Wajah Zaina sedikit demi sedikit memucat. "Melly, kenapa kamu bisa jadi seperti ini?""Bukannya kalian yang membuatku seperti ini!" teriak Melanie. "Aku anak kalian, tapi apa yang pernah kalian lakukan untukku? Kamu cuma peduli pada Yara. Ayah cuma peduli padamu. Sekarang aku cuma ingin menikah dengan Yudha. Tenang saja, aku nggak akan mengganggumu lagi setelah aku menikah dengan Yudha. Aku juga nggak akan mengganggu Yara."Zaina memegangi dadanya kesakitan. "Melly, ada di mana hati nuranimu, mengatakan semua itu?""Waktu kamu masih kecil, kamu demam tinggi. Kami nggak berani memberimu obat. Dini hari, ayahmu yang selalu menjagamu, nggak berani berkedip sepanjang malam.""Kamu suka yang manis-manis, tapi ayahmu menganggap makanan di luar itu nggak baik, jadi dia belajar sendiri dan membuatkannya untukmu.""Saat sesuatu terjadi padamu dan Yudha, ayahmu bahkan mengabaikan pekerjaannya dan pergi ke keluarga Lastana untuk memperjuangkan dirimu .... Semua yang dia lakukan untukmu, nggak bis
Setelah Yara meninggalkan rumah sakit, dia merasa seperti jiwanya terbang menghilang.Segala sesuatu yang terjadi hari ini mengacaukan banyak hal yang dia ketahui di masa lalu.Saat kembali tersadar, Yara mendapati dirinya telah sampai di depan pintu rumah keluarga Lubis.Karena sudah sampai di sini, Yara mau tidak mau harus kembali dan mengunjungi "ibu" baik yang telah membesarkannya selama lebih dari 20 tahun.Dia masuk dengan langkah marah."Nona sudah kembali?" Pelayan masih menyambutnya dengan hangat waktu dia masuk. "Nyonya sedang nonton TV di ruang tengah, mari masuk."Yara mengambil beberapa langkah menuju ruang tengah dan melihat Silvia menatapnya dengan jijik."Kamu ngapain di sini?" Silvia mencibir, "Kenapa? Bukannya kamu sudah memutus hubungan denganku dan berhenti menganggapku sebagai ibumu?"Dia tampak sangat menghina. "Kamu menyesal sekarang?""Silvia, kamu nggak punya malu ya?" bentak Yara.Silvia bangkit berdiri dalam sekejap karena terlalu marah. "Kamu yang gila! Yara
"Kita rahasiakan dulu saja." Yara tampak khawatir. "Bibi baru saja bangun belum lama ini. Emosinya harus selalu dijaga. Karena sudah ada Paman di sana, Melanie kemungkinan nggak akan berani main-main. ""Benar juga." Siska menganalisis secara rasional. "Yang terpenting, kalau terjadi sesuatu pada keluarganya sekarang, dia dan Yudha mungkin nggak akan bisa menikah."Dia menatap Yara dengan iri lagi. "Kamu masih panggil mereka Paman dan Bibi?""Siska!" Mata Yara memerah seketika.Dulu, karena Silvia memperlakukannya dengan buruk, dia meragukan dirinya sendiri. Mungkin dia memang anak yang tidak pantas untuk dicintai.Kalau dipikir-pikir sekarang, perhatian Zaina padanyalah yang memberinya kehangatan di waktu-waktu itu.Mungkin, semuanya memang sudah ditakdirkan.Dia memikirkan Tanto lagi, memeluk Siska dengan hati sesak. "Siska, semuanya akan membaik pada waktunya, percayalah.""Gadis bodoh." Siska mengusap lembut rambut Yara. Dia tahu Yara pergi menemui Tanto hari ini.Dia tidak terkeju
"Nona Yara!" Tiba-tiba terdengar suara dari belakang.Yara menoleh ke belakang dan melihat pintu rumah terbuka. Pengasuh Kakek sedang berdiri di depan pintu."Nona Yara, Pak Susilo memintamu pergi ke atas." Perawat itu keluar dan mengambil lukisan Yara.Yara cepat-cepat menyeka air matanya dan mengikuti perawat itu masuk. Alhasil, dia melihat Melanie di ruang tamu.Dia mengabaikan Melanie dan berbisik kepada Agnes, "Aku cuma mau ngobrol sebentar dengan Kakek, nanti langsung pergi."Kondisi Kakek Susilo tidak terlalu bagus dan dia tampak sangat lelah. Saat melihat Yara, senyumnya langsung merekah."Kakek!" Yara mendekat padanya dengan perasaan sedih. "Bagaimana kabarmu? Kenapa kamu pucat sekali?""Nggak apa-apa, Kakek baik-baik saja." Kakek Susilo memaksakan senyum. "Kamu bisa menggambar dengan tangan kirimu?""Ya." Yara mengangguk, "Aku juga sudah mulai kerja."Dia membuka lukisan yang dibawanya dan menunjukkannya kepada Kakek Susilo. "Kakek, ini yang kamu lihat di mimpimu?"Mata Kakek
"Rara!" Tak disangka, Melanie tiba-tiba memanggilnya. "Masuk, ayo ke rumah sakit juga."Yara masuk ke mobil dalam keadaan linglung dan berkata pada Melanie, "Terima kasih."Namun, dia memperhatikan Melanie mengerutkan bibir bawahnya, tampak sangat bangga.Di dalam mobil, Agnes berulang kali mengecek apakah suntikan obat tadi sudah benar."Harusnya benar." Tangan perawat itu terkepal erat, dan telapak tangannya basah penuh keringat.Karena dia samar-samar sudah punya tebakan, dia hanya sulit memercayainya.Agnes tidak berkata apa-apa lagi. Dia memandang Yara untuk terakhir kalinya dan mengumpat dengan suara rendah, "Setiap kali kamu datang pasti membawa sial."Sesampainya di rumah sakit, Kakek Susilo langsung dilarikan ke ruang gawat darurat.Semua orang menunggu dengan cemas di luar. Melanie menemani Agnes, suster perawat itu berdiri di samping dengan wajah pucat, dan Yara merasa kedinginan yang tak dapat dijelaskan."Bibi Agnes, jangan terlalu khawatir, Kakek pasti baik-baik saja," hi
Kakek Susilo berhasil diselamatkan.Yara sangat ketakutan. Dia terus berdoa dalam hatinya, semoga Kakek bisa melewati masa-masa sulit ini.Tak lama kemudian, Yudha dan Tanto datang beriringan."Ada apa?" Dia bertanya dengan cemas. "Bukannya tadi pagi masih baik-baik saja?"Mata Agnes memerah dan dia menggelengkan kepala. "Aku nggak tahu apa yang terjadi, waktu itu aku sedang di ruang tamu di lantai bawah.""Aku ada di sana waktu itu." Melanie melirik ke arah Amanda. "Aku pergi untuk mengantarkan obat. Kak Amanda dan Rara menyuntik Kakek bersama-sama. Tiba-tiba, setelah disuntik, aku lihat ada yang salah dengan wajah kakek."Yudha dapat menarik kesimpulan dan menatap Amanda. "Kamu salah menyuntikkan obat?""Saya nggak tahu, nggak." Amanda menggeleng-gelengkan kepalanya sekuat tenaga. "Waktu itu, Nona Yara bilang ingin membantu, jadi saya suruh dia mengambilkan obat. Saya sudah menjelaskan dengan benar. Harusnya ... harusnya nggak ada yang salah."Pada saat yang sama, pintu ruang IGD ter
"Yudha, tolong dengarkan penjelasanku, bukan aku yang melakukannya." Yara menangis. Dia sangat sayang kepada Kakek, mana mungkin dia melakukan kesalahan yang begitu fatal?Namun, mata Yudha seperti ingin membunuhnya."Yudha, nggak bisakah kamu ...." Saat pintu lift tertutup, Yara terjatuh ke lantai, "... percaya padaku?"Dia tidak tahu bagaimana dia meninggalkan rumah sakit.Setelah sampai di rumah, Siska kaget."Rara, kamu kenapa?" Siska merasa Yara seperti hantu gentayangan yang kesepian, tanpa kehidupan sama sekali. "Apa yang terjadi?"Yara berkata dengan wajah yang mati rasa, "Kakek kritis.""Kenapa bisa begini?" Siska segera menariknya ke sofa. "Rara, jangan khawatir. Kakek punya keberuntungan tersendiri. Semuanya akan baik-baik saja."Yara sedikit tersadar dan meraih Siska sangat erat."Siska, tolong bantu tanyakan ke paman, bagaimana keadaan Kakek?""Oke, aku tanya sekarang." Siska berjalan ke samping, ragu-ragu sejenak, dan segera menelepon.Dalam beberapa hari terakhir, Tanto
Keesokan paginya, Yara pergi ke rumah sakit lebih awal dan bertemu Melanie di lantai satu."Yara, kamu kebal malu sekali. Masih berani datang ke sini?" Melanie tampak tidak percaya."Aku ke sini mau bertemu Kakek." Yara mengabaikannya dan bersiap menaiki lift.Tanpa diduga, Melanie meraihnya. "Yara, kamu hampir membunuh Kakek. Kamu nggak diterima di sini.""Kakek yang minta aku datang," teriak Yara marah. "Lagian, kemarin aku nggak salah ambil obat, apalagi berniat menyakiti Kakek.""Kamu masih mau menyangkal?" Melanie mengeluarkan ponselnya. "Coba aku telepon Yudha sekarang. Kalau dia setuju, aku akan membiarkanmu naik."Jantung Yara berdebar kencang."Kamu Rara ya?" Tiba-tiba terdengar suara rendah seorang pria yang bernada lemah lembut.Yara mengikuti suara itu dan melihat seorang pria berseragam militer berjalan mendekat. Wajahnya lumayan mirip Yudha, hanya alisnya sedikit lebih tajam dan penampilannya penuh wibawa.Yara tidak kenal siapa dia."Kakak." Melanie tiba-tiba memanggil d