"Mari sarapan dulu, Mas. Mama tadi masak lauk kesukaanmu. Gulai ikan kakap." Mahika meraih tangan sang suami untuk diajaknya berdiri. "Iya, kita sarapan dulu. Sebelum petugas dari pertahanan datang," ajak Bu Arum yang baru saja mengantarkan dua tamunya hingga di teras depan.Johan dan Mahika mengikuti langkah wanita itu ke ruang makan yang berada di bagian belakang. Bersebelahan dengan dapur. Rumah Bu Arum tidak tingkat, tapi cukup luas dengan lima kamar tidur, ruang tamu, ruang keluarga yang lumayan lega untuk tempat berkumpulnya para kerabat pada saat ada acara-acara tertentu, ruang makan, dan dapur. Tiga kamar tidur memiliki kamar mandi di dalam ruangan. Dua lainnya tidak ada.Mbak Siti mendekat dan menyalami Johan. Mata wanita itu juga berkaca-kaca. Terharu sekaligus bahagia. Dia juga menjadi saksi bagaimana peristiwa itu terjadi. Jika di keluarga Pak Irawan, Delia yang depresi. Sedangkan di keluarga majikannya, Bu Arum yang mengalami stres pasca putra sulungnya ditangkap dan ma
Sementara di salah satu kamar, Aksa masih sibuk menatap layar laptopnya. Disaat sang kakak mereguk manisnya madu pernikahan, dia sibuk dengan pekerjaan yang seolah tak pernah ada habisnya. Maklum hanya karyawan, bukan bos yang bisa tinggal memerintah.Sebagai pria dewasa, otaknya tetap saja melalang buana menebak apa yang terjadi di bilik kakaknya. Berkali-kali ia menepis, tapi tetap saja pikiran itu menerobos konsentrasinya. Sampai ia tersenyum samar, senyum ejekan untuk ketololan otaknya. Bisa-bisanya bekerja sambil memikirkan apa yang terjadi di kamar sebelah."Sekarang kita bisa makan malam dengan anggota keluarga yang lengkap. Alhamdulillah, mama benar-benar bersyukur kita bisa kumpul lagi walau hanya sementara. Sebenarnya belum lengkap, Aksara PR-nya belum dikerjakan. Kapan bawa mantu untuk mama?" Itu kalimat yang diucapkan sang mama saat mereka makan malam tadi."Saya sebenarnya sering bilang ke Aksa, Ma. Saya suruh lekas nikah. Tapi akhir-akhir ini saya nggak pernah ngomong la
"Dokter Samudra, saya akan ngambil tindakan cesar untuk Bu Diva. Sebab ketubannya sudah pecah dan mengalami pendarahan." Dokter Yunita bicara pada Samudra setelah melakukan pemeriksaan. Dokter yang langsung berangkat ke rumah sakit setelah di telepon Samudra dalam perjalanan tadi."Oke, Dok. Lakukan yang terbaik untuk istri saya."Selama persiapan sebelum melakukan tindakan cesar, Samudra mendampingi sang istri. Memberikan semangat dan membesarkan hatinya. Tangan Diva tak lepas dari genggaman tangannya. Sampai Samudra lupa tidak menghubungi orang tua mereka.Biasa menangani berbagai keluhan pasien, melakukan operasi kecil pada mereka, nyatanya berhadapan dengan istri sendiri yang hendak melahirkan membuat dada Samudra berdebar hebat. Rasa cemas bertalu dalam hati, meski ia berusaha tetap tenang supaya istrinya juga tidak was-was menghadapi operasi sebentar lagi. Dia pernah kehilangan orang-orang yang sangat ia cintai dalam peristiwa tragis membuat Samudra sangat cemas kali ini. Sekara
Delia mengangguk paham. Kemudian membantu Diva membenahi bantal yang dipakai untuk bersandar. Tak sengaja tangan sang ipar menyenggol perut Delia. Membuat mereka saling pandang. Tangan Diva terulur untuk meraba perut adik iparnya yang terasa keras dan membulat dibalik blouse longgar dengan hiasan banyak rempel yang dipakainya. "Kamu hamil lagi?" tanya Diva dengan tatapan kaget.Wajah Delia sontak bersemu merah lalu mengangguk pelan. Senyum menghiasi bibirnya yang hanya terpoles oleh lipglos. Kali ini dia sudah siap jika kehamilannya diketahui oleh keluarga. Perutnya kian hari makin besar dan tidak mungkin dia bisa menutupinya. Andai bisa, Delia ingin diam hingga kejutan datang pada saat dia melahirkan. Tidak tahu hamilnya, tiba-tiba sudah bersalin. Namun itu tidak mungkin. Dan Delia sudah menerima anugerah yang tidak ternilai harganya itu."Delia, kamu beneran hamil lagi?" tanya Bu Hesti memandang putrinya. Kenapa sebagai ibu ia tidak menyadari perubahan sang anak. Sebenarnya sempat k
Gerimis turun di suatu sore bulan Oktober. Awal musim penghujan di mulai. Harum khas tanah basah menguar ke udara, sangat menyegarkan dan menenangkan. Langkah Mahika terhenti saat hendak masuk tempat praktek dokter Yunita. Wanita itu mundur beberapa langkah saat melihat Delia duduk di ruang antrian bersama dengan Barra. Rupanya Delia tengah hamil lagi sekarang. Tapi beberapa kali bertemu Barra di acara meeting, laki-laki itu tidak pernah memberitahu kalau istrinya tengah hamil lagi.Mahika mundur dan mengajak Santi berbalik untuk kembali ke mobilnya. Mereka berjalan cepat untuk menghindari gerimis."Ada apa, Mbak?" tanya asistennya penasaran."Besok saja kita kembali ke sini," jawab Mahika sambil membuka pintu mobil. Sebentar kemudian kendaraan telah pergi meninggalkan tempat praktek dokter Yunita.Sementara ini dia memang menghindari bertemu dengan Delia. Tidak masalah bertemu Barra, tapi tidak dengan Delia. Bukan takut dibenci, toh hubungan mereka selama ini juga tidak terlalu deka
Di halaman, Mahika menyalami dan mencium tangan mertuanya. Kemudian melangkah beriringan masuk ke dalam rumah. Aksa mengikuti di belakang sambil membawa barang belanjaan. Setelah menaruhnya di meja makan, dia langsung masuk kamar. Kemudian merebahkan diri, tubuhnya sangat capek. Hari ini tadi pulang lebih cepat karena harus mengantarkan sang mama untuk memeriksakan gigi."Maaf, saya nggak tahu kalau Mama nyusul ke tempat praktek dokter Yunita tadi," ucap Mahika sambil membantu mengeluarkan buah dari kantong plastik dan dimasukkan ke dalam keranjang plastik untuk di cuci."Mama selesai periksa gigi langsung ngajak Aksa nyusul kamu. Kenapa tadi nggak jadi periksa?""Besok saja, Ma. Antriannya tadi sudah panjang." Mahika memberikan alasan. Dia tidak akan memberitahu alasan yang sebenarnya pada Bu Arum. Sebab tidak ingin membuat mama mertuanya merasa sedih."Kamu duduk saja, biar mama yang nyiapin makan malam. Sudah disiapkan sama Siti tadi, tinggal ngeluarin dari lemari." Bu Arum membuka
"Tunggu!" Tangan Delia menahan Barra yang hendak mengeluarkan kertas dari dalam amplop. Membuat pria itu memandang istrinya. "Ada apa?""Kalau aku yang menang hukuman untuk Mas harus beda.""Apa itu?" Barra tidak sabar menunggu karena ia tidak ingin hukuman apapun selain yang sudah ditetapkannya tadi."Mas, nggak dapat jatah dua minggu," jawab Delia sambil tertawa geli. Barra berdecak. "Kamu sengaja ingin membuat suamimu belingsatan."Delia makin jahil melihat mimik muka sang suami. Yang di pandang ganti menatapnya sambil menggelengkan kepala. Lantas mengeluarkan kertas dari dalam amplop. Senyum Barra merekah melihat tulisan di kertas putih itu.Baby G"Coba lihat!" Delia mencondongkan tubuhnya. Namun Barra menutup kertas itu sambil senyum-senyum pada istrinya. "Mas, coba lihat!" ulang Delia. Kini dia yang mulai jengkel."Mas yang menang dan kamu terima hukumannya," jawab Barra kemudian menunjukkan tulisan pada sang istri. "Mas akan punya gadis kecil yang akan jadi saingan abadimu,"
Seperti biasanya, setelah satu bulan lebih tidak bertemu. Mereka memanfaatkan waktu untuk melepaskan rindu. Hubungan yang berbeda dari insan lainnya itu justru membuat pertemuan mereka menjadi sangat romantis. Seperti mengulang malam pertama tiap bulannya, walaupun di dalam bilik sewa yang sempit dan sederhana. Momen singkat yang sangat berkesan. Menjadi kenangan ketika harus kembali berjauhan."Aku punya kejutan untukmu, Mas," ucap Mahika setelah selesai merapikan pakaian dan menyisir rambutnya. Diambilnya sebuah kotak kecil berbentuk persegi panjang dari dalam hand bag. Johan memperhatikan sebentar kotak warna peach di tangannya, kemudian baru membukanya. Sontak pria itu tercengang saat melihat ada dua benda di dalamnya. Johan langsung paham itu benda apa. Testpack sebesar termometer digital dan satunya lagi berbentuk pipih sebesar lidi.Pria itu menatap istrinya dengan netra berkaca-kaca. "Ika, benarkah ini?" Entah dia tidak tahu harus mengucapkan apa. Ini adalah sebuah kejutan ya