"Nggak, terima kasih." Yara menghela napas lega. Dia sangat takut bertengkar dengan Agnes di depan pintu. Nanti Kakek Susilo ikut sedih lagi.Dia menyunggingkan bibirnya penuh rasa terima kasih kepada Felix."Jangan takut, aku ada di depan sini, nggak ke mana-mana." Felix mengangguk, menutup pintu, dan berjaga di depan pintu.Hati Yara tergerak lagi."Rara?" Kakek Susilo terbangun. "Kamu di sini?""Kakek!" Yara menoleh, air mata mengalir di wajahnya. "Kakek, bagaimana perasaanmu?""Bocah bodoh, kenapa kamu menangis? Lihat, Kakek baik-baik saja." Kakek Susilo mengangkat tangannya dengan susah payah, ingin menyentuh kepala Yara.Yara segera maju mendekat. "Kakek, obat kemarin ...""Kakek tahu Rara nggak mungkin salah." Kakek Susilo menyentuh rambut Yara dengan lembut. "Si Amanda itu sudah pergi mengundurkan diri. Mungkin dia agak ceroboh.""Kakek, terima kasih sudah percaya padaku." Air mata Yara mengalir deras seperti hujan. Kakek ini begitu baik, tetapi sayang sekali, dia tidak mendapa
"Maaf, salah orang."Orang itu berbalik kembali dan Yara menyadari bahwa itu bukanlah Siska.Punggung dan perawakan mereka berdua sangat mirip. Begitu pula mata mereka, sama-sama indah dan cemerlang. Hanya temperamen mereka saja yang cukup berbeda.Siska biasanya tidak memakai riasan. Wajahnya sudah merupakan pemberian Tuhan yang paling menakjubkan. Di masa kuliah, banyak sekali pemuda yang jatuh hati.Wanita di depannya jelas seorang wanita dari keluarga kaya. Dia memakai riasan yang indah dan senyuman yang sempurna. Kalung, cincin, dan anting yang menghiasinya tampak bernilai mahal, tetapi semuanya sangat pas dikenakannya.Dia mengangguk sopan kepada Yara, lalu berbalik pergi.Setelah kembali, Yara bertanya pada Siska penuh rasa ingin tahu, "Kamu punya sepupu super kaya gitu nggak?""Nggak," jawab Siska singkat. "Ditarik sampai 18 generasi ke belakang, keluarga kami selalu miskin."Yara terbungkam dan tidak menyebut apa-apa soal wanita itu, hanya menganggapnya sebagai suatu kebetulan
"Mimpi buruk?" tanya Siska mengantuk."Ya." Yara duduk dengan pandangan kosong beberapa saat. Saat dia bangkit dari tempat tidur, kepalanya pusing dan dia hampir terjatuh.Siska cepat-cepat membantunya. "Rara, kamu nggak apa-apa? Wajahmu lebih pucat dari orang mati.""Siska!" Dengan lemah, Yara melepaskan diri dari tangan Siska.Tidak peduli apa, dia harus bercerai hari ini. Bisa gila kalau dia harus tarik-ulur lebih lama lagi.Siska mengikuti Yara keluar dari kamar. Dia duduk di sofa dan menatap Yara. Langkah Yara tampak begitu lemah.Akhirnya, karena tidak mampu membujuknya, dia membuatkan segelas air madu untuk Yara.Yara meminumnya sambil menahan rasa mual. Selesai mengemasi barang-barangnya, dia membuka pintu. Di sini, dia mulai merasakan ada yang tidak beres.Pandangannya tiba-tiba gelap dan dia pingsan."Rara!" Siska ketakutan. Dia berlari mendekati dan mengguncangnya, tetapi Yara tidak mau bangun, "Yara, bangun, jangan bikin aku takut."Dia menarik Yara kembali ke dalam rumah d
"Buka pintunya." Felix berhenti di depan pintu mobil dan berkata dengan suara yang dalam.Suara rendah itu membuat orang yang mendengar merasa aman dan nyaman."Oh." Siska buru-buru melangkah maju untuk membuka pintu. Saat ini, keselamatan Yara adalah yang terpenting.Setelah masuk ke dalam mobil, dia mengucapkan terima kasih sepanjang jalan dan bertanya-tanya, "Pak Felix, kamu ... tahu keluarga Lastana? Kenapa aku belum pernah dengar Rara membicarakan tentangmu?""Aku kakak Yudha." Felix mengemudikan mobilnya dengan cepat dan mantap.Siska agak kaget dan langsung terpikir sesuatu. Dia langsung mengingatkan, "Lalu, um ... Kak, aku boleh minta sesuatu?""Jangan beri tahu Yudha apa yang terjadi hari ini. Entah Rara hamil atau nggak, jangan beri tahu Yudha."Oke." Felix tidak berkata apa-apa lagi. Alisnya sedikit berkerut, entah apa yang dia pikirkan.Saat mereka sampai di rumah sakit, petugas di UGD sudah menunggu di pintu gerbang dan langsung mendorong Yara masuk.Felix dan Siska menung
Bukankah ini mimpi?Yara menoleh dan menatap Siska. "Kamu tadi bilang apa?""Apa?" Siska mengulangi kata-katanya barusan. "Aku bilang, kamu pingsan waktu keluar rumah pagi tadi, sekarang kamu di rumah sakit.""Bukan itu." Yara terlihat sedikit gugup. "Kamu tadi bilang ... siapa yang hamil?""Kamu!" Siska menatapnya. Jelas, Yara sendiri tidak tahu tentang hal ini. "Sudah lebih dari dua bulan, kembar.""Nggak mungkin!" Yara sama sekali tidak percaya, "Nggak mungkin sama sekali!""Beneran!" Siska menoleh ke belakang, tetapi Felix sudah tidak di sana. "Aneh, Kak Felix ke mana? Dia bisa menjamin kata-kataku."Dia terus bertanya pada Yara, "Rara, kamu lapar? Mau makan apa? Kata dokter kamu kurang makan, jadi perkembangan bayinya sangat buruk. Kamu harus makan lebih banyak mulai sekarang. Mau makan apa? Apa saja aku belikan."Yara tidak menjawab. Dia menatap langit-langit dengan tatapan kosong, entah sedang memikirkan apa.Saat itu, terdengar suara di depan pintu. Siska melihat Felix sudah ke
Felix tidak menggubris perkataan Siska.Dia terus menatap Yara dan berkata dengan serius, "Anak-anak di perutmu adalah keturunan keluarga Lastana. Sebagai anggota keluarga Lastana, aku nggak akan membiarkan mereka berkeliaran di luar."Yara tidak berkata apa-apa. Dia masih merasa semuanya hanya mimpi.Dia benar-benar hamil?Yara menyentuh perutnya dengan lembut. Jika memang dua kehidupan baru di sana, dia juga tidak ingin mereka datang ke dunia ini tanpa seorang ayah.Namun, Yudha ...Yara merasa sakit hati. "Kak, sejak awal sampai akhir, aku nggak bisa bersuara sedikit pun soal perceraian kami.""Jangan khawatir," kata Felix tegas. "Biar aku yang mengurus Yudha dan keluarga Lastana."Yara memandang Felix dan teringat perkataan Kakek Susilo. Dia pernah mengatakan bahwa sifat Felix tiba-tiba berubah drastis ketika dia masih kecil. Dia lalu menolak menjadi penerus pemimpin keluarga Lastana dan segera pergi ke luar negeri.Saat mendengarkan penuturan Kakek waktu itu, yang muncul di benak
"Mereka nggak akan bercerai," tegas Felix.Kakek Susilo merasa tergelitik. Sebenarnya, kedua cucunya sangat mirip, sama-sama keras kepala dengan apa yang mereka yakini.Dia melanjutkan dengan wajah datar, "Bukan kamu yang memegang keputusan akhir. Kamu harus ke luar negeri lagi 'kan?""Untuk sekarang belum harus ke sana lagi." Felix membantu menyelimuti kakeknya. "Aku sudah melamar di organisasi dan bisa tetap di dalam negeri hampir satu tahun ke depan."Mata Kakek Susilo seketika berbinar. "Kalau begitu, sadarkan adikmu!"Dia merasa masih ada harapan.Keesokan paginya, Felix berbicara dengan Agnes sendirian."Nggak, aku nggak setuju." Agnes berkata tegas, "Kamu nggak tahu ceritanya Yara bisa bergabung dengan keluarga Lastana. Dia membius Yudha di pesta ulang tahun Melly, membuat sensasi di seluruh kota. Aku sampai nggak berani keluar ketemu orang."Tampak jelas bahwa Felix tetap tidak berubah pikiran dan melanjutkan, "Dia hamil.""Apa?" Mata Agnes membelalak. "Beneran? Kenapa nggak da
Siska mendengar Yudha mengumpat di dekatnya.Dia menggelengkan kepalanya tak berdaya. Dia tidak ingin membuat Yara merasa malu, jadi dia keluar untuk mengambil air."Aku kemarin sakit." Yara menyaksikan Siska pergi keluar dan menjawab dengan lembut, "Maafkan aku."Tubuhnya belum pulih dan suaranya saat ini terdengar sangat lemah."Sakit apa?" Api kemarahan Yudha tampaknya sedikit padam."Nggak terlalu serius." Yara tanpa sadar meletakkan tangan di perutnya lagi. "Kita buat janji lagi kalau aku sudah pulih.""Kamu ingin menipuku lagi?""Sumpah nggak." Yara ingin menjelaskan beberapa patah kata, tetapi dia lalu melihat Felix masuk. Pria itu mengulurkan tangannya dan mengambil ponsel Yara dari tangannya.Dia lanjut bicara di telepon sambil berjalan ke luar. "Dia memang sakit, aku bisa menjamin."Mendengar suara ini, Yudha tidak bisa menahan rasa terkejutnya. Ini benar Kak Felix?Felix melanjutkan, "Aku di rumah sakit sekarang. Kamu mau melihat sendiri ke sini?""Kak Felix?" panggil Yudha