Sementara itu, Melanie mengirim pesan kepada Zaina dalam perjalanan kembali ke rumah sakit."Yudha sebentar lagi naik ke atas. Kalian desaklah dia untuk segera menikah."Tidak ada jalan lain. Reaksi Agnes malam ini terlalu meresahkan. Urusan antara dirinya dan Yudha tidak bisa ditunda lagi."Yudha." Melanie menunduk dan bersuara pelan. "Aku nggak nyangka Rara datang ke makan malam keluarga hari ini.""Itu ide Kakak." Sama seperti Agnes, dia juga menyalahkan Felix.Melanie tersenyum pahit. "Kadang-kadang aku iri sama Rara. Entah itu Kakek, Kak Felix, atau Paman, mereka semua suka dia. Nggak seperti aku, aku bodoh dan nggak bisa apa-apa."Yudha tidak berkata apa-apa."Yudha." Melanie berkata lagi. "Kamu nggak akan membenciku, 'kan? Aku juga ingin menyenangkan mereka, tapi aku nggak tahu bagaimana caranya."Akulah yang ingin menikah denganmu, jadi dirimu sendiri saja." Sambil berbicara, Yudha memarkir mobilnya di basement rumah sakit. "Keluarlah, sudah sampai.""Yudha, ayo ikut aku." Mela
"Kalau begitu, kapan kamu mau menceraikan Yara?" Santo bertanya langsung.Sejak dia kembali, dia selalu mendengar Melanie mengeluh bahwa Yara tidak mau melepaskan Yudha dan mereka belum kunjung bercerai.Namun Santo merasa bahwa Yudha lebih bersalah soal ini. Siapa Yara? Punya latar belakang dan kemampuan apa dia? Jika Yudha bertekad untuk menceraikan Yara, mana mungkin Yara bisa menahannya?Hanya saja, dia tidak bisa mengatakan ini pada putrinya yang bodoh.Mata ketiga orang itu seketika terfokus pada wajah Yudha, menunggu dia menjelaskan."Harusnya sudah selesai beberapa hari yang lalu," kata Yudha jujur. "Tapi Yara tiba-tiba jatuh sakit dan akhirnya tertunda ...""Alasan!" Santo mendengus tidak puas.Zaina menarik Santo lagi dan bertanya penuh perhatian, "Rara sakit? Dia kenapa?"Setelah bertanya, dia merasakan tatapan tajam Melanie."Katanya gastroenteritis akut. Harus dirawat beberapa hari.""Kenapa malah kamu pedulikan dia?" Santo terlihat tidak senang. "Anak itu jelas-jelas seda
Keesokan paginya, ketika Yara pergi ke ruang tamu dan melihat ponselnya, dia pun melihat Zaina telah meneleponnya beberapa kali dan mengirim banyak pesan.Mau bagaimana lagi. Sejak Siska mengetahui kehamilannya, dia tidak mengizinkannya bermain ponsel sebelum tidur. Jadi dia hanya meletakkan ponselnya di ruang tamu dan mematikannya.Sejak dia mengetahui hubungannya dengan Zaina waktu itu tetapi tidak bisa memberitahukannya, dia tidak pernah berani menghubungi Zaina.Jadi, dia cepat-cepat membuka pesan itu."Rara, katanya kamu sakit gastroenteritis akut? Sudah baikan belum?""Rara, kamu harus selalu jaga kesehatan. Makannya bubur dulu biar perutmu cepat pulih.""Rara, Bibi dan Paman mohon maaf. Tapi Melly anak kami, kami nggak punya pilihan."Setelah melihat pesan terakhir, hidung Yara terasa sakit dan air matanya langsung jatuh.Betapa dia ingin memberitahu Zaina bahwa dia adalah putrinya, betapa dia ingin berbagi kabar baik tentang kehamilannya dengan Zaina.Dalam situasi saat ini, ji
Mereka duduk dan memesan, lalu mulai makan tak lama kemudian.Namun, yang tidak disangka Yara, mereka bertemu Liana dan Melanie di restoran tersebut.Ketika mata Liana dan Siska saling berhadapan, mereka menunjukkan rasa terkejut yang sangat jelas."Rara, Siska, kebetulan sekali!" Melanie menyapa mereka terlebih dahulu. "Tante baru pulang dari luar negeri, jadi aku ingin mengajaknya makan di tempat yang enak. Kebetulan sekali kalian juga di sini."Yara melirik Siska. Gadis itu menundukkan kepalanya, entah sedang memikirkan apa.Dia berdiri sambil berpegangan pada meja dan berkata dengan suara datar, "Tante, kebetulan sekali."Liana mengangguk, seolah tidak ingin berkata apa-apa, dan terus menatap Siska."Tante, ayo masuk." Melanie mencoba meraih lengan Liana. Tak disangka, Liana menghindarinya.Dia menggerakkan bibirnya canggung. "Pergi saja.""Aku nggak terlalu nafsu makan hari ini. Kita pergi lain kali saja," kata Liana dingin, lalu dia menatap Siska. "Aku sudah janji mau lihat-lihat
Yara yang duduk diam sejak tadi, mengambil kopi di depannya dan menyiramkan isinya ke depan."Yara! Ahh ..." Melanie langsung menggila. Dia berdiri dan hendak menerkam. "Aku belum selesai denganmu!"Namun, sebelum tangannya sempat menyentuh Yara, Siska menjambak rambutnya."Kamu haus perhatian ya?" Siska menggertakkan giginya. "Segitu hausnya sampai ngemis-ngemis di depanku? Dasar anjing bodoh yang melompat ke jurang. Cari mati sendiri.""Aahh ... lepaskan aku! Memang kamu kekasih gelap Tanto, masih berani sok suci?" teriak Melanie untuk melawan.Siska menjambak semakin kuat. Saat mendengar Melanie menjerit kesakitan, dia merasa lebih lega."Melanie, aku kadang takjub betapa nggak tahu malunya kamu. Jelas-jelas aku masih kalah. Merebut orang tua Rara seenaknya? Orang tuamu sendiri sudah mati?"Melanie terbungkam karena teguran itu. Ketika dia sadar diri bahwa dirinya bukan tandingan Siska, Melanie segera menoleh ke arah Yara."Yara, suruh Siska melepaskanku, atau Zaina yang akan merasa
"Gelas ketiga ini, untukku sendiri. Tanto bajingan itu benar-benar mau tunangan. Sebagai perayaan, akhirnya aku keluar dari laut kesengsaraan dan nggak harus jadi pelampiasan lagi."Suaranya tercekat saat mengucapkan beberapa kata terakhir.Satu gelas minuman turun melewati kerongkongan Siska lagi."Siska." Yara meraih tangan Siska yang hendak menuang minuman lagi. "Sudah minumnya, kamu makan dulu.""Nggak apa-apa, kamu tahu 'kan aku biasanya kuat minum berapa banyak?" Siska melepaskan diri dari tangan Yara. "Segini saja bukan apa-apa.""Siska!" Yara menyatukan kedua tangannya, "Menangis saja kalau ingin menangis. Perasaanmu pasti lebih lega setelah menangis.""Kenapa aku harus menangis?" Siska tersenyum dengan mata merah dan bergumam pada dirinya sendiri, "Aku sangat bahagia. Aku belum pernah sebahagia ini seumur hidupku.""Siska ..." Yara tidak bisa berkata-kata lagi. Air matanya jatuh satu per satu."Yara bodoh." Siska mendengus dan mengulurkan tangan untuk menyeka air mata Yara. "K
"Oke, oke." Yara tahu sifat Siska.Kalau tidak bertemu Tanto dan mencurahkan kemarahannya, Siska pasti akan memendamnya seumur hidup."Biar aku yang minta ketemu, terus nanti aku juga ikut." Yara mencari ponselnya dan hendak mengirim pesan kepada Tanto."Aku bisa pergi sendiri." Setelah menangis, suasana hati Siska menjadi lebih stabil, tetapi yang jelas dia masih sangat rapuh dan berbeda dari biasanya.Yang luluh terlebih dahulu, dialah yang kalah. Seperti Siska sekarang."Aku harus ikut," kata Yara tegas, lalu dia mengirimkan pesan."Tanto, bisa bertemu besok? Jam 9, di restoran yang waktu itu."Mereka berdua menunggu beberapa saat, tetapi tidak kunjung mendapat balasan dari Tanto.Yara dengan ragu-ragu bertanya, "Kirim satu pesan lagi?""Nggak usah." Siska menggeleng. "Kalau dia nggak mau ketemu, seratus pesan pun nggak ada gunanya. Biarkan saja."Dia melirik jam di dinding dan berkata, "Sekarang sudah malam, kamu harus istirahat.""Beres-beres ini dulu." Yara bangkit berdiri."Aku
Dulu dia iri dengan ketenangan dan kepala dingin Siska. Karena itu, melihatnya seperti ini sekarang membuat hatinya seperti disayat-sayat."Aku baik-baik saja." Siska berkata sambil tersenyum. "Di dunia yang besar ini, yang paling kupedulikan adalah diriku sendiri. Aku nggak akan membiarkan diriku disusahkan."Sambil berbincang, keduanya sampai di depan pintu ruang pribadi.Yara mengangkat tangannya dan hendak mengetuk pintu ketika dia mendengar suara seorang wanita samar-samar datang dari dalam.Hanya saja, suara itu terlalu pelan dan dia tidak bisa mendengar dengan jelas apa yang dibicarakan. Dia hanya yakin itu suara perempuan, bukan suara Tanto.Yara segera menatap Siska dan mengumpat dengan gigi terkatup, "Tanto berengsek. Apa maksudnya?""Kenapa?" Belum sempat Siska bicara, suara Tanto terdengar dari belakang mereka berdua."Memangnya kenapa kalau aku bawa orang lain?" Tanto melirik Siska dengan tatapan dingin, lalu bertanya pada Yara, "Kamu boleh bawa orang lain, tapi aku nggak?
Pada hari yang telah disepakati, Yudha menerima telepon dari Revan di pagi hari."Pak Yudha, saya di Meria sekarang, sedang menunggu penerbangan pulang. Seluruh informasinya sudah hampir lengkap.""Bagus." Yudha agak terkejut. Dia tidak menyangka Revan perlu pergi ke Meria. dia menambahkan, "Hati-hati di perjalanan. Aku tunggu kepulanganmu.""Pak Yudha." Revan menatap dokumen di tangannya. "Saya akan pergi ke rumahmu setelah sampai di sana. Sebelum itu ... siapkan mentalmu.""Oke." Yudha menutup telepon. Dia sebenarnya merasakan sedikit firasat buruk dalam hatinya.Dia menatap kalender dan melihat hari persidangan perceraiannya akan tiba dua hari lagi. Masih ada waktu.Satu hari terasa sangat panjang bagi Yudha. Dia meninggalkan semua pekerjaan dan kembali ke rumah keluarga besar untuk bermain sebentar dengan Agnes dan Yovi, lalu kembali ke vilanya dan menunggu.Agnes bertanya, "Kerjaanmu hari ini sudah selesai 'kan? Kenapa buru-buru pergi? Temani anakmu lebih lama lagi."Sejak ada Yov
Saat masuk ke ruang tamu, Santo jelas merasa agak malu, tapi Felix dan Gio bersikap seolah-olah tidak terjadi apa-apa dan bicara dengannya seperti biasa.Yara membawa album foto yang baru diambilnya dan mereka semua berkumpul untuk melihat."Ayah, lihat, ini foto pernikahanmu. Kalian masih sangat muda waktu itu, sangat tampan dan cantik."Santo tersenyum dan mengulurkan tangan untuk menyentuh Zaina di foto itu."Senyum Ibu sangat cantik di foto ini. Yang ini, Ayah, kamu sangat tampan ...."Sambil berbicara, Yara memperhatikan ekspresi Santo. Di dalamnya banyak foto-foto Melanie. Dia berusaha untuk menyebutnya sesedikit mungkin.Lambat laun, raut wajah Santo menjadi semakin serius.Tiba-tiba, air mata menetes membasahi album foto."Ayah, kamu kenapa?" Yara sedikit panik dan berusaha menyingkirkan album foto itu. "Kita lihat besok lagi saja, nggak apa-apa."Santo menunduk. Tangannya membelai wanita yang ada di foto tersebut dengan penuh kasih sayang. "Kenapa aku nggak pulang lebih cepat
Segera setelah pintu kamar mandi terbuka, bau menyengat menghantam. Ada noda air berwarna kuning di lantai. Tidak perlu ditanya lagi apa itu.Santo membelakangi semua orang, meringkuk di sudut ruangan. Seluruh tubuhnya gemetar."Kalian keluar dulu." Yara merasa dadanya sangat sesak dan meminta semuanya pergi."Rara, nggak apa-apa, biarkan aku membantumu." Siska bergegas berkata."Nggak usah." Yara menggeleng dan menatap mereka dengan memohon, "Keluar dulu, oke? Keluar!""Ayo, kita tunggu di ruang tamu." Gio akhirnya merespons, mengangguk kepada Yara, dan menarik pergi Felix dan Siska.Yara berdiri di ambang pintu, mengendus-endus, dan berseru lirih, "Ayah, mereka sudah pergi. Nggak apa-apa."Santo masih meringkuk di pojokan.Dia adalah kepala keluarga Lubis, yang berwibawa dan terhormat seumur hidup. Tapi sekarang ... pikirannya sudah tidak jernih lagi dan menghadapi hal semacam ini saja tidak bisa."Ayah!" Yara dengan hati-hati melangkah maju dan menarik lembut pakaian Santo. "Ayah, n
Yara juga berdiri dan menatap mata Melanie. "Bahkan meski mereka tahu kebenarannya dan menukar kita kembali, mereka tetap akan sangat mencintaimu dengan kasih sayang yang sama.""Melanie, kamu kehilangan dua orang yang paling menyayangimu. Kamu benar-benar nggak menyesalinya?" Yara sedikit emosional."Nggak!" kata Melanie dengan sangat tegas. "Yara, asal kamu tahu, nggak ada kata "menyesal" dalam kamus hidupku. Ambil barang-barangmu dan cepat pergi. Nggak usah ngoceh nggak jelas di sini."Yara menggelengkan kepalanya, mengambil album foto itu dan mengatakan satu hal lagi, "Jaga dirimu baik-baik."Dia keluar dari vila, mengucapkan selamat tinggal kepada Amel, dan segera pergi.Amel kembali ke vila dan melihat Melanie melamun sambil memandangi foto Zaina. Dia bertanya dengan suara kecil, "Bu, kamu juga kangen ibumu?""Dia bukan ibuku." Melanie mengambil foto itu dari dinding dan melemparkannya ke lantai. "Aku nggak kangen dia. Nggak sedikit pun!"Orang yang paling disayangi Zaina semasa
Setelah kehilangan Santo sekali, Yara dan yang lainnya tidak berani ceroboh lagi, terutama Siska."Rara, aku janji nggak akan membiarkan Paman Santo lepas dari pandanganku."Yara tertawa sambil menggelengkan kepalanya. "Oke, tutup pintunya, dia nggak akan bisa keluar. Aku keluar sebentar."Karena Santo selalu bicara soal menemui Zaina, Yara ingin pergi ke rumah keluarga Lubis untuk mengambil foto-foto Zaina. Dia sudah menelepon Melanie.Sampai di sana, dia melihat Amel sudah menunggunya dari kejauhan."Bibi Rara!" Amel melihat kedatangannya dan langsung berlari menghampiri. "Bibi Rara, kamu di sini."Yara memeluk Amel. "Wah, Amel sudah tambah tinggi dan cantik.""Bibi Rara juga tambah cantik," balas si kecil bermulut manis.Yara membawanya masuk ke dalam vila. Melanie sudah menunggu di ruang tamu."Barangnya di lantai atas, mungkin di kamar mereka." Melanie bangkit dan berjalan ke arah tangga. "Ayo kuantar ke atas.""Terima kasih." Yara meminta Amel bermain sendirian dan mengikuti ke a
Ini pertama kalinya Amel melihat Yudha berbicara sangat serius dengannya. Wajahnya langsung terlihat takut dan dia berbisik, "Amel kasihan sama Ibu.""Ibumu kenapa?" Yudha berjongkok dan sedikit melunakkan nada bicaranya.Amel menggeleng dan mengulangi, "Ibu kasihan sekali."Yudha tidak bertanya lagi dan mengelus kepala si kecil. "Amel, mungkin suasana hati ibumu sedang buruk. Paman akan menghiburnya, tenang saja.""Terima kasih, Paman." Amel menghela napas dan melanjutkan bermain.Yudha duduk di sofa dan menunggu. Pikirannya terus terbayang penampilan Melanie barusan. Gelagatnya seperti orang mabuk, tapi tidak ada bau alkohol sama sekali di dalam kamar. Bau itu ...Yudha belum pernah merasakan bau seperti itu sebelumnya. Menyengat dan sangat tidak enak.Dia menunggu beberapa saat dan kemudian melihat Melanie turun. Melanie sudah berganti pakaian dan menata rambutnya, nyaris seperti orang yang berbeda, membuat Yudha bertanya-tanya apakah yang dilihatnya tadi itu hanya ilusi."Yudha, ke
Selama beberapa hari berikutnya, Yara menghabiskan waktu bersama Yola dan Santo di siang hari. Lalu malamnya mengerjakan desain perhiasan bertemakan "Pulau" itu.Tapi, inspirasinya seakan sedang surut dan ide-ide yang dia pikirkan masih kurang memuaskan.Sidang perceraiannya semakin dekat.Di suatu sore, Yudha menerima telepon dari Amel sebelum pulang dari kantor."Paman sedang sibuk?" ucap gadis kecil itu dengan suara manis. "Amel sudah lama nggak ketemu Paman. Paman sedang sibuk bersama adikku ya?"Yudha terdiam. Beberapa waktu telah berlalu sejak Yovian datang ke rumah. Dia memang sudah lama belum bertemu Amel.Sejenak, dia merasa malu. "Paman minta maaf. Malam ini Paman ke rumahmu, oke?""Sekarang saja. Ayo makan di luar bersama Ibu." Amel tertawa usil. "Tapi jangan bilang Ibu. Beri dia kejutan.""Oke." Yudha menjawab ringan.Dia membereskan pekerjaannya sebentar dan segera pergi ke rumah keluarga Lubis. Tak disangka, Amel sudah menunggu di depan pintu."Amel ...""Ssst!" Amel mene
"Nggak mungkin." Yara berpikir, satu-satunya pria yang dekat dengannya baru-baru ini adalah Felix.Menurutnya, dengan sifat Felix, dia tidak mungkin punya ini seperti ini. Saran dari Gio juga rasanya tidak mungkin sampai ke sini.Dia tidak tahu siapa lagi yang mungkin."Rara, gawat!"Yara tiba-tiba mendengar suara Siska dari belakangnya. Dia buru-buru menutup telepon. "Safira, aku ada urusan mendadak. Sampai di sini dulu ya, terima kasih!""Ada apa?" Dia menatap Siska dengan cemas."Ayahmu ... ayahmu hilang." Siska terengah-engah karena kelelahan. Dia jelas sudah mencari di sekitar untuk mencoba mencarinya sebelum memberi tahu Yara.Suaranya seperti menahan tangisan. "Kami terlalu fokus dengan Yola. Aku nggak tahu sejak kapan ayahmu pergi.""Nggak apa-apa. Tolong jaga Yola dulu, aku akan mencarinya." Yara menenangkan Siska dan segera menelepon polisi.Setelah menelepon polisi, dia menelepon Felix dan Gio."Oke, jangan khawatir, kami akan membantu mencari." Felix menenangkan Yara dan me
Keesokan harinya setelah sarapan, cuaca di luar sangat cerah. Yara ingin mengajak Yola dan Santo berjalan-jalan."Aku ikut juga." Siska melambaikan kedua tangannya. Reaksi kehamilannya sudah jauh membaik akhir-akhir ini. Usia kandungannya sudah lima minggu.Yara meminta pengasuh memakaikan baju kepada Yola sementara dia pergi membantu Santo."Ayah, ganti baju dulu, lalu pergi jalan-jalan, oke?""Jalan-jalan?" Santo berpikir sejenak, "Ketemu Zaina?"Hati Yara terasa pilu. Dia hanya bisa berbohong, "Ya, jalan-jalan, menemui ibuku. Ayo Ayah, aku bantu pakai baju.""Oke, ketemu Zaina, ketemu Zaina ..." Santo terus bergumam dan segera berganti pakaian.Mereka turun ke bawah dan pergi ke lapangan kompleks. Yola di dalam kereta dorong bayi. Mata lebarnya berkedip-kedip, melihat ke mana-mana penuh rasa ingin tahu.Yara awalnya khawatir anaknya terlalu kecil untuk dibawa keluar. Tapi pengasuhnya mengatakan bahwa Yola tumbuh dengan sangat baik. Cuacanya sedang bagus, tidak terlalu dingin dan tid