Delia mengangguk paham. Kemudian membantu Diva membenahi bantal yang dipakai untuk bersandar. Tak sengaja tangan sang ipar menyenggol perut Delia. Membuat mereka saling pandang. Tangan Diva terulur untuk meraba perut adik iparnya yang terasa keras dan membulat dibalik blouse longgar dengan hiasan banyak rempel yang dipakainya. "Kamu hamil lagi?" tanya Diva dengan tatapan kaget.Wajah Delia sontak bersemu merah lalu mengangguk pelan. Senyum menghiasi bibirnya yang hanya terpoles oleh lipglos. Kali ini dia sudah siap jika kehamilannya diketahui oleh keluarga. Perutnya kian hari makin besar dan tidak mungkin dia bisa menutupinya. Andai bisa, Delia ingin diam hingga kejutan datang pada saat dia melahirkan. Tidak tahu hamilnya, tiba-tiba sudah bersalin. Namun itu tidak mungkin. Dan Delia sudah menerima anugerah yang tidak ternilai harganya itu."Delia, kamu beneran hamil lagi?" tanya Bu Hesti memandang putrinya. Kenapa sebagai ibu ia tidak menyadari perubahan sang anak. Sebenarnya sempat k
Gerimis turun di suatu sore bulan Oktober. Awal musim penghujan di mulai. Harum khas tanah basah menguar ke udara, sangat menyegarkan dan menenangkan. Langkah Mahika terhenti saat hendak masuk tempat praktek dokter Yunita. Wanita itu mundur beberapa langkah saat melihat Delia duduk di ruang antrian bersama dengan Barra. Rupanya Delia tengah hamil lagi sekarang. Tapi beberapa kali bertemu Barra di acara meeting, laki-laki itu tidak pernah memberitahu kalau istrinya tengah hamil lagi.Mahika mundur dan mengajak Santi berbalik untuk kembali ke mobilnya. Mereka berjalan cepat untuk menghindari gerimis."Ada apa, Mbak?" tanya asistennya penasaran."Besok saja kita kembali ke sini," jawab Mahika sambil membuka pintu mobil. Sebentar kemudian kendaraan telah pergi meninggalkan tempat praktek dokter Yunita.Sementara ini dia memang menghindari bertemu dengan Delia. Tidak masalah bertemu Barra, tapi tidak dengan Delia. Bukan takut dibenci, toh hubungan mereka selama ini juga tidak terlalu deka
Di halaman, Mahika menyalami dan mencium tangan mertuanya. Kemudian melangkah beriringan masuk ke dalam rumah. Aksa mengikuti di belakang sambil membawa barang belanjaan. Setelah menaruhnya di meja makan, dia langsung masuk kamar. Kemudian merebahkan diri, tubuhnya sangat capek. Hari ini tadi pulang lebih cepat karena harus mengantarkan sang mama untuk memeriksakan gigi."Maaf, saya nggak tahu kalau Mama nyusul ke tempat praktek dokter Yunita tadi," ucap Mahika sambil membantu mengeluarkan buah dari kantong plastik dan dimasukkan ke dalam keranjang plastik untuk di cuci."Mama selesai periksa gigi langsung ngajak Aksa nyusul kamu. Kenapa tadi nggak jadi periksa?""Besok saja, Ma. Antriannya tadi sudah panjang." Mahika memberikan alasan. Dia tidak akan memberitahu alasan yang sebenarnya pada Bu Arum. Sebab tidak ingin membuat mama mertuanya merasa sedih."Kamu duduk saja, biar mama yang nyiapin makan malam. Sudah disiapkan sama Siti tadi, tinggal ngeluarin dari lemari." Bu Arum membuka
"Tunggu!" Tangan Delia menahan Barra yang hendak mengeluarkan kertas dari dalam amplop. Membuat pria itu memandang istrinya. "Ada apa?""Kalau aku yang menang hukuman untuk Mas harus beda.""Apa itu?" Barra tidak sabar menunggu karena ia tidak ingin hukuman apapun selain yang sudah ditetapkannya tadi."Mas, nggak dapat jatah dua minggu," jawab Delia sambil tertawa geli. Barra berdecak. "Kamu sengaja ingin membuat suamimu belingsatan."Delia makin jahil melihat mimik muka sang suami. Yang di pandang ganti menatapnya sambil menggelengkan kepala. Lantas mengeluarkan kertas dari dalam amplop. Senyum Barra merekah melihat tulisan di kertas putih itu.Baby G"Coba lihat!" Delia mencondongkan tubuhnya. Namun Barra menutup kertas itu sambil senyum-senyum pada istrinya. "Mas, coba lihat!" ulang Delia. Kini dia yang mulai jengkel."Mas yang menang dan kamu terima hukumannya," jawab Barra kemudian menunjukkan tulisan pada sang istri. "Mas akan punya gadis kecil yang akan jadi saingan abadimu,"
Seperti biasanya, setelah satu bulan lebih tidak bertemu. Mereka memanfaatkan waktu untuk melepaskan rindu. Hubungan yang berbeda dari insan lainnya itu justru membuat pertemuan mereka menjadi sangat romantis. Seperti mengulang malam pertama tiap bulannya, walaupun di dalam bilik sewa yang sempit dan sederhana. Momen singkat yang sangat berkesan. Menjadi kenangan ketika harus kembali berjauhan."Aku punya kejutan untukmu, Mas," ucap Mahika setelah selesai merapikan pakaian dan menyisir rambutnya. Diambilnya sebuah kotak kecil berbentuk persegi panjang dari dalam hand bag. Johan memperhatikan sebentar kotak warna peach di tangannya, kemudian baru membukanya. Sontak pria itu tercengang saat melihat ada dua benda di dalamnya. Johan langsung paham itu benda apa. Testpack sebesar termometer digital dan satunya lagi berbentuk pipih sebesar lidi.Pria itu menatap istrinya dengan netra berkaca-kaca. "Ika, benarkah ini?" Entah dia tidak tahu harus mengucapkan apa. Ini adalah sebuah kejutan ya
"Mas, kok diam?" tanya Delia sambil mendongak dan menggoyangkan tubuh Barra. Biasanya mendengar nama itu disebut, kepala Barra mendadak seperti cerobong pabrik tebu yang mengeluarkan asap. Karena hatinya tiba-tiba terbakar. Tapi kali ini dia diam mematung."Mas, marah?" ulang Delia masih memandang suaminya. Antara khawatir dan bingung.Barra membenahi dan menepuk-nepuk bantal. "Sudah malam. Ayo, kita tidur!" Tidak peduli dengan sang istri yang masih memandangi, Barra malah membimbingnya untuk merebahkan diri. Kemudian menarik selimut untuk mereka berdua.Bukan Delia kalau menyerah begitu saja tanpa mendapatkan jawaban. Wajahnya di dekatkan pada wajah sang suaminya yang saat itu telah memejam. "Mas, nggak suka?" tanya Delia sekali lagi.Sang suami membuka mata. "Nggak, siapa bilang Mas nggak suka. Ayo, tidur!" tangan Barra mengusap-usap lengan istrinya."Mas, pasti nggak suka.""Sayang, sudah malam. Cepet tidur sebelum mas berubah pikiran," jawab Barra sambil menatap istrinya. Senyum
Anak-anak telah selesai makan lebih dulu. Mahika memutarkan film kartun di salah satu channel televisi. Sementara para orang tua masih duduk di meja makan untuk berbincang-bincang."Biasanya jam berapa rutan ngasih kesempatan untuk para pembesuk?" tanya Yuda pada Mahika."Jam delapan pagi sampai setengah dua siang. Pembesuk hanya di kasih waktu tiga puluh menit saja untuk ngobrol dengan kerabat yang ingin ditemui," jawab Mahika. Kecuali jam besuk untuk Mahika tentu saja tidak sama. Apalagi jika mereka melewatkan kebersamaan di sebuah tempat khusus. Paling tidak diberi waktu satu jam, terkadang bisa juga lebih."Kalau gitu kita bisa langsung ke sana saja!" ajak Yuda."Tapi anak-anak jangan diajak, ya!""Aku tahu.""Biar aku yang jagain mereka di sini, Mbak." Aisyah menyela. "Aku nggak enak kalau pergi berdua dengan Yuda," sergah Mahika. "Nggak apa-apa, Mbak. Aku dan Mas Yuda sudah membahas hal ini di kendaraan tadi."Mahika dan Yuda saling pandang sebentar. Wanita itu kemudian berali
Terlambat bagi Barra untuk mengajak istrinya menghindar. Lagipula kondisi hujan lebat yang membuatnya kesulitan untuk memgajak Delia menghindar dari sana."Mas, Mbak Mahika kenapa ada di sini? Apa dia hamil?" tanya Delia pada sang suami yang tengah menutup payung dan meletakkan di dekat pilar. Delia heran kenapa Mahika ada di dokter kandungan.Barra mengangguk. "Ya, Bu Mahika sudah menikah, Sayang." Tak mungkin menyangkal tidak, karena Delia tahu kalau mereka adalah rekan kerja. Kemudian Barra mengekori sang istri yang tergesa menghampiri Mahika. Satu hal yang masih jadi kebiasaan Delia semenjak kehamilan pertamanya. Yaitu suka sekali berjalan dengan langkah cepat. Barra terkadang hanya bisa menggelengkan kepala karena jengkel."Mbak Mahika," panggil Delia pada wanita yang tengah berbincang dengan asistennya. Mahika kaget saat menoleh dan melihat Delia sudah berdiri di sebelahnya. Pada saat yang bersamaan, Mahika menatap sejenak Barra yang berada di belakang sang istri. Lelaki itu me