Aminah menoleh dengan getir, belum lagi sentuhan Jeremy di pahanya membuat tubuhnya merinding, juga kaku membuatnya tak berdaya.
Ingin sekali ia menolak dan bahkan berteriak atas kekurang ajaran itu tapi entah kenapa Aminah seakan membisu dan mematung takut.
Sentuhan di sebelah paha itu semakin menggila saja, ia kini bahkan dengan berani menyentuh kedua paha Aminah, membuat dress pendek itu semakin tersingkap saja.
Tangan itu seakan memberikan kehangatan pada paha mulus Aminah.
"Tenang, kau tak akan kedinginan lagi cantik," ujar suara lelaki itu dengan pelan disertai hembusan bisikan di sebelah kuping Aminah.
Aminah benar-benar tak mampu berkutik, ia semakin takut saja, sementara tubuhnya sudah sangat merinding.
"Kau kenapa sayang," tanya Anthony dengan memperhatikan wajah Aminah yang terlihat sedikit tegang, pergerakan Aminah dengan menggigit bibir bawahnya itu tentu mengundang pertanyaan kekasihnya.
"Ha," Aminah terlihat semakin tegang, dan melepaskan gigitan pada bibirnya, "A-aku tidak apa-apa," wajah itu semakin terlihat pucat pasih.
Belum sempat Anthony melanjutkan tanyanya, tapi Anthony harus beranjak mengangkat telepon dari rekan kerjanya, bangkit dari kursi dan segera pergi dengan sedikit menjauh.
"A...antho…," Teriak Aminah dengan setengah takut.
Tapi tangan kasar itu menolak terlepas, tangan itu terlalu nyaman memegangi kedua paha mulus itu, "Hei sayang, disini saja, bukankah sekarang kau sudah merasa sedikit hangat," ujar Jeremy dengan memandang Aminah penuh nafsu.
"Lepas." tolak Aminah dengan mendorong paksa tubuh Jeremy, "Kurang ajar sekali kau," suara itu terdengar sedikit kasar untuk Jeremy.
"Ternyata kau cukup bertenaga," mendapati tubuhnya yang terhempas beberapa jarak, membuat Jeremy semakin bersemangat mendekati Aminah, "Aku suka sayang," ujarnya dengan senyuman menyebalkan itu.
Aminah beranjak dari kursinya, menjauh beberapa saat, menanti sang kekasih untuk kembali.
Tapi wajah itu, masih saja memandangi tubuh Aminah yang berdiri tak jauh, tubuh berbalut dress pendek ketat itu semakin membuat mata Jeremy terpesona, dan enggan berkedip. Ia tentu bisa membedakan wanita yang masih segel juga tidak.
"Ingin sekali aku menggendongmu ke dalam kamar," desisnya dalam hati.
Sementara perasaan gusar menyelimuti Aminah, ia harap-harap cemas menantikan Anthony agar segera mengakhiri panggilan di telponnya, "Sayang, aku takut", ujar Aminah, ia nampak memegangi kedua tangannya saling menggesekkannya agar hangat.
Tiba-tiba sentuhan hangat terasa melingkar di pinggang Aminah, "Jangan-jangan." ia sedikit takut menoleh, "Lepas." tolak Aminah dengan sedikit menjauh.
"Sayang, ini aku," pungkas Anthony dengan meraih kedua bahu Aminah, membuat kekasihnya itu membalik badan dan menatap wajahnya,.
Senyum sipu itu terlihat lagi di wajah Aminah, "Sayang, aku mau pulang," rengek Aminah terdengar malu-malu. Dan kini Aminah terlihat bergelayutan di tubuh Anthony.
"Hey, tak seperti biasanya kau bersikap seperti ini padaku," lirik wajah Anthony dengan meraih kedua pipi mulus dan kenyal itu, menciumnya dengan penuh rasa.
Walau sudah bertahun-tahun lamanya mereka merajut kasih, tapi Aminah dan Anthony tak menunjukkan kemesraannya di depan umum, mungkin ini adalah kali pertama seorang Aminah terlihat menunjukkan kemesraannya pada sang kekasih.
Kini pegangan itu, semakin erat saja melingkar di pinggang Anthony, seakan memang aminah tak ingin terpisahkan atau ditinggalkan lagi olehnya.
Tapi sayang sekali, Ratih belum juga nampak kembali di kursinya, "Lama sekali gadis itu, ia pasti sedang berdandan ria di toilet. Itu kebiasaan nya sedari dulu, yang sangat aku benci," ucap Anthony dengan sedikit menggerutu.
Entah mengapa, saat Anthony berbicara seperti itu, membuat hati Aminah sedikit terenyuh, "Apa mungkin, sang kekasih masih menyimpan rasa untuk Ratih? Sampai-sampai ia masih mengingat kebiasaan buruknya, atau mungkin itu hanya suatu kekhawatiran yang berlebihan," batin Aminah bertanya.
Sudahlah tepis Aminah pada pikiran buruknya.
"Sabar, sayang," Aminah tampak mengelus dada bidang sang kekasih dengan senyum tulus itu.
Tentu saja seorang Jeremy masih terduduk di kursi itu, dengan menatap wajah Aminah sesekali, mendapati Aminah yang bergelayutan di tubuh Anthony, membuatnya sedikit kesal, alangkah lebih pantasnya wanita itu bergelayut di tubuhnya, terlihat ia membersihkan celananya dengan sedikit kasar.
Meletakkan bongkahan tisu yang basah itu di atas meja.
Sementara Anthony sekarang duduk berdekatan dengan Aminah, kedua tangan mereka berpegangan tanpa lepas, sementara Aminah terlihat sama sekali tak membiarkan tangan Anthony menjauh darinya, Itu sudah pasti karena rasa takut yang sekarang menyelimutinya.
Jakun itu, seakan bergerak naik-turun meneguk ludahnya, duduk di seberang Aminah juga Anthony yang berpegangan mesra membuat Jeremy menundukkan pandangannya kesal.
Sudah lebih dari 30 menit ketiganya menunggu Ratih, teruntuk pasangan itu, Anthony benar-benar tak bisa menunggu lebih lama, ia beranjak dari kursinya dan mengajak sang kekasih untuk pulang terlebih dulu, tak luput meninggalkan sedikit pesan untuk Jeremy.
"Aku tahu kau bukan orang asing untuk Ratih, tolong antarkan dia ke apartemennya, ini alamat dan tolong segera kabari." lempar Anthony pada sebuah kertas di atas meja.
Jeremy tampak tersenyum dengan setengah bibir, "tentu saja aku bukan orang asing lagi untuk Ratih, sudah lebih dari 3 tahun kami menghabiskan waktu bersama di Singapore," sahutnya dengan terkesan sombong.
"Bahkan mungkin Ratih lebih lama bersamaku dibanding dengan kau karena 24 jam kami selalu bersama dalam tiga tahun belakangan"
Anthony tampak tak peduli dengan semua omong kosong Jeremy, Ia sempat mengetahui orang itu dan latar belakangnya yang tak begitu penting untuk Anthony, hanya sekelas ikan teri tak berpengaruh untuknya, apalagi mengenai perusahaan keluarga Jeremy, tak lebih dari seper ujung kekayaan keluarga Anthony.
Anak manja, yang mengandalkan kekayaan orang tua, juga hanya mampu menyombongkan serta menghambur-hamburkan uang dengan bersenang-senang, tak lebih dari seorang anak kecil yang tak berguna.
"Tunggu." raih Jeremy pada tangan Aminah,
Sontak saja membuat mata Aminah terbelalak tak percaya di mana tangannya tertahan oleh Jeremy.
Sebuah dompet diajukan oleh Jeremy, "ini milikmu kan," ujar Jeremy dengan mengedipkan sebelah matanya pada Aminah.
Mungkin saja dompet itu ditemukan oleh Jeremy di bawah meja karena tolakan Aminah yang cukup kasar tadi,
"Terima kasih," ujar Aminah dengan berlalu pergi menarik Anthony secepat mungkin.
Tak seperti biasanya, Aminah seorang yang sopan juga murah senyum, kali ini wajah gadis itu terlihat sedikit takut, juga ingin berlalu pergi segera, dan itu membuat seorang Anthony bertanya ada apa dengan kekasihnya,
Tapi mungkin ini bukan kesempatan yang tepat untuk mempertanyakan itu,
Keduanya berlalu dengan segera melewati Ratih yang baru saja berpapasan,
"Bisa-bisanya Jeremy gagal, dasar tak berguna," gerutunya dengan menghentakan kakinya keras.
Plakkk...
tamparan itu mendarat dengan sempurna di pipi Jeremy, tenaga Ratih cukup lumayan untuk itu karena dia sudah terbiasa memperlakukan seseorang kasar seperti itu.
"Dasar tak berguna,"
Sudah berapa kali Jeremy diam diperlakukan semena-mena oleh Ratih, kali ini lelaki gagah itu berdiri mendongak, di hadapan gadis sombong itu, meraih kasar kedua rahang Ratih, mencengkeramnya, dengan penuh amarah, "Aku tak sebodoh itu, kau pikir perlakuanmu selama ini tak aku perhitungkan," ucap Jeremy dengan gigi yang saling beradu.
Otot itu semakin besar saja mencengkram dengan keras, membuat rahang itu terasa kaku dan juga nyeri, "lepas." Paksa Ratih.
Menata bunga-bunga sedemikian rupa, juga merawat bunga-bunga itu adalah keseharian Aminah, sudah lebih dari enam tahun ia bekerja di toko bunga milik Bu Marta.Dari uang yang ia dapatkan itu membuatnya mampu lulus dari bangku kuliah, selain memang otaknya yang pintar sehingga Ia mendapatkan beasiswa, sungguh nasib baik berpihak pada Aminah.
"Wajah Itu menyebalkan sekali, wajar saja tak ada satu wanita pun yang ingin berdampingan dengannya jika kelakuannya seperti itu terus dia akan menjadi perjaka tua selama-lamanya," sumpah Stephanie meng ubun-ubun.Sementara tepukan bahu seorang Aminah mengagetkan Stephanie yang sedang menggerutu, "Semuanya sudah ku tata sedemikian rupa kau tinggal perbaiki lagi sesuai dengan warna," ucapnya sebelum berlalu meninggalkan toko bunga.
Romeo tampak mengawasi karyawannya dengan seksama, matanya yang berukuran besar semakin membuatnya terlihat mengerikan, sementara Stefani dan Delon sudah berdiri dengan wajah tertunduk.Tapi Aminah belum juga tiba, membuat sahabatnya risau saja,"Kemana anak itu," mata besar Romeo tampak jelas, memperhatikan pintu besar yang kini terbuka leba
Pukul 5 sore,Jarum jam itu menunjuk ke arah dua belas tepat, membuat karyawan toko bunga Bu Martha bergembira, membuka pelindung tangan juga masker mereka."Tunggu." ucap Delon memperingati, dimana ia masih teringat jika pak Romeo masih berada di toilet, sontak saja menyadarkan karyawan lainnya untuk berbaris rapi.
Langkah lunglai juga mata sayu mengiringi kesedihan Aminah, tangannya lemas meraih handle pintu, "Aku pulang," dorongnya pada pintu reog itu."Anak itu," langkah sang ibu nampak bersemangat menghampiri Aminah,"Anak sialan, kemana saja kau, sampai sampai kau pulang selarut ini? Apa kau tak tahu malu, berjalan sendiri di tengah malam? Ma
"Si penagih hutang datang, dasar preman kampung, hanya berani menindas kaum bawah, dasar lintah darat," Bu Sekar keluar dengan langkah pasti untuk pertama kalinya, sebelumnya ia hanya mampu bersembunyi di balik pintu atau kabur melalui pintu belakang tapi kali ini dia berani menunjukkan batang hidungnya pada si dua preman bertubuh besar, yang sudah siap menghajarnya dan melukainya dengan tanpa ampun.
"Teteh… Kau cantik sekali hari ini, sudah ibu bilang kau itu memang pantas bekerja di kantor, dan mengenakan pakaian seperti itu, ibu sangat suka," pujian itu terdengar sangat lembut dari mulut Bu Marta. Sementara Stephanie memilih mundur meraih sapu yang tadi ia sandarkan, "Permisi Bu," ucapnya pelan sembari menundukkan pandangannya.
"Aminah," lelaki itu bangkit dari kursinya dan mengejar langkah Aminah."Tunggu," Romeo menarik paksa lengan gadis itu yang masih memegang lap.Iya tak tahan lagi dengan kejantanannya yang semakin menegang dan berdiri,
Mobil mewah Anthony itu terhenti di depan butik yang tak kalah mewah, jelas itu butik untuk orang-orang menengah ke atas, iya semisal pejabat atau juga selebriti."Hey ayo sayang, ayo kita turun," ajak Anthony pelan dengan meraih tangan Aminah yang terlihat pasrah.Gadis itu hanya menundukkan kepalanya menerima tarikan kekasihnya Anthony, tentu dalam kalbu
Aroma sop iga itu sungguh menggoda gairah siapa saja yang telah duduk di meja makan, di sana ada Buu Martha Pak Romeo dan juga Aminah, kedua asisten rumah tangga itu terlihat report dengan membawa hidangan-hidangan lainnya memenuhi meja makan yang besar."Cukup bi." pinta Bu Marta dengan mengangkat tangannya,tumben sekali padahal meja makan
"Aminah," lelaki itu bangkit dari kursinya dan mengejar langkah Aminah."Tunggu," Romeo menarik paksa lengan gadis itu yang masih memegang lap.Iya tak tahan lagi dengan kejantanannya yang semakin menegang dan berdiri,
"Teteh… Kau cantik sekali hari ini, sudah ibu bilang kau itu memang pantas bekerja di kantor, dan mengenakan pakaian seperti itu, ibu sangat suka," pujian itu terdengar sangat lembut dari mulut Bu Marta. Sementara Stephanie memilih mundur meraih sapu yang tadi ia sandarkan, "Permisi Bu," ucapnya pelan sembari menundukkan pandangannya.
"Si penagih hutang datang, dasar preman kampung, hanya berani menindas kaum bawah, dasar lintah darat," Bu Sekar keluar dengan langkah pasti untuk pertama kalinya, sebelumnya ia hanya mampu bersembunyi di balik pintu atau kabur melalui pintu belakang tapi kali ini dia berani menunjukkan batang hidungnya pada si dua preman bertubuh besar, yang sudah siap menghajarnya dan melukainya dengan tanpa ampun.
Langkah lunglai juga mata sayu mengiringi kesedihan Aminah, tangannya lemas meraih handle pintu, "Aku pulang," dorongnya pada pintu reog itu."Anak itu," langkah sang ibu nampak bersemangat menghampiri Aminah,"Anak sialan, kemana saja kau, sampai sampai kau pulang selarut ini? Apa kau tak tahu malu, berjalan sendiri di tengah malam? Ma
Pukul 5 sore,Jarum jam itu menunjuk ke arah dua belas tepat, membuat karyawan toko bunga Bu Martha bergembira, membuka pelindung tangan juga masker mereka."Tunggu." ucap Delon memperingati, dimana ia masih teringat jika pak Romeo masih berada di toilet, sontak saja menyadarkan karyawan lainnya untuk berbaris rapi.
Romeo tampak mengawasi karyawannya dengan seksama, matanya yang berukuran besar semakin membuatnya terlihat mengerikan, sementara Stefani dan Delon sudah berdiri dengan wajah tertunduk.Tapi Aminah belum juga tiba, membuat sahabatnya risau saja,"Kemana anak itu," mata besar Romeo tampak jelas, memperhatikan pintu besar yang kini terbuka leba
"Wajah Itu menyebalkan sekali, wajar saja tak ada satu wanita pun yang ingin berdampingan dengannya jika kelakuannya seperti itu terus dia akan menjadi perjaka tua selama-lamanya," sumpah Stephanie meng ubun-ubun.Sementara tepukan bahu seorang Aminah mengagetkan Stephanie yang sedang menggerutu, "Semuanya sudah ku tata sedemikian rupa kau tinggal perbaiki lagi sesuai dengan warna," ucapnya sebelum berlalu meninggalkan toko bunga.