Farhan baru saja keluar dari mobilnya. Kali ini tidak ada Iwan bersamanya. Pria berbadan tinggi tegap itu melangkah menuju tangga rumah gadang Nadira. Dari atas rumah, Nadira memandang Farhan yang tampil berbeda hari ini. Pria berbadan atletis itu telah mencukur sebagian kumis dan jambangnya. Hingga terlihat semakin rupawan. Farhan mengenakan jaket denim dan celana jeans, membuat pria itu tampak jauh lebih muda. Farhan tersentak ketika menoleh ke jendela. Tatapan tajam Neil menghujam bola matanya. Namun Farhan tak gentar. Pandangan Neil yang seakan ingin membunuhnya, dibalas dengan seringai oleh Farhan. Sementara di jendela yang lainnya, Nadira terlihat cemas dan memucat melihat dua pria yang melempar pandangan seakan saling menantang. "Nara, kamu akan pergi dengan pria pengecut ini? Pria yang telah berkali-kali menyakitimu? Pria yang telah mempermalukan keluarga besarmu?" Nadira terkejut mendengar perkataan Neil. Dia heran Neil mengetahui semuanya. "Maaf, Neil. Masalah itu ad
"Bagaimana, Dira? Kamu mau kan kita bersatu kembali, Sayang?" Farhan menatap lekat wanita yang telah melahirkan buah hatinya itu. Saat ini Nadira berada tepat di hadapannya. Wajah mereka begitu dekat. Nadira pun menatap Farhan tak percaya. Pandangan mereka seakan terkunci satu sama lain. "Nadira ..." Nadira terdiam. Hati Farhan mencelos saat melihat ada keraguan pada sikap mantan istrinya itu. "Kenapa, Sayang?" Sesungguhnya ada yang berdebar di dadanya saat Farhan memanggilnya sayang. Namun entah kenapa ada sesuatu yang masih mengganjal di hatinya saat ini. "Maaf Uda. Ada sesuatu yang masih mengganjal di hatiku."."Apa, Sayang? Katakan! Apa kamu masih meragukan cintaku?" Farhan menangkup kedua pipi mulus dan putih milik Nadira. Perlahan Wanita bermata bulat itu melepaskan tangan mantan suaminya. "Maaf ... Aku terlalu bersemangat, hehe ..." Farhan spontan melepaskan tangannya saat tersadar. "Uda, bagaimana dengan Erika?" Nadira kembali merasakan sesak saat menyebut nama wa
Nadira hanya diam menatap Farhan dengan gelisah. "Nadira, ada apa, Sayang?" Cairan bening mulai memenuhi kedua kelopak mata Nadira. Namun sebisa mungkin dia tahan. Dia tak ingin terlihat menangis di depan mantan suaminya itu. "Tidak apa, Uda. Ayo kita ke rumah sakit sekarang!' Nadira melangkah lebih dulu melewati Farhan. Pria itu meraih ponselnya di atas meja, lalu .menaruhnya di dalam kantong celana. Farhan melihat ada sesuatu yang tak beres. Raut wajah Nadira tiba-tiba saja berubah. Perlahan mereka menuruni anak tangga restoran rumah panggung. Beberapa pengunjung yang ternyata mengenali mereka memandang keduanya dengan tatapan heran. Mereka pasti sudah tahu kisah tentang pernikahan Nadira dan Farhan yang berakhir karena perjanjian itu. ù "Nadira? Bukannya kalian ini sudah ...." Seorang Wanita paruh baya menyapa Nadira . "Eeh ..., uni ita? Apo kaba, uni?" Nadira sontak menyalami wanita itu. Sementara beberapa pengunjung dari saung di sekitar mereka tak lepas memandang ke
"Hai, Neil. Kamu kembali ke Jakarta hari ini juga?" Nadira tercengang melihat Neil dengan mengenakan jaket kulit berwarna coklat tua sudah berdiri di depannya. Kali ini Neil tak mengikat rambutnya. Dia membiarkan rambut sebahunya bergerak bebas "Halaaah, palling juga dia ngikutin!" sindir Farhan seraya tersenyum sinis pada Neil. "Ya, memang benar aku ngikutin Nara. Aku nggak mau dia nangis lagi gara-gara kamu!" "Sudah-sudah Neil, Aku nggak apa-apa!" Nadira mulai cemas dua pria itu kembali bersitegang. Apalagi saat mengetahui bahwa mereka akan terbang dengan pesawat yang sama. Nadira semakin khawatir. Pasalnya Neil tak suka dibantah keinginannya. Sementara Farhan tak suka Neil mendekati mantan istrinya. Risa yang sejak tadi melihat keributan Neil dan Farhan yang seolah-olah memperebutkan Nadira, membuat dirinya kesal dan semakin iri. Apalagi sepertinya Neil dan Farhan tidak peduli padanya. Padalah menurutnya, dirinya jauh lebih cantik dan muda dari pada Nadira. Neil duduk di sa
"Bagaimana? Apa Aku boleh menumpang di mobilmu?'" Erika tersentak dari lamunannya. Kemudian menatap pria di hadapannya dengan tatapan tak yakin. "Kenapa? kamu takut aku culik, Nona cantik?' Pria itu menaik turunkan alisnya mencoba untuk menggoda. Erika tersipu malu mendengar pujian yang ditujukan untuknya. Dadanya semakin berdebar, hingga tak mampu untuk berkata-kata. "Mungkin setelah melihat ini, kamu justru akan minta diculik olehku." Pria gondrong itu .mengeluarkan sesuatu dari saku jaketnya. Erika menerima sebuah kartu nama yang disodorkan oleh pria itu. "Neilson Patrick?" Mata Erika membelalak saat melihat nama Neil di kartu nama sebagai pemilik sebuah perusahaan besar di kota Jakarta. Erika kembali menatap Neil, tak percaya bahwa saat ini yang berada di hadapannya adalah seorang anak konglomerat. "Bagaimana? Bersediakah kamu aku culik sekarang?" Mereka berdua terkekeh. "Kenalkan, Aku Erika." Neil meraih uluran tangan wanita bertubuh tinggi itu. "Ayo, Aku antar kamu pu
"Tolong cepat, Pak! " Farhan semakin cemas karena Nadira tak sadarkan diri. Suhu tubuhnya semakin tinggi. Jantung Farhan terus berpacu. Dia begitu khawatir pada mantan istrinya itu. Tak sadar setetes bulir bening mengalir dari sudut matanya. Sesaat ingatannya kembali ke masa lalu, ketika itu Nadira baru beberapa bulan menjadi istrinya. "Uda, maaf ..., Aku kurang enak badan. Bisa antar aku ke dokter sore nanti?" "Jangan manja! Pesan taksi saja! Sudah kubilang, urus diri kita masing-masing!" Nadira saat itu tak menjawab, sementara Farhan pergi meninggalkannya tanpa peduli apa yang terjadi berikutnya. Saat malam tiba, Farhan menemukan Nadira tertidur dengan tubuh menggigil. Namun saat itu dia tetap tak peduli dan membiarkan para pelayan yang mengurus istrinya.Farhan meremas rambutnya frustasi mengingat hal itu. Suami macam apa dirinya? Pergi begitu saja dan tak peduli ketika istri membutuhkannya. Farhan menatap.wajah Nadira lekat yang saat ini terbaring di atas jok mobil dengan
Setelah lima hari dirawat, Nadira sudah kembali sehat dan pulang ke rumah. Selama di rumah sakit, Farhan selalu menemaninya tanpa sedikitpun meninggalkannya. Farhan meyerahkan semua pekerjaan kantor pada Nola yang sekarang dibantu oeh Risa. Pria itu ingin lebih fokus dalam merawat Nadira. Sejak hari itu, Neil tidak pernah lagi datang atau pun memberi kabar. Menurut Vivi, Neil mengunjungi orang tuanya yang saat ini sedang berada di Amerika. Erika pun tak pernah lagi datang ke kantor Farhan. Wanita itu juga tidak lagi menghubungi Farhan. Entah ke mana perginya Erika. "Kamu benar-benar menepati janjimu, Neil!" gumam Nadira seraya memandang fotonya bersama dengan Neil dan Vivi ketika mereka masih duduk di bangku kuliah. Nadira memang masih memajang foto mereka bertiga di lemari buku, di dalam.ruang kerja kantornya. Neil selalu ada untuknya. Nadira, seorang gadis perantauan yang hidup sendiri di kota Jakarta, tidak jarang mengalami berbagai kesulitan hidup. Namun apapun kesulitan yang
"Bersiaplah, Aku tiba di sana satu jam lagi!" Nadira menutup panggilan dari Farhan. Kemudian mulai mempersiapkan diri untuk datang ke acara pernikahan Neil dan Erika. Resepsi pernikahan yang sangat mewah itu akan diadakan di salah satu hotel bintang lima ternama di Jakarta. Nadira memandang gaun berwarna peach dengan hiasan batu swarovki di sekitar dadanya. Gaun itu diantar oleh kurir sebuah butik terkenal beberapa hari yang lalu. Ketika itu Nadira merasa heran karena tidak pernah memesan gaun seperti itu sebelumnya. Namun sebuah kartu ucapan bertuliskan pesan seseorang, menjawab pertanyaannya.. Aku ingin melihatmu memakai gaun ini saat hadir di acara pernikahanku. "Baiklah, Neil. Aku akan memakai gaun ini sebagai tanda terimakasihku atas kebaikanmu selama ini," gumam Nadira. Nadira mematut dirinya di depan cermin. Hijab berwarna senada mempercantik wajah ovalnya. Kulitnya yang putih cenderung kuning langsat tampak semakin mempesona dengan riasan bernuansa natural. "Bu Nadi
"Neil!" Helda berteriak marah melihat putranya masuk ke mobil. Neil tidak peduli dengan ancamannya. Rahangnya mengatup keras, dan tangannya mengepal. Josh yang sejak tadi memperhatikan dari tangga depan akhirnya melangkah mendekat. Ia melihat emosi Helda makin memuncak. "Cukup, Helda," ujar Josh tenang. Helda menoleh tajam. "Kamu lihat sendiri kan? Anakmu membantahku demi keluarga perempuan itu!" Josh menghela napas. "Kamu yang memaksanya untuk memilih." "Aku hanya ingin yang terbaik untuknya, Josh!" Helda membalas cepat. Josh menatap istrinya dalam. "Helda, aku tahu kamu keras kepala. Tapi sejujurnya, aku memang tidak setuju dengan acara besar ini sejak awal. Aku khawatir hal seperti ini akan terjadi." Helda melipat tangan di dada. "Jadi, kamu pikir aku yang salah?" Josh mengangguk pelan. "Bukan hanya kamu. Aku juga sempat meragukan keluarga Tiara. Tapi, aku sudah menyelidiki mereka sejak awal." Helda mengernyit. "Apa maksudmu?" Josh menarik napas dalam sebelum menjelaska
"Tidak perlu!" Suara Helda terdengar ketus, membuat Tiara yang berdiri di balik pintu ruang tengah menahan napas. Hatinya mencelos seketika. "Mami, mereka adalah keluarganya. Mereka harus ada di acara ini." Neil mencoba berbicara lebih pelan, tapi nada suaranya tetap tegas. Tiara tahu suaminya tidak suka berdebat soal hal seperti ini. "Mami tidak mau tamu-tamu kita nanti tahu kalau istrimu itu berasal dari kampung." Tiara membekap mulutnya. Kata-kata Helda terasa seperti pukulan keras di dadanya. "Mami! Tolong jangan bicara begitu. Apa hubungannya dengan tamu-tamu kita?" "Neil, dengarkan Mami!" suara Helda terdengar lebih tegas. "Kamu adalah pengusaha besar, CEO perusahaan besar. Bagaimana jika orang-orang tahu kalau istrimu hanyalah anak dari keluarga biasa yang tinggal di desa? Itu bisa merusak reputasimu!" "Astaga! Mami masih memikirkan gengsi? Ini pernikahan, bukan acara bisnis!" Neil terdengar semakin kesal. "Mami tidak mau tahu! Pokoknya mereka tidak perlu datang!" Held
"Selamat siang Bu Erika, saya ingin bertemu. Apa ibu bisa siang ini?" Suara pengacara Neil yang ia kenali terdengar di ujung telepon. Erika mengernyit. Kira-kira ada apa tiba-tiba pengacara Neil menghubunginya dan meminta bertemu. "Untuk apa?" tanyanya dengan nada waspada. "Ada sesuatu yang harus saya serahkan pada Ibu. Apa kita bisa bertemu di kafe dekat kantor?" Erika berpikir sejenak. Ada rasa penasaran dalam hatinya. "Baiklah, aku akan datang," sahutnya singkat. Setelah menutup telepon, ia menoleh ke arah Boyka yang duduk di sofa yang sedang memainkan ponselnya dengan santai. "Aku mau pergi sebentar," ujar Erika sambil mengambil tasnya. Boyka meliriknya sekilas. "Mau ke mana?" "Bukan urusanmu." Boyka terkekeh. "Oke, oke, tapi jangan lama-lama, nanti aku rindu." Erika tidak menanggapi dan segera pergi. Namun, tanpa ia sadari, Boyka menatap punggungnya penuh curiga, lalu dengan santai memasukkan ponselnya ke dalam saku dan lantas berdiri. Dengan naik taksi online Erika m
"Apa-apaan ini?" Suara Neil terdengar berat dan penuh amarah. Tatapannya tajam menusuk ke arah Joe yang masih berdiri terlalu dekat dengan Tiara. Rahangnya mengeras, dadanya naik turun menahan emosi. Tiara langsung menepis tangan Joe yang menghalanginya, lalu melangkah maju mendekati Neil. Kini ia berdiri di antara Neil dan Joe, khawatir jika terjadi keributan diantara dua lelaki itu. "Pak, jangan ..." bisik Tiara pelan, tangannya menggenggam lengan Neil agar pria itu tidak mendekat. Joe menelan ludah, tubuhnya sedikit mundur saat melihat ekspresi Neil yang sangat marah. Wajah atasannya itu menggelap dengan tatapan berkilat-kilat ke arah dirinya. " M-maaf, Pak Neil," ujar Joe akhirnya. "S-saya hanya ... mengajak Tiara bicara." Suara Joe terdengar gemetar. Neil menyipitkan mata. "Bicara? Dengan mendesaknya ke dinding seperti tadi?" Kali ini suara Neil terdengar menggelegar, hingga terdengar keluar ruangan. Joe hendak membuka mulut untuk membela diri, tapi tidak ada kata-kat
"Mami mau acara resepsi pernikahan kalian nanti adalah acara yang besar." Helda bicara dengan wajah berbinar di meja makan. Neil dan Tiara yang duduk di sisi kiri tersenyum saling pandang. "Kalau perlu undang semua orang yang kita kenal, agar siapapun tau siapa istri Neil sebenarnya." Suasana sarapan pagi ini terasa lebih hangat. Helda terus bicara tentang semua rencananya. Sementara Tiara hanya diam dengan senyum tipis yang terus tersungging di wajahnya. "Josh, kenapa diam saja? Kamu nggak mau kasih pendapat?" tanya Helda masih antusias. Josh meraih segelas air putih dan meneguknya sesaat. Setelah menghela napas panjang ia bicara serius. "Ini hanya pernikahan kedua. Cukup undang kerabat dekat dan keluarga saja," tegasnya dengan pelan. "Tidak! Mami nggak setuju." Helda menyahut tak kalah tegas. "Setelah acara resepsi nanti, Mami nggak mau dengar lagi gosip-gosip miring tentang kalian berdua." "Iya, Mi. Aku akan persiapkan semuanya," sahut Neil. "Terserah kalian sajalah!" Jo
[Kau pikir bisa lari dariku, Erika? Aku akan menemukanmu.] Siapa yang mengirim pesan ini? Tangan Erika gemetar saat memegang ponselnya. Ia ingin sekali menceritakan hal ini pada Boyka, tapi gengsinya terlalu tinggi. Lagipula, ia masih membenci pria itu. Namun, di sisi lain, ia tidak bisa menepis rasa takutnya. Tiba-tiba, pintu kamar terbuka. Boyka berdiri di ambang pintu dengan ekspresi santai. "Kau belum tidur?" Erika mendongak cepat, menyembunyikan ponselnya di balik punggung. "Bukan urusanmu." Boyka menyeringai. "Aku cuma tanya." Pria itu berjalan mendekat, menyandarkan satu tangan pada pintu. "Kamu tampak gelisah." "Aku baik-baik saja," potong Erika cepat. Boyka mengangkat alis. "Benar? Yakin? Tapi perasaanku bilang tidak." Erika mengalihkan pandangan, menghindari tatapan pria itu. "Aku bilang aku baik-baik saja!" suaranya meninggi. Boyka terkekeh pelan. "Terserah kalau kamu tidak mau cerita. Tapi kalau ada sesuatu yang mengganggumu, kamu bisa bicara padaku." Erika mend
"Ngapain kamu di sini?" Suara Erika sangat ketus begitu melihat siapa yang berada di balik kaca mobil hitam itu. Wajahnya yang semula sangat emosi kini berubah menjadi tegang. Pria itu ternyata Boyka. Ia tersenyum miring, menatap Erika dengan intens. “Kenapa? Kecewa aku yang datang menjemputmu?” Erika mendengus kesal. “Aku nggak butuh dijemput siapa pun.” Boyka menaikkan sebelah alisnya. “Oh ya? Kamu yakin? Memangnya kamu mau ke mana malam-malam begini? Hotel? Atau kamu mau tidur di pinggir jalan?” Erika menggigit bibir, matanya melirik ke arah jalanan yang mulai sepi. Tidak ada taksi, tidak ada kendaraan lain yang bisa ia andalkan. Pikirannya berkecamuk. Ia tidak mungkin kembali ke rumah Neil. Tidak mungkin juga ia menginap di hotel dengan keadaan seperti ini. Boyka masih menatapnya dengan sabar, seolah menikmati kebingungan Erika. “Ayo, masuklah. Aku janji tidak akan berbuat macam-macam,” ucapnya dengan senyum menggoda. Erika mendengus. “Aku nggak percaya!” “Tapi .... kam
"Tiara, aku butuh kamu sekarang." Neil berdiri di depan pintu kamar Tiara, mengetuk pelan namun tak berhenti. Suaranya terdengar berat, nyaris bergetar, menahan emosi yang nyaris meledak Tiara, yang baru saja akan merebahkan tubuhnya ke kasur, terdiam sesaat sebelum akhirnya membuka pintu. “Pak?” Matanya menatap Neil penuh tanya. Neil tidak menjawab, hanya melangkah masuk dan langsung merebahkan tubuhnya di sofa panjang di kamar Tiara. Satu lengannya menutupi wajah, sementara tangan lainnya mengepal di atas dadanya. Tiara menutup pintu perlahan. “Bapak kenapa?” Neil menghembuskan napas panjang. “Aku lelah, Tia.” Tiara berjalan mendekat, menatap Neil yang kini tampak lebih tenang dibandingkan tadi. “Bapak habis bertengkar lagi dengan Bu Erika?” tebaknya. Neil membuka sedikit lengannya, menatap Tiara yang kini duduk di ujung sofa. “Kamu tahu semuanya?” Tiara mengangguk. “Saya dengar sedikit tadi. Apa benar Bapak akan menceraikan Bu Erika?” Neil mengusap wajahnya dengan kasar
“Siapa Boyka?!” Suara Neil terdengar tegas dan penuh kecurigaan. Matanya menatap tajam ke arah Erika yang kini berdiri mematung dengan wajah pucat. Erika menelan ludah. Ponselnya masih terus bergetar di tangannya. Ia tahu kalau ia tidak segera mematikan panggilan itu, situasi akan semakin buruk. Dengan tangan gemetar, Erika buru-buru menekan tombol merah dan memasukkan ponselnya ke dalam saku. “Neil …” Erika mencoba tersenyum, tapi jelas terlihat kalau itu dipaksakan. “Itu ... hanya teman lama. Aku nggak tahu kenapa dia tiba-tiba menelepon.” Neil menyipitkan matanya. “Teman lama? Lalu kenapa kamu terlihat ketakutan?” “Aku …” Erika mengalihkan pandangannya. “Aku cuma kaget aja. Aku nggak menyangka dia masih punya nomorku.” Erika mencoba tersenyum. Neil mendengus pelan. “Jangan bohong! Aku lihat sendiri bagaimana ekspresimu tadi.” Erika mulai panik. Ia harus mencari cara untuk mengalihkan perhatian Neil. “Neil, aku benar-benar merasa nggak enak badan …” Erika kembali mengelus p