Disebuah rumah sederhana, terdapat beberapa orang tengah berkumpul di ruang tamu, mengobrol sembari membahas tentang pengiring pengantin pria dan wanita pada acara pernikahan Deonartus Surbakti dan Rayla Pramanta.
“Yang akan menjadi bridesmaidnya adalah aku, Bella dan Alice,” ucap Maylin dengan nada yang tak terbantahkan. Ia percaya dengan mitos bahwa hanya wanita single yang boleh menjadi bridesmaid agar mereka dapat menemukan jodohnya di antara barisan groomsmen yang ada.
“Ini pernikahanku, Lin. Biarkan aku yang mengambil keputusan.” Rayla mencebik kesal sebab adiknya dengan seenaknya mengatur pengiring di acara pernikahannya nanti.
“Tapi bagaimana kalau setelah Agatha menjadi bridesmaid, dia dan Peter malah bercerai?” Maylin menyerang Rayla dengan pertanyaan balik.
“Hei! Cinta kami tidak sedangkal itu!” pekik Agatha yang segera memprotes ucapan Maylin yang terdengar sangat mengerikan itu.
“Lalu groomsmennya siapa saja?” tanya Bella mengalihkan topik pembicaraan.
Rayla, Agatha dan Bella adalah sahabat dari sekolah menengah atas. Mulanya Rayla memang meminta Agatha menjadi pengiringnya. Namun, dibantah langsung oleh Maylin. Percuma saja berdebat dengan Maylin yang sangat keras kepala. Pada akhirnya, Rayla pun mengalah.
“Tunangannya Alice dan Elian. Masih kurang satu lagi.” Maylin segera mengucapkan keluar idenya sebelum Rayla berubah pikiran.
“What? Aku?” Elian yang tengah mengobrol bersama Peter, suami Agatha, terperanjat mendengar namanya disebut.
“Iya, kau. Memangnya di sini ada orang lain yang bernama Elian selain kau?”
Helaan napas keluar dari mulut Elian. Jika Maylin sudah mengatur, ia tidak dapat menolaknya. “Baiklah. Aku bersedia. Asalkan aku be—”
Belum selesai Elian menyelesaikan ucapannya, suara interupsi dari Rayla yang mengatakan bahwa Maylin berpasangan dengan Leonel Norman, sahabat Deon, sementara Elian berpasangan dengan Bella, sontak membuat Elian menyatakan keberatannya.
“Tu— tunggu sebentar, La. Kenapa aku tidak berpasangan dengan Maylin saja? Kami berdua sudah saling mengenal satu sama lain. Akan Lebih mudah menjalani peran masing-masing.”
“Lantas bagaimana dengan aku dan Leonel? Kami berdua juga tidak saling kenal,” tukas Bella.
“Aku setuju saja. Yang terpenting sama-sama masih single,” celetuk Maylin penuh semangat.
“Ok, Deal.” Rayla tersenyum puas.
Melihat tak ada kesempatan untuk membuat Rayla berubah pikiran, Elian hanya dapat menahan perasaan kecewanya dalam hati. Padahal, ia berpikir bila berpasangan dengan Maylin menjadi groomsmen, hubungan mereka berdua akan lebih dekat lagi.
Meskipun keakraban mereka telah mengalami kemajuan, tetapi Elian merasakan sikap Maylin terhadapnya masih sedikit menjaga jarak. Elian menyesali perbuatannya yang tidak pernah menghubungi Darwan maupun Maylin walau sekadar menanyakan kabar. Semua hal itu ia lakukan bukan tanpa alasan.
*****
Elian Grayson Carter, seorang remaja kutu buku dan berpenampilan culun. Ia selalu menghabiskan waktu liburan semesternya dengan belajar. Tidak jarang Frida Lewis dan Darwan Bimala menghela napas pasrah ketika Elian sulit dibujuk agar mau meninggalkan bukunya sejenak, kemudian pergi refreshing untuk melepaskan rasa penat dipikiran.
Maylin berpikir ingin membantu mengurangi kekhawatiran Darwan terhadap Elian, maka setiap akan pergi ke suatu tempat, ia pun berusaha mengajak Elian walaupun ditolak oleh pria itu berulang kali pula. Meskipun demikian, Maylin tidak menyerah begitu saja sampai akhirnya Elian pun luluh.
Namun, keluluhan tersebut justru menimbulkan perasaan lain tumbuh dalam hati Elian. Jatuh cinta kepada kekasih adiknya sendiri pun tidak dapat dielakkan.
Salah satu bentuk dari mencintai adalah merelakan orang yang kita sayangi bersama orang lain. Akan tetapi, diperlukan kesabaran dan keteguhan hati sehingga Elian memutuskan pergi ke London, kota kelahirannya.
Berharap tidak lagi bertemu dengan kekasih adiknya, cinta yang bersemayam dalam hatinya pelan-pelan dapat terkikis. Namun, semakin dirinya berusaha untuk melupakan, perasaan cinta itu malah semakin membuncah. Bahkan, seringnya ia harus menahan rasa rindu hingga membuat hatinya terasa sakit.
Alasan itu lah yang membuat Elian tidak berani menghubungi Darwan dan Maylin. Ia khawatir tidak dapat mengontrol perasaannya lagi tatkala mendengar suara wanita yang dicintainya. Atau saat Darwan bercerita tentang hubungannya dengan Maylin, ia terlalu takut berubah membenci sang adik.
Hati tak dapat diatur sesuai keinginan sendiri. Elian hanya dapat memendam perasaan cintanya kepada Maylin selama sembilan tahun, bahkan sampai didetik ini.
*****
Deburan ombak terdengar bergemuruh. Suasana sekeliling pantai telah didekor konsep Bohemian Style sesuai dengan keinginan mempelai wanita. Tinggal menghitung jam, Deonartus Surbakti dan Rayla Pramanta menyongsong resepsi nikah yang digelar hari ini.
Persiapan resepsi terlihat sudah matang, terbukti dengan berbagai dekorasi konsep Bohemian Style, kursi tamu, hingga atas pasir telah dihiasi dengan bunga, semua terlihat indah dan terkesan romantis.
Setelah semua perjuangan yang dilakukan Deon dalam mempertahankan Rayla serta membantu wanita itu mengatasi trauma, akhirnya Rayla memantapkan dirinya untuk melangkah ke jenjang pernikahan. Terlebih kondisi Rayla kini tengah hamil muda. Ternyata usaha tak akan pernah mengkhianati hasil.
Bibir Maylin mengembang senyum lebar melihat kebahagiaan terpancar di raut wajah kedua mempelai. Ia bersyukur sang kakak telah menemukan cinta sejatinya. Ia berdoa semoga kebahagiaan itu terus menemani dalam rumah tangga mereka.
Gantikan aku untuk mewujudkan impian dengan membangun keluarga yang harmonis dan bahagia, La. Impianku itu selamanya tidak dapat direalisasikan. Doaku selalu menyertaimu. Bahagialah selalu. Kau pantas mendapatkannya setelah apa yang terjadi dalam hidup kita. Batin Maylin.
*****
“Mari kita foto bersama! Kita harus mengabadikan momen hari ini sebagai kenangan yang tidak boleh dilupakan,” Agatha mengucapkannya dengan penuh semangat.
“Kau terlalu berlebihan, Tha.” Rayla menggeleng-gelengkan kepalanya sembari menerima sebotol air mineral dari suaminya setelah mengucapkan terima kasih.
“Kalau saja ada acara penghargaan kategori kisah sepasang kekasih paling mengharukan, kalian berdua pasti menang. Mempelai prianya seorang play boy—”
Kalimat Agatha terpotong oleh interupsi dari Deon. “Mantan play boy, Tha. Profesiku yang satu itu sudah menjadi masa lalu.”
“Kau sendiri yang mengatakan sekalinya play boy tetap play boy, ‘kan?” Agatha kembali mengingatkan saat Deon mengucapkan janji suci tadi.
“Memang, tapi sejak menjadi pria pertama yang mengambil keperawanan Rayla, profesi play boy ku tinggal sejarah. Aww ….” Deon menjerit kesakitan ketika Rayla mencubit lengannya kuat-kuat.
“Mulutmu itu sepertinya harus disekolahkan lagi.” Rayla melayangkan tatapan maut ke arah suaminya yang sering bersikap spontanitas dalam bertutur kata. Suara gelak tawa melihat pengantin pria tidak dapat berkutik pun terdengar riuh memenuhi sudut ruangan.
Suara ketukan berulang kali terdengar, membuat seluruh orang yang berada di dalam ruangan sontak menoleh ke arah pintu. Seorang crew mengatakan acara berikutnya yaitu melempar bunga pengantin. Kedua mempelai diharapkan agar segera kembali ke pesta.
“Kita berfoto dulu!” ucap Agatha. “Lin, pasangan groomsmenmu ke mana?”
“Tadi dia berkata pergi ke toilet.”
“Cepat cari dia!”
Setengah berlari Maylin bergegas mencari Leonel, tetapi langkahnya berhenti ketika netranya menangkap sesosok pria yang tengah dicarinya berada di sudut lorong, jauh dari keramaian. Ia pun berjalan mendekati pria itu.
Leonel berdiri tegak menyamping dengan tangan kanannya memegang ponsel yang ditempelkan ke telinga. Alisnya saling bertaut. Raut wajahnya terlihat begitu serius. Ia tidak menyadari kehadiran Maylin perlahan-lahan mendekati posisinya berdiri.
“Perkuat sistem keamanan agar virus-virus lainnya tidak dapat masuk ke dalam data kita. Kau selalu memperbaharuinya ‘kan, Dalbert?”
Dahi Maylin mengernyit, mendengar kalimat Leonel di telepon. Pria itu sedang berbicara dengan siapa? Sistem? Virus?
“Bagaimana perkembangan mata-mata kita? Apakah mereka berhasil mencari tahu keberadaan mafia itu?”
Netra cokelat milik Maylin sukses membulat sempurna ketika mendapati suatu kenyataan tentang Leonel Norman. Ternyata pria itu tak hanya seorang playboy seperti kakak iparnya, tetapi juga seorang mafia.
“Kau … sejak kapan berdiri di sana?” Leonel terkesiap melihat Maylin menatapnya dengan tatapan terkejut. “Kau mendengar pembicaraan tadi semuanya?”
Maylin tidak mampu menjawab. Hanya kepalanya yang mengangguk-angguk.
“Oh shit!” Leonel mengumpat seketika. Ia kini dihadapi situasi yang sulit. Perkumpulan organisasinya tidak boleh diketahui oleh pihak luar. Apabila hal itu terjadi, Leonel harus segera mengenyahkan keberadaan orang itu. Tidak peduli apakah orang itu dapat menyimpan rahasia atau tidak.
“Benar ‘kah Kak Leo seorang mafia? Bukannya mafia hanya ada di film bioskop saja, Kak?” Bukannya merasa takut, Maylin malah menunjukkan rasa penasarannya mengenai mafia.
Leonel hanya dapat bergeming. Ia dilema. Keputusan apa yang harus ia ambil? Sedangkan Maylin adalah adik dari istri sahabatnya.
“Aku pernah menonton film mafia. Biasanya mafia pintar menembak, lalu masuk penjara atas perbuatan kriminal mereka.” Maylin memandang Leonel dengan tatapan penuh rasa ingin tahu. “Apakah Kak Leo bisa menggunakan pistol? Pernah menembak seseorang?”
Helaan napas lega keluar dari mulut Leonel ketika Bella datang menginterupsi. “Kalian sedang apa? Kami menunggu kalian sedari tadi, malah bermesraan di sini. Cepat! Deon dan Rayla harus segera kembali ke acara.”
Leonel dan Maylin segera mengikuti langkah Bella dari belakang. Leonel menyangka urusannya dengan adik ipar sahabatnya itu tidak akan berlanjut. Nyatanya, sepanjang sisa acara Maylin tidak hentinya melontarkan pertanyaan seputar mafia padanya.
“Apa Kak Leo pernah masuk penjara karena status mafia ini? Seperti apa rasanya menjadi bagian dari mafia?”
Walau Maylin bertanya dengan hati-hati dan suara berbisik agar tidak terdengar orang lain, tetap saja Leonel merasa tidak nyaman dibuatnya. Ini kali pertama rahasianya diketahui oleh seorang wanita dan wanita itu sama sekali tidak terlihat takut sedikit pun.
2 Tahun kemudian “Hari ini apa saja jadwalku, Lin?” Elian berjalan masuk ke ruang kerjanya setelah rapat bersama para direksi berakhir. Tangannya bergerak melonggarkan dasi yang melingkar di kerah bajunya. “Tidak ada, Pak.” Maylin mengambil jaket setelah pria itu melepaskan baju luar itu, kemudian menggantungkannya pada standing hanger yang terletak di sudut ruangan. Dua tahun menjadi Sekretaris Elian, membuatnya sedikit banyak mengetahui kebiasaan pria itu. Elian melirik Maylin dari sudut ekor matanya. Mengingat dirinya akan segera pergi meninggalkan wanita itu, ada perasaan tidak rela dalam hatinya. Haruskah ia membawa juga wanita itu pergi bersamanya? Seminggu yang lalu, ia mendapatkan telepon dari sang ayah, meminta padanya untuk kembali ke London dan mengurus kantor pusat di sana. Elian sempat menolak sebab ia tidak mau kehilangan Maylin untuk kedua kalinya. Cukup satu kali saja ia melakukan kesalahan. Akan tetapi, sang ayah tidak menerima penolakan terlebih atas sikap impusi
Pengajuan Maylin mengenai keinginannya untuk pindah ke kantor utama Carter Corporation langsung saja disetujui oleh Elian. Tanpa banyak bertanya, pria itu segera menugaskan bagian human resources departemen untuk mengurus segala macam kebutuhan mutasi tersebut. Maylin berdalih hendak mencari suasana baru ketika mengatakan alasannya pada sang ibu dan kakak. Meski kedua wanita itu merasa keberatan, tetapi akhirnya mereka pun dapat memahaminya. Mereka berharap dengan meninggalkan tempat yang memiliki kenangan menyakitkan, Maylin dapat fokus menata kembali hidupnya dan mencari kebahagiaan baru. ***** Leonel Norman duduk di kursi pengunjung salah satu café terkenal di kota ini seraya menunggu Maylin datang. Ia sudah membuat janji temu dengan wanita itu beberapa hari yang lalu. Sebelum tiba di tempat ini, ia mengunjungi kantor milik Deonartus terlebih dahulu. Ingatannya kembali tatkala sahabatnya itu memberikan peringatan disertai dengan tatapan menghunus tajam padanya. 'Kau boleh berm
Seorang wanita berparas cantik, berbalut dress hitam fit body dengan aksen sheer dan berpotongan model strapless, dengan tergesa-gesa melangkah mendekati sesosok pria yang sedang duduk di antara pengunjung restoran. Meskipun penampilan pria itu terlihat kasual, tetap saja tidak mengurangi ketampanan yang dimilikinya. “Sudah lama menunggu?” tanya Vlora setelah mendaratkan pantat dengan sempurna di atas kursi depan Elian seraya tersenyum simpul. Elian mengulurkan segelas smoothies blueberry ke arah Vlora yang diterima oleh wanita itu, lalu diteguknya minuman tersebut. Bertahun-tahun mengenal Vlora, ia paham betul dengan kebiasaan apa saja yang dikonsumsi wanita itu untuk menjaga berat badannya tetap ideal. “Tidak terlalu lama hingga aku sudah menghabiskan secangkir frappuccino dan ini adalah cangkir kedua,” kelakar Elian yang disambut tawa renyah oleh Vlora. “Anyway, terima kasih atas minumannya. Kau sangat memahami kebiasaan dan kesukaanku, Honey.” Sudah menjadi kebiasaan Vlora mema
“Pertama, genggam grip pistol dengan weapon hand secara penuh dan konsisten. Genggam dengan erat karena genggaman tersebut akan memberikan resistensi ke arah weapon hand saat pistol meletus. Jangan lupa, finger off. Telunjuk mengarah ke depan sejajar dengan laras. Saat kau sudah siap menembak, jari telunjuk weapon hand siap menekan pelatuk.” “Seperti ini?” Maylin mengikuti instruksi dari Leonel tentang cara menggenggam pistol yang efektif. Leonel memperbaiki posisi telapak tangan Maylin pada bagian weapon hand. “Tidak boleh ada jarak antara beaver tail dan selaput antara jempol dan telunjuk.” Ketika kulitnya bersentuhan dengan kulit Maylin, ia merasakan sensasi jantung yang berdetak kuat, tidak beraturan secara tiba-tiba. Shit! Ia belum pernah merasakan perasaan seperti ini tatkala berdekatan dengan wanita lainnya. “Prinsip ini berguna untuk memberikan tahanan saat ada recoil ke belakang dan mengarahkan recoil agar moncong tetap stabil menghadap ke depan,” imbuh Leonel sembari beru
Taksi yang ditumpang Maylin berhenti di depan coffe shop yang begitu ramai oleh pengunjung sebab sekarang adalah jam istirahat pegawai kantor. Setelah membayar ongkos, ia bergegas turun.Maylin menebarkan pandangan matanya ke sekeliling bagian outdoor dan akhirnya menangkap sosok wanita dalam usia tiga puluh tahun dengan kecantikan yang memesona bagi siapa saja yang melihatnya, tengah duduk seraya memainkan ponselnya. Ia mendengus kencang. Sepasang netranya memandang wanita itu dengan penuh kebencian.Konflik yang terjadi antara kedua orang tua mereka, membuatnya mendapatkan perlakuan tidak adil. Mengapa rahasia mereka tidak dibawa saja sampai ajal datang menjemput? Dengan begitu, ia tak akan tahu rahasia dibalik keluarganya yang tidak utuh, juga tidak perlu hidup dengan menaruh dendam. Sungguh Tuhan tak adil padanya.Maylin menarik kursi, lantas duduk di atasnya dengan posisi tegak dan punggung yang bersandar pada sandaran kursi. Dagunya di angkat tinggi-tinggi agar terlihat angkuh.
Jantung Maylin kini berdegup kencang. Tangannya tampak gemetar dan mengeluarkan keringat dingin. Ia merasakan kegugupan yang luar biasa ketika mobil yang ditumpanginya bergerak dengan kecepatan tinggi. Sejak masuk ke dalam mobil, Maylin dan Elian belum terlibat obrolan satu sama lain. Maylin tidak berani membuka mulutnya tatkala melihat amarah yang meluap-luap di balik manik abu-abu milik Elian. Tampak dengan jelas rahang pria itu mengetat serta cengkeraman pada setir mobilnya yang semakin mengerat seiring kakinya menginjak pedal gas sehingga mobil melaju lebih cepat. Maylin hendak bertanya ke mana pria itu akan membawanya. Namun, bibirnya terlalu kaku untuk berucap. Setahunya, jalan yang tengah dilalui Elian bukanlah menuju kantor. Tubuh Maylin berulang kali mendapatkan gaya dorong yang lebih besar ketika mobil sedang berbelok dalam kecepatan yang tinggi. Bahkan, Elian tidak menurunkan kecepatan mobil pada saat akan menyalip mobil lain. Ini adalah pertama kalinya Maylin melihat E
Suara derap langkah terdengar keras, pertanda pemilik kaki tengah terburu-buru. Kaki pria itu berhenti tepat di depan sebuah pintu. Tanpa mengetuknya, ia segera memutar gagang pintu dan berjalan masuk ke dalam ruangan.“Apa maksudmu tadi berkata pembunuh sepupumu tengah mengincar keluarga istriku?” tanya pria itu tanpa berbasa-basi.“Selamat siang, Tuan Deonartus Surbakti,” Dalbert Gene menyapa Bos Tuannya sembari membungkukkan tubuhnya dengan sopan.Kepala Deon mengangguk membalas sapaan Dalbert. Ia langsung membatalkan pertemuan penting bersama kolega bisnisnya ketika mendapat kabar penting dari sahabatnya, Leonel, dan bergegas datang ke markas Eagle.Leonel memberi kode kepada Dalbert untuk menjelaskan semuanya.“Beberapa waktu yang lalu, ada sebuah virus mencoba menyerang sistem database kita, Tuan Deonartus. Karena kita menggunakan pelindung yang kuat, virus itu tidak berhasil menginfeksi dan merusak jaringan sehingga data-data penting di sistem kita tidak megalami kerusakan. Pad
“Kau sudah mengutus anak buah kita untuk menjaga Maylin selama di sana?” bisik Leonel pada Dalbert. Ia tidak mau sahabatnya mendengar ucapannya tadi, lalu memberinya petuah yang sedikit panjang.Semenjak Deon menjadi kakak ipar Maylin, sahabatnya itu menjadi sangat protektif dalam menjaga satu-satunya adik ipar. Terlebih setelah Deon mengetahui tentang perjodohan yang diatur oleh kedua orang tua Leonel, membuat Deon acapkali memberi peringatan padanya untuk menjauhi adik iparnya itu.“Semua telah diatur, Tuan,” jawab Dalbert.“Bagu—” ucapan Leonel terhenti tatkala Deon berdiri di hadapannya dengan ponsel terulur ke arahnya. Leonel mengernyit menatap sahabatnya.“Aku tidak percaya sekretaris yang kupekerjakan malah mengkhianatiku dengan memberi laporan kepada Rayla bahwa aku membatalkan pertemuan penting dan entah pergi ke mana. Sekarang Rayla mau berbicara denganmu. Dia tidak percaya kalau aku sedang bersamamu.” Suara Deon terdengar frustrasi saat mengucapkannya.Gelak tawa keras dari
“Aku tidak menuntut banyak penjelasan saat tahu kalau kau sudah mengetahui dari Vlora, rahasia yang selama ini kusimpan rapat-rapat, lalu perubahan sikapmu setelah kita berada di kota ini ….” Maylin menjeda sejenak. Sepasang netranya menatap Elian penuh menyelisik, menunggu reaksi dari pria blasteran itu. “Bahkan, tanpa sepengetahuanku kau menutupi identitas keluargaku agar tidak diketahui Valo,” imbuhnya.Melihat ekspresi kedua mata abu-abu itu tersentak kaget, Maylin menemukan jawabannya. “Kau begitu misterius, Elian. Namun, aku tak akan protes karena itu adalah privasimu. Jadi, aku harap kau pun juga bisa menghargai privasiku.”Keheningan memenuhi mereka, kemudian melanjutkan sarapan dalam diam. Sampai ketika Maylin bangun dari kursinya dan membawa peralatan makan hendak mencucinya, suara Elian memecahkan kesunyian di antara mereka.“Semua yang kulakukan, terlepas dari baik atau buruk ….”Maylin memutar tubuhnya menghadap Elian. Kedua mata mereka kini saling bertemu. Sepasang iris
[Yeah, Deon menyuruhku menghapus semua data kalian untuk berjaga-jaga bila seseorang ingin mencari tahu tentang Frans Pramanta.]“Kalian yang dimaksud apakah mama, Rayla, juga tante Fifi?” Maylin mendelik, terkejut mendengar jawaban Leonel.[Seluruh keluargamu, sweety, termasuk Frans Pramanta. Ada apa? Dari mana kau mengetahuinya?]Serentetan pertanyaan itu menguap begitu saja dari bibir Leonel.“Kalau begitu, apakah diam-diam kak Leonel juga meretas database yang ada di dalam sistem perusahaan Elian, menghapus nama-nama keluarga yang kucantumkan di sana?” Alih-alih menjawab, Maylin balik bertanya. Tidak menutup kemungkinan Leonel melakukannya sebab pria itu memang ahli di bidang tersebut.Tidak ada suara jawaban dari pria itu. Maylin menjauhkan ponsel dari telinganya dan menatap layarnya sejenak mencoba memastikan. Masih tersambung.Maylin menempelkan kembali ponsel di telinga kanannya. “Halo? Kak Leo? Apakah kau masih berada di sana?”[Bukan aku.]“Apa maksudnya?” Dahi Maylin menger
“Jawaban seperti apa yang ingin kau dengar?” Elian balik bertanya dengan datar, “Kak Sio.”“Kau pasti memiliki alasan untuk melakukannya. Aku ingin tahu apa alasan itu.” Sio tersenyum tipis.Suasana menjadi hening beberapa saat. Elian hanya bergeming menatap Sio, menunggu pria itu memutuskan hukuman apa yang harus diterimanya sebagai konsekuensi melanggar peraturan yang telah ditetapkan oleh organisasi mereka.“Wanita itu … apakah dia yang menjadi alasanmu mengenyahkan bodyguard-mu sendiri?”Pertanyaan itu sukses membuat ekspresi wajah Elian berubah menjadi tegang. Hanya sesaat, karena sepersekian detik kemudian, ia kembali memasang wajah datarnya.Sio menyeringai menatap Elian. “Apakah uncle sudah tahu?”“Tidak,” jawab Elian singkat. Bagaimanapun juga, ia harus menyelamatkan posisi ayahnya yang telah mencoba menyembunyikan segala perbuatannya.Sio menghembuskan kembali asap rokoknya ke udara. “Kau tahu kalau aku memberikan kepercayaan penuh padamu, bukan? Terus terang aku sangat kece
Mendengar satu nama itu disebut, berhasil melenyapkan ketenangan yang baru saja Maylin dapatkan dari efek alkohol itu. Seketika tubuhnya menjadi kaku. Jantungnya seolah berhenti berdetak. “Kedua orang tuaku ….” Maylin berhenti sejenak.Padahal, ia telah mengubur dalam-dalam semua kenangan yang mengingatkannya pada kebahagiaan sekaligus kepedihan ke dalam lubuk hatinya. Namun, hanya sepersekian detik buih-buih kenangan yang telah lama terpendam itu mendadak berhamburan.Kepalanya tertunduk dalam, berusaha keras menahan rasa sesak serta amarah di dadanya dengan mengepal erat kedua tangannya di bawah meja hingga kuku-kukunya menusuk telapak tangannya.“Mereka membuangku ketika usiaku sepuluh tahun,” ucap Maylin melanjutkan. Kebohongan itu keluar dari mulutnya begitu saja.Kau tidak sepenuhnya berbohong, Lin. Bajingan itu memang meninggalkan kalian terhitung sudah empat belas tahun. Sebuah suara bergema di dalam benaknya.“Bolehkah aku tahu, apa yang telah terjadi?” tanya Valo.Ada keseri
Di depan lorong satu-satunya akses menuju ruang restoran, seorang wanita dengan rambut bergelombang cokelat dan seorang petugas terlihat tengah saling melempar argumen sementara seorang pria lain dengan balutan setelan jas biru dongker-nya berdiri di sebelah wanita itu.Ia hanya diam seraya mendengarkan perdebatan kedua orang dewasa itu yang terus berlanjut. Tidak peduli orang-orang yang berlalu lalang, menoleh ke arah mereka, sebelum kemudian memandang dirinya dengan tatapan memuja.Penampilannya dengan setelan resmi, membungkus tubuhnya yang sempurna. Wajah tampan maskulin, garis rahang yang tegas adalah perpaduan sempurna yang diidam-idamkan seluruh kaum adam di seluruh dunia sekaligus menggoda kaum hawa di saat yang bersamaan.Seolah Tuhan sedang bahagia ketika menciptakannya. Tampan. Kaya. Benar-benar godaan yang terlalu sulit untuk tidak menaruh perhatian, terkecuali Maylin Pramanta. Hanya wanita itu yang tidak terpesona pada seorang Valo Wren Osborn.“Apakah Anda tidak mengerti
Entah sudah berapa lama, Valo masih belum juga kembali. Pria itu hanya menyuruhnya agar menunggu di dalam mobil hingga akhirnya Maylin merasa bosan dan mengambil ponsel untuk mengusir kejenuhan tersebut. Dilihatnya hasil foto yang ada di kameranya seraya senyum-senyum sendiri.Ia kemudian mengirimkan beberapa foto kepada Rayla, bermaksud memamerkan kepada sang kakak. Tidak lama setelah foto terkirim, pesan masuk pun berbunyi.[Elian membawamu ke tempat lokasi syuting film legendaris Robin Hood dan Harry Potter? Kau sangat beruntung, adikku! Akan tetapi, kau menjadi sangat amat menyebalkan! Aku juga ingin berkunjung ke sana!]Maylin terkikik membaca balasan dari Rayla, lalu menggerakkan jemarinya di atas layar ponsel, mengetik sederet kalimat.[Mintalah pada kak Deon. Suami tercintamu itu tanpa ragu-ragu pasti mengabulkan keinginanmu. By the way, bukan Elian yang membawaku pergi, tetapi teman baruku.]Jemarinya berhenti bergerak untuk sejenak. Membaca sekali lagi pesannya sebelum menek
Tidak berapa lama kemudian, sepasang netranya membelalak. “No way! Tiket broomstick training! Seriously?” pekik Maylin dengan nada tidak percaya.“Tiket ini sangat terbatas. Aku mendapatkannya dengan susah payah karena diprioritaskan untuk pengunjung berusia 6 hingga 16 tahun. Jika kau mau berterima kasih padaku, cukup berhenti bersungut padaku. Deal?”Maylin melipat kedua tangannya. “Kau sendiri yang memulainya. Sudah kuperingatkan, aku bukan wanita murahan seperti wanita-wanita yang pernah bersamamu.”“Baiklah, aku mengaku bersalah. Maafkan aku, okay?” ujar Valo sembari mengulas senyum bersalah. Sedetik kemudian, dirinya terkejut setelah menyadari kalimat apa yang baru saja ia lontarkan. Kalimat itu meluncur begitu saja, tanpa direncanakan. Meskipun begitu ia tetap ingin terlihat tenang di hadapan wanita itu.Would somebody mind telling me, what the bloody hell’s going on? Valo memaki dalam hatinya.Maylin menghela napas pasrah. “All right! Aku tidak mau merusak suasana hatiku yang
“Kembali? Absolutely is no!" jawab Maylin sembari bersedekap. "Apakah kau pernah mendengar sebuah kereta akan mengemudikan balik ke stasiun yang telah mereka lewati hanya untuk mengangkut penumpang yang telat? Begitu pun dalam kamus hidupku. Tak akan kembali ke titik awal setelah melewatinya. Jika kau takut, pergilah. Aku bisa melanjutkannya sendiri. Tantangan ini sangat menyenangankan!” imbuhnya penuh semangat.Namun, baru beberapa langkah tubuhnya kembali menabrak dinding kaca tersebut. Tak hanya sekali—dua kali, hingga emosi wanita itu mulai terlihat dengan mengumpat setiap kali dirinya tertabrak.“Berhenti menertawaiku, Jerk!” Maylin menggeram kesal lantaran Valo tergelak kencang melihatnya berulang kali gagal mencari jalan di saat bersamaan tubuhnya menabrak kaca.“Perlu bantuan?” ujar Valo di tengah-tengah tawanya.Akan tetapi, sifat keras kepala yang begitu mendarah daging dalam diri wanita itu kontan menolak begitu saja. Ia ingin dengan caranya sendiri menaklukkan tantangan te
Valo dan Maylin segera turun dari jet, lalu di bawah jet telah ditunggu oleh beberapa pria berpakaian serba hitam dan juga sebuah limousine siap mengantar mereka.“Sama seperti Elian. Pengusaha terkenal seperti kami memang membutuhkan jasa bodyguard untuk melindungi kami dari ancaman,” ujar Valo menjelaskan ketika mendapati tatapan Maylin mengarah ke pengawalnya.Maylin bersikap tak acuh, lantas masuk ke dalam limousine tanpa sepatah kata. Tidak berselang lama, mobil perlahan bergerak meninggalkan parkiran pesawat. Sepanjang perjalanan Maylin tidak berhenti menatap pemandangan dari luar jendela mobil.Sekelilingnya didominasi daun-daun beragam warna yang melekat di dahan-dahan pohon, juga rerumputan hijau dan sinar matahari yang memancar serta awan yang berlapis hingga terlihat seperti bulu halus menjadi perpaduan yang indah hingga mencuri perhatian bagi siapa saja yang melewati sekitarnya. Dan juga sebuah kastil yang cukup megah dan terkenal, yakni Bamburg Castle. Beberapa kali Mayli