"Yudha, tolong dengarkan penjelasanku, bukan aku yang melakukannya." Yara menangis. Dia sangat sayang kepada Kakek, mana mungkin dia melakukan kesalahan yang begitu fatal?Namun, mata Yudha seperti ingin membunuhnya."Yudha, nggak bisakah kamu ...." Saat pintu lift tertutup, Yara terjatuh ke lantai, "... percaya padaku?"Dia tidak tahu bagaimana dia meninggalkan rumah sakit.Setelah sampai di rumah, Siska kaget."Rara, kamu kenapa?" Siska merasa Yara seperti hantu gentayangan yang kesepian, tanpa kehidupan sama sekali. "Apa yang terjadi?"Yara berkata dengan wajah yang mati rasa, "Kakek kritis.""Kenapa bisa begini?" Siska segera menariknya ke sofa. "Rara, jangan khawatir. Kakek punya keberuntungan tersendiri. Semuanya akan baik-baik saja."Yara sedikit tersadar dan meraih Siska sangat erat."Siska, tolong bantu tanyakan ke paman, bagaimana keadaan Kakek?""Oke, aku tanya sekarang." Siska berjalan ke samping, ragu-ragu sejenak, dan segera menelepon.Dalam beberapa hari terakhir, Tanto
Keesokan paginya, Yara pergi ke rumah sakit lebih awal dan bertemu Melanie di lantai satu."Yara, kamu kebal malu sekali. Masih berani datang ke sini?" Melanie tampak tidak percaya."Aku ke sini mau bertemu Kakek." Yara mengabaikannya dan bersiap menaiki lift.Tanpa diduga, Melanie meraihnya. "Yara, kamu hampir membunuh Kakek. Kamu nggak diterima di sini.""Kakek yang minta aku datang," teriak Yara marah. "Lagian, kemarin aku nggak salah ambil obat, apalagi berniat menyakiti Kakek.""Kamu masih mau menyangkal?" Melanie mengeluarkan ponselnya. "Coba aku telepon Yudha sekarang. Kalau dia setuju, aku akan membiarkanmu naik."Jantung Yara berdebar kencang."Kamu Rara ya?" Tiba-tiba terdengar suara rendah seorang pria yang bernada lemah lembut.Yara mengikuti suara itu dan melihat seorang pria berseragam militer berjalan mendekat. Wajahnya lumayan mirip Yudha, hanya alisnya sedikit lebih tajam dan penampilannya penuh wibawa.Yara tidak kenal siapa dia."Kakak." Melanie tiba-tiba memanggil d
"Nggak, terima kasih." Yara menghela napas lega. Dia sangat takut bertengkar dengan Agnes di depan pintu. Nanti Kakek Susilo ikut sedih lagi.Dia menyunggingkan bibirnya penuh rasa terima kasih kepada Felix."Jangan takut, aku ada di depan sini, nggak ke mana-mana." Felix mengangguk, menutup pintu, dan berjaga di depan pintu.Hati Yara tergerak lagi."Rara?" Kakek Susilo terbangun. "Kamu di sini?""Kakek!" Yara menoleh, air mata mengalir di wajahnya. "Kakek, bagaimana perasaanmu?""Bocah bodoh, kenapa kamu menangis? Lihat, Kakek baik-baik saja." Kakek Susilo mengangkat tangannya dengan susah payah, ingin menyentuh kepala Yara.Yara segera maju mendekat. "Kakek, obat kemarin ...""Kakek tahu Rara nggak mungkin salah." Kakek Susilo menyentuh rambut Yara dengan lembut. "Si Amanda itu sudah pergi mengundurkan diri. Mungkin dia agak ceroboh.""Kakek, terima kasih sudah percaya padaku." Air mata Yara mengalir deras seperti hujan. Kakek ini begitu baik, tetapi sayang sekali, dia tidak mendapa
"Maaf, salah orang."Orang itu berbalik kembali dan Yara menyadari bahwa itu bukanlah Siska.Punggung dan perawakan mereka berdua sangat mirip. Begitu pula mata mereka, sama-sama indah dan cemerlang. Hanya temperamen mereka saja yang cukup berbeda.Siska biasanya tidak memakai riasan. Wajahnya sudah merupakan pemberian Tuhan yang paling menakjubkan. Di masa kuliah, banyak sekali pemuda yang jatuh hati.Wanita di depannya jelas seorang wanita dari keluarga kaya. Dia memakai riasan yang indah dan senyuman yang sempurna. Kalung, cincin, dan anting yang menghiasinya tampak bernilai mahal, tetapi semuanya sangat pas dikenakannya.Dia mengangguk sopan kepada Yara, lalu berbalik pergi.Setelah kembali, Yara bertanya pada Siska penuh rasa ingin tahu, "Kamu punya sepupu super kaya gitu nggak?""Nggak," jawab Siska singkat. "Ditarik sampai 18 generasi ke belakang, keluarga kami selalu miskin."Yara terbungkam dan tidak menyebut apa-apa soal wanita itu, hanya menganggapnya sebagai suatu kebetulan
"Mimpi buruk?" tanya Siska mengantuk."Ya." Yara duduk dengan pandangan kosong beberapa saat. Saat dia bangkit dari tempat tidur, kepalanya pusing dan dia hampir terjatuh.Siska cepat-cepat membantunya. "Rara, kamu nggak apa-apa? Wajahmu lebih pucat dari orang mati.""Siska!" Dengan lemah, Yara melepaskan diri dari tangan Siska.Tidak peduli apa, dia harus bercerai hari ini. Bisa gila kalau dia harus tarik-ulur lebih lama lagi.Siska mengikuti Yara keluar dari kamar. Dia duduk di sofa dan menatap Yara. Langkah Yara tampak begitu lemah.Akhirnya, karena tidak mampu membujuknya, dia membuatkan segelas air madu untuk Yara.Yara meminumnya sambil menahan rasa mual. Selesai mengemasi barang-barangnya, dia membuka pintu. Di sini, dia mulai merasakan ada yang tidak beres.Pandangannya tiba-tiba gelap dan dia pingsan."Rara!" Siska ketakutan. Dia berlari mendekati dan mengguncangnya, tetapi Yara tidak mau bangun, "Yara, bangun, jangan bikin aku takut."Dia menarik Yara kembali ke dalam rumah d
"Buka pintunya." Felix berhenti di depan pintu mobil dan berkata dengan suara yang dalam.Suara rendah itu membuat orang yang mendengar merasa aman dan nyaman."Oh." Siska buru-buru melangkah maju untuk membuka pintu. Saat ini, keselamatan Yara adalah yang terpenting.Setelah masuk ke dalam mobil, dia mengucapkan terima kasih sepanjang jalan dan bertanya-tanya, "Pak Felix, kamu ... tahu keluarga Lastana? Kenapa aku belum pernah dengar Rara membicarakan tentangmu?""Aku kakak Yudha." Felix mengemudikan mobilnya dengan cepat dan mantap.Siska agak kaget dan langsung terpikir sesuatu. Dia langsung mengingatkan, "Lalu, um ... Kak, aku boleh minta sesuatu?""Jangan beri tahu Yudha apa yang terjadi hari ini. Entah Rara hamil atau nggak, jangan beri tahu Yudha."Oke." Felix tidak berkata apa-apa lagi. Alisnya sedikit berkerut, entah apa yang dia pikirkan.Saat mereka sampai di rumah sakit, petugas di UGD sudah menunggu di pintu gerbang dan langsung mendorong Yara masuk.Felix dan Siska menung
Bukankah ini mimpi?Yara menoleh dan menatap Siska. "Kamu tadi bilang apa?""Apa?" Siska mengulangi kata-katanya barusan. "Aku bilang, kamu pingsan waktu keluar rumah pagi tadi, sekarang kamu di rumah sakit.""Bukan itu." Yara terlihat sedikit gugup. "Kamu tadi bilang ... siapa yang hamil?""Kamu!" Siska menatapnya. Jelas, Yara sendiri tidak tahu tentang hal ini. "Sudah lebih dari dua bulan, kembar.""Nggak mungkin!" Yara sama sekali tidak percaya, "Nggak mungkin sama sekali!""Beneran!" Siska menoleh ke belakang, tetapi Felix sudah tidak di sana. "Aneh, Kak Felix ke mana? Dia bisa menjamin kata-kataku."Dia terus bertanya pada Yara, "Rara, kamu lapar? Mau makan apa? Kata dokter kamu kurang makan, jadi perkembangan bayinya sangat buruk. Kamu harus makan lebih banyak mulai sekarang. Mau makan apa? Apa saja aku belikan."Yara tidak menjawab. Dia menatap langit-langit dengan tatapan kosong, entah sedang memikirkan apa.Saat itu, terdengar suara di depan pintu. Siska melihat Felix sudah ke
Felix tidak menggubris perkataan Siska.Dia terus menatap Yara dan berkata dengan serius, "Anak-anak di perutmu adalah keturunan keluarga Lastana. Sebagai anggota keluarga Lastana, aku nggak akan membiarkan mereka berkeliaran di luar."Yara tidak berkata apa-apa. Dia masih merasa semuanya hanya mimpi.Dia benar-benar hamil?Yara menyentuh perutnya dengan lembut. Jika memang dua kehidupan baru di sana, dia juga tidak ingin mereka datang ke dunia ini tanpa seorang ayah.Namun, Yudha ...Yara merasa sakit hati. "Kak, sejak awal sampai akhir, aku nggak bisa bersuara sedikit pun soal perceraian kami.""Jangan khawatir," kata Felix tegas. "Biar aku yang mengurus Yudha dan keluarga Lastana."Yara memandang Felix dan teringat perkataan Kakek Susilo. Dia pernah mengatakan bahwa sifat Felix tiba-tiba berubah drastis ketika dia masih kecil. Dia lalu menolak menjadi penerus pemimpin keluarga Lastana dan segera pergi ke luar negeri.Saat mendengarkan penuturan Kakek waktu itu, yang muncul di benak