Yudha sebenarnya agak bingung.Di satu sisi, beberapa tindakannya tadi malam membuatnya merasa malu. Dia tidak ingin bertemu Yara lagi secepat ini. Di sisi lain, dia ingin mengundangnya makan. Mungkin karena didikan yang dia terima sejak kecil. Dia tidak ingin berutang pada Yara.Melanie segera memesan tempat di restoran dan mengirimkan waktu serta alamatnya pada Yudha. "Kirimkan ke Rara, dia pasti senang.""Oke." Yudha menggerakkan sudut bibirnya. "Melly, terima kasih.""Bicara apa kamu?" Melanie bergerak mendekat dan bersandar padanya. "Kita sebentar lagi mau menikah. Urusanmu adalah urusanku. Nggak perlu segan-segan denganku."Ketika dia menyadari sekilas kegembiraan di mata Yudha, diam-diam dia menggertakkan gigi.Hari ini, Yara tidur hingga hampir tengah hari. Begitu sampai di ruang tamu, dia melihat pesan dari Yudha.Dia ragu-ragu untuk menolaknya."Kenapa? Pesan dari Yudha?" Siska menebak apa yang terjadi saat melihatnya memegang ponsel dengan wajah dilema.Yara mengangguk.Pada
"Nona, untuk berapa orang? Sudah reservasi tempat sebelumnya?" Pelayan melangkah maju sambil tersenyum."Seharusnya sudah, tolong periksa atas nama Yudha Lastana." Yara ragu-ragu melaporkan nama Yudha."Yudha Lastana, betul?" Pelayan itu segera menemukannya. "Nona, silakan masuk. Pak Yudha Lastana memesan ruang terbaik di sini. Silakan masuk."Yara mengangguk. Dia tidak terkejut. Dengan status Yudha, dia pasti memesan tempat yang paling mahal."Nona, Anda pacar Pak Yudha ya?" Pelayan itu tampak iri. "Anda beruntung sekali. Pak Yudha pasti sangat mencintaimu."Yara menunduk malu-malu. "Sebenarnya ... saya istri Pak Yudha.""Oh, maaf, mataku buta." Pelayan itu menatap Yara dari atas ke bawah. "Sebenarnya, karena Nyonya masih terlihat sangat muda, seperti belum menikah sama sekali."Yara tersenyum dan tidak berkata apa-apa.Pelayan itu mengantarnya ke ruang pribadi yang dipesan dan pergi. Masih sepuluh menit sebelum waktu yang ditentukan, dan Yudha belum juga datang.Yara melihat sekelili
Yara hanya bisa mengeluh dalam hati. Dia benar-benar tidak pernah tahu bahwa Yudha ternyata memperhatikan dia. Mungkin sudah kebiasaan seorang pebisnis.Keduanya berhenti bicara lagi.Yudha sebenarnya ingin mengucapkan terima kasih kepada Yara karena telah merawatnya tadi malam. Namun, sebelum dia bisa berkata apa-apa, dia teringat akan kelakuan memalukannya tadi malam.Jika dia mengungkitnya sendiri, bukankah dia akan mengingatkan Yara?Yara tampak bingung saat dia melihat pria di seberangnya tampak berangsur-angsur memerah dari leher sampai telinganya. Seperti ... saat dia kepanasan tadi malam.Memikirkan kejadian tadi malam, Yara juga merasa malu dan segera mengeluarkan ponsel untuk mengalihkan perhatiannya.Restoran menyajikan makanannya dengan segera. Saat si pelayan kembali masuk, dia merasa seisi ruangan ini dipenuhi dengan suasana canggung dan ambigu.Bosnya mengirimkan anggur merah dan kue penutup. Setelah meletakkannya, pelayan mengangguk kepada mereka berdua dan segera pergi
"Yara!" Yudha tiba-tiba berdiri, memotong perkataan Yara.Dia berjalan selangkah demi selangkah. Kesabarannya sudah di ambang batas dan udara di sekitar dipenuhi kilatan amarah.Yara pun berdiri dan mundur ketakutan, selalu berusaha menjaga jarak aman dari Yudha."Kamu ingin tahu jawabannya?" ucapnya dengan nada dingin."Apa?" Yara masih agak marah. "Aku ingin dengar bagaimana kamu ingin menjelaskannya.""Apa yang ingin kamu dengar?" Pria itu mencibir, matanya penuh dengan rasa jijik. "Kamu ingin dengar aku tertarik padamu? Nggak bisa menahan diri?"Mana mungkin Yara berani memikirkan hal ini? Mendengarnya saja sudah membuat jantungnya berdetak lebih cepat seperti akan pingsan.Dia menelan ludah, tetapi sebelum terpikir apa yang harus dia katakan, pintu ruang pribadi itu terbuka."Nona Melanie, silakan masuk!: Pelayan itu berbalik ke samping dan menatap Yara dengan pandangan aneh.Tak lama kemudian, Melanie masuk sambil membawa boneka beruang besar. "Yudha, Rara, apa aku terlambat?"Yu
"Melanie!" Yara menatapnya marah. "Nggak peduli betapa menjijikkannya aku, nggak mungkin semenjijikkan kamu.""Oh ya?" Melanie menatap Yara dari atas ke bawah. "Ck, ck, kamu bahkan dandan dan pakai gaun. Siapa yang mau kamu goda?"Dia berkata penuh kebencian, "Yara, ingat harga dirimu dan menjauhlah dari Yudha. Kalau nggak, apa yang terjadi hari ini hanya akan menjadi hidangan pembuka saja."Yara mengeluarkan selembar tisu dan menyeka sudut mulutnya.Dia memuntahkan semua steak yang baru saja dia makan. Perutnya mual dan dia merasa sangat tidak nyaman.Dia tidak ingin makan steak lagi selamanya."Jijik!" Melanie mendengus dan melenggang pergi.Yara bersandar lemah di dinding, air mata mengalir tanpa sadar.Melanie benar. Dia memang tidak punya harga diri. Dia masih menyimpan ilusi tentang Yudha. Dia pantas untuk dipermalukan.Saat Melanie kembali ke restoran, dia melihat Yudha berdiri di depan pintu.Dia mengambil berlari ke depan beberapa langkah. "Yudha, kamu mau pulang? Bisa antar a
"Kak," Yara tersenyum dengan wajah lelahnya. "Lupakan saja urusan aku dan Yudha."Dia benar-benar lelah dan tidak ingin memberi Yudha kesempatan untuk melukai dirinya lagi."Rara, dengarkan aku. Yudha menceritakan padaku apa yang terjadi hari ini." Felix menatap Yara dengan mata sedih. "Dia juga nggak nyangka Melanie mau datang."Namun, Yara tidak merasa senang.Dia tersenyum pahit, "Terus? Kalaupun dia tahu, apa dia akan menghentikannya?"Felix tertegun sejenak, lalu segera berkata, "Rara, di sinilah letak kelicikan Melanie. Kamu jangan sampai jatuh ke dalam perangkapnya.""Perangkap? Kamu bisa melihatnya, 'kan? Apa mungkin Yudha nggak bisa melihatnya?" Hati Yara benar-benar sudah hancur lebur.Selama ini, bukannya dia tidak bisa mengalahkan Melanie. Hanya Yudha saja yang selama ini memihak Melanie."Rara, percaya kata-kataku. Beri Yudha kesempatan lagi. Beri kesempatan untuk anak-anak dalam perutmu juga." Kata-kata Felix terdengar berapi-api.Yara tetap diam dan tidak berbicara.Tiba
Dokter itu melirik Felix dan sikapnya tampak jelas lebih ramah. "Reaksi kehamilan itu tergantung kondisi setiap ibu hamil. Sebagai anggota keluarga, Anda harus memasak makanan yang lebih disukai si ibu hamil, jaga perasaannya, dan lain sebagainya. Akan saya resepkan obat, jangan lupa dikonsumsi tepat waktu."Terakhir, dia menambahkan instruksi lain, "Anda harus datang tepat waktu untuk tes kehamilan selanjutnya. Situasi Anda kurang baik."Wajah Yara memucat dalam sekejap.Felix membantu menguruskan yang selanjutnya. Hari sudah siang saat semuanya selesai.Setelah masuk ke dalam mobil, Yara masih terlihat melamun. Dia tidak ingin kehilangan kedua anaknya."Rara, kamu mau makan apa?" tanya Felix.Yara menggelengkan kepala. Suasana hatinya sedang buruk, dia benar-benar tidak nafsu makan."Rara, kamu dengar apa kata dokter tadi, kamu makan terlalu sedikit." Felix berpikir sejenak, lalu menelepon seseorang.Yara mendengarkan di samping. Felix rupanya menelepon untuk menanyakan restoran yang
"Hah? Bukan, kamu salah paham, dia bukan pacarku." Yara cepat-cepat menjelaskan."Aku kakaknya." Felix tersenyum ringan. "Oke, pesan ini saja.""Maaf, tapi kakak malah lebih membuat iri. Pacar 'kan bisa saja putus, sedangkan kakak itu selamanya." Pelayan itu tersenyum, lalu pergi.Keduanya saling memandang dan membuang muka sambil tersenyum.Hidangan mereka segera tersaji. Rupanya, teman Felix memang bisa diandalkan.Yara juga memperhatikan dengan cermat, tidak ada satu pun hidangan pesanan Felix yang mengandung daging sapi.Perasaannya jadi jauh lebih baik dan dia makan banyak. "Kak, aku benar-benar menguras dompetmu.""Asal kamu senang." Felix bangkit berdiri. "Tunggu sebentar, aku panggilkan pelayan untuk membungkus sisanya.""Oke." Yara menunggu dengan tenang.Beberapa saat kemudian, pelayan sebelumnya datang. Saat dia melihat Yara, dia tampak tidak percaya, "Nona, kakakmu benar-benar keterlaluan.""Ada apa?" Yara kebingungan. Felix memang sudah pergi agak lama. Kenapa dia belum ju