasih." Yara pun pergi bersama Siska.Tak lama kemudian, Tanto datang."Pak," sapa Teresa dengan hormat. Bagaimanapun juga, Tanto juga dari kelu
Yara menatap kedua orang itu dengan pandangan enggan. "Nggak usah, lah. Foto bayi saja nanti, kalau mereka sudah lahir.""Nggak bisa." Siska tidak setuju. "Foto sekarang itu untuk merekam hidupmu. Aku peringatkan kamu, Rara, kamu nggak boleh melupakan dirimu sendiri sepenuhnya setelah kamu jadi ibu nanti."Dia menoleh kepada Felix. "Aku setuju usul Kak Felix. Kamu harus foto kehamilan.""Ayo, biar bisa jadi kenang-kenangan. Kamu bisa tunjukkan ke anak-anak nanti." Felix menatap Yara dengan penuh harap.Teringat saat menolak medali dari Felix, Yara terlalu malu untuk menolak tawaran baik Felix lagi. Dia juga tahu Felix sedang berusaha menghiburnya.Akhirnya, dia pun mengangguk. "Oke. Siska, kamu ya? Kita foto bersama juga.""Oke." Siska langsung setuju, kemudian mengajak Felix. "Kak, kamu ikut juga, bantu kasih saran."Felix tanpa sadar menatap Yara. Bagaimanapun juga, foto kehamilan adalah sesuatu yang sensitif. Jika dia ikut, pada dasarnya dia akan berperan sebagai ayah dari si bayi.
Pria itu memegang jas hitam di satu tangan. Kemeja putih sederhana yang dia kenakan dipadukan celana formal warna hitam. Terlihat jelas bahunya yang bidang, pinggangnya yang ramping, serta kakinya yang panjang.Alisnya sedikit berkerut dan lengan kemejanya digulung sampai ke siku, memperlihatkan lengan dengan proporsi yang ideal. Seluruh tubuhnya menampakkan citra dewasa dan kuat.Yara tercengang melihat adegan ini. Pikirannya kosong dan dia refleks ingin melarikan diri.Karena pria itu adalah Yudha dan adegan seperti itu sering muncul dalam fantasi Yara sampai tak terhitung jumlahnya.Yang lebih tidak bisa terima lagi karena Melanie yang sedang memakaikan dasi untuk Yudha saat ini mengenakan gaun pengantin.Pikiran Yara langsung melayang kembali pada waktu dua orang itu hampir menikah. Tubuhnya terhuyung-huyung. Untungnya, Siska segera menahannya."Rara, kamu nggak apa-apa?" Siska membuang muka dengan marah. "Kita ganti lain kali saja ya?"Dia tahu bahwa meski Yara sudah melepaskan Yu
"Nggak." Yara menarik sudut bibirnya, lalu dia merasakan tatapan ganas mengarah padanya.Dia tidak perlu mendongak dan sudah tahu bahwa Yudha sedang memelototinya.Dia tidak ambil pusing dan mengambil album contoh di atas meja dengan santai."Permisi, ini benar Nona Yara Lubis?" Staf yang bertugas menyambut akhirnya muncul. "Untuk foto kehamilan yang dipesan atas nama Felix Lastana?"Yara mengangguk. "Benar.""Halo, Nona Yara, saya yang bertugas memandumu hari ini. Panggil saja Chelsea." Gadis bertanya dengan ragu, "Di mana ayah bayinya? Belum datang? Foto kehamilan seperti ini lebih baik kalau berdua."Yara baru akan menjelaskan bahwa dia ingin foto sendirian, tetapi Siska menyela lebih dulu. "Ayahnya sedang cari tempat parkir, sebentar lagi datang.""Baik, kalau begitu." Chelsea melihat Yara sedang memegang album contoh, jadi dia tersenyum dan memperkenalkan, "Nona Yara, silakan lihat-lihat dulu pilihan gayanya. Penata rias kami sudah siap dan pakaiannya sudah lengkap, jadi silakan p
"Kamu mau foto sama Felix?" Yudha tiba-tiba kembali lagi dan berdiri di depan Yara dengan wajah kelam.Yara menarik napas dalam-dalam dan berusaha sekuat tenaga untuk mengendalikan emosinya. "Ini bukan urusanmu.""Bukan urusanku, katamu?" Yudha menggeram dengan suara rendah untuk mengingatkan Yara, "Aku dengar semua yang kamu katakan di kamar Kakek waktu itu."Dia menekankan kata demi kata. "Kamu bilang mereka anak-anakku.""Yudha, kamu sedang kesambet apa?" Telapak tangan Yara langsung berkeringat mendengar Yudha menyebutkan hal itu lagi. Dia bangkit berdiri dan memaksakan diri untuk menatap mata pria itu. "Aku katakan sekali lagi. Kakek sedang nggak terlalu sadar waktu itu. Dia lupa kita akan bercerai. Aku nggak mau dia marah, jadi aku sengaja bohong."Kedua tangannya terkepal erat dan suaranya sedikit gemetaran. "Sudah kubilang, ini bukan anak-anakmu dan nggak ada hubungannya denganmu.""Benarkah?" Yudha tersenyum provokatif. "Kalau memang begitu, kamu berani tes DNA denganku?"Tubu