Cintiara menghempaskan diri di atas pembaringan. Tubuhnya terasa remuk redam. Sudah lama dia tidak melakukan message di salon. Relaksasi dan segala pelayanan salon yang biasa ia lakukan sebulan sekali dengan tagihan yang dibayar oleh Barra. Fasilitas itu sekarang tidak dapat dinikmatinya. Yang tersisa sekarang hanya sesalan dan kebencian. Delia telah menghancurkan mimpinya. Namun ia pun tidak bisa berbuat apa-apa. Cinta Barra bukan untuknya lagi.Gadis itu bangkit dari pembaringan. Kemudian melangkah keluar rumah. Di seberang jalan sana ada seorang ibu-ibu yang biasa di mintai warga sekitar perumahan untuk memijat badan. Tubuhnya sudah tidak bisa diajak kompromi lagi. Terlebih beberapa hari ini badannya terasa meriang."Saya tunggu setengah jam lagi, Bu. Karena saya juga mau mandi dulu," ucapnya pada wanita yang menemuinya di teras rumah."Njih, Mbak."Baru saja memasuki halaman rumahnya kembali. Sebuah taksi berhenti di belakangnya. Siska turun dari sana dengan tampang yang kusut."M
"Kenapa, Pak Barra?" tanya Mahika heran."Saya menolaknya," jawab Barra tegas.Mahika terdiam kemudian memerhatikan profil gadis yang baru bekerja di perusahaan Omnya setengah tahun ini. Padahal dia bekerja sangat baik sejauh yang Mahika tahu."Dia staf kami, Pak Barra. Lumayan bisa di andalkan.""Sudah berapa lama dia kerja dengan Anda?""Setengah tahun ini.""Baru setengah tahun dan Bu Mahika sudah mempercayakan proyek ini padanya? Walaupun Mbak Mahika bilang nanti tetap dipantau oleh orang kepercayaan Pak Robby.""Pengalaman kerjanya banyak, Pak Barra. Dan dia lumayan handal menurut saya.""Tapi saya menolak. Lagian kenapa Bu Mahika mau mundur? Apa Ibu ingin kembali ke Jombang?""Nggak, Pak Barra.""Lantas ....""Saya akan menikah."Barra tersenyum. "Kabar baik ini. Tapi apa Bu Mahika ingin berhenti berkarir? Kenapa proyek yang sudah berjalan baik akan digantikan orang untuk mengawasi.""Nggak juga. Saya akan tetap bekerja." Entahlah, Mahika belum sanggup untuk menjelaskan. Dia mas
Delia masih diam di depan wastafel kamar mandi. Ada yang bergejolak dalam perutnya dan membuat mual. Hanya saja tidak bisa dimuntahkan. Barra dengan sabar mengusap punggungnya. Menemani sampai sang istri merasa nyaman. Barra mengambil satu tali rambut untuk mengikat rambut Delia. Pria itu membawa sang istri keluar kamar mandi dan duduk di tepi pembaringan. Memang semenjak pulang dari New Zealand, Delia sangat sibuk dengan pekerjaan. Istirahat juga kurang."Kamu perlu periksa. Kita ke tempat praktek Samudra sekarang," kata Barra sambil melihat ke arah jam dinding yang menunjukkan pukul setengah sembilan malam."Biar Mas telepon Samudra dulu." Barra hendak meraih ponselnya di atas meja rias. Namun Delia menahan lengannya. "Nggak usah, Mas.""Kenapa? Kamu sakit dan pucet gitu. Kamu harus periksa.""Nggak usah," bantah Delia lagi dengan suara meninggi yang membuat Barra bingung dan menatap heran istrinya."Mak Ni bilang kamu juga nggak mau minum obat. Gimana bisa sembuh kalau seperti ini
Siska tampak terkejut bertemu Barra dan Delia. Ia menunduk menyembunyikan wajahnya yang pias. Tanpa menyapa, wanita itu melangkah cepat meninggalkan mereka.Delia juga tidak peduli, perutnya yang mual makin terasa hendak muntah melihat wanita itu. Dia segera masuk mobil, begitu pula dengan Barra. Namun Barra penasaran, untuk apa Siska pergi ke dokter kandungan? Bukankah dia tidak memiliki suami?Mobil melaju pelan di tengah lalu lintas kota. Barra masih memikirkan hendak membawa sang istri makan di mana. Sedangkan Delia dengan wajah masam tidak sedikit pun memandang ke arah suaminya. Barra jadi tahu kenapa sepulangnya dari kantor kemarin, sang istri mematikan ponselnya. Ternyata dia tidak hanya kesal tapi marah padanya. Masyaallah, karena dihamili akhirnya dimarahi. Sepanjang perjalanan, mereka juga tidak membahas tentang Siska. Delia benar-benar telah berhenti untuk mengambil tahu tentang kehidupan perempuan mantan dari suaminya."Sayang, mau nggak makan ayam rica-rica di Cak Dasar?
Pria itu melangkah cepat ke arah Delia yang sedang membenahi kerah blouse yang dipakainya. "Sayang, kamu muntah lagi?" tanya Barra menjajari langkah istrinya.Delia mengangguk pelan. "Kita langsung pulang saja, ya.""Mas, habisin dulu makanannya.""Nggak usah, kita langsung pulang saja."Keduanya melangkah kembali ke tempat duduknya tadi. "Kamu kenapa, Delia? Keliatan pucat gitu," tanya Samudra yang khawatir melihat wajah pucat sang adik saat Delia menghampiri mereka."Masuk angin, Mas. Jadi aku mau pulang dulu ya." Delia meraih tasnya yang ada di atas tikar.Barra berpamitan juga pada iparnya, kemudian menggandeng tangan sang istri pergi dari sana.Jarum jam sudah menunjukkan pukul sembilan malam ketika mereka sampai di rumah. Sepi. Tentu Riz sudah tidur. Delia mengetuk pelan pintu kamar. Dia ingin melihat anaknya sebelum masuk ke dalam peraduannya sendiri."Riz tidur jam berapa, Mak," tanya Delia pada Mak Ni yang membuka pintu. Barra juga ikut masuk untuk melihat putranya yang ter
Malam yang dingin. Bediding sebutannya. Suhu yang teramat dingin di tengah musim kemarau. Biasanya akan berlangsung hingga bulan Agustus, di mana itu menjadi puncak musim kemarau.Barra meraih remote untuk mematikan AC. Kemudian membenahi selimut sang istri yang tidur meringkuk karena kedinginan. Dilihatnya jam dinding, sudah pukul tiga pagi.Delia bergerak merubah posisi tidurnya, meringkuk menghadap sang suami. Barra mengecup kening sang istri. "I love you," bisiknya. Tak ada balasan seperti biasanya. Kejengkelan masih merajalela di hati Delia. Jengkel karena dihamili oleh suaminya sendiri.Wanita itu menyibakkan selimut dengan cepat, lantas turun dan menuju kamar mandi. Di wastafel ia muntah lagi seperti hari sebelumnya. Barra menemani hingga selesai. Kemudian membopong istrinya kembali ke pembaringan. Mengambilkan segelas air hangat dari dispenser.Iba dan khawatir juga ia melihat Delia yang lemas dan pucat. Sangat berbeda antara kehamilan pertama dan kedua ini."Sayang, Mas ambi
Penjelasan yang ditunggu Cintiara ternyata malah menambah runyam perasaannya. Ternyata Barra menolak bahkan setelah tahu kalau dia yang akan mewakili Mahika. Cintiara berdiri. "Ya sudah, kalau begitu, Bu Mahika. Saya permisi dulu." Gadis itu mengangguk sopan, kemudian meninggalkan ruangan Mahika.Bagi Mahika, Cintiara kecewa karena dia gagal dipercaya menjadi staf yang akan memfollow up kerjasama dengan Barra. Wanita itu tidak tahu kisah dibalik semuanya.Mahika menata berkas di meja. Melihat ke ponselnya sebentar, membalas pesan dari Aksa karena mereka janjian bertemu di Rutan siang ini. Ternyata laki-laki itu tak bisa izin karena masih ada pekerjaan penting yang harus diselesaikan. Mahika memutuskan untuk pergi sendiri ke sana, tapi akan mampir dulu ke rumah Bu Arum. Johan sudah mengizinkan Mahika bicara pada mamanya. Aksa sudah membantu dengan menceritakan sekilas pada sang mama, tinggal Mahika yang datang untuk meyakinkan.Mobil meluncur ke arah kawasan perumahan tempat tinggal Bu
Delia kembali ke kantor setelah beberapa hari tidak masuk kerja. Bahkan papanya sempat menelepon dan menanyakan kenapa dia cuti beberapa hari ini. Namun Delia mencari alasan lain dan masih tetap belum memberitahukan tentang kehamilannya pada keluarga. Mak Ni dan Mak Isah juga diam saja ketika Bu Hesti datang menjenguk baby Riz.Layar laptop tampak buram dalam pandangannya. Dia selalu ngantuk berat antara jam sembilan hingga jam sepuluh pagi. Delia mengerjab-ngerjabkan matanya. Lantas minum air putih untuk menghalau kantuk. Ini bawaan bayi, tapi kenapa rasa kantuk itu datang tiap pagi. Membuat aktivitas pekerjaannya pasti akan terkendala dalam beberapa waktu ke depan.Bangkit dari kursi kerjanya, Delia menuju jendela kaca. Melihat aktivitas di luar sana sambil mondar-mandir untuk menghilangkan kantuk. Tidak tahan lagi, Delia mengunci pintu ruangannya, kemudian duduk di sofa, bersandar, dan memejam. Ingin tidur sebentar saja untuk menghilangkan kantuknya.Namun bunyi intercom di atas me