Di luar dugaan, Siska tidak merespons saat mendengar ada sesuatu yang tersembunyi."Lalu, apa pengaruhnya?" Suaranya menyiratkan kesedihan yang paling dalam. "Aku nggak peduli apa yang orang lain lakukan. Yang aku pedulikan cuma dia ...."Dia menatap Yara, merasa sekaan seluruh tubuhnya di ambang kehancuran. "Tapi dia sudah membuatku sangat kecewa.""Siska, aku mengerti perasaanmu." Yara perlahan menarik sudut bibirnya. "Mana mungkin nggak? Aku juga waktu itu merasakan hal yang sama soal Yudha."Dia menatap Siska dengan sangat serius. "Tapi, kalau waktu itu aku tahu Yudha cuma ingin membalas budi, kalau aku tahu seberapa banyak campur tangan Melanie di dalamnya, aku pasti akan memberi tahu Yudha. Daripada membiarkan luka yang awalnya kecil itu tumbuh semakin besar, dan pada akhirnya membunuh hubungan kami.""Walaupun aku masih belum yakin soal perasaan Yudha kepadaku, tapi aku tahu, bahwa aku sangat, sangat mencintainya saat itu." Yara tertawa pahit. "Saat itu, aku nggak akan membiarka
Mata Yara sudah memerah sebelum Felix selesai menjelaskan."Jangan menangis, Kakek jadi sedih nanti." Felix buru-buru menjulurkan tangan, ingin menyeka mata Yara, tapi dia tidak berani menyentuh."Ya, aku nggak apa-apa." Yara menyeka asal-asalan dengan lengan bajunya dan berusaha tersenyum. "Ya sudah, aku masuk dulu."Ketika pengasuh Kakek melihatnya datang, dia berbisik, "Kakek sedang tidur. Nona Yara silakan duduk sebentar. Saya keluar dulu, tinggal tekan belnya kalau butuh sesuatu.""Oke, terima kasih." Yara berjalan dengan lembut ke samping tempat tidur dan duduk di kursi dengan hati-hati.Di tempat tidur, Kakek Susilo berbalut selimut. Napasnya sedikit keras dan wajahnya agak pucat.Dada Yara terasa sesak dan air matanya tidak bisa dibendung lagi. Dia hanya bersyukur bahwa Kakek tidak bisa melihatnya saat ini. Namun, kemudian dia melihat Kakek membuka mata dengan linglung.Dia cepat-cepat menoleh ke samping untuk menghapus air mata, lalu berbalik dan menatap mata Kakek."Kakek, su
"Kakek, maafkan aku, maafkan aku." Masa lalu berkecamuk, dan hati Yara semakin terasa berat.Dia teringat akan perintah yang pernah diberikan Kakek Susilo, memperlakukannya sebagai penyelamat Yudha. Tapi pada akhirnya apa?Dia benar-benar lelah dan tidak bisa mendapatkan hati Yudha, jadi dia hanya bisa pasrah."Anak bodoh, jangan minta maaf. kamu nggak pernah berbuat salah pada siapa pun." Suara Kakek Susilo tercekat selama beberapa saat. "Keluarga kamilah yang berbuat salah padamu."Yara terisak tak terkendali dan hanya bisa menggelengkan kepalanya.Setelah begitu banyak hal yang terjadi padanya dengan Yudha dan Felix ... dia tidak bisa membedakan siapa yang benar dan siapa yang salah. Dan siapa yang telah berbuat salah kepada siapa."Ya sudah, jangan menangis. Jangan sampai orang yang lihat mengira Kakek membuatmu menindasmu." Kakek Susilo membujuknya dengan tidak sabar.Yara menyeka air matanya dan berusaha sekuat tenaga untuk mengendalikan emosinya. "Iya, aku nggak akan menangis la
Yara menggeleng dan berdiri diam sejenak sambil berpegangan pada pagar di sebelahnya. Jantungnya berdegup kencang sekarang dan dia benar-benar takut.Jika Yudha tahu bahwa yang dia kandung adalah anaknya, maka dia dengan Felix ... Yara merasa seakan kepalanya hampir meledak."Rara, ayo aku antar pulang." Ekspresi Felix juga tampak berat."Tunggu." Yara menarik napas dalam-dalam dan berusaha menenangkan diri. "Ibumu di rumah?""Ya, di kamarnya." Felix mengerutkan kening. "Kamu mau ketemu dia? Ada apa?""Ya, aku ingin bicara dengannya." Yara harus mencari tahu tentang Tanto hari ini juga dan pulang membawa jawaban untuk Siska."Oke, aku temani kalau begitu." Felix menggandeng Yara dengan hati-hati."Aku nggak apa-apa, bisa jalan sendiri." Yara terlihat sengaja menjauhkan diri. Dia lebih memilih berpegangan pada pagar di sampingnya daripada dibantu Felix.Felix menghela napas pelan, tetapi memilih untuk menghormatinya dan mengikutinya dengan tenang.Sesampainya di depan pintu kamar Agnes,
Yara berangsur-angsur semakin berspekulasi. Dia memikirkan sebuah kemungkinan, mungkinkah Tanto bukan anak kandung Kakek Susilo?"Apa yang kamu pikirkan?" Agnes seakan bisa membaca pikiran Yara dan berkata terus terang, "Tentu saja Tanto anak Ayah. Cuma ..."Dia menghela napas berat. "Kamu tahu bagaimana ibu Tanto meninggal?"Yara menggeleng. Jika bukan karena Siska, bahkan dia tidak akan menanyakan hal ini."Depresi." Agnes memandangi perut Yara yang buncit. "Saat dia hamil Tanto, keluarga Lastana nggak mau mengakui anak itu. Dia dipaksa tes DNA anaknya saat masih hamil. Tentu saja, dia mengalami depresi sejak kejadian itu.""Lalu setelah Tanto lahir, keluarga Lastana tetap tidak mau mengakuinya. Ibunya kemudian ... lompat dari gedung." Agnes mendesah lagi. "Saat itu, Ayah sangat sibuk dan nggak punya waktu mengurus istri dan anaknya. Jadi dia selalu merasa bersalah kepada Tanto."Yara masih bingung. "Kalau memang begitu, kenapa anak Paman nggak bisa jadi pewaris?""Rara, aku tanya se
"Rara, tentang tadi malam." Felix tidak tahan lagi dan memulai pembicaraan. "Bisakah kita pura-pura tadi malam nggak pernah terjadi?""Eh?" Yara menatapnya keheranan."Aku nggak mau kamu mengasingkan aku karena ini." Felix melirik ke arah Yara sekilas. "Anggap saja nggak pernah terjadi dan kita tetap sama seperti sebelumnya."Dia berjanji kepada Yara agar lebih meyakinkan. "Aku sumpah nggak akan mengungkit-ungkitnya lagi. Aku akan diam dan menunggu.""Kak ..." Yara tampak merasa bersalah. "Sebenarnya, kamu nggak perlu mempertimbangkan perasaanku setiap melakukan apa pun. Tadi malam itu harusnya aku ...""Itu bukan salahmu. Aku memilih waktu yang salah." Felix menepikan mobilnya di pinggir jalan dan menoleh, menatap Yara dengan serius. "Jadi biarkan saja berlalu, kita masih sama seperti dulu, oke?""Oke." Yara tersenyum, merasa jauh lebih rileks. "Terima kasih, Kak.""Sama-sama, asal kamu nggak sengaja menghindari dariku." Felix tampaknya juga jauh lebih lega."Ngomong-ngomong." Dia tib
Saat menerima telepon, Yudha sedang menonton rekaman kamera pengawas Yara di kamar Kakek.Dia mengamati ekspresi Yara di setiap adegan, mencoba menebak apakah wanita itu berbohong atau tidak saat mengatakan bahwa bayi itu adalah anaknya.Melihat nama Sophia di telepon, dia hampir bisa menebak apa yang ingin dibicarakan penelepon.Setelah menunggu beberapa saat dan melihat bahwa pihak sana tidak berniat untuk menutup telepon, dia tidak punya pilihan lain selain mengangkatnya."Pak Yudha?" Suara Sophia terdengar serius."Saya di sini." Yudha mengerutkan keningnya."Sidang perceraian Pak Yudha dengan Nona Yara dijadwalkan hari Rabu depan. Tolong pastikan datang ke pengadilan tepat waktu." Sophia benar-benar bersikap formal."Saya mengerti." Yudha hendak menutup telepon ketika dia mendengar Sophia membuka mulutnya lagi."Pak Yudha, sebagai hakim dalam perkara ini, saya ingin mengingatkan. Kalau memang Pak Yudha nggak berkehendak menceraikan Nona Yara, Bapak bisa mengajukan keberatan atau b
Namun, keduanya menunggu hingga pukul tiga. Tanto tak kunjung muncul.Yara menatap Siska dengan sedih. "Apa aku telepon biar dia cepat datang?""Nggak usah, tunggu saja." Siska berpikir bahwa karena dia sudah di sini, lebih baik menunggu dengan tenang. "Jam empat. Kalau dia nggak datang, aku telepon dia.""Oke."Mereka berdua pun kembali menunggu dalam diam, tetapi Tanto masih belum juga muncul hingga pukul empat.Ekspresi Siska tidak terkontrol lagi. Dia mengeluarkan ponselnya dengan gerakan lambat dan menekan nomor Tanto, lalu menelepon tiga atau empat kali sebelum akhirnya Tanto mengangkatnya."Tanto, aku masih menunggumu di kafe. Kamu kapan mau datang?""Kafe apa?"Lingkungan sekitar Tanto berisik, sepertinya sangat ramai.Setelah memikirkannya, dia pun tersadar. "Oh, aku lupa. Rita sedang nggak enak badan hari ini. Aku nggak bisa pergi. Siska, kamu pulang dulu saja.""Tanto, aku serius ada urusan penting denganmu. Aku cuma akan menyita waktumu sepuluh menit. Nggak bisakah kamu mem