Yara menutup pintu kantor dan perlahan mengembuskan napas lega.Dia mau tak mau tetap merasa agak sedih dan segera membenamkan diri dalam pekerjaan agar tidak berpikiran macam-macam.Tujuan Melanie tercapai dan dia kembali ke rumah sakit dengan gembira.Begitu sampai di pintu kamar, dia melihat Dokter Faris, yang merawat Zaina.Faris jelas sedang menunggunya. Saat melihatnya kembali, dia memanggilnya ke samping dan berkata, "Ibumu sebentar lagi bangun.""Jangan!" Ekspresi Melanie langsung berubah. "Dia belum boleh bangun."Faris tampak tak berdaya. "Aku nggak bisa apa-apa lagi. Aku hanya bisa menunda sebisa mungkin. Kamu silakan pikirkan cara lain sendiri."Setelah mengatakan itu, dia berbalik pergi."Berhenti!" Melanie mengeluarkan ponselnya, mencari sebuah rekaman, dan mengirimkannya kepada Faris. "Dokter Faris, coba mendengarkan ini. Mungkin kamu akan berubah pikiran."Faris tampak ngeri selagi mengecilkan volume ponselnya, lalu menempelkannya ke telinga untuk mendengarkan.Begitu m
Gita gelisah sepanjang malam dan tidak bisa tidur sama sekali.Karena dia tahu hubungan sebenarnya antara Zaina dan Yara, ditambah lagi Yara menitipkan Zaina kepadanya, dia menjadi ekstra perhatian kepada Zaina.Dia memikirkan perilaku Faris dan lama-lama semakin yakin ada sesuatu yang tidak beres. Dia begadang hingga hampir subuh, baru bisa tertidur.Akibatnya, dia bangun terlambat keesokan harinya.Dia segera mandi dan pergi ke kamar Zaina tanpa sarapan.Tak disangka, Zaina sudah diberi obat untuk hari ini."Siapa yang memberikan obat?" Gita langsung bertanya dengan gugup."Dokter Faris." Santo memandang Gita tidak mengerti. "Gita, ada masalah apa?""Nggak kok." Gita keluar dan pergi ke apotek, menggunakan uangnya sendiri untuk membeli obat Zaina lagi, lalu kembali ke tempat Zaina."Pak Santo." Dia berusaha bersikap sealami mungkin, "Obat Bibi Zaina perlu diganti.""Apa maksudmu?" Santo merasakan gelagat aneh Gita dan ikut merasa gugup. "Yang ini ada masalah?""Nggak, Pak Santo, jang
Melanie berbohong kepada Santo. Jika Zaina bangun, kebohongan itu akan terungkap. Tentu saja, Melanie tidak ingin Zaina bangun.Hanya saja, dia tidak menyangka Melanie bisa begitu gila sampai berani berkomplot dengan dokter untuk mengganti obat Zaina."Gita, kamu tahu itu dari mana? Paman Santo sudah diberi tahu?Gita menggeleng. "Maaf, Rara, aku pengecut. Aku sudah mengajukan pengunduran diri ....""Gita!" Yara menatap Gita yang hampir pingsan karena menangis. Dia menepuk-nepuk punggungnya. "Nggak, kamu memberi tahu aku, artinya kamu sangat berani. Kamu sebenarnya nggak perlu mengundurkan diri. Biar aku yang pikirkan selanjutnya.""Nggak, aku nggak bisa lagi." Gita terisak. "Aku gagal menjalankan tugasku dengan benar. Pekerjaanku seharusnya untuk mengobati dan menyelamatkan manusia, tapi aku gagal.""Gita ...." Yara ingin menghiburnya lagi."Rara, kamu nggak perlu bilang apa-apa lagi." Gita menyeka air matanya. "Aku sudah beli tiket kereta untuk pulang."Yara tertegun sejenak, dan tib
Yara ingin menunjukkan laporan tes DNA itu kepada Santo. Dia ingin mengungkapkan semua kebenarannya.Sepuluh menit kemudian, dia keluar dari lift rumah sakit dan kebetulan melihat Melanie."Ngapain kamu di sini lagi?" Melanie tampak tidak sabar. "Cepat pergi, kamu nggak diterima di sini."Yara sangat marah. Memikirkan apa yang telah dilakukan Melanie selama ini, dia langsung menampar wajah Melanie."Kamu selama ini sudah tahu, 'kan?" tanya Yara dengan suara dingin.Melanie menutup wajahnya dan menatap Yara tak percaya. "Kamu gila? Selama ini sudah tahu apa?"Yara membuka lipatan hasil tes DNA itu agar Melanie bisa melihatnya dengan jelas.Saat Melanie melihat kalimat yang dicetak tebal, wajahnya tiba-tiba memucat."Apa yang terjadi?" Dia panik. "Kamu tes DNA lagi?"Yara seketika menangkap intinya. "Jadi, kamu memanipulasi hasil tes Silvia dan aku?"Melanie tidak berkata apa-apa. Pikirannya berlarian liar.Dia tidak boleh membiarkan masalah ini sampai keluar. Jika tidak, pernikahannya d
Wajah Zaina sedikit demi sedikit memucat. "Melly, kenapa kamu bisa jadi seperti ini?""Bukannya kalian yang membuatku seperti ini!" teriak Melanie. "Aku anak kalian, tapi apa yang pernah kalian lakukan untukku? Kamu cuma peduli pada Yara. Ayah cuma peduli padamu. Sekarang aku cuma ingin menikah dengan Yudha. Tenang saja, aku nggak akan mengganggumu lagi setelah aku menikah dengan Yudha. Aku juga nggak akan mengganggu Yara."Zaina memegangi dadanya kesakitan. "Melly, ada di mana hati nuranimu, mengatakan semua itu?""Waktu kamu masih kecil, kamu demam tinggi. Kami nggak berani memberimu obat. Dini hari, ayahmu yang selalu menjagamu, nggak berani berkedip sepanjang malam.""Kamu suka yang manis-manis, tapi ayahmu menganggap makanan di luar itu nggak baik, jadi dia belajar sendiri dan membuatkannya untukmu.""Saat sesuatu terjadi padamu dan Yudha, ayahmu bahkan mengabaikan pekerjaannya dan pergi ke keluarga Lastana untuk memperjuangkan dirimu .... Semua yang dia lakukan untukmu, nggak bis
Setelah Yara meninggalkan rumah sakit, dia merasa seperti jiwanya terbang menghilang.Segala sesuatu yang terjadi hari ini mengacaukan banyak hal yang dia ketahui di masa lalu.Saat kembali tersadar, Yara mendapati dirinya telah sampai di depan pintu rumah keluarga Lubis.Karena sudah sampai di sini, Yara mau tidak mau harus kembali dan mengunjungi "ibu" baik yang telah membesarkannya selama lebih dari 20 tahun.Dia masuk dengan langkah marah."Nona sudah kembali?" Pelayan masih menyambutnya dengan hangat waktu dia masuk. "Nyonya sedang nonton TV di ruang tengah, mari masuk."Yara mengambil beberapa langkah menuju ruang tengah dan melihat Silvia menatapnya dengan jijik."Kamu ngapain di sini?" Silvia mencibir, "Kenapa? Bukannya kamu sudah memutus hubungan denganku dan berhenti menganggapku sebagai ibumu?"Dia tampak sangat menghina. "Kamu menyesal sekarang?""Silvia, kamu nggak punya malu ya?" bentak Yara.Silvia bangkit berdiri dalam sekejap karena terlalu marah. "Kamu yang gila! Yara
"Kita rahasiakan dulu saja." Yara tampak khawatir. "Bibi baru saja bangun belum lama ini. Emosinya harus selalu dijaga. Karena sudah ada Paman di sana, Melanie kemungkinan nggak akan berani main-main. ""Benar juga." Siska menganalisis secara rasional. "Yang terpenting, kalau terjadi sesuatu pada keluarganya sekarang, dia dan Yudha mungkin nggak akan bisa menikah."Dia menatap Yara dengan iri lagi. "Kamu masih panggil mereka Paman dan Bibi?""Siska!" Mata Yara memerah seketika.Dulu, karena Silvia memperlakukannya dengan buruk, dia meragukan dirinya sendiri. Mungkin dia memang anak yang tidak pantas untuk dicintai.Kalau dipikir-pikir sekarang, perhatian Zaina padanyalah yang memberinya kehangatan di waktu-waktu itu.Mungkin, semuanya memang sudah ditakdirkan.Dia memikirkan Tanto lagi, memeluk Siska dengan hati sesak. "Siska, semuanya akan membaik pada waktunya, percayalah.""Gadis bodoh." Siska mengusap lembut rambut Yara. Dia tahu Yara pergi menemui Tanto hari ini.Dia tidak terkeju
"Nona Yara!" Tiba-tiba terdengar suara dari belakang.Yara menoleh ke belakang dan melihat pintu rumah terbuka. Pengasuh Kakek sedang berdiri di depan pintu."Nona Yara, Pak Susilo memintamu pergi ke atas." Perawat itu keluar dan mengambil lukisan Yara.Yara cepat-cepat menyeka air matanya dan mengikuti perawat itu masuk. Alhasil, dia melihat Melanie di ruang tamu.Dia mengabaikan Melanie dan berbisik kepada Agnes, "Aku cuma mau ngobrol sebentar dengan Kakek, nanti langsung pergi."Kondisi Kakek Susilo tidak terlalu bagus dan dia tampak sangat lelah. Saat melihat Yara, senyumnya langsung merekah."Kakek!" Yara mendekat padanya dengan perasaan sedih. "Bagaimana kabarmu? Kenapa kamu pucat sekali?""Nggak apa-apa, Kakek baik-baik saja." Kakek Susilo memaksakan senyum. "Kamu bisa menggambar dengan tangan kirimu?""Ya." Yara mengangguk, "Aku juga sudah mulai kerja."Dia membuka lukisan yang dibawanya dan menunjukkannya kepada Kakek Susilo. "Kakek, ini yang kamu lihat di mimpimu?"Mata Kakek