Felix tidak menggubris perkataan Siska.Dia terus menatap Yara dan berkata dengan serius, "Anak-anak di perutmu adalah keturunan keluarga Lastana. Sebagai anggota keluarga Lastana, aku nggak akan membiarkan mereka berkeliaran di luar."Yara tidak berkata apa-apa. Dia masih merasa semuanya hanya mimpi.Dia benar-benar hamil?Yara menyentuh perutnya dengan lembut. Jika memang dua kehidupan baru di sana, dia juga tidak ingin mereka datang ke dunia ini tanpa seorang ayah.Namun, Yudha ...Yara merasa sakit hati. "Kak, sejak awal sampai akhir, aku nggak bisa bersuara sedikit pun soal perceraian kami.""Jangan khawatir," kata Felix tegas. "Biar aku yang mengurus Yudha dan keluarga Lastana."Yara memandang Felix dan teringat perkataan Kakek Susilo. Dia pernah mengatakan bahwa sifat Felix tiba-tiba berubah drastis ketika dia masih kecil. Dia lalu menolak menjadi penerus pemimpin keluarga Lastana dan segera pergi ke luar negeri.Saat mendengarkan penuturan Kakek waktu itu, yang muncul di benak
"Mereka nggak akan bercerai," tegas Felix.Kakek Susilo merasa tergelitik. Sebenarnya, kedua cucunya sangat mirip, sama-sama keras kepala dengan apa yang mereka yakini.Dia melanjutkan dengan wajah datar, "Bukan kamu yang memegang keputusan akhir. Kamu harus ke luar negeri lagi 'kan?""Untuk sekarang belum harus ke sana lagi." Felix membantu menyelimuti kakeknya. "Aku sudah melamar di organisasi dan bisa tetap di dalam negeri hampir satu tahun ke depan."Mata Kakek Susilo seketika berbinar. "Kalau begitu, sadarkan adikmu!"Dia merasa masih ada harapan.Keesokan paginya, Felix berbicara dengan Agnes sendirian."Nggak, aku nggak setuju." Agnes berkata tegas, "Kamu nggak tahu ceritanya Yara bisa bergabung dengan keluarga Lastana. Dia membius Yudha di pesta ulang tahun Melly, membuat sensasi di seluruh kota. Aku sampai nggak berani keluar ketemu orang."Tampak jelas bahwa Felix tetap tidak berubah pikiran dan melanjutkan, "Dia hamil.""Apa?" Mata Agnes membelalak. "Beneran? Kenapa nggak da
Siska mendengar Yudha mengumpat di dekatnya.Dia menggelengkan kepalanya tak berdaya. Dia tidak ingin membuat Yara merasa malu, jadi dia keluar untuk mengambil air."Aku kemarin sakit." Yara menyaksikan Siska pergi keluar dan menjawab dengan lembut, "Maafkan aku."Tubuhnya belum pulih dan suaranya saat ini terdengar sangat lemah."Sakit apa?" Api kemarahan Yudha tampaknya sedikit padam."Nggak terlalu serius." Yara tanpa sadar meletakkan tangan di perutnya lagi. "Kita buat janji lagi kalau aku sudah pulih.""Kamu ingin menipuku lagi?""Sumpah nggak." Yara ingin menjelaskan beberapa patah kata, tetapi dia lalu melihat Felix masuk. Pria itu mengulurkan tangannya dan mengambil ponsel Yara dari tangannya.Dia lanjut bicara di telepon sambil berjalan ke luar. "Dia memang sakit, aku bisa menjamin."Mendengar suara ini, Yudha tidak bisa menahan rasa terkejutnya. Ini benar Kak Felix?Felix melanjutkan, "Aku di rumah sakit sekarang. Kamu mau melihat sendiri ke sini?""Kak Felix?" panggil Yudha
"Kamu sudah di sini?"Yudha mengerutkan keningnya. Dia tidak terbiasa melihat Yara yang begitu sakit dan lemah."Kamu ngapain lagi?"Yara tersenyum meminta maaf. "Gastroenteritis akut, mungkin karena salah pilih makanan."Yudha masih terlihat merendahkan. "Kamu sudah kerja lagi 'kan? Nggak bisa beli makan yang layak?""Iya, iya." Yara menjulurkan lidahnya."Jangan sok imut! Memangnya kamu masih anak-anak?" tegur Yudha dingin.Yara benar-benar sedang bahagia sekarang. Mendengar Yudha menyebut kata anak, senyumnya semakin lebar. "Anak-anak itu lucu 'kan?""Nggak, menjengkelkan!" Nada suara Yudha semakin tidak suka."Kamu pasti berubah pikiran kalau sudah menghadapi anakmu sendiri." Suara Yara sedikit lebih rendah, dan pandangan matanya penuh harap."Aku nggak akan punya anak sendiri," kata Yudha acuh tak acuh.Yara mengedipkan mata dengan sedikit rasa sedih dan berkata kepada anak-anak di dalam hatinya, "Sayang, kalian jangan sedih. Ayah belum tahu kalian ada. Kita beri dia kejutan nanti
"Bukan, bukan begitu ...." Yara terus menggelengkan kepalanya, tidak mampu menahan air mata."Jangan menangis, jangan menangis!" Dia berusaha tidak mendengarkan perkataan Yudha dan tetap menyemangati dirinya."Yudha, diam!" Felix kembali entah sejak kapan. Dia menatap Yudha mata berapi-api. "Ke sini."Yudha akhirnya berkata pada Yara, "Dengarkan aku baik-baik. Kita harus bercerai, nggak ada negosiasi lagi!""Yudha!" teriak Felix lagi, terlihat sangat marah.Yara menunduk, menggigit bibir, menghibur anak-anaknya di dalam hati, "Sayang, Ayah cuma marah, dia sebenarnya sayang pada kalian."Namun, saat ini, tidak peduli dengan cara apa dia menghibur diri, air matanya mengalir tak terbendung.Tak lama kemudian, Siska juga masuk. "Rara, kamu nggak apa-apa?"Yara terisak, menahan air matanya dan tersenyum pada Siska, "Aku nggak apa-apa.""Ini semua salah Felix!" Siska sudah tahu betul sifat bajingan Yudha, tetapi Felix? Apa haknya melarang Rara bercerai?Dia memeluk Yara dengan lembut. "Rara,
"Benarkah?" Yara tidak begitu percaya."Ya." Felix mengangguk, mengeluarkan ponselnya dan bertanya pada Yara, "Kamu mau telepon Kakek?""Boleh?" Yara sangat gembira.Felix segera memanggil nomornya. "Kakek, ini Felix, aku sedang bersama Rara. Kalian ngobrol sebentar, ponselnya aku berikan ke Rara."Yara dengan senang hati menerima ponsel itu dan mengobrol dengan Kakek Susilo.Siska melirik Felix dan sudah yakin bahwa permintaan maaf Yudha tadi palsu.Namun, dia tak ambil pusing, asalkan bisa membuat Rara bahagia.Beberapa hari berikutnya, Yudha tidak muncul lagi dan tidak menghubungi Yara, tetapi Felix datang hampir setiap hari.Dia selalu membawakan segala macam makanan enak dan terkadang beberapa mainan yang disukai anak-anak.Suasana hati Yara sangat positif. Apalagi, dia juga bisa mengobrol dengan Kakek Susilo setiap hari.Dia hanya merasa agak aneh. Setiap kali dia menelepon Kakek, bukankah Agnes juga di sana? Kenapa dia membiarkan?Seminggu kemudian, Yara bisa pulang dari rumah s
Pada pukul empat sore, Felix datang tepat waktu dan membawa Yara kembali ke rumah keluarga Lastana.Begitu memasuki pintu, Yara melihat Agnes dan Melanie di ruang tamu. Dia mengangguk dengan canggung, tetapi tidak bisa memanggil "Bu" kepada Agnes.Yang membuatnya terkejut, Agnes tidak langsung mengusirnya.Dia tahu ini pasti pekerjaan Felix, jadi dia tersenyum penuh terima kasih padanya."Ayo kita ke atas menemui Kakek dulu. Yudha dan yang lainnya juga di atas." Felix langsung membawa Yara ke atas.Melihat Agnes tidak melakukan apa-apa bahkan setelah mereka lewat, Melanie pun bertanya-tanya dengan suara dipelankan, "Kenapa Rara ada di sini?""Kata Felix, dia nggak setuju Yudha bercerai." Agnes mendesah pelan.Bahkan dia sedikit bimbang sekarang. Yudha sangat tegas soal tidak ingin memiliki anak. Jika Yara benar-benar diceraikan, akankah Yara menggugurkan kandungannya?Memikirkan hal ini, dia bertanya lagi pada Melanie, "Melly, apa kamu ... berhubungan intim dengan Yudha sekarang?"Waja
Menunggu sampai semua orang pergi, dia merendahkan suaranya dan bertanya, "Apa sebenarnya maksudmu?""Maksudku apa?" Tanto terlihat tidak sabar."Kamu nggak pernah menghubungi Siska akhir-akhir ini. Apa maksudmu?" Yara semakin marah pada Tanto."Bukankah ini yang kalian inginkan?" Tanto mencibir, "Kenapa? Menyesal?"Yara menggertakkan giginya. "Kalau begitu, ambil kontraknya dan hancurkan di depan kita.""Untuk apa?" Tanto menepis tangan Yara dan pergi turun terlebih dahulu.Yara mengikuti dengan langkah marah. Ketika meninggalkan ruangan, dia melihat Liana menunggu di lantai pertama, menatapnya dengan mata dingin.Setelah Tanto turun, mereka pergi bersama.Yara semakin merasa suram. Dia ingin menghilangkan pikiran itu dari benaknya, tetapi dia tidak bisa berbuat apa-apa.Saat makan malam, suasana cukup harmonis.Yudha duduk bersama Melanie, Tanto duduk bersama Liana, dan Yara duduk bersama Felix.Sepanjang waktu, mata Yara sering menyasar ke arah Tanto dan Liana.Ini harusnya kesempat
Pada hari yang telah disepakati, Yudha menerima telepon dari Revan di pagi hari."Pak Yudha, saya di Meria sekarang, sedang menunggu penerbangan pulang. Seluruh informasinya sudah hampir lengkap.""Bagus." Yudha agak terkejut. Dia tidak menyangka Revan perlu pergi ke Meria. dia menambahkan, "Hati-hati di perjalanan. Aku tunggu kepulanganmu.""Pak Yudha." Revan menatap dokumen di tangannya. "Saya akan pergi ke rumahmu setelah sampai di sana. Sebelum itu ... siapkan mentalmu.""Oke." Yudha menutup telepon. Dia sebenarnya merasakan sedikit firasat buruk dalam hatinya.Dia menatap kalender dan melihat hari persidangan perceraiannya akan tiba dua hari lagi. Masih ada waktu.Satu hari terasa sangat panjang bagi Yudha. Dia meninggalkan semua pekerjaan dan kembali ke rumah keluarga besar untuk bermain sebentar dengan Agnes dan Yovi, lalu kembali ke vilanya dan menunggu.Agnes bertanya, "Kerjaanmu hari ini sudah selesai 'kan? Kenapa buru-buru pergi? Temani anakmu lebih lama lagi."Sejak ada Yov
Saat masuk ke ruang tamu, Santo jelas merasa agak malu, tapi Felix dan Gio bersikap seolah-olah tidak terjadi apa-apa dan bicara dengannya seperti biasa.Yara membawa album foto yang baru diambilnya dan mereka semua berkumpul untuk melihat."Ayah, lihat, ini foto pernikahanmu. Kalian masih sangat muda waktu itu, sangat tampan dan cantik."Santo tersenyum dan mengulurkan tangan untuk menyentuh Zaina di foto itu."Senyum Ibu sangat cantik di foto ini. Yang ini, Ayah, kamu sangat tampan ...."Sambil berbicara, Yara memperhatikan ekspresi Santo. Di dalamnya banyak foto-foto Melanie. Dia berusaha untuk menyebutnya sesedikit mungkin.Lambat laun, raut wajah Santo menjadi semakin serius.Tiba-tiba, air mata menetes membasahi album foto."Ayah, kamu kenapa?" Yara sedikit panik dan berusaha menyingkirkan album foto itu. "Kita lihat besok lagi saja, nggak apa-apa."Santo menunduk. Tangannya membelai wanita yang ada di foto tersebut dengan penuh kasih sayang. "Kenapa aku nggak pulang lebih cepat
Segera setelah pintu kamar mandi terbuka, bau menyengat menghantam. Ada noda air berwarna kuning di lantai. Tidak perlu ditanya lagi apa itu.Santo membelakangi semua orang, meringkuk di sudut ruangan. Seluruh tubuhnya gemetar."Kalian keluar dulu." Yara merasa dadanya sangat sesak dan meminta semuanya pergi."Rara, nggak apa-apa, biarkan aku membantumu." Siska bergegas berkata."Nggak usah." Yara menggeleng dan menatap mereka dengan memohon, "Keluar dulu, oke? Keluar!""Ayo, kita tunggu di ruang tamu." Gio akhirnya merespons, mengangguk kepada Yara, dan menarik pergi Felix dan Siska.Yara berdiri di ambang pintu, mengendus-endus, dan berseru lirih, "Ayah, mereka sudah pergi. Nggak apa-apa."Santo masih meringkuk di pojokan.Dia adalah kepala keluarga Lubis, yang berwibawa dan terhormat seumur hidup. Tapi sekarang ... pikirannya sudah tidak jernih lagi dan menghadapi hal semacam ini saja tidak bisa."Ayah!" Yara dengan hati-hati melangkah maju dan menarik lembut pakaian Santo. "Ayah, n
Yara juga berdiri dan menatap mata Melanie. "Bahkan meski mereka tahu kebenarannya dan menukar kita kembali, mereka tetap akan sangat mencintaimu dengan kasih sayang yang sama.""Melanie, kamu kehilangan dua orang yang paling menyayangimu. Kamu benar-benar nggak menyesalinya?" Yara sedikit emosional."Nggak!" kata Melanie dengan sangat tegas. "Yara, asal kamu tahu, nggak ada kata "menyesal" dalam kamus hidupku. Ambil barang-barangmu dan cepat pergi. Nggak usah ngoceh nggak jelas di sini."Yara menggelengkan kepalanya, mengambil album foto itu dan mengatakan satu hal lagi, "Jaga dirimu baik-baik."Dia keluar dari vila, mengucapkan selamat tinggal kepada Amel, dan segera pergi.Amel kembali ke vila dan melihat Melanie melamun sambil memandangi foto Zaina. Dia bertanya dengan suara kecil, "Bu, kamu juga kangen ibumu?""Dia bukan ibuku." Melanie mengambil foto itu dari dinding dan melemparkannya ke lantai. "Aku nggak kangen dia. Nggak sedikit pun!"Orang yang paling disayangi Zaina semasa
Setelah kehilangan Santo sekali, Yara dan yang lainnya tidak berani ceroboh lagi, terutama Siska."Rara, aku janji nggak akan membiarkan Paman Santo lepas dari pandanganku."Yara tertawa sambil menggelengkan kepalanya. "Oke, tutup pintunya, dia nggak akan bisa keluar. Aku keluar sebentar."Karena Santo selalu bicara soal menemui Zaina, Yara ingin pergi ke rumah keluarga Lubis untuk mengambil foto-foto Zaina. Dia sudah menelepon Melanie.Sampai di sana, dia melihat Amel sudah menunggunya dari kejauhan."Bibi Rara!" Amel melihat kedatangannya dan langsung berlari menghampiri. "Bibi Rara, kamu di sini."Yara memeluk Amel. "Wah, Amel sudah tambah tinggi dan cantik.""Bibi Rara juga tambah cantik," balas si kecil bermulut manis.Yara membawanya masuk ke dalam vila. Melanie sudah menunggu di ruang tamu."Barangnya di lantai atas, mungkin di kamar mereka." Melanie bangkit dan berjalan ke arah tangga. "Ayo kuantar ke atas.""Terima kasih." Yara meminta Amel bermain sendirian dan mengikuti ke a
Ini pertama kalinya Amel melihat Yudha berbicara sangat serius dengannya. Wajahnya langsung terlihat takut dan dia berbisik, "Amel kasihan sama Ibu.""Ibumu kenapa?" Yudha berjongkok dan sedikit melunakkan nada bicaranya.Amel menggeleng dan mengulangi, "Ibu kasihan sekali."Yudha tidak bertanya lagi dan mengelus kepala si kecil. "Amel, mungkin suasana hati ibumu sedang buruk. Paman akan menghiburnya, tenang saja.""Terima kasih, Paman." Amel menghela napas dan melanjutkan bermain.Yudha duduk di sofa dan menunggu. Pikirannya terus terbayang penampilan Melanie barusan. Gelagatnya seperti orang mabuk, tapi tidak ada bau alkohol sama sekali di dalam kamar. Bau itu ...Yudha belum pernah merasakan bau seperti itu sebelumnya. Menyengat dan sangat tidak enak.Dia menunggu beberapa saat dan kemudian melihat Melanie turun. Melanie sudah berganti pakaian dan menata rambutnya, nyaris seperti orang yang berbeda, membuat Yudha bertanya-tanya apakah yang dilihatnya tadi itu hanya ilusi."Yudha, ke
Selama beberapa hari berikutnya, Yara menghabiskan waktu bersama Yola dan Santo di siang hari. Lalu malamnya mengerjakan desain perhiasan bertemakan "Pulau" itu.Tapi, inspirasinya seakan sedang surut dan ide-ide yang dia pikirkan masih kurang memuaskan.Sidang perceraiannya semakin dekat.Di suatu sore, Yudha menerima telepon dari Amel sebelum pulang dari kantor."Paman sedang sibuk?" ucap gadis kecil itu dengan suara manis. "Amel sudah lama nggak ketemu Paman. Paman sedang sibuk bersama adikku ya?"Yudha terdiam. Beberapa waktu telah berlalu sejak Yovian datang ke rumah. Dia memang sudah lama belum bertemu Amel.Sejenak, dia merasa malu. "Paman minta maaf. Malam ini Paman ke rumahmu, oke?""Sekarang saja. Ayo makan di luar bersama Ibu." Amel tertawa usil. "Tapi jangan bilang Ibu. Beri dia kejutan.""Oke." Yudha menjawab ringan.Dia membereskan pekerjaannya sebentar dan segera pergi ke rumah keluarga Lubis. Tak disangka, Amel sudah menunggu di depan pintu."Amel ...""Ssst!" Amel mene
"Nggak mungkin." Yara berpikir, satu-satunya pria yang dekat dengannya baru-baru ini adalah Felix.Menurutnya, dengan sifat Felix, dia tidak mungkin punya ini seperti ini. Saran dari Gio juga rasanya tidak mungkin sampai ke sini.Dia tidak tahu siapa lagi yang mungkin."Rara, gawat!"Yara tiba-tiba mendengar suara Siska dari belakangnya. Dia buru-buru menutup telepon. "Safira, aku ada urusan mendadak. Sampai di sini dulu ya, terima kasih!""Ada apa?" Dia menatap Siska dengan cemas."Ayahmu ... ayahmu hilang." Siska terengah-engah karena kelelahan. Dia jelas sudah mencari di sekitar untuk mencoba mencarinya sebelum memberi tahu Yara.Suaranya seperti menahan tangisan. "Kami terlalu fokus dengan Yola. Aku nggak tahu sejak kapan ayahmu pergi.""Nggak apa-apa. Tolong jaga Yola dulu, aku akan mencarinya." Yara menenangkan Siska dan segera menelepon polisi.Setelah menelepon polisi, dia menelepon Felix dan Gio."Oke, jangan khawatir, kami akan membantu mencari." Felix menenangkan Yara dan me
Keesokan harinya setelah sarapan, cuaca di luar sangat cerah. Yara ingin mengajak Yola dan Santo berjalan-jalan."Aku ikut juga." Siska melambaikan kedua tangannya. Reaksi kehamilannya sudah jauh membaik akhir-akhir ini. Usia kandungannya sudah lima minggu.Yara meminta pengasuh memakaikan baju kepada Yola sementara dia pergi membantu Santo."Ayah, ganti baju dulu, lalu pergi jalan-jalan, oke?""Jalan-jalan?" Santo berpikir sejenak, "Ketemu Zaina?"Hati Yara terasa pilu. Dia hanya bisa berbohong, "Ya, jalan-jalan, menemui ibuku. Ayo Ayah, aku bantu pakai baju.""Oke, ketemu Zaina, ketemu Zaina ..." Santo terus bergumam dan segera berganti pakaian.Mereka turun ke bawah dan pergi ke lapangan kompleks. Yola di dalam kereta dorong bayi. Mata lebarnya berkedip-kedip, melihat ke mana-mana penuh rasa ingin tahu.Yara awalnya khawatir anaknya terlalu kecil untuk dibawa keluar. Tapi pengasuhnya mengatakan bahwa Yola tumbuh dengan sangat baik. Cuacanya sedang bagus, tidak terlalu dingin dan tid