"Rara!" Tak disangka, Melanie tiba-tiba memanggilnya. "Masuk, ayo ke rumah sakit juga."Yara masuk ke mobil dalam keadaan linglung dan berkata pada Melanie, "Terima kasih."Namun, dia memperhatikan Melanie mengerutkan bibir bawahnya, tampak sangat bangga.Di dalam mobil, Agnes berulang kali mengecek apakah suntikan obat tadi sudah benar."Harusnya benar." Tangan perawat itu terkepal erat, dan telapak tangannya basah penuh keringat.Karena dia samar-samar sudah punya tebakan, dia hanya sulit memercayainya.Agnes tidak berkata apa-apa lagi. Dia memandang Yara untuk terakhir kalinya dan mengumpat dengan suara rendah, "Setiap kali kamu datang pasti membawa sial."Sesampainya di rumah sakit, Kakek Susilo langsung dilarikan ke ruang gawat darurat.Semua orang menunggu dengan cemas di luar. Melanie menemani Agnes, suster perawat itu berdiri di samping dengan wajah pucat, dan Yara merasa kedinginan yang tak dapat dijelaskan."Bibi Agnes, jangan terlalu khawatir, Kakek pasti baik-baik saja," hi
Kakek Susilo berhasil diselamatkan.Yara sangat ketakutan. Dia terus berdoa dalam hatinya, semoga Kakek bisa melewati masa-masa sulit ini.Tak lama kemudian, Yudha dan Tanto datang beriringan."Ada apa?" Dia bertanya dengan cemas. "Bukannya tadi pagi masih baik-baik saja?"Mata Agnes memerah dan dia menggelengkan kepala. "Aku nggak tahu apa yang terjadi, waktu itu aku sedang di ruang tamu di lantai bawah.""Aku ada di sana waktu itu." Melanie melirik ke arah Amanda. "Aku pergi untuk mengantarkan obat. Kak Amanda dan Rara menyuntik Kakek bersama-sama. Tiba-tiba, setelah disuntik, aku lihat ada yang salah dengan wajah kakek."Yudha dapat menarik kesimpulan dan menatap Amanda. "Kamu salah menyuntikkan obat?""Saya nggak tahu, nggak." Amanda menggeleng-gelengkan kepalanya sekuat tenaga. "Waktu itu, Nona Yara bilang ingin membantu, jadi saya suruh dia mengambilkan obat. Saya sudah menjelaskan dengan benar. Harusnya ... harusnya nggak ada yang salah."Pada saat yang sama, pintu ruang IGD ter
"Yudha, tolong dengarkan penjelasanku, bukan aku yang melakukannya." Yara menangis. Dia sangat sayang kepada Kakek, mana mungkin dia melakukan kesalahan yang begitu fatal?Namun, mata Yudha seperti ingin membunuhnya."Yudha, nggak bisakah kamu ...." Saat pintu lift tertutup, Yara terjatuh ke lantai, "... percaya padaku?"Dia tidak tahu bagaimana dia meninggalkan rumah sakit.Setelah sampai di rumah, Siska kaget."Rara, kamu kenapa?" Siska merasa Yara seperti hantu gentayangan yang kesepian, tanpa kehidupan sama sekali. "Apa yang terjadi?"Yara berkata dengan wajah yang mati rasa, "Kakek kritis.""Kenapa bisa begini?" Siska segera menariknya ke sofa. "Rara, jangan khawatir. Kakek punya keberuntungan tersendiri. Semuanya akan baik-baik saja."Yara sedikit tersadar dan meraih Siska sangat erat."Siska, tolong bantu tanyakan ke paman, bagaimana keadaan Kakek?""Oke, aku tanya sekarang." Siska berjalan ke samping, ragu-ragu sejenak, dan segera menelepon.Dalam beberapa hari terakhir, Tanto
Keesokan paginya, Yara pergi ke rumah sakit lebih awal dan bertemu Melanie di lantai satu."Yara, kamu kebal malu sekali. Masih berani datang ke sini?" Melanie tampak tidak percaya."Aku ke sini mau bertemu Kakek." Yara mengabaikannya dan bersiap menaiki lift.Tanpa diduga, Melanie meraihnya. "Yara, kamu hampir membunuh Kakek. Kamu nggak diterima di sini.""Kakek yang minta aku datang," teriak Yara marah. "Lagian, kemarin aku nggak salah ambil obat, apalagi berniat menyakiti Kakek.""Kamu masih mau menyangkal?" Melanie mengeluarkan ponselnya. "Coba aku telepon Yudha sekarang. Kalau dia setuju, aku akan membiarkanmu naik."Jantung Yara berdebar kencang."Kamu Rara ya?" Tiba-tiba terdengar suara rendah seorang pria yang bernada lemah lembut.Yara mengikuti suara itu dan melihat seorang pria berseragam militer berjalan mendekat. Wajahnya lumayan mirip Yudha, hanya alisnya sedikit lebih tajam dan penampilannya penuh wibawa.Yara tidak kenal siapa dia."Kakak." Melanie tiba-tiba memanggil d
"Nggak, terima kasih." Yara menghela napas lega. Dia sangat takut bertengkar dengan Agnes di depan pintu. Nanti Kakek Susilo ikut sedih lagi.Dia menyunggingkan bibirnya penuh rasa terima kasih kepada Felix."Jangan takut, aku ada di depan sini, nggak ke mana-mana." Felix mengangguk, menutup pintu, dan berjaga di depan pintu.Hati Yara tergerak lagi."Rara?" Kakek Susilo terbangun. "Kamu di sini?""Kakek!" Yara menoleh, air mata mengalir di wajahnya. "Kakek, bagaimana perasaanmu?""Bocah bodoh, kenapa kamu menangis? Lihat, Kakek baik-baik saja." Kakek Susilo mengangkat tangannya dengan susah payah, ingin menyentuh kepala Yara.Yara segera maju mendekat. "Kakek, obat kemarin ...""Kakek tahu Rara nggak mungkin salah." Kakek Susilo menyentuh rambut Yara dengan lembut. "Si Amanda itu sudah pergi mengundurkan diri. Mungkin dia agak ceroboh.""Kakek, terima kasih sudah percaya padaku." Air mata Yara mengalir deras seperti hujan. Kakek ini begitu baik, tetapi sayang sekali, dia tidak mendapa
"Maaf, salah orang."Orang itu berbalik kembali dan Yara menyadari bahwa itu bukanlah Siska.Punggung dan perawakan mereka berdua sangat mirip. Begitu pula mata mereka, sama-sama indah dan cemerlang. Hanya temperamen mereka saja yang cukup berbeda.Siska biasanya tidak memakai riasan. Wajahnya sudah merupakan pemberian Tuhan yang paling menakjubkan. Di masa kuliah, banyak sekali pemuda yang jatuh hati.Wanita di depannya jelas seorang wanita dari keluarga kaya. Dia memakai riasan yang indah dan senyuman yang sempurna. Kalung, cincin, dan anting yang menghiasinya tampak bernilai mahal, tetapi semuanya sangat pas dikenakannya.Dia mengangguk sopan kepada Yara, lalu berbalik pergi.Setelah kembali, Yara bertanya pada Siska penuh rasa ingin tahu, "Kamu punya sepupu super kaya gitu nggak?""Nggak," jawab Siska singkat. "Ditarik sampai 18 generasi ke belakang, keluarga kami selalu miskin."Yara terbungkam dan tidak menyebut apa-apa soal wanita itu, hanya menganggapnya sebagai suatu kebetulan
"Mimpi buruk?" tanya Siska mengantuk."Ya." Yara duduk dengan pandangan kosong beberapa saat. Saat dia bangkit dari tempat tidur, kepalanya pusing dan dia hampir terjatuh.Siska cepat-cepat membantunya. "Rara, kamu nggak apa-apa? Wajahmu lebih pucat dari orang mati.""Siska!" Dengan lemah, Yara melepaskan diri dari tangan Siska.Tidak peduli apa, dia harus bercerai hari ini. Bisa gila kalau dia harus tarik-ulur lebih lama lagi.Siska mengikuti Yara keluar dari kamar. Dia duduk di sofa dan menatap Yara. Langkah Yara tampak begitu lemah.Akhirnya, karena tidak mampu membujuknya, dia membuatkan segelas air madu untuk Yara.Yara meminumnya sambil menahan rasa mual. Selesai mengemasi barang-barangnya, dia membuka pintu. Di sini, dia mulai merasakan ada yang tidak beres.Pandangannya tiba-tiba gelap dan dia pingsan."Rara!" Siska ketakutan. Dia berlari mendekati dan mengguncangnya, tetapi Yara tidak mau bangun, "Yara, bangun, jangan bikin aku takut."Dia menarik Yara kembali ke dalam rumah d
"Buka pintunya." Felix berhenti di depan pintu mobil dan berkata dengan suara yang dalam.Suara rendah itu membuat orang yang mendengar merasa aman dan nyaman."Oh." Siska buru-buru melangkah maju untuk membuka pintu. Saat ini, keselamatan Yara adalah yang terpenting.Setelah masuk ke dalam mobil, dia mengucapkan terima kasih sepanjang jalan dan bertanya-tanya, "Pak Felix, kamu ... tahu keluarga Lastana? Kenapa aku belum pernah dengar Rara membicarakan tentangmu?""Aku kakak Yudha." Felix mengemudikan mobilnya dengan cepat dan mantap.Siska agak kaget dan langsung terpikir sesuatu. Dia langsung mengingatkan, "Lalu, um ... Kak, aku boleh minta sesuatu?""Jangan beri tahu Yudha apa yang terjadi hari ini. Entah Rara hamil atau nggak, jangan beri tahu Yudha."Oke." Felix tidak berkata apa-apa lagi. Alisnya sedikit berkerut, entah apa yang dia pikirkan.Saat mereka sampai di rumah sakit, petugas di UGD sudah menunggu di pintu gerbang dan langsung mendorong Yara masuk.Felix dan Siska menung