Netra Johan seketika langsung berbinar-binar. Ide yang bagus dari sang adik. Toh lahan itu hanya untuk parkir saja, bukan untuk didirikan bangunan oleh si penyewa. Dari hasil sewa ia bisa memberikan nafkah lahir pada Mahika. Untuk nafkah batin, pihak rutan telah banyak memberikan penjelasan. Mahika bisa datang pada jam besuk, setidaknya sebulan sekali. "Oke, aku setuju.""Baiklah, nanti aku uruskan juga. Tadi malam aku sudah membuat surat permohonan izin dari keluarga. Mama sudah menandatangani dan sebelum ke sini tadi kukasihkan pada Pak Eko di kantornya. Mungkin habis akad nikah mesti nunggu beberapa hari lagi untuk izinnya. Sebab surat permohonan izin yang kita buat, akan diserahkan kepada Kepala Lembaga Pemasyarakatan. Kemudian disampaikan ke Kepala Kantor Wilayah Lembaga Pemasyarakatan. Setelah itu diajukan ke Direktur Jenderal Lembaga Pemasyarakatan. Semoga usaha kita berhasil, Mas. Dikasih izin dua hari saja nggak masalah untuk malam pertama kalian."Senyum terbit di bibir Joha
Pak Raul menarik napas dalam-dalam sambil memandang tembok kokoh yang merupakan dinding penjara. Catnya sudah mulai kusam dan bagian bawah malah sudah berlumut karena efek dari cipratan air hujan.Dulu menolak mentah-mentah Yuda hanya karena dia pemuda miskin dari kampung. Tapi sekarang Pak Raul harus merestui Mahika memilih seorang narapidana sebagai suami. Bahkan disaat dia sebagai ayah tidak punya kekuatan lagi menentangnya.Mahika menghampiri sang papa dan mencium tangannya. Kemudian mencium tangan pamannya. Kakak Mahika, Marina dan suaminya juga melakukan hal yang sama. Namun Marina langsung pergi menghampiri lagi sang mama. Padahal Pak Raul kangen ingin memeluk dan menanyakan kabar tentang cucu-cucunya. Sudah lama sekali ia tidak bertemu mereka.Pak Robby menghampiri mantan kakak ipar dan menyalami. Mantan suami istri juga bersalaman tanpa saling sapa. Sejenak mereka bernostalgia di depan rumah tahanan. "Kita masuk sekarang?" tanya Pak Robby yang langsung dijawab anggukan kepal
Keluarga akhirnya pamitan karena waktu juga sangat terbatas. Johan menatap kepergian mereka dengan rasa haru sekaligus bahagia. Senyum Mahika amat menyejukkan hati. Membuatnya seperti memiliki energi untuk hidup lebih lama lagi.Sementara Mahika dan Aksa beserta keluarga telah sampai di luar tembok penjara. Dua keluarga saling berhadapan, mengucapkan terima kasih dan salam perpisahan. Sebenarnya Mahika mau mengajak Aksa, mama mertua, Kyai Haji Abdul Qodir, dan Pak Eko untuk makan di restoran. Namun baik Aksa maupun Bu Arum menolak. Sengaja memberikan kesempatan kepada keluarga itu untuk berkumpul bersama. Sebab Aksa tahu, hubungan keluarga Mahika yang tidak harmonis. Mereka akhirnya berpisah masuk mobil masing-masing dan pergi ke arah tujuan yang berbeda.* * *"Doakan saja Mahika dan suaminya bahagia, Bang. Nggak usah mikir yang enggak-enggak. Itu sudah jadi pilihan anakmu, kewajiban orang tua hanya tinggal mendoakan saja," ucap Pak Robby menenangkan sang kakak yang masih tampak ge
"Mari sarapan dulu, Mas. Mama tadi masak lauk kesukaanmu. Gulai ikan kakap." Mahika meraih tangan sang suami untuk diajaknya berdiri. "Iya, kita sarapan dulu. Sebelum petugas dari pertahanan datang," ajak Bu Arum yang baru saja mengantarkan dua tamunya hingga di teras depan.Johan dan Mahika mengikuti langkah wanita itu ke ruang makan yang berada di bagian belakang. Bersebelahan dengan dapur. Rumah Bu Arum tidak tingkat, tapi cukup luas dengan lima kamar tidur, ruang tamu, ruang keluarga yang lumayan lega untuk tempat berkumpulnya para kerabat pada saat ada acara-acara tertentu, ruang makan, dan dapur. Tiga kamar tidur memiliki kamar mandi di dalam ruangan. Dua lainnya tidak ada.Mbak Siti mendekat dan menyalami Johan. Mata wanita itu juga berkaca-kaca. Terharu sekaligus bahagia. Dia juga menjadi saksi bagaimana peristiwa itu terjadi. Jika di keluarga Pak Irawan, Delia yang depresi. Sedangkan di keluarga majikannya, Bu Arum yang mengalami stres pasca putra sulungnya ditangkap dan ma
Sementara di salah satu kamar, Aksa masih sibuk menatap layar laptopnya. Disaat sang kakak mereguk manisnya madu pernikahan, dia sibuk dengan pekerjaan yang seolah tak pernah ada habisnya. Maklum hanya karyawan, bukan bos yang bisa tinggal memerintah.Sebagai pria dewasa, otaknya tetap saja melalang buana menebak apa yang terjadi di bilik kakaknya. Berkali-kali ia menepis, tapi tetap saja pikiran itu menerobos konsentrasinya. Sampai ia tersenyum samar, senyum ejekan untuk ketololan otaknya. Bisa-bisanya bekerja sambil memikirkan apa yang terjadi di kamar sebelah."Sekarang kita bisa makan malam dengan anggota keluarga yang lengkap. Alhamdulillah, mama benar-benar bersyukur kita bisa kumpul lagi walau hanya sementara. Sebenarnya belum lengkap, Aksara PR-nya belum dikerjakan. Kapan bawa mantu untuk mama?" Itu kalimat yang diucapkan sang mama saat mereka makan malam tadi."Saya sebenarnya sering bilang ke Aksa, Ma. Saya suruh lekas nikah. Tapi akhir-akhir ini saya nggak pernah ngomong la
"Dokter Samudra, saya akan ngambil tindakan cesar untuk Bu Diva. Sebab ketubannya sudah pecah dan mengalami pendarahan." Dokter Yunita bicara pada Samudra setelah melakukan pemeriksaan. Dokter yang langsung berangkat ke rumah sakit setelah di telepon Samudra dalam perjalanan tadi."Oke, Dok. Lakukan yang terbaik untuk istri saya."Selama persiapan sebelum melakukan tindakan cesar, Samudra mendampingi sang istri. Memberikan semangat dan membesarkan hatinya. Tangan Diva tak lepas dari genggaman tangannya. Sampai Samudra lupa tidak menghubungi orang tua mereka.Biasa menangani berbagai keluhan pasien, melakukan operasi kecil pada mereka, nyatanya berhadapan dengan istri sendiri yang hendak melahirkan membuat dada Samudra berdebar hebat. Rasa cemas bertalu dalam hati, meski ia berusaha tetap tenang supaya istrinya juga tidak was-was menghadapi operasi sebentar lagi. Dia pernah kehilangan orang-orang yang sangat ia cintai dalam peristiwa tragis membuat Samudra sangat cemas kali ini. Sekara
Delia mengangguk paham. Kemudian membantu Diva membenahi bantal yang dipakai untuk bersandar. Tak sengaja tangan sang ipar menyenggol perut Delia. Membuat mereka saling pandang. Tangan Diva terulur untuk meraba perut adik iparnya yang terasa keras dan membulat dibalik blouse longgar dengan hiasan banyak rempel yang dipakainya. "Kamu hamil lagi?" tanya Diva dengan tatapan kaget.Wajah Delia sontak bersemu merah lalu mengangguk pelan. Senyum menghiasi bibirnya yang hanya terpoles oleh lipglos. Kali ini dia sudah siap jika kehamilannya diketahui oleh keluarga. Perutnya kian hari makin besar dan tidak mungkin dia bisa menutupinya. Andai bisa, Delia ingin diam hingga kejutan datang pada saat dia melahirkan. Tidak tahu hamilnya, tiba-tiba sudah bersalin. Namun itu tidak mungkin. Dan Delia sudah menerima anugerah yang tidak ternilai harganya itu."Delia, kamu beneran hamil lagi?" tanya Bu Hesti memandang putrinya. Kenapa sebagai ibu ia tidak menyadari perubahan sang anak. Sebenarnya sempat k
Gerimis turun di suatu sore bulan Oktober. Awal musim penghujan di mulai. Harum khas tanah basah menguar ke udara, sangat menyegarkan dan menenangkan. Langkah Mahika terhenti saat hendak masuk tempat praktek dokter Yunita. Wanita itu mundur beberapa langkah saat melihat Delia duduk di ruang antrian bersama dengan Barra. Rupanya Delia tengah hamil lagi sekarang. Tapi beberapa kali bertemu Barra di acara meeting, laki-laki itu tidak pernah memberitahu kalau istrinya tengah hamil lagi.Mahika mundur dan mengajak Santi berbalik untuk kembali ke mobilnya. Mereka berjalan cepat untuk menghindari gerimis."Ada apa, Mbak?" tanya asistennya penasaran."Besok saja kita kembali ke sini," jawab Mahika sambil membuka pintu mobil. Sebentar kemudian kendaraan telah pergi meninggalkan tempat praktek dokter Yunita.Sementara ini dia memang menghindari bertemu dengan Delia. Tidak masalah bertemu Barra, tapi tidak dengan Delia. Bukan takut dibenci, toh hubungan mereka selama ini juga tidak terlalu deka
Tangan Johan membingkai wajah sang anak. Mereka saling tatap dalam diam. Mata bening itu memandang sang ibu. Minta penjelasan, siapa pria yang bolak-balik menciuminya."Ini Bapaknya Ubed." Mahika bicara sambil tersenyum, meski hatinya menangis haru.Saat tangan Johan terulur untuk menggendong, Ubed tidak menolak. Meski masih kebingungan, bocah itu tidak memberontak meski diciumi bapaknya berulang kali.Mereka bertiga melepaskan rindu. Mahika juga mengabadikan momen pertemuan perdana itu dengan kamera ponselnya."Agustus ini aku dapat remisi, Ka," ucap Johan dengan mata berbinar."Alhamdulillah. Aksara sudah memberitahuku waktu dia baru pulang dari menjengukmu, Mas.""Ya, Alhamdulillah banget. Semoga segalanya dipermudahkan," kata Johan sambil mencium kening Mahika. Mahika juga menceritakan tentang kedua orang tuanya. Papanya ingin rujuk, tapi sang mama masih belum terbuka hatinya."Doakan saja semoga mereka bisa bersatu lagi," ucap Johan."Aamiin. Aku harap juga begitu, daripada hidu
"Mama sudah nyaman hidup seperti ini, Ka. Fokus ibadah saja sekarang," jawab wanita yang selama ini terbiasa dipanggil Bu Raul. Bahkan setelah bercerai pun para tetangga masih memanggilnya dengan sebutan itu. Wanita yang masih menampakkan gurat kecantikannya memandang sang anak yang duduk di sampingnya."Papa tampak bersungguh-sungguh, Ma." Mahika mencoba meyakinkan. Sebab tadi papanya sampai menangis mengutarakan penyesalannya. Meski Mahika pernah murka, tapi rasa iba untuk sang papa tetap ada."Papamu hanya lelah hidup sendiri nggak ada yang ngurusi. Berapa kali dia sudah mengkhianati mama. Selama ini mama diam pura-pura nggak tahu. Demi keutuhan rumah tangga ini. Mama pikir dia hanya bermain-main lalu kembali pulang. Nyatanya ada benihnya yang tumbuh di rahim wanita lain."Mahika senyap. Tidak mungkin akan memaksakan jika mamanya merasa tidak nyaman. Sang mama sendiri sebenarnya sudah tidak ingin mengingat hal menyakitkan itu lagi. Dia juga sudah bilang memaafkan perbuatan suaminya
Jam tiga mereka telah bersiap untuk berangkat. Mak Ni menggandeng Riz masuk mobil dan mendudukkan di car seat. Sedangkan Delia menggendong Fia. Samudra juga telah bersiap hendak mengajak keluarganya berakhir pekan di rumah mertuanya. Sudah lama mereka tidak menginap di sana. Tinggallah Pak Irawan dan Bu Hesti yang melambaikan tangan ke arah anak, menantu, dan cucunya yang bergerak pergi dengan kendaraan masing-masing. "Tahun depan, kita hanya tinggal berdua di rumah, Pa. Nira pasti ikut suaminya juga," kata Bu Hesti sambil memandang Pak Irawan."Iya. Sudah semestinya begitu, Ma. Tugas kita membesarkan anak-anak dan mengantarkan mereka bertemu jodohnya. Setelah itu kita harus ridho jika akhirnya harus berjauhan. Toh mereka juga bisa datang sewaktu-waktu. Kalau kita kangen sama cucu juga nggak jauh kalau ingin menemui." Pak Irawan menghibur istrinya sambil mengajak wanita yang telah mendampinginya puluhan tahun masuk ke dalam rumah.* * *Agustus merupakan puncak musim kemarau. Walau
Tiga bulan kemudian ....Rumah megah itu terlihat semarak di pagi yang cerah. Beberapa mobil terparkir di halaman depan rumah. Para kerabat dengan sabar duduk menunggu acara di mulai. Mereka berpakaian laiknya menghadiri sebuah acara resepsi.Hari itu memang acara lamarannya Xavier dan Nira. Di salah satu sudut dinding ada backdrop dengan nuansa putih berkombinasi kuning keemasan. Hiasan bunga hidup semerbak wangi memenuhi penjuru ruangan. Bunga yang terdiri dari mawar putih, mawar merah muda, melati, dan bunga peony kesukaan Nira. Warnanya beraneka macam di sana. Ada putih, merah, kuning, dan merah muda. Bunga yang melambangkan bentuk cinta, romansa, dan keindahan.Nira yang memakai kebaya warna tosca tampak duduk anggun di dampingi Delia dan Diva. Dua kakaknya itu kini berhijab rapi sudah dua bulan ini. Sepulang dari umroh, Bu Hesti mengajak dua anak perempuannya dan sang menantu untuk berhijab. Ajakan yang disambut baik oleh mereka. Tepat jam sembilan pagi beberapa mobil memasuki
Di tempat lain, Cintiara tidak bisa tidur karena harus menggendong keponakannya yang sejak tadi menangis. Bayi perempuan yang baru dilahirkan dua minggu yang lalu itu tidak mau di tidurkan di kasur.Sementara Siska tidak mau menyusui. Wanita itu memilih meringkuk memeluk guling. Tidak peduli."Tidurkan saja, nanti kamu capek dan besok kamu harus kerja," seloroh seorang wanita yang tidak lain adalah ibunya Cintiara."Kasihan, Ma. Sebenarnya dia kehausan dan mau minum ASI.""Kasihkan saja susu yang kamu buat tadi.""Dia nggak mau," jawab Cintiara sambil terus menimang-nimang bayi tak berdosa itu.Kegagalan usaha Siska untuk menggugurkan kandungannya telah berakibat fatal pada bayinya. Kelopak matanya yang indah hanya bisa berkedip-kedip menatap lurus ke atas, tapi telinganya tidak bisa merespon suara apapun yang ada di sekitarnya. Tidak ada reflek kaget saat ada suara keras di dekatnya. Bahkan matanya tidak berkedip atau mengerutkan wajah seperti pada umumnya bayi yang terkejut.Cintia
Setiap pilihan pasti akan ada konsekuensinya. Dampak dari lingkungan, circle pertemanan, dan pekerjaan. Mahika juga harus siap jika muncul banyak pertanyaan saat anaknya masuk sekolah nanti. Sebelumnya semua itu sudah ia pikirkan secara detail. Perjalanannya pun tentu tidak akan mudah setelah ini. Namun ia yakin Ubaidillah akan tumbuh menjadi anak yang kuat.Mahika menyusut air mata kemudian melipat lagi kertas istimewa itu dan menyimpannya ke dalam tas. Dipandanginya bayi mungil yang terlelap di dalam kelambu. Lalu beralih melihat ke arah ponselnya yang berpendar. Ada pesan masuk dari Aisyah yang mengucapkan selamat atas kelahiran putranya, juga mengabari bahwa besok mereka akan datang sekeluarga untuk menengok Mahika dan anaknya.[Besok kami akan datang, Mbak. Anak-anak aku izinkan nggak masuk sekolah sehari, aku dan Mas Yuda juga akan libur. Ibu, Nur, dan anaknya juga akan ikut. Tapi suaminya nggak bisa ikut karena lagi tugas.]Buru-buru Mahika membalas pesan itu. Dia bahagia menun
Di dalam mobil, Barra menunggu Delia yang masih diam. Mereka sekarang sudah berada di parkiran rumah sakit. Parcel buah dan kado telah siap di bangku tengah. Tapi seandainya Delia berubah pikiran, Barra langsung mengajaknya pergi. "Ayo, kita turun, Mas!" ajak Delia pada akhirnya. Barra mengangguk dan langsung membuka pintu. Kemudian mengambilkan parcel dan kado yang tadi mereka beli dalam perjalanan. Pria itu tersenyum pada wanita cantik yang mengaitkan tangan di lengannya. Dengan senyuman, ia ingin menguatkan wanita hebat yang amat dicintainya.Mereka menaiki lift untuk ke lantai dua, di mana Mahika di rawat. Sayangnya tadi Delia tidak sempat mengabari Samudra kalau mau menjenguk Mahika. Kalau hari aktif kerja, pasti kakaknya itu ada di rumah sakit. Tapi hari Minggu begini, biasanya dia mengajak istri dan anaknya ke rumah mertua atau ke rumah orang tua mereka sendiri.Sekarang Barra dan Delia berdiri di depan kamar perawatan Mahika. Tampak di depan pintu ada beberapa pasang sandal.
Kebahagiaan menyelimuti Mahika dan Johan. Pria itu tidak sedetikpun beralih beralih dari anak dan istrinya. Baik keluarga Johan maupun Mahika memberikan ruang untuk pasangan suami istri itu menikmati kebersamaan yang tak lebih dari sehari semalam.Mereka juga tidak peduli dengan kasak kusuk di luar kamar karena status Johan yang masih menjadi narapidana. Tentu saja perbincangan itu bermula dari beberapa orang yang melihat Johan di antar oleh petugas rutan, kemudian diceritakan kepada pengunjung lainnya. Namun pihak rumah sakit juga sudah diberitahu sebelumnya. Samudra termasuk mengambil peran, memberikan masukan bahwa Johan tidaklah berbahaya.Johan sendiri hanya ingin memanfaatkan waktu bersama putranya tanpa peduli telah menjadi bahan pergunjingan."Mas, masih ingat dokter Samudra 'kan?" tanya Mahika saat keduanya makan buah apel. Mahika sudah bisa berjalan dan kini mereka duduk berhadapan. Johan duduk di kursi menghadap Mahika yang duduk di tempat tidurnya.Sementara Bu Hanum dan m
Matahari pagi terbit dari balik gunung di sebelah timur sana. Cuaca lumayan cerah setelah kemarin sore hujan deras mengguyur mayapada. Mahika berdiri di balkon apartemen sambil mencari sinar mentari pagi. Pertemuannya dengan Delia, Barra, dan Samudra beberapa minggu yang lalu masih ia pikirkan hingga sepagi ini. Sebenarnya apapun penerimaan dan pendapat mereka tentang dirinya dan Johan, tak menjadi masalah baginya. Mahika juga paham bagaimana perasaan keluarga Delia setelah terjadi kasus itu. Dirinya tidak bisa memaksa mereka untuk benar-benar tulus memaafkan. Namun Mahika berdoa supaya kelak, pintu maaf dengan keikhlasan dari keluarga besar Pak Irawan akan diberikan untuk Johan. Semoga mereka juga mengerti dan percaya bahwa kejadian itu ada andil besar teman-teman Johan.Mahika juga tidak bisa mengontrol pemikiran orang sesuai keinginannya. Tidak bisa. Apalagi untuk menyetir pemahaman orang lain tentang semua penjelasannya. Namun ia bisa mengontrol diri supaya menerima apapun pandan