Benarkan apa yang ada di hadapan itu? Wanita itu? Apa iya dia yang merencanakan ini semua? bukankah ia membenci sosok gadis hina itu? Belum lagi tatapan menohok yang ia berikan, nampak jelas mata itu membencinya, tak mungkin jika kali ini hatinya berbalik arah.
Aminah yang tertegun, dengan suara ketus di hadap pintu itu gemetar, enggan menoleh, apalagi sampai..
"Jangan sampai ia mengusirku dengan lebih hina," gusar nya dalam hati.
Langkah sepatu tinggi itu mendekat, terdengar jelas suara hak sepatu itu bedegum di ubin, mendekat kursi tinggi tempat gadis itu dihias.
"Nyonya," tunduk seorang pelayan menyodorkan kursi tinggi bernuansa merah tua, dengan kualitas super empuk, tak menyangka jika kursi kesayangan nya itu ditolak kali ini, "tidak," ujarnya singkat.
Langkah wanita itu semakin pasti, mendekat ke arah Aminah yang sedang di hias,
Dup..dup..
"Jantung ku, ohh tidak, jangan apa-apakan aku," tolak gadis itu dengan menghalau kupingnya mengenakan rambut halus yang terurai disisi kuping.
Sementara tanpa kaca dihadapnya, sudah tentu tak bisa membuatnya berkutik, apalagi melihat dirinya sekarang, "Apa aku harus percaya diri atau aku harus malu dengan ini semua," tanya Aminah yang enggan membuka matanya.
Terasa hentakan langkah beruntun menjauh meninggalkan Aminah, gadis itu kini sadar jika sekarang ia hanya sendiri, perlahan ia memberanikan diri membuka sebelah matanya dengan amat pelan,
Satu, dua, dan..
"Tiga, Buka matamu." suara ketus dan tegas itu menimpali suara hitungan Aminah.
"Ha..." Sontak saja jantung Aminah semakin berdetak tak karuan, "Oh tidak, itu terdengar seperti suara wanita paruh baya tadi," gusar nya dengan wajah pucat pasih, untung saja bibirnya sudah terbalut oleh lipstik merah menyala sehingga membuatnya tampil segar juga berani.
Terasa kedua bahunya tergenggam oleh sentuhan tangan, tangan yang halus juga aroma Parfum mahal itu tercium begitu menyenangkan untuk Aminah hisap. Bibir Aminah bergetar, dan matanya yang semula ingin ia buka seketika urung, keberaniannya seakan padam layu.
"Open your eyes." suara itu terdengar memerintah.
Perasaan dilema menyelimuti Aminah, "Permainan macam apa ini? Apa yang mereka maksud, apa yang ingin mereka perbuat," gusarnya, dalam canggung.
Wanita dengan suara ketus itu sekali lagi mencoba memberikan perintah di kuping kanan Aminah, agar segera membuka kedua matanya, mungkin lebih tepatnya sebuah ancaman bagi gadis itu,
Genggaman yang semula halus menjadi mencengkram kasar dan bahkan meninggalkan bekas merah di kedua bahu Aminah, "Buka matamu anak manis."
Hentakan itu terlalu kuat untuk Aminah tolak, sehingga dengan segera matanya terbuka, "Siapa kau," tanya Aminah dengan suara bergetar juga mata yang terbelalak bulat, mata indah itu semakin menonjol saja dengan berhias maskara tebal.
Wanita dengan pakaian rapi mengenakan setelan jas dengan rok pendek itu, juga mengenakan high heels tinggi dengan wajah tegas menatapnya tajam, matanya tak kalah indah hanya saja kalah besar.
Wanita itu mengeluarkan sebuah tab, terlihat ia mencentang beberapa list yang mungkin telah ia buat sebelumnya.
Lagi-lagi mereka semua memanggil rekannya mengeret tubuh Aminah dengan kasar.
Mobil mewah berwarna hitam pekat itu menjadi pilihan tepat untuk Aminah terduduk, "mau dibawa kemana aku," desaknya dengan paksa pada sang sopir mobil.
Sopir itu nampak tak pandai berbicara atau bahkan sedikit Gaguk, atau mungkin itu hanya bagian dari sandiwara semata.
Gadis polos itu melirik sedikit bayang dirinya di kaca gelap mobil, ia seakan tak percaya wajah siapa yang ada di bayangan itu, seorang gadis modern dan cantik, kedua jarinya memegangi wajah yang sudah terbalut make up, mencubit pelan pipinya, "Sakit," berarti itu menandakan bahwa ia tak bermimpi.
Tinttt…
Suara klakson memekikan telinga, membuat kuping bengkak rasanya, nampaknya itu tanda mobil yang Aminah tumpangi harus berhenti,
Benar dugaan gadis itu, seseorang telah bersiap membuka pintu sebelahnya, mempersilakan Aminah turun, bak putri di negeri dongeng.
"Silahkan nona, ikuti aku, aku akan mengantarmu ke ruangan yang telah ditunggu," ajak sang pelayan hotel dengan wajah ramah bersahabat.
Wajah itu Lagi-lagi dibuat terpukau akan hotel yang mewah dan megah itu, bangunan hotel itu begitu menjulang tinggi, juga tak kalah dengan tugu Monas, gadis itu nampak memperhatikan sekitar dengan tatapan penuh kekaguman, tapi tetap saja ia berjalan kaku dengan high heels yang dikenakan, juga dress yang terlalu mini baginya.
"Hei mbak tunggu, mau dibawa kemana aku," tanya Aminah dengan suara bergetar.
Pelayan itu dibuat tertawa oleh wajah polos itu, "Gadis ini terlihat cantik tapi sayang ia masih terlihat bodoh juga norak," lirik sang pelayan hotel dengan tatapan sebelahnya.
Sementara kaki Aminah kini terasa lemas, ujung jari-jari itu mulai terlihat memerah dan sebentar lagi akan ada goresan luka dari alas yang ia kenakan. "Aku benci ini," celetuknya untuk hari ini.
Tapi ia terlalu takut untuk berlalu pergi dan pulang begitu saja, ditambah lagi ia tak tahu dimana keberadaannya sekarang.
Tercium aroma makanan telah menyapa kedatangannya, benar saja sebuah ruangan besar dengan meja-meja terpenuhi makanan enak sudah tersedia, mata gadis itu enggan berkedip, apalagi ketika melirik sebuah hidangan besar beralaskan piring raksasa, kepiting berukuran raksasa dengan asap mengepul, lalu disiram oleh sausnya, itu benar-benar membuat ludah tercecer.
Ia hanya meneguk ludahnya dalam. Merasakan sensasi kenikmatan itu.
"Nona, kau sedikit terlambat, mejamu sebelah sana," tunjuk sang pelayan hotel mengarah ke meja besar yang nampak sudah dipenuhi beberapa orang, Aminah menoleh, mendapati punggung beberapa orang yang ia kenal,
"Meja itu," tunjuknya,
Pelayan itu nampak mengiyakan, dan berlalu meninggalkan Aminah,
"Ha bukankah..." langkah nya semakin getir.
Seorang gadis nampak berdiri dan melambaikan tangan pada Aminah, mengajaknya untuk bergabung, walau ia sedikit ragu tapi langkahnya mendekat.
"Ratih," mata gadis itu terkejut,
Sementara kekasihnya Anthony telah ada disana juga Omah nya, "Ku kira mereka melupakan ku, Ternyata..." Aminah nampak senang dan terharu.
"Duduklah sayang," ajak Anthony pada Aminah dengan menyiapkan sebuah kursi di sebelahnya, dimana kursi itu berhadapan langsung dengan wajah tegas sang omah.
"Ya benar, duduklah Aminah," Ajak Ratih dengan sedikit memaksanya.
"Te.. terimakasih," ucap Aminah dengan suara pelan.
Walaupun gadis itu Sekarang nampak anggun dengan gaun mahal dan juga riasan bak Putri, tetap saja mata itu memandang rendah, tetap saja ia tak selevel dengan Anthony, "Dasar penjilat," desis sang Omah dengan meraih wajah hina itu.
"Mari sayang, ayo omah kita lanjutkan makannya, bukankah sekarang tak ada lagi yang kita tunggu," ajaknya.
Wajah murung itu kini menyelimuti omah, kedua tangannya menghempaskan kasar sendok juga garpu, meletakkannya dengan segera, "Tidak, Omah tidak bernafsu lagi," hentak sang omah.
Suara kasar dan tegas itu tak elak membuat Aminah sedikit tersinggung, "Apakah ini semua karena kehadiran ku," pikirnya.
"Omah, jangan seperti anak kecil," teriak sang cucu.
"Lanjutkan makannya." suara berat terdengar memimpin di ujung meja.Sosok tinggi besar juga berkacamata dan berwibawa itu memimpin makan malam sehingga semua terlihat menunduk dan juga mengikuti suruhan itu, "Siapa laki-laki besar itu," telisik Aminah dengan tajam.
Gadis dengan wajah cantik, ramah dan tersenyum itu seolah hanya topeng semata, kebaikannya hanya semu, "Oh ya, aku bisa menanamkan sedikit modal untuk usaha mu itu," tawar Ratih dengan senyuman setengah bibir.Sedangkan Anthony, dan Aminah kekasihnya itu masih terlihat menikmati hidangan makan malam, terlihat gadis polos itu sangat lapar."Sayang pelan-pel
Aminah menoleh dengan getir, belum lagi sentuhan Jeremy di pahanya membuat tubuhnya merinding, juga kaku membuatnya tak berdaya.Ingin sekali ia menolak dan bahkan berteriak atas kekurang ajaran itu tapi entah kenapa Aminah seakan membisu dan mematung takut.Sentuhan di sebelah paha itu semakin menggila saja, ia kini bahkan dengan berani menyentuh kedua paha Aminah, membuat dress pendek itu semakin tersingkap saja.Tangan itu seakan memberikan kehangatan pada paha mulus Aminah."Tenang, kau tak akan kedinginan lagi cantik," ujar suara lelaki itu dengan pelan disertai hembusan bisikan di sebelah kuping Aminah.Aminah benar-benar tak mampu berkutik, ia semakin takut saja, sementara tubuhnya sudah sangat merinding.
Menata bunga-bunga sedemikian rupa, juga merawat bunga-bunga itu adalah keseharian Aminah, sudah lebih dari enam tahun ia bekerja di toko bunga milik Bu Marta.Dari uang yang ia dapatkan itu membuatnya mampu lulus dari bangku kuliah, selain memang otaknya yang pintar sehingga Ia mendapatkan beasiswa, sungguh nasib baik berpihak pada Aminah.
"Wajah Itu menyebalkan sekali, wajar saja tak ada satu wanita pun yang ingin berdampingan dengannya jika kelakuannya seperti itu terus dia akan menjadi perjaka tua selama-lamanya," sumpah Stephanie meng ubun-ubun.Sementara tepukan bahu seorang Aminah mengagetkan Stephanie yang sedang menggerutu, "Semuanya sudah ku tata sedemikian rupa kau tinggal perbaiki lagi sesuai dengan warna," ucapnya sebelum berlalu meninggalkan toko bunga.
Romeo tampak mengawasi karyawannya dengan seksama, matanya yang berukuran besar semakin membuatnya terlihat mengerikan, sementara Stefani dan Delon sudah berdiri dengan wajah tertunduk.Tapi Aminah belum juga tiba, membuat sahabatnya risau saja,"Kemana anak itu," mata besar Romeo tampak jelas, memperhatikan pintu besar yang kini terbuka leba
Pukul 5 sore,Jarum jam itu menunjuk ke arah dua belas tepat, membuat karyawan toko bunga Bu Martha bergembira, membuka pelindung tangan juga masker mereka."Tunggu." ucap Delon memperingati, dimana ia masih teringat jika pak Romeo masih berada di toilet, sontak saja menyadarkan karyawan lainnya untuk berbaris rapi.
Langkah lunglai juga mata sayu mengiringi kesedihan Aminah, tangannya lemas meraih handle pintu, "Aku pulang," dorongnya pada pintu reog itu."Anak itu," langkah sang ibu nampak bersemangat menghampiri Aminah,"Anak sialan, kemana saja kau, sampai sampai kau pulang selarut ini? Apa kau tak tahu malu, berjalan sendiri di tengah malam? Ma
Mobil mewah Anthony itu terhenti di depan butik yang tak kalah mewah, jelas itu butik untuk orang-orang menengah ke atas, iya semisal pejabat atau juga selebriti."Hey ayo sayang, ayo kita turun," ajak Anthony pelan dengan meraih tangan Aminah yang terlihat pasrah.Gadis itu hanya menundukkan kepalanya menerima tarikan kekasihnya Anthony, tentu dalam kalbu
Aroma sop iga itu sungguh menggoda gairah siapa saja yang telah duduk di meja makan, di sana ada Buu Martha Pak Romeo dan juga Aminah, kedua asisten rumah tangga itu terlihat report dengan membawa hidangan-hidangan lainnya memenuhi meja makan yang besar."Cukup bi." pinta Bu Marta dengan mengangkat tangannya,tumben sekali padahal meja makan
"Aminah," lelaki itu bangkit dari kursinya dan mengejar langkah Aminah."Tunggu," Romeo menarik paksa lengan gadis itu yang masih memegang lap.Iya tak tahan lagi dengan kejantanannya yang semakin menegang dan berdiri,
"Teteh… Kau cantik sekali hari ini, sudah ibu bilang kau itu memang pantas bekerja di kantor, dan mengenakan pakaian seperti itu, ibu sangat suka," pujian itu terdengar sangat lembut dari mulut Bu Marta. Sementara Stephanie memilih mundur meraih sapu yang tadi ia sandarkan, "Permisi Bu," ucapnya pelan sembari menundukkan pandangannya.
"Si penagih hutang datang, dasar preman kampung, hanya berani menindas kaum bawah, dasar lintah darat," Bu Sekar keluar dengan langkah pasti untuk pertama kalinya, sebelumnya ia hanya mampu bersembunyi di balik pintu atau kabur melalui pintu belakang tapi kali ini dia berani menunjukkan batang hidungnya pada si dua preman bertubuh besar, yang sudah siap menghajarnya dan melukainya dengan tanpa ampun.
Langkah lunglai juga mata sayu mengiringi kesedihan Aminah, tangannya lemas meraih handle pintu, "Aku pulang," dorongnya pada pintu reog itu."Anak itu," langkah sang ibu nampak bersemangat menghampiri Aminah,"Anak sialan, kemana saja kau, sampai sampai kau pulang selarut ini? Apa kau tak tahu malu, berjalan sendiri di tengah malam? Ma
Pukul 5 sore,Jarum jam itu menunjuk ke arah dua belas tepat, membuat karyawan toko bunga Bu Martha bergembira, membuka pelindung tangan juga masker mereka."Tunggu." ucap Delon memperingati, dimana ia masih teringat jika pak Romeo masih berada di toilet, sontak saja menyadarkan karyawan lainnya untuk berbaris rapi.
Romeo tampak mengawasi karyawannya dengan seksama, matanya yang berukuran besar semakin membuatnya terlihat mengerikan, sementara Stefani dan Delon sudah berdiri dengan wajah tertunduk.Tapi Aminah belum juga tiba, membuat sahabatnya risau saja,"Kemana anak itu," mata besar Romeo tampak jelas, memperhatikan pintu besar yang kini terbuka leba
"Wajah Itu menyebalkan sekali, wajar saja tak ada satu wanita pun yang ingin berdampingan dengannya jika kelakuannya seperti itu terus dia akan menjadi perjaka tua selama-lamanya," sumpah Stephanie meng ubun-ubun.Sementara tepukan bahu seorang Aminah mengagetkan Stephanie yang sedang menggerutu, "Semuanya sudah ku tata sedemikian rupa kau tinggal perbaiki lagi sesuai dengan warna," ucapnya sebelum berlalu meninggalkan toko bunga.