Delia kembali ke kantor setelah beberapa hari tidak masuk kerja. Bahkan papanya sempat menelepon dan menanyakan kenapa dia cuti beberapa hari ini. Namun Delia mencari alasan lain dan masih tetap belum memberitahukan tentang kehamilannya pada keluarga. Mak Ni dan Mak Isah juga diam saja ketika Bu Hesti datang menjenguk baby Riz.Layar laptop tampak buram dalam pandangannya. Dia selalu ngantuk berat antara jam sembilan hingga jam sepuluh pagi. Delia mengerjab-ngerjabkan matanya. Lantas minum air putih untuk menghalau kantuk. Ini bawaan bayi, tapi kenapa rasa kantuk itu datang tiap pagi. Membuat aktivitas pekerjaannya pasti akan terkendala dalam beberapa waktu ke depan.Bangkit dari kursi kerjanya, Delia menuju jendela kaca. Melihat aktivitas di luar sana sambil mondar-mandir untuk menghilangkan kantuk. Tidak tahan lagi, Delia mengunci pintu ruangannya, kemudian duduk di sofa, bersandar, dan memejam. Ingin tidur sebentar saja untuk menghilangkan kantuknya.Namun bunyi intercom di atas me
Netra Johan seketika langsung berbinar-binar. Ide yang bagus dari sang adik. Toh lahan itu hanya untuk parkir saja, bukan untuk didirikan bangunan oleh si penyewa. Dari hasil sewa ia bisa memberikan nafkah lahir pada Mahika. Untuk nafkah batin, pihak rutan telah banyak memberikan penjelasan. Mahika bisa datang pada jam besuk, setidaknya sebulan sekali. "Oke, aku setuju.""Baiklah, nanti aku uruskan juga. Tadi malam aku sudah membuat surat permohonan izin dari keluarga. Mama sudah menandatangani dan sebelum ke sini tadi kukasihkan pada Pak Eko di kantornya. Mungkin habis akad nikah mesti nunggu beberapa hari lagi untuk izinnya. Sebab surat permohonan izin yang kita buat, akan diserahkan kepada Kepala Lembaga Pemasyarakatan. Kemudian disampaikan ke Kepala Kantor Wilayah Lembaga Pemasyarakatan. Setelah itu diajukan ke Direktur Jenderal Lembaga Pemasyarakatan. Semoga usaha kita berhasil, Mas. Dikasih izin dua hari saja nggak masalah untuk malam pertama kalian."Senyum terbit di bibir Joha
Pak Raul menarik napas dalam-dalam sambil memandang tembok kokoh yang merupakan dinding penjara. Catnya sudah mulai kusam dan bagian bawah malah sudah berlumut karena efek dari cipratan air hujan.Dulu menolak mentah-mentah Yuda hanya karena dia pemuda miskin dari kampung. Tapi sekarang Pak Raul harus merestui Mahika memilih seorang narapidana sebagai suami. Bahkan disaat dia sebagai ayah tidak punya kekuatan lagi menentangnya.Mahika menghampiri sang papa dan mencium tangannya. Kemudian mencium tangan pamannya. Kakak Mahika, Marina dan suaminya juga melakukan hal yang sama. Namun Marina langsung pergi menghampiri lagi sang mama. Padahal Pak Raul kangen ingin memeluk dan menanyakan kabar tentang cucu-cucunya. Sudah lama sekali ia tidak bertemu mereka.Pak Robby menghampiri mantan kakak ipar dan menyalami. Mantan suami istri juga bersalaman tanpa saling sapa. Sejenak mereka bernostalgia di depan rumah tahanan. "Kita masuk sekarang?" tanya Pak Robby yang langsung dijawab anggukan kepal
Keluarga akhirnya pamitan karena waktu juga sangat terbatas. Johan menatap kepergian mereka dengan rasa haru sekaligus bahagia. Senyum Mahika amat menyejukkan hati. Membuatnya seperti memiliki energi untuk hidup lebih lama lagi.Sementara Mahika dan Aksa beserta keluarga telah sampai di luar tembok penjara. Dua keluarga saling berhadapan, mengucapkan terima kasih dan salam perpisahan. Sebenarnya Mahika mau mengajak Aksa, mama mertua, Kyai Haji Abdul Qodir, dan Pak Eko untuk makan di restoran. Namun baik Aksa maupun Bu Arum menolak. Sengaja memberikan kesempatan kepada keluarga itu untuk berkumpul bersama. Sebab Aksa tahu, hubungan keluarga Mahika yang tidak harmonis. Mereka akhirnya berpisah masuk mobil masing-masing dan pergi ke arah tujuan yang berbeda.* * *"Doakan saja Mahika dan suaminya bahagia, Bang. Nggak usah mikir yang enggak-enggak. Itu sudah jadi pilihan anakmu, kewajiban orang tua hanya tinggal mendoakan saja," ucap Pak Robby menenangkan sang kakak yang masih tampak ge
"Mari sarapan dulu, Mas. Mama tadi masak lauk kesukaanmu. Gulai ikan kakap." Mahika meraih tangan sang suami untuk diajaknya berdiri. "Iya, kita sarapan dulu. Sebelum petugas dari pertahanan datang," ajak Bu Arum yang baru saja mengantarkan dua tamunya hingga di teras depan.Johan dan Mahika mengikuti langkah wanita itu ke ruang makan yang berada di bagian belakang. Bersebelahan dengan dapur. Rumah Bu Arum tidak tingkat, tapi cukup luas dengan lima kamar tidur, ruang tamu, ruang keluarga yang lumayan lega untuk tempat berkumpulnya para kerabat pada saat ada acara-acara tertentu, ruang makan, dan dapur. Tiga kamar tidur memiliki kamar mandi di dalam ruangan. Dua lainnya tidak ada.Mbak Siti mendekat dan menyalami Johan. Mata wanita itu juga berkaca-kaca. Terharu sekaligus bahagia. Dia juga menjadi saksi bagaimana peristiwa itu terjadi. Jika di keluarga Pak Irawan, Delia yang depresi. Sedangkan di keluarga majikannya, Bu Arum yang mengalami stres pasca putra sulungnya ditangkap dan ma
Sementara di salah satu kamar, Aksa masih sibuk menatap layar laptopnya. Disaat sang kakak mereguk manisnya madu pernikahan, dia sibuk dengan pekerjaan yang seolah tak pernah ada habisnya. Maklum hanya karyawan, bukan bos yang bisa tinggal memerintah.Sebagai pria dewasa, otaknya tetap saja melalang buana menebak apa yang terjadi di bilik kakaknya. Berkali-kali ia menepis, tapi tetap saja pikiran itu menerobos konsentrasinya. Sampai ia tersenyum samar, senyum ejekan untuk ketololan otaknya. Bisa-bisanya bekerja sambil memikirkan apa yang terjadi di kamar sebelah."Sekarang kita bisa makan malam dengan anggota keluarga yang lengkap. Alhamdulillah, mama benar-benar bersyukur kita bisa kumpul lagi walau hanya sementara. Sebenarnya belum lengkap, Aksara PR-nya belum dikerjakan. Kapan bawa mantu untuk mama?" Itu kalimat yang diucapkan sang mama saat mereka makan malam tadi."Saya sebenarnya sering bilang ke Aksa, Ma. Saya suruh lekas nikah. Tapi akhir-akhir ini saya nggak pernah ngomong la
"Dokter Samudra, saya akan ngambil tindakan cesar untuk Bu Diva. Sebab ketubannya sudah pecah dan mengalami pendarahan." Dokter Yunita bicara pada Samudra setelah melakukan pemeriksaan. Dokter yang langsung berangkat ke rumah sakit setelah di telepon Samudra dalam perjalanan tadi."Oke, Dok. Lakukan yang terbaik untuk istri saya."Selama persiapan sebelum melakukan tindakan cesar, Samudra mendampingi sang istri. Memberikan semangat dan membesarkan hatinya. Tangan Diva tak lepas dari genggaman tangannya. Sampai Samudra lupa tidak menghubungi orang tua mereka.Biasa menangani berbagai keluhan pasien, melakukan operasi kecil pada mereka, nyatanya berhadapan dengan istri sendiri yang hendak melahirkan membuat dada Samudra berdebar hebat. Rasa cemas bertalu dalam hati, meski ia berusaha tetap tenang supaya istrinya juga tidak was-was menghadapi operasi sebentar lagi. Dia pernah kehilangan orang-orang yang sangat ia cintai dalam peristiwa tragis membuat Samudra sangat cemas kali ini. Sekara
Delia mengangguk paham. Kemudian membantu Diva membenahi bantal yang dipakai untuk bersandar. Tak sengaja tangan sang ipar menyenggol perut Delia. Membuat mereka saling pandang. Tangan Diva terulur untuk meraba perut adik iparnya yang terasa keras dan membulat dibalik blouse longgar dengan hiasan banyak rempel yang dipakainya. "Kamu hamil lagi?" tanya Diva dengan tatapan kaget.Wajah Delia sontak bersemu merah lalu mengangguk pelan. Senyum menghiasi bibirnya yang hanya terpoles oleh lipglos. Kali ini dia sudah siap jika kehamilannya diketahui oleh keluarga. Perutnya kian hari makin besar dan tidak mungkin dia bisa menutupinya. Andai bisa, Delia ingin diam hingga kejutan datang pada saat dia melahirkan. Tidak tahu hamilnya, tiba-tiba sudah bersalin. Namun itu tidak mungkin. Dan Delia sudah menerima anugerah yang tidak ternilai harganya itu."Delia, kamu beneran hamil lagi?" tanya Bu Hesti memandang putrinya. Kenapa sebagai ibu ia tidak menyadari perubahan sang anak. Sebenarnya sempat k