"Nggak." Yara menarik sudut bibirnya, lalu dia merasakan tatapan ganas mengarah padanya.Dia tidak perlu mendongak dan sudah tahu bahwa Yudha sedang memelototinya.Dia tidak ambil pusing dan mengambil album contoh di atas meja dengan santai."Permisi, ini benar Nona Yara Lubis?" Staf yang bertugas menyambut akhirnya muncul. "Untuk foto kehamilan yang dipesan atas nama Felix Lastana?"Yara mengangguk. "Benar.""Halo, Nona Yara, saya yang bertugas memandumu hari ini. Panggil saja Chelsea." Gadis bertanya dengan ragu, "Di mana ayah bayinya? Belum datang? Foto kehamilan seperti ini lebih baik kalau berdua."Yara baru akan menjelaskan bahwa dia ingin foto sendirian, tetapi Siska menyela lebih dulu. "Ayahnya sedang cari tempat parkir, sebentar lagi datang.""Baik, kalau begitu." Chelsea melihat Yara sedang memegang album contoh, jadi dia tersenyum dan memperkenalkan, "Nona Yara, silakan lihat-lihat dulu pilihan gayanya. Penata rias kami sudah siap dan pakaiannya sudah lengkap, jadi silakan p
"Kamu mau foto sama Felix?" Yudha tiba-tiba kembali lagi dan berdiri di depan Yara dengan wajah kelam.Yara menarik napas dalam-dalam dan berusaha sekuat tenaga untuk mengendalikan emosinya. "Ini bukan urusanmu.""Bukan urusanku, katamu?" Yudha menggeram dengan suara rendah untuk mengingatkan Yara, "Aku dengar semua yang kamu katakan di kamar Kakek waktu itu."Dia menekankan kata demi kata. "Kamu bilang mereka anak-anakku.""Yudha, kamu sedang kesambet apa?" Telapak tangan Yara langsung berkeringat mendengar Yudha menyebutkan hal itu lagi. Dia bangkit berdiri dan memaksakan diri untuk menatap mata pria itu. "Aku katakan sekali lagi. Kakek sedang nggak terlalu sadar waktu itu. Dia lupa kita akan bercerai. Aku nggak mau dia marah, jadi aku sengaja bohong."Kedua tangannya terkepal erat dan suaranya sedikit gemetaran. "Sudah kubilang, ini bukan anak-anakmu dan nggak ada hubungannya denganmu.""Benarkah?" Yudha tersenyum provokatif. "Kalau memang begitu, kamu berani tes DNA denganku?"Tubu
Dia duduk dan membuka secara acak sebuah foto yang mengikutkan ayah bayinya. "Ayo pilih yang ini saja, Kak. Aku suka."Felix pun tercengang. Meski dia ikut datang hari ini, dia tidak menyangka akan mendapat kesempatan untuk berfoto bersama Yara.Dia menatap Yara dengan rasa tidak percaya."Kak Felix, kamu suka?" Yara mengedipkan mata memberi isyarat. "Atau mau pilih lagi sama-sama?""Rara!" Yudha hampir berteriak. "Jangan coba-coba menantangku. Kalau kamu ..."Saat itulah, Melanie yang sudah berganti gaun lain akhirnya sadar Yudha tidak ada di ruangan. Dia berlari keluar sambil membawa gaun pengantinnya, "Yudha, kenapa kamu di sini? Aku sudah ganti gaun. Bagaimana menurutmu? Bagus?"Yudha tidak menoleh sama sekali. Dia masih menatap marah kepada Yara."Yudha?" Melanie tidak menyerah dan memanggilnya lagi dengan suara ragu-ragu.Yudha mencabut dasinya dengan keras dan melemparkannya ke lantai. "Melly, aku ada urusan mendadak di kantor, nggak bisa foto hari ini."Dia bahkan tidak melepas
Chelsea spontan menatap Felix. "Bukannya mau foto bersama Pak Felix?""Ah?" Felix tersadar kembali dan berusaha mengabaikan rasa sesak dalam hatinya, pura-pura tidak peduli. "Aku nggak ikut. Biar dia foto sendirian.""Tapi, foto bersama ..." Chelsea masih ingin meyakinkan, karena dia merasa hasilnya akan lebih indah jika Felix dan Yara foto bersama."Nggak perlu, beneran." Yara bangkit dan menyela. "Tolong carikan pakaiannya, biar saya ganti sekalian.""Baik, Nona Yara. Tunggu sebentar, nanti saya antar ke sana sebentar lagi." Chelsea dengan cepat melirik keduanya.Dia samar-samar merasa ada yang aneh di antara dua orang ini.Dia juga sedikit mendengar sesuatu dari perkataan Yudha barusan. Mungkinkah Pak Felix ini bukan ayah dari anak Nona Yara?"Kak Felix, maaf, tadi Yudha terlalu curiga." Yara menatap Felix dengan mata meminta maaf. "Aku sengaja bilang kita mau foto bersama biar dia berhenti curiga."Felix memasang senyum. "Nggak apa-apa, aku tahu kok. Jangan pikirkan aku, aku nggak
Dia memanggil dengan ragu-ragu, "Siska?"Orang itu menoleh, dan benar saja, itu Siska."Wow, Siska, gaun ini cantik sekali, sangat cocok untukmu." Yara berjalan dengan raut terpana."Ya 'kan? Aku sendiri juga suka." Siska mengangkat ujung gaunnya dan berputar di depan cermin."Mau difoto?" Yara mengambil telepon genggamnya."Nona Yara." Chelsea di sebelahnya cepat-cepat mengingatkan, "Kalau ingin mencoba pakaian dan ambil foto, harus pesan sesi foto dengan kami. Kami nggak mengizinkan foto sendiri."Siska pun tersenyum. "Nggak apa-apa Rara, nggak usah foto. Aku cuma coba-coba saja."Dia menatap dirinya sendiri di cermin dengan wajah enggan, berpikir bahwa ini adalah pertama kalinya dia mengenakan gaun pengantin, dan mungkin yang terakhir.Dia ingin mengenang dirinya sebagai seorang pengantin."Siska, kamu mau foto?" Yara dapat membaca pikirannya."Nggak, terlalu merepotkan." Siska tahu harga di studio foto ini pasti tidak murah. Dia tidak ingin mengeluarkan uang."Foto saja." Felix tib
"Entahlah." Yara menggeleng. Samar-samar, dia ingat bahwa ini bukan pertama kalinya Siska bertanya hal yang sama padanya. Namun, dia masih belum bisa memberi jawaban yang tepat.Siska menghela napas pelan. Dia memikirkan sesuatu dan tiba-tiba bertanya, "Kalau Yudha?""Yudha?" Yara mengerutkan keningnya dan menjawab dengan cepat, "Rasanya sudah nggak lagi.""Ah, kamu ..." Siska ingin mengatakan sesuatu, tapi akhirnya tidak jadi.Dia merasa bahwa dalam hal ini, "entahlah" jauh lebih menyakitkan daripada "rasanya sudah tidak lagi".Pada akhirnya, masalah perasaan tidak bisa dipaksakan. Dia selalu mengatakan bahwa dia akan membantu Felix, tapi dia juga mengerti bahwa yang bisa dia bantu sangatlah terbatas.Keduanya naik ke lantai atas dalam diam. Sesampainya di depan pintu rumah, mereka membeku di tempat pada saat yang bersamaan.Yara melirik Siska dengan cemas, lalu berkata dengan nada dingin pada orang di depan pintu, "Sedang apa kamu di sini?"Tanto sedang menunggu di depan pintu, entah
Dia berbalik dan hendak masuk rumah.Tanto melangkah maju lagi untuk menghentikannya. "Siska, aku peringatkan kamu, jangan main-main."Dia melirik ke arah perut Siska. "Kalau kamu berani menggugurkan anak itu ...""Apa?" Siska tertawa marah. "Apa? Apa kamu punya kemampuan untuk menghidupkannya kembali? Bisakah kamu mengembalikan bayi itu ke dalam perutku?"Kaki Tanto melemas dan hampir terjatuh ke lantai. "Kamu beneran sudah menggugurkannya?""Lepaskan aku." Siska menarik tangannya kembali dan mundur selangkah menjauh dari Tanto. "Aku katakan sekali lagi, ini nggak ada hubungannya denganmu. Aku nggak punya kewajiban membicarakan apa pun denganmu."Dengan itu, dia berbalik dan pergi.Tanto nyaris tidak bisa berdiri. Sambil berpegangan pada dinding, dia mengancam dengan sisa-sisa tenaganya, "Siska, jangan coba-coba menggugurkan anak itu. Aku nggak akan memaafkanmu!"Pintu dibanting dengan suara keras.Di luar pintu, Tanto tidak dapat bertahan lebih lama lagi. Tubuhnya perlahan meluncur k
Setibanya di rumah sakit, Teresa sudah menunggu Siska dibawa ke ruang gawat darurat."Dok, tolong selamatkan bayinya." Yara memohon pada Teresa berulang kali."Tenang, tenang, jangan lupa kamu juga sedang hamil." Teresa membantu Yara duduk, "Duduk dan tunggu sebentar.""Oke." Yara menunggu dengan gelisah di luar. Setelah menunggu sekitar setengah jam, akhirnya Teresa keluar."Dok, bagaimana keadaannya?" Dia bertanya dengan cemas, "Siska nggak apa-apa? Bagaimana keadaan bayinya?""Jangan khawatir, semuanya baik-baik saja." Teresa berkata dengan hangat, "Siska dan bayinya sama-sama baik-baik saja untuk saat ini, tapi kemungkinannya tetap ada, jadi harus dirawat inap beberapa hari."Yara akhirnya menghela napas lega. "Baiklah, terima kasih Dokter Teresa, terima kasih.""Masuk dan temui dia." Teresa menggelengkan kepalanya. "Dia sepertinya nggak mau dirawat. Dia bahkan nggak mau mempertahankan bayinya.""Oke, biar kubujuk dia." Yara bergegas pergi ke bangsal.Siska terbaring di sana dengan