Gadis dengan wajah cantik, ramah dan tersenyum itu seolah hanya topeng semata, kebaikannya hanya semu, "Oh ya, aku bisa menanamkan sedikit modal untuk usaha mu itu," tawar Ratih dengan senyuman setengah bibir.
Sedangkan Anthony, dan Aminah kekasihnya itu masih terlihat menikmati hidangan makan malam, terlihat gadis polos itu sangat lapar.
"Sayang pelan-pelan," ucap sang kekasih lembut.
Melihat kemesraan keduanya, serasa ingin keluar isi perut Ratih, "Gaya pacaran itu seperti masih jaman sekolahan saja," gumamnya dengan jengkel.
"Oh, ya mengenai tawaran mu itu, tak perlu, aku tahu Aminah lebih suka membuat usahanya semandiri mungkin," tolak Anthony pada Ratih.
Ratih tentu memiliki maksud lain, bukan semata ingin menanamkan modal, tapi ia lebih bermaksud menunjukkan siapa dirinya pada Aminah.
Mata Aminah hanya terbelalak tak percaya, dengan pembelaan dari sang kekasih, ia sangat beruntung memiliki kekasih yang penuh perhatian juga mengerti akan keadaannya. Tapi dibalik itu apakah Anthony akan selalu ada di pihak nya, itu adalah pertanyaan sulit untuk dijawab hanya dengan ucapan tapi butuh pembuktian untuk itu.
Jam sudah menunjukkan pukul sebelas malam, musik yang mengiringi meja makan di ruangan itu sudah terhenti sementara, dan mungkin mereka harus segera pergi karena meja makan itu sudah memiliki pemilik baru,n
Anthony bergegas dari kursinya, memanggil pelayan andalannya, "Hei kemari." Serunya dengan melambaikan sebelah tangan dan mengayunkan nya sopan.
Pelayan dengan seragam rapi juga heels lima senti itu mendekat dengan sedikit berlari kecil, memegang sebuah tab di salah satu tangannya, tapi terlihat rok itu terlalu pendek untuk seorang gadis, apalagi urat-urat paha mulus itu terlihat jelas, membuat mata sedikit risih.
"Tolong pesan ini ini ini, sebanyak masing-masing empat bungkus." pinta Anthony dengan segera.
Pelayan itu, menganggukkan kepalanya, berbicara ramah dan tersenyum hangat, "Baik pak, seperti biasa semua akan diantar ke mobil bapak," ucapnya dengan nada lembut.
Ratih semakin kesal saja, melihat kebersamaan Anthony juga Aminah, yang sejak tadi menunjukkan kemesraan di hadapannya, tangan itu selalu berpegangan. "Phyuh, menjijikkan," pungkas nya dengan wajah masam.
Aminah meraih pelan tangan kanan Anthony, "Sayang bukankah Omah berpesan untuk kau mengantarkan Ratih," ucapnya terdengar memperingati.
Sementara wajah gadis, yang dibelanya itu tetap saja memandang Aminah masam dan penuh dengki.
Anthony melirik wajah Ratih yang tersenyum manis padanya.
"Tidak, tidak usah kau pasti harus mengantarkan kekasihmu itu kan, aku bisa," tolak Ratih dengan setengah hati.
Aminah, tampak menggelengkan kepalanya pelan pada Anthony, seolah tak membiarkan kekasihnya untuk lalai pada Ratih. Ia terlihat takut sang Omah akan kecewa pada kekasihnya itu, hanya karena dirinya.
"Hai, senang sekali kita bertemu disini!" Sapa seorang pria dengan wajah cool, wajah itu terlihat gagah dengan mata berwarna coklat pekat, juga sedikit rambut halus yang tumbuh di sekitar mulutnya sampai ke dekat kuping, ia tak sungkan memberikan ciuman hangat pada Ratih, di pipi kiri dan kanan, serta tangan kanannya sontak melingkari pinggul Ratih.
Terlihat keduanya tersenyum ramah, Ratih pun meraih bahu pria itu dengan memeluknya balik, seakan bergelantungan pada tubuh gagah itu.
"Hai kau, Jeremy," sahut Ratih dengan memegangi dada bidang itu.
Ratih tampak mengajukan Jeremy, untuk bersalaman dengan Anthony juga Aminah, begitu juga sambutan keduanya tak kalah ramah.
"Hai Jeremy, aku kekasih Ratih selama di Singapore," ucapnya dengan bangga.
Sementara ucapan itu membuat Ratih harus mencubit pinggangnya sedikit lebih keras, membuat jeritan kecil pada wajah Jeremy.
"Oh tidak, itu semua kini sudah berakhir! Dan kau terlihat pantas untuk Ratih, pantas saja ia berpaling dariku," lanjut Jeremy dengan senyuman tipis pada Anthony.
Melihat Aminah yang hanya tersenyum malu, mata Jeremy seakan terpanah, wajah polos juga canggung itu nampak jelas, "Hai, aku Jeremy, senang berkenalan dengan mu Aminah," ucapnya dengan senyum ramah dan memainkan sebelah matanya.
Terlihat tampang lelaki seperti itu, cukup mengerikan, sudah pasti dia buaya, dan tak perlu diragukan lagi, lelaki seperti itu tak mungkin puas dengan satu wanita.
Anthony nampak berdiri dari kursinya, menarik diri sesaat untuk berpamitan ke kamar kecil, "Tunggu sebentar ya sayang," pintanya melirik wajah Aminah.
Anggukan kecil itu ditunjukkan Aminah, ia melirik sekitar, terlihat tempat ini tak terlalu sepi, jadi tak ada yang harus Aminah khawatirkan.
Sementara itu tak lama berselang Ratih ikut beranjak Bangkit, dengan alasan menuju kamar kecil, "Aku harus sedikit memperbaiki make up ku! Kau paham kan," mata Ratih seakan berkedip dengan maksud, pada Jeremy.
Sekarang hanya ada Aminah dan si pria yang nampak gagah itu, keduanya duduk berjarak dua kursi.
Semestinya tak ada yang harus Aminah khawatirkan, ia berada di tempat yang aman dimana itu bukalah kamar hotel, melainkan ruang makan yang tak hanya ada mereka berdua, terlihat beberapa pelayan lalu lalang.
Perlahan tapi pasti Jeremy mendekati Aminah, sementara wajah Amainah hanya terlihat tertunduk malu, wajahnya sedikit merah merona, atau karena perona pipi yang ia gunakan terlalu banyak, dan dress merah marun yang dikenakan itu dengan leher berbentuk v rendah memanjakan mata untuk berlama-lama memandang area indah itu.
Brukk..
Jeremy tak sengaja menumpahkan segelas air minum, dan membuat kursi juga celananya sedikit basah, seketika ia berdiri dan menjauh dari kursi basah itu berpindah di kursi yang berada tepat sebelah Aminah, kursi yang semestinya milik Anthony.
"Aku basah sekali, minuman itu juga membuat ku lengket," ujar lelaki itu dengan meraih tissue diatas meja dan membersihkan perlahan celananya yang sedikit basah.
Bagaimana tidak, segelas minuman manis berwarna hijau itu terjatuh, jelas akan terasa lengket jika mengenai kulit.
Aminah terlihat tak nyaman dengan keberadaan Jeremy disebelahnya, tapi ia tak sempat untuk berpindah duduk, sedangkan Anthony sudah terlanjur mendekat.
Mata Anthony sedikit membesar, menelisik sang kekasih yang duduk berdekatan dengan pria baru untuknya, rasanya Aminah seorang yang sangat pemalu.
"Sayang," wajah Anthony sedikit tak percaya.
Aminah tak mampu berkata-kata, tapi untung saja Jeremy dengan pandai memberitahu semuanya pada Anthony, sehingga membuat wajah itu kembali tersenyum, "Oh Tidak apa-apa," sahut Anthony dengan kerendahan hati.
Sementara kini, Anthony memilih duduk berseberangan dengan kekasihnya Aminah, mungkin sekarang mereka hanya menunggu Ratih setelah itu keempatnya akan beranjak pergi dari meja yang terlihat mulai bersih.
Kesibukan seorang Anthony memang tak jauh berbeda dengan sang ayah, dimana ia selalu saja membicarakan masalah pekerjaan diponselnya, seperti saat ini, Anthony terlihat hanya memandang ponsel nya.
Sementara di bawah meja tangan Jeremy semakin lancang saja.
Ia mulai menggerayangi paha mulus Aminah, Tangannya yang besar dan terasa hangat itu tentu seharusnya membuat nyaman seorang wanita, karena paha itu terasa dingin juga sedikit gemetar.
"Kau kedinginan ya?" Bisiknya pada sebelah kuping Aminah.
Aminah menoleh dengan getir, belum lagi sentuhan Jeremy di pahanya membuat tubuhnya merinding, juga kaku membuatnya tak berdaya.Ingin sekali ia menolak dan bahkan berteriak atas kekurang ajaran itu tapi entah kenapa Aminah seakan membisu dan mematung takut.Sentuhan di sebelah paha itu semakin menggila saja, ia kini bahkan dengan berani menyentuh kedua paha Aminah, membuat dress pendek itu semakin tersingkap saja.Tangan itu seakan memberikan kehangatan pada paha mulus Aminah."Tenang, kau tak akan kedinginan lagi cantik," ujar suara lelaki itu dengan pelan disertai hembusan bisikan di sebelah kuping Aminah.Aminah benar-benar tak mampu berkutik, ia semakin takut saja, sementara tubuhnya sudah sangat merinding.
Menata bunga-bunga sedemikian rupa, juga merawat bunga-bunga itu adalah keseharian Aminah, sudah lebih dari enam tahun ia bekerja di toko bunga milik Bu Marta.Dari uang yang ia dapatkan itu membuatnya mampu lulus dari bangku kuliah, selain memang otaknya yang pintar sehingga Ia mendapatkan beasiswa, sungguh nasib baik berpihak pada Aminah.
"Wajah Itu menyebalkan sekali, wajar saja tak ada satu wanita pun yang ingin berdampingan dengannya jika kelakuannya seperti itu terus dia akan menjadi perjaka tua selama-lamanya," sumpah Stephanie meng ubun-ubun.Sementara tepukan bahu seorang Aminah mengagetkan Stephanie yang sedang menggerutu, "Semuanya sudah ku tata sedemikian rupa kau tinggal perbaiki lagi sesuai dengan warna," ucapnya sebelum berlalu meninggalkan toko bunga.
Romeo tampak mengawasi karyawannya dengan seksama, matanya yang berukuran besar semakin membuatnya terlihat mengerikan, sementara Stefani dan Delon sudah berdiri dengan wajah tertunduk.Tapi Aminah belum juga tiba, membuat sahabatnya risau saja,"Kemana anak itu," mata besar Romeo tampak jelas, memperhatikan pintu besar yang kini terbuka leba
Pukul 5 sore,Jarum jam itu menunjuk ke arah dua belas tepat, membuat karyawan toko bunga Bu Martha bergembira, membuka pelindung tangan juga masker mereka."Tunggu." ucap Delon memperingati, dimana ia masih teringat jika pak Romeo masih berada di toilet, sontak saja menyadarkan karyawan lainnya untuk berbaris rapi.
Langkah lunglai juga mata sayu mengiringi kesedihan Aminah, tangannya lemas meraih handle pintu, "Aku pulang," dorongnya pada pintu reog itu."Anak itu," langkah sang ibu nampak bersemangat menghampiri Aminah,"Anak sialan, kemana saja kau, sampai sampai kau pulang selarut ini? Apa kau tak tahu malu, berjalan sendiri di tengah malam? Ma
"Si penagih hutang datang, dasar preman kampung, hanya berani menindas kaum bawah, dasar lintah darat," Bu Sekar keluar dengan langkah pasti untuk pertama kalinya, sebelumnya ia hanya mampu bersembunyi di balik pintu atau kabur melalui pintu belakang tapi kali ini dia berani menunjukkan batang hidungnya pada si dua preman bertubuh besar, yang sudah siap menghajarnya dan melukainya dengan tanpa ampun.
"Teteh… Kau cantik sekali hari ini, sudah ibu bilang kau itu memang pantas bekerja di kantor, dan mengenakan pakaian seperti itu, ibu sangat suka," pujian itu terdengar sangat lembut dari mulut Bu Marta. Sementara Stephanie memilih mundur meraih sapu yang tadi ia sandarkan, "Permisi Bu," ucapnya pelan sembari menundukkan pandangannya.
Mobil mewah Anthony itu terhenti di depan butik yang tak kalah mewah, jelas itu butik untuk orang-orang menengah ke atas, iya semisal pejabat atau juga selebriti."Hey ayo sayang, ayo kita turun," ajak Anthony pelan dengan meraih tangan Aminah yang terlihat pasrah.Gadis itu hanya menundukkan kepalanya menerima tarikan kekasihnya Anthony, tentu dalam kalbu
Aroma sop iga itu sungguh menggoda gairah siapa saja yang telah duduk di meja makan, di sana ada Buu Martha Pak Romeo dan juga Aminah, kedua asisten rumah tangga itu terlihat report dengan membawa hidangan-hidangan lainnya memenuhi meja makan yang besar."Cukup bi." pinta Bu Marta dengan mengangkat tangannya,tumben sekali padahal meja makan
"Aminah," lelaki itu bangkit dari kursinya dan mengejar langkah Aminah."Tunggu," Romeo menarik paksa lengan gadis itu yang masih memegang lap.Iya tak tahan lagi dengan kejantanannya yang semakin menegang dan berdiri,
"Teteh… Kau cantik sekali hari ini, sudah ibu bilang kau itu memang pantas bekerja di kantor, dan mengenakan pakaian seperti itu, ibu sangat suka," pujian itu terdengar sangat lembut dari mulut Bu Marta. Sementara Stephanie memilih mundur meraih sapu yang tadi ia sandarkan, "Permisi Bu," ucapnya pelan sembari menundukkan pandangannya.
"Si penagih hutang datang, dasar preman kampung, hanya berani menindas kaum bawah, dasar lintah darat," Bu Sekar keluar dengan langkah pasti untuk pertama kalinya, sebelumnya ia hanya mampu bersembunyi di balik pintu atau kabur melalui pintu belakang tapi kali ini dia berani menunjukkan batang hidungnya pada si dua preman bertubuh besar, yang sudah siap menghajarnya dan melukainya dengan tanpa ampun.
Langkah lunglai juga mata sayu mengiringi kesedihan Aminah, tangannya lemas meraih handle pintu, "Aku pulang," dorongnya pada pintu reog itu."Anak itu," langkah sang ibu nampak bersemangat menghampiri Aminah,"Anak sialan, kemana saja kau, sampai sampai kau pulang selarut ini? Apa kau tak tahu malu, berjalan sendiri di tengah malam? Ma
Pukul 5 sore,Jarum jam itu menunjuk ke arah dua belas tepat, membuat karyawan toko bunga Bu Martha bergembira, membuka pelindung tangan juga masker mereka."Tunggu." ucap Delon memperingati, dimana ia masih teringat jika pak Romeo masih berada di toilet, sontak saja menyadarkan karyawan lainnya untuk berbaris rapi.
Romeo tampak mengawasi karyawannya dengan seksama, matanya yang berukuran besar semakin membuatnya terlihat mengerikan, sementara Stefani dan Delon sudah berdiri dengan wajah tertunduk.Tapi Aminah belum juga tiba, membuat sahabatnya risau saja,"Kemana anak itu," mata besar Romeo tampak jelas, memperhatikan pintu besar yang kini terbuka leba
"Wajah Itu menyebalkan sekali, wajar saja tak ada satu wanita pun yang ingin berdampingan dengannya jika kelakuannya seperti itu terus dia akan menjadi perjaka tua selama-lamanya," sumpah Stephanie meng ubun-ubun.Sementara tepukan bahu seorang Aminah mengagetkan Stephanie yang sedang menggerutu, "Semuanya sudah ku tata sedemikian rupa kau tinggal perbaiki lagi sesuai dengan warna," ucapnya sebelum berlalu meninggalkan toko bunga.