Dulu dia iri dengan ketenangan dan kepala dingin Siska. Karena itu, melihatnya seperti ini sekarang membuat hatinya seperti disayat-sayat."Aku baik-baik saja." Siska berkata sambil tersenyum. "Di dunia yang besar ini, yang paling kupedulikan adalah diriku sendiri. Aku nggak akan membiarkan diriku disusahkan."Sambil berbincang, keduanya sampai di depan pintu ruang pribadi.Yara mengangkat tangannya dan hendak mengetuk pintu ketika dia mendengar suara seorang wanita samar-samar datang dari dalam.Hanya saja, suara itu terlalu pelan dan dia tidak bisa mendengar dengan jelas apa yang dibicarakan. Dia hanya yakin itu suara perempuan, bukan suara Tanto.Yara segera menatap Siska dan mengumpat dengan gigi terkatup, "Tanto berengsek. Apa maksudnya?""Kenapa?" Belum sempat Siska bicara, suara Tanto terdengar dari belakang mereka berdua."Memangnya kenapa kalau aku bawa orang lain?" Tanto melirik Siska dengan tatapan dingin, lalu bertanya pada Yara, "Kamu boleh bawa orang lain, tapi aku nggak?
"Oke." Tanpa diduga, Liana langsung setuju.Dia berdiri dan membungkuk hormat kepada Siska. "Sebenarnya, aku datang ke sini hari ini untuk meminta maaf langsung kepada Siska. Karena aku juga ikut bertanggung jawab atas masalah ini.""Nggak ada hubungannya denganmu, kenapa kamu minta maaf?" Tanto membantu Liana berdiri dengan wajah sedih, lalu menatap Yara dan Siska. "Jujur saja, kalau Liana nggak memintaku datang, aku nggak akan datang sama sekali hari ini."Matanya akhirnya terpaku pada Siska. "Urusan antara kita berdua sejak awal hanya transaksi uang dan seks. Entah itu pelampiasan atau untuk memenuhi kebutuhan, aku nggak berkewajiban menjelaskan apa pun kepadamu."Penghinaan terang-terangan.Siska sedikit terengah-engah. Saat dia kesulitan tidur tadi malam, dia bertanya pada dirinya sendiri berulang kali.Apakah dirinya seseorang yang begitu mencintai uang? Kenapa dia jatuh cinta pada Tanto? Apakah karena uangnya?Sejujurnya, dia tidak dapat menjawabnya dengan pasti.Bukankah setiap
Mereka berdua duduk sekitar setengah jam sampai Siska tiba-tiba tersenyum dan berkata, "Makanannya sudah dingin semua. Mau dibungkus saja?""Kamu lapar?" Yara dengan cermat mengamati ekspresi Siska, tetapi tidak melihat sesuatu pun yang aneh."Lumayan sih." Siska menyentuh perutnya dengan ekspresi berlebihan."Kalau begitu, ayo pesan di meja baru saja, aku yang traktir." Yara berdiri dan pergi mencari pelayan."Mubazir." Siska tiba-tiba mengambil sendok dan mulai makan. "Yang punya utang 1 miliar itu aku. Satu rupiah pun nggak boleh terbuang sia-sia. Kamu juga nggak boleh."Uang pemberian Tanto hampir tak pernah dia sentuh, kecuali 1 miliar yang dia gunakan untuk pengobatan penyakit ibunya.Yara duduk kembali. Dia benar-benar tidak nafsu makan, jadi dia hanya menyaksikan Siska makan.Siska awalnya makan dengan suapan kecil, tapi kemudian dia mulai menyendok lebih banyak dengan mata berkaca-kaca. Dia tidak membiarkan dirinya menangis.Yara menepuknya dengan lembut dan berkata dengan sua
Dalam perjalanan, Felix mengatakan apa yang sebenarnya terjadi. Ternyata Yudha sedang mabuk."Yudha? Mabuk?" Yara benar-benar terkejut. Selama bertahun-tahun dia mengenal Yudha, dia belum pernah mendengar pria itu mabuk.Bukan karena dia tipe yang tidak gampang mabuk, tetapi karena pengendalian dirinya yang mengalahkan segalanya."Iya, tapi nggak terlalu." Felix melirik ke arahnya. "Jadi aku panggil kamu untuk mengurusnya."Mata Yara membelalak."Nggak apa-apa 'kan?" Felix bertanya lagi. "Aku juga ingin memanfaatkan kesempatan ini biar kalian bisa lebih dekat. Kalau kamu nggak mau, aku antar kamu pulang lagi sekarang.""Nggak, nggak apa-apa." Yara tertawa datar dua kali.Dia menyentuh perutnya dan berkata bahwa dia akan melakukan apa saja untuk mencegah anak-anaknya terpisah dari ayah mereka setelah lahir.Dia tersenyum dan meledek Felix, "Kak Felix kelihatannya serius, tapi aku nggak nyangka kamu begitu perhatian. Sampai berbuat sejauh ini demi aku dan anak-anakku.""Bukan apa-apa." F
Yara tersenyum masam. "Aku juga nggak ingin ke sini."Dia jadi semakin marah saat memikirkannya. "Kenapa? Kamu kecewa karena aku bukan Melly-mu? Apa kamu perlu aku menelepon dia sekarang ..."Sebelum Yara menyelesaikan kata-katanya, Yudha mengulurkan tangan dan menarik Yara ke dalam pelukannya, "Diam, kamu berisik."Yudha benar-benar orang yang sangat disiplin. Meski dia sangat sibuk bekerja setiap hari, dia tetap menyempatkan diri untuk terus berolahraga. Yara merasa kesakitan saat menabrak dadanya sampai menitikkan air mata.Bau alkohol dan aroma hormon pria yang kuat memenuhi napas Yara, membuatnya sedikit terengah-engah."Ow, lepaskan aku." Dia mencoba melepaskan diri dengan cemas.Yudha sepertinya sedang tidak terlalu kuat. Lengannya melingkari pinggang ramping Yara dan tangannya yang agak panas menarik pantat Yara. "Jangan bergerak."Yara mencoba melepaskan diri beberapa kali, sampai akhirnya dia berubah posisi dan duduk di pangkuan Yudha.Dia ingin bangkit. Akan tetapi, begitu d
"Kamu demam." Yara masih berdiri di tempat."Bukan urusanmu." Yudha mencubit alisnya menahan sakit kepala. Dia merasa tidak nyaman, sangat haus, dan ingin bangun untuk mengambil air minum, tetapi tiba-tiba terjatuh kembali.Dia bergumam memaki-maki, tetapi Yara tidak mendengarnya. Yara melihatnya berdiri lagi, tampak gemetar."Kamu mau ke mana? Biar kubantu." Yara melangkah maju untuk menggandengnya."Nggak usah, pergi sana." Yudha mendorongnya dengan keras, lalu ikut terpental kembali ke sofa."Kamu perlu ke mana?" Yara tidak tahan lagi dan melangkah maju untuk memegang bahunya. "Katakan padaku, kamu butuh apa?"Yudha mengangkat mata untuk menatapnya, dan akhirnya menyerah. "Minum."Yara segera turun ke lantai bawah untuk menuangkan air. Ketika berjalan melewati jendela, dia melihat mobil Felix masih di luar.Dia mengeluarkan ponselnya dan menelepon Felix. "Kak Felix, kamu masih belum pulang?""Bagaimana? Kamu sanggup mengurus dia?" Felix bertanya balik."Ya, nggak masalah. Dia agak d
Yara menggertakkan giginya penuh kebencian. Tidak lagi malu, dia membantu Yudha melepas baju dengan ekspresi tegas. Selanjutnya celana.Dia bangkit berdiri. "Buka sendiri celanamu.""Nggak mau." Sekilas ide jahat muncul di mata Yudha. "Aku nggak bisa berdiri, tolong bantu aku."Yara menatap wajah Yudha, lalu celananya, sambil berdebat keras dalam hati."Cepat, aku sudah ngantuk," desak Yudha.Yara menggigit rahangnya kuat-kuat dan akhirnya berjongkok lagi di hadapan Yudha dengan wajah pasrah.Dia segera memegang ikat pinggangnya dan membukanya setelah berusaha keras. Saat dia melepas celananya, dia melihat bagian tertentu di tubuh pria itu yang memamerkan diri tanpa malu-malu.Keduanya merona malu.Yudha mengambil bajunya tadi untuk menutup pangkuannya, lalu berkata dengan suara canggung, "Oke, sudah, sana cepat pergi.""Sudah dibantu, nggak tahu terima kasih!" Yara cemberut. "Ya sudah, tidur yang benar, aku pergi dulu."Dia berbalik pergi. Namun, begitu melangkah maju, dia dipeluk dar
"Kenapa?" Rasa kantuk Siska hilang lebih dari setengahnya dalam sekejap. "Kamu diapakan lagi sama Yudha?"Dia mengepalkan tinjunya penuh kebencian. "Dasar anjing busuk. Kamu bantu mengurus dia waktu dia mabuk, tapi dia berani macam-macam sama kamu?""Nggak." Yara berpikir sejenak, memutuskan untuk mengubah ceritanya, mengingat apa yang dilalui Siska hari ini. "Aku harusnya nggak mau waktu diajak tadi. Memaksakan diri nggak akan berbuah baik.""Ada apa sebenarnya?" Melihat dia ragu-ragu, Siska tahu dia tidak mengatakan yang sebenarnya. "Kalau kamu nggak mau cerita, aku marah.""Oke, aku cerita." Yara menarik Siska dan duduk di sofa. "Yudha demam sampai terlalu linglung dan mengira aku Melanie.""Apa?" Siska naik pitam. "Betapa butanya Yudha? Kamu dan Melanie seperti tuan putri dan kodok. Bagaimana bisa sampai salah?"Yara jadi ingin tertawa di antara kesedihannya. "Dia mabuk dan demam. Sebenarnya ... dia mungkin cuma memikirkan Melanie.""Sialan." Siska sangat marah. "Rara, jangan bilan
Pada hari yang telah disepakati, Yudha menerima telepon dari Revan di pagi hari."Pak Yudha, saya di Meria sekarang, sedang menunggu penerbangan pulang. Seluruh informasinya sudah hampir lengkap.""Bagus." Yudha agak terkejut. Dia tidak menyangka Revan perlu pergi ke Meria. dia menambahkan, "Hati-hati di perjalanan. Aku tunggu kepulanganmu.""Pak Yudha." Revan menatap dokumen di tangannya. "Saya akan pergi ke rumahmu setelah sampai di sana. Sebelum itu ... siapkan mentalmu.""Oke." Yudha menutup telepon. Dia sebenarnya merasakan sedikit firasat buruk dalam hatinya.Dia menatap kalender dan melihat hari persidangan perceraiannya akan tiba dua hari lagi. Masih ada waktu.Satu hari terasa sangat panjang bagi Yudha. Dia meninggalkan semua pekerjaan dan kembali ke rumah keluarga besar untuk bermain sebentar dengan Agnes dan Yovi, lalu kembali ke vilanya dan menunggu.Agnes bertanya, "Kerjaanmu hari ini sudah selesai 'kan? Kenapa buru-buru pergi? Temani anakmu lebih lama lagi."Sejak ada Yov
Saat masuk ke ruang tamu, Santo jelas merasa agak malu, tapi Felix dan Gio bersikap seolah-olah tidak terjadi apa-apa dan bicara dengannya seperti biasa.Yara membawa album foto yang baru diambilnya dan mereka semua berkumpul untuk melihat."Ayah, lihat, ini foto pernikahanmu. Kalian masih sangat muda waktu itu, sangat tampan dan cantik."Santo tersenyum dan mengulurkan tangan untuk menyentuh Zaina di foto itu."Senyum Ibu sangat cantik di foto ini. Yang ini, Ayah, kamu sangat tampan ...."Sambil berbicara, Yara memperhatikan ekspresi Santo. Di dalamnya banyak foto-foto Melanie. Dia berusaha untuk menyebutnya sesedikit mungkin.Lambat laun, raut wajah Santo menjadi semakin serius.Tiba-tiba, air mata menetes membasahi album foto."Ayah, kamu kenapa?" Yara sedikit panik dan berusaha menyingkirkan album foto itu. "Kita lihat besok lagi saja, nggak apa-apa."Santo menunduk. Tangannya membelai wanita yang ada di foto tersebut dengan penuh kasih sayang. "Kenapa aku nggak pulang lebih cepat
Segera setelah pintu kamar mandi terbuka, bau menyengat menghantam. Ada noda air berwarna kuning di lantai. Tidak perlu ditanya lagi apa itu.Santo membelakangi semua orang, meringkuk di sudut ruangan. Seluruh tubuhnya gemetar."Kalian keluar dulu." Yara merasa dadanya sangat sesak dan meminta semuanya pergi."Rara, nggak apa-apa, biarkan aku membantumu." Siska bergegas berkata."Nggak usah." Yara menggeleng dan menatap mereka dengan memohon, "Keluar dulu, oke? Keluar!""Ayo, kita tunggu di ruang tamu." Gio akhirnya merespons, mengangguk kepada Yara, dan menarik pergi Felix dan Siska.Yara berdiri di ambang pintu, mengendus-endus, dan berseru lirih, "Ayah, mereka sudah pergi. Nggak apa-apa."Santo masih meringkuk di pojokan.Dia adalah kepala keluarga Lubis, yang berwibawa dan terhormat seumur hidup. Tapi sekarang ... pikirannya sudah tidak jernih lagi dan menghadapi hal semacam ini saja tidak bisa."Ayah!" Yara dengan hati-hati melangkah maju dan menarik lembut pakaian Santo. "Ayah, n
Yara juga berdiri dan menatap mata Melanie. "Bahkan meski mereka tahu kebenarannya dan menukar kita kembali, mereka tetap akan sangat mencintaimu dengan kasih sayang yang sama.""Melanie, kamu kehilangan dua orang yang paling menyayangimu. Kamu benar-benar nggak menyesalinya?" Yara sedikit emosional."Nggak!" kata Melanie dengan sangat tegas. "Yara, asal kamu tahu, nggak ada kata "menyesal" dalam kamus hidupku. Ambil barang-barangmu dan cepat pergi. Nggak usah ngoceh nggak jelas di sini."Yara menggelengkan kepalanya, mengambil album foto itu dan mengatakan satu hal lagi, "Jaga dirimu baik-baik."Dia keluar dari vila, mengucapkan selamat tinggal kepada Amel, dan segera pergi.Amel kembali ke vila dan melihat Melanie melamun sambil memandangi foto Zaina. Dia bertanya dengan suara kecil, "Bu, kamu juga kangen ibumu?""Dia bukan ibuku." Melanie mengambil foto itu dari dinding dan melemparkannya ke lantai. "Aku nggak kangen dia. Nggak sedikit pun!"Orang yang paling disayangi Zaina semasa
Setelah kehilangan Santo sekali, Yara dan yang lainnya tidak berani ceroboh lagi, terutama Siska."Rara, aku janji nggak akan membiarkan Paman Santo lepas dari pandanganku."Yara tertawa sambil menggelengkan kepalanya. "Oke, tutup pintunya, dia nggak akan bisa keluar. Aku keluar sebentar."Karena Santo selalu bicara soal menemui Zaina, Yara ingin pergi ke rumah keluarga Lubis untuk mengambil foto-foto Zaina. Dia sudah menelepon Melanie.Sampai di sana, dia melihat Amel sudah menunggunya dari kejauhan."Bibi Rara!" Amel melihat kedatangannya dan langsung berlari menghampiri. "Bibi Rara, kamu di sini."Yara memeluk Amel. "Wah, Amel sudah tambah tinggi dan cantik.""Bibi Rara juga tambah cantik," balas si kecil bermulut manis.Yara membawanya masuk ke dalam vila. Melanie sudah menunggu di ruang tamu."Barangnya di lantai atas, mungkin di kamar mereka." Melanie bangkit dan berjalan ke arah tangga. "Ayo kuantar ke atas.""Terima kasih." Yara meminta Amel bermain sendirian dan mengikuti ke a
Ini pertama kalinya Amel melihat Yudha berbicara sangat serius dengannya. Wajahnya langsung terlihat takut dan dia berbisik, "Amel kasihan sama Ibu.""Ibumu kenapa?" Yudha berjongkok dan sedikit melunakkan nada bicaranya.Amel menggeleng dan mengulangi, "Ibu kasihan sekali."Yudha tidak bertanya lagi dan mengelus kepala si kecil. "Amel, mungkin suasana hati ibumu sedang buruk. Paman akan menghiburnya, tenang saja.""Terima kasih, Paman." Amel menghela napas dan melanjutkan bermain.Yudha duduk di sofa dan menunggu. Pikirannya terus terbayang penampilan Melanie barusan. Gelagatnya seperti orang mabuk, tapi tidak ada bau alkohol sama sekali di dalam kamar. Bau itu ...Yudha belum pernah merasakan bau seperti itu sebelumnya. Menyengat dan sangat tidak enak.Dia menunggu beberapa saat dan kemudian melihat Melanie turun. Melanie sudah berganti pakaian dan menata rambutnya, nyaris seperti orang yang berbeda, membuat Yudha bertanya-tanya apakah yang dilihatnya tadi itu hanya ilusi."Yudha, ke
Selama beberapa hari berikutnya, Yara menghabiskan waktu bersama Yola dan Santo di siang hari. Lalu malamnya mengerjakan desain perhiasan bertemakan "Pulau" itu.Tapi, inspirasinya seakan sedang surut dan ide-ide yang dia pikirkan masih kurang memuaskan.Sidang perceraiannya semakin dekat.Di suatu sore, Yudha menerima telepon dari Amel sebelum pulang dari kantor."Paman sedang sibuk?" ucap gadis kecil itu dengan suara manis. "Amel sudah lama nggak ketemu Paman. Paman sedang sibuk bersama adikku ya?"Yudha terdiam. Beberapa waktu telah berlalu sejak Yovian datang ke rumah. Dia memang sudah lama belum bertemu Amel.Sejenak, dia merasa malu. "Paman minta maaf. Malam ini Paman ke rumahmu, oke?""Sekarang saja. Ayo makan di luar bersama Ibu." Amel tertawa usil. "Tapi jangan bilang Ibu. Beri dia kejutan.""Oke." Yudha menjawab ringan.Dia membereskan pekerjaannya sebentar dan segera pergi ke rumah keluarga Lubis. Tak disangka, Amel sudah menunggu di depan pintu."Amel ...""Ssst!" Amel mene
"Nggak mungkin." Yara berpikir, satu-satunya pria yang dekat dengannya baru-baru ini adalah Felix.Menurutnya, dengan sifat Felix, dia tidak mungkin punya ini seperti ini. Saran dari Gio juga rasanya tidak mungkin sampai ke sini.Dia tidak tahu siapa lagi yang mungkin."Rara, gawat!"Yara tiba-tiba mendengar suara Siska dari belakangnya. Dia buru-buru menutup telepon. "Safira, aku ada urusan mendadak. Sampai di sini dulu ya, terima kasih!""Ada apa?" Dia menatap Siska dengan cemas."Ayahmu ... ayahmu hilang." Siska terengah-engah karena kelelahan. Dia jelas sudah mencari di sekitar untuk mencoba mencarinya sebelum memberi tahu Yara.Suaranya seperti menahan tangisan. "Kami terlalu fokus dengan Yola. Aku nggak tahu sejak kapan ayahmu pergi.""Nggak apa-apa. Tolong jaga Yola dulu, aku akan mencarinya." Yara menenangkan Siska dan segera menelepon polisi.Setelah menelepon polisi, dia menelepon Felix dan Gio."Oke, jangan khawatir, kami akan membantu mencari." Felix menenangkan Yara dan me
Keesokan harinya setelah sarapan, cuaca di luar sangat cerah. Yara ingin mengajak Yola dan Santo berjalan-jalan."Aku ikut juga." Siska melambaikan kedua tangannya. Reaksi kehamilannya sudah jauh membaik akhir-akhir ini. Usia kandungannya sudah lima minggu.Yara meminta pengasuh memakaikan baju kepada Yola sementara dia pergi membantu Santo."Ayah, ganti baju dulu, lalu pergi jalan-jalan, oke?""Jalan-jalan?" Santo berpikir sejenak, "Ketemu Zaina?"Hati Yara terasa pilu. Dia hanya bisa berbohong, "Ya, jalan-jalan, menemui ibuku. Ayo Ayah, aku bantu pakai baju.""Oke, ketemu Zaina, ketemu Zaina ..." Santo terus bergumam dan segera berganti pakaian.Mereka turun ke bawah dan pergi ke lapangan kompleks. Yola di dalam kereta dorong bayi. Mata lebarnya berkedip-kedip, melihat ke mana-mana penuh rasa ingin tahu.Yara awalnya khawatir anaknya terlalu kecil untuk dibawa keluar. Tapi pengasuhnya mengatakan bahwa Yola tumbuh dengan sangat baik. Cuacanya sedang bagus, tidak terlalu dingin dan tid