“Pertama, genggam grip pistol dengan weapon hand secara penuh dan konsisten. Genggam dengan erat karena genggaman tersebut akan memberikan resistensi ke arah weapon hand saat pistol meletus. Jangan lupa, finger off. Telunjuk mengarah ke depan sejajar dengan laras. Saat kau sudah siap menembak, jari telunjuk weapon hand siap menekan pelatuk.”
“Seperti ini?” Maylin mengikuti instruksi dari Leonel tentang cara menggenggam pistol yang efektif.
Leonel memperbaiki posisi telapak tangan Maylin pada bagian weapon hand. “Tidak boleh ada jarak antara beaver tail dan selaput antara jempol dan telunjuk.”
Ketika kulitnya bersentuhan dengan kulit Maylin, ia merasakan sensasi jantung yang berdetak kuat, tidak beraturan secara tiba-tiba. Shit! Ia belum pernah merasakan perasaan seperti ini tatkala berdekatan dengan wanita lainnya.
“Prinsip ini berguna untuk memberikan tahanan saat ada recoil ke belakang dan mengarahkan recoil agar moncong tetap stabil menghadap ke depan,” imbuh Leonel sembari berusaha mengontrol detakan jantungnya agar kembali normal.
Maylin mengangguk-anggukkan kepalanya. “Akan kuingat baik-baik. Lalu, bagaimana cara membidiknya?”
“Membidik?” Kedua netra Leonel sontak terbelalak. Tentu saja ia terkejut sebab wanita mana yang tidak menciut nyalinya ketika melihat senjata api di depan matanya? Apalagi sampai memegang sebuah pistol?
Akan tetapi, Maylin memberi respons yang berbeda. Wanita itu tampak sangat bersemangat belajar menggunakan benda berbahaya tersebut. Bahkan, Leonel tidak menemukan anggota tubuh Maylin bergetar karena ketakutan seperti wanita umum lainnya.
“Aku mengatur tempat kencan kita di sini karena mau mempelajari dunia Kak Leo. Sepertinya akan sangat menyenangkan.” Maylin menarik salah satu sudut bibirnya hingga membentuk senyum lebar.
“Wanita manis sepertimu tidak cocok bermain pistol, Sweety.” Kepala Leonel bergeleng-geleng, tidak setuju Maylin mempelajari senapan api itu lebih mendalam. Wanita itu tidak membutuhkan benda tersebut dalam kehidupan sehari-harinya.
Berbeda halnya dengan Leonel. Ia memang harus menguasai menembak dengan berbagai macam senapan untuk melindungi diri dari musuh sekaligus mengenyahkan pengkhianat.
“Kalau Kak Leo tidak mau mengajariku, terpaksa aku menarik kembali kesediaanku berkencan dengan Kakak.” Maylin mencebikkan bibir.
“Apakah ini sebuah ancaman, Sweety?”
“Ancaman atau bukan, tergantung bagaimana Kak Leo menyimpulkannya sendiri.” Maylin mengedikkan bahu, sedikit tidak peduli.
“Kencan adalah seorang pria mengajak wanitanya keluar untuk jalan-jalan.”
“Juga janji untuk saling bertemu di suatu tempat pada waktu yang telah ditentukan bersama. Dan aku menentukan tempat ini sebagai tempat kencan kita,” timpal Maylin dengan cepat.
“Maylin, senjata api sangat berbahaya—”
Leonel belum menyelesaikan kalimatnya ketika Maylin menginterupsinya.
“Baik aku maupun Kak Leo sama-sama tidak tahu apa yang akan terjadi nanti selama aku berada di London. Kalau ada bahaya tiba-tiba datang mengancam, setidaknya aku dapat melindungi diriku sendiri.”
Leonel bergeming menatap pemilik iris cokelat itu. Tentu saja ia tak akan membiarkan Maylin dalam posisi bahaya.
Leonel akan memberi perintah pada orang kepercayaannya, Dalbert Gene, yang sebelumnya bekerja di bawah kepemimpinan sepupunya, agar mengirim satu atau dua anak buah mereka untuk mengawasi keamanan Maylin selama wanita itu berada di sana.
“Aku tidak pernah menang darimu, Sweety.” Leonel pun mengalah untuk kesekian kalinya. “Pakailah pelindung telinga dan mata. Mari kita mulai latihannya.”
Maylin tersenyum puas mendengar kesediaan Leonel. Sepertinya belajar membidik pistol akan menjadi salah satu kegiatan baru yang paling disukainya.
Leonel hanya tertawa pelan seraya menggeleng kepala melihat Maylin bagaikan anak kecil yang bahagia setelah berhasil mendapatkan mainan baru.
Kata-kata Deonartus berdentam kembali dalam kepala Leonel. Cinta memang tidak pernah bisa diprediksi kedatangannya. Setelah datang, cinta pun tidak bisa dipastikan keberadaannya. Entah berada dalam satu hati saja atau hati yang lain sebab cinta penuh misteri dan rahasia.
Leonel mulai meragukan alasan di balik mengapa dirinya membiarkan Maylin tetap hidup setelah wanita itu tahu identitasnya, juga memberikan informasi keluarga Osborn secara cuma-cuma. Benarkah hanya karena Maylin adalah adik ipar sahabatnya?
*****
“Tuan, saya mendapat informasi baru mengenai jejak Crusio.” Dalbert Gene berjalan menghampiri Bosnya yang tampak tengah mengajari teknik membidik pistol pada seorang wanita yang bukan anggota organisasi mereka.
“Katakan,” perintah Leonel tanpa mengalihkan kedua netranya dari Maylin.
Dalbert menatap Maylin dengan tatapan rasa tidak suka. Wanita yang telah menyebabkan Bosnya melanggar peraturan organisasi mereka.
“Ada apa, Dalbert? Mengapa diam saja?” Leonel beralih menatap orang kepercayaannya tatkala tidak mendengar jawaban setelah menunggu beberapa saat.
Dalbert menatap heran Bosnya sebelum kemudian netranya bergulir ke arah Maylin yang juga tengah menatapnya.
Seakan-akan mengerti arti tatapan itu, Maylin kemudian berdalih akan ke toilet seraya menaruh pistol di genggaman tangannya serta pelindung mata dan telinga ke meja.
“Seharusnya Tuan tidak boleh menuruti rasa penasaran wanita itu. Tempat ini adalah markas kita.” Dalbert menyatakan rasa ketidaksukaannya atas kehadiran Maylin.
“Maylin bisa menjaga rahasia. Kau tenang saja,” ucap Leonel sembari menepuk pundak Dalbert.
Dalbert hanya bergeming menatap Leonel. Sesungguhnya, ia dapat melihat perlakuan Bosnya kepada Maylin berbeda dengan wanita lainnya. Namun, Dalbert yang selalu berhati-hati dan tidak mudah percaya pada orang lain, kehadiran Maylin membuatnya waspada.
“Tadi kau berkata ada informasi baru tentang Crusio. Cepat katakan sebelum Maylin kembali! Bukankah kau tidak mau pembicaraan kita ini didengar olehnya?"
Pikiran Dalbert seketika terpotong dengan mendengar suara yang berasal dari Bosnya. “Beberapa waktu belakangan ini, Crusio ternyata berada di kota ini, Tuan,” lapornya kemudian.
Sepasang netra Leonel membulat sempurna. Musuh mereka berada begitu dekat, tetapi mereka tidak menyadarinya? Sial! Leonel tak akan membuang waktu lagi. Ini adalah kesempatan yang baik untuk menghabisi mereka, pembunuh sepupunya.
“Hubungi spy kita—“ ucapan Leonel terpotong.
“Dia telah tewas dibunuh, Tuan. Sepertinya orang itu tahu ada spy yang mengikutinya. Radar keberadaan spy yang kita kirim, menyala merah tepat setelah dia mengirim pesan kepada kita.”
Lagi-lagi Leonel dibuat terkejut akan laporan Dalbert. Kedua tangannya mengepal erat seiring dengan perubahan raut wajahnya menjadi merah. Dadanya bergemuruh menahan emosi yang siap naik ke permukaan. “Isi pesannya apa?”
Ketika sepasang netra Dalbert tengah menebarkan pandangannya, ia menangkap pintu dalam keadaan terbuka sedikit. “Orang itu akan berangkat ke Britania dalam waktu dekat ini,” ucapnya tanpa mengalihkan pandangannya.
“Britania? Inggris?” Kini Leonel tidak dapat mengontrol emosinya yang meledak. “Berengsek! Kenapa setelah kita tahu jejaknya, bedebah itu malah akan kembali menghilang dari hadapan kita? Kau tahu melacak keberadaan mereka begitu sulit!”
Netra Leonel bergulir ke arah pistol yang tergeletak di meja, lantas mengambil benda tersebut dan membidik ke splatter targets human silhouette tepat mengenai bagian dahi kepala. Dadanya bergerak naik turun dengan cepat seiring napas yang semakin memburu akibat amarah yang sedang bergejolak di dalam tubuhnya.
“Kirim beberapa anak buah kita ke Britania! Jangan kembali sebelum mendapatkan informasi tentang Crusio atau mereka harus mempersembahkan kepalanya sebagai gantinya!” perintah Leonel.
“Baik, Tuan.”
Di balik pintu, Maylin yang tengah berdiri mematung seketika merinding tatkala mendengar nada suara Leonel yang begitu tajam dan mendesis penuh kemarahan. Ia bergegas menuju toilet sebelum ketahuan dirinya menguping pembicaraan mereka.
Siapa itu Crusio? Apakah musuh Leonel? Britania? Bukankah aku juga akan pergi ke salah satu kota di sana? Batinnya.
“Kau lihat sendiri, ‘kan? Dia tidak segera lari setelah mendengar suara letusan pistol. Tidakkah menurutmu wanita itu sangat menarik?” Leonel terkekeh geli sembari meletakkan kembali senjata api di tangannya ke meja.
Leonel tahu, tadi Maylin berada di balik pintu menguping. Ternyata bukan hanya Dalbert saja yang menyadari hal itu.
“Saya hanya khawatir kehadiran wanita itu menjadi kelemahannya Tuan,” ucap Dalbert dengan jujur.
“Kau tidak perlu khawatir, Dalbert. Aku tidak mungkin jatuh cinta,” gumam Leonel seraya meyakinkan dirinya sendiri. “Sekarang kau bisa lanjutkan isi pesan dari spy kita itu.”
“Orang yang tengah berada di kota ini bukan pemimpin Crusio, melainkan underbossnya Crusio. Apakah Tuan masih ingat dua tahun yang lalu ada sebuah virus menyerang sistem kita?”
Leonel mengeluarkan sebungkus rokok. Mengambil sebatang dan menaruh rokok itu di mulutnya, lalu membakarnya. “Ya, aku ingat. Memang apa hubungannya?” ucap Leonel berbalik tanya sembari menghembuskan asap rokok ke udara.
“Ternyata orang itu 'lah yang berusaha masuk ke dalam sistem data kita dengan bercirikan seperti virus untuk mengelabui kita.”
Leonel menautkan kedua alisnya heran. “Apa yang dia cari di database?”
“Orang itu sedang mencari tahu tentang Frans Pramanta dan Restin Banara.”
Mendengar Dalbert menyebutkan nama kedua orang tua Maylin Pramanta, sontak membuat kedua netra Leonel membelalak. “What?”
Taksi yang ditumpang Maylin berhenti di depan coffe shop yang begitu ramai oleh pengunjung sebab sekarang adalah jam istirahat pegawai kantor. Setelah membayar ongkos, ia bergegas turun.Maylin menebarkan pandangan matanya ke sekeliling bagian outdoor dan akhirnya menangkap sosok wanita dalam usia tiga puluh tahun dengan kecantikan yang memesona bagi siapa saja yang melihatnya, tengah duduk seraya memainkan ponselnya. Ia mendengus kencang. Sepasang netranya memandang wanita itu dengan penuh kebencian.Konflik yang terjadi antara kedua orang tua mereka, membuatnya mendapatkan perlakuan tidak adil. Mengapa rahasia mereka tidak dibawa saja sampai ajal datang menjemput? Dengan begitu, ia tak akan tahu rahasia dibalik keluarganya yang tidak utuh, juga tidak perlu hidup dengan menaruh dendam. Sungguh Tuhan tak adil padanya.Maylin menarik kursi, lantas duduk di atasnya dengan posisi tegak dan punggung yang bersandar pada sandaran kursi. Dagunya di angkat tinggi-tinggi agar terlihat angkuh.
Jantung Maylin kini berdegup kencang. Tangannya tampak gemetar dan mengeluarkan keringat dingin. Ia merasakan kegugupan yang luar biasa ketika mobil yang ditumpanginya bergerak dengan kecepatan tinggi. Sejak masuk ke dalam mobil, Maylin dan Elian belum terlibat obrolan satu sama lain. Maylin tidak berani membuka mulutnya tatkala melihat amarah yang meluap-luap di balik manik abu-abu milik Elian. Tampak dengan jelas rahang pria itu mengetat serta cengkeraman pada setir mobilnya yang semakin mengerat seiring kakinya menginjak pedal gas sehingga mobil melaju lebih cepat. Maylin hendak bertanya ke mana pria itu akan membawanya. Namun, bibirnya terlalu kaku untuk berucap. Setahunya, jalan yang tengah dilalui Elian bukanlah menuju kantor. Tubuh Maylin berulang kali mendapatkan gaya dorong yang lebih besar ketika mobil sedang berbelok dalam kecepatan yang tinggi. Bahkan, Elian tidak menurunkan kecepatan mobil pada saat akan menyalip mobil lain. Ini adalah pertama kalinya Maylin melihat E
Suara derap langkah terdengar keras, pertanda pemilik kaki tengah terburu-buru. Kaki pria itu berhenti tepat di depan sebuah pintu. Tanpa mengetuknya, ia segera memutar gagang pintu dan berjalan masuk ke dalam ruangan.“Apa maksudmu tadi berkata pembunuh sepupumu tengah mengincar keluarga istriku?” tanya pria itu tanpa berbasa-basi.“Selamat siang, Tuan Deonartus Surbakti,” Dalbert Gene menyapa Bos Tuannya sembari membungkukkan tubuhnya dengan sopan.Kepala Deon mengangguk membalas sapaan Dalbert. Ia langsung membatalkan pertemuan penting bersama kolega bisnisnya ketika mendapat kabar penting dari sahabatnya, Leonel, dan bergegas datang ke markas Eagle.Leonel memberi kode kepada Dalbert untuk menjelaskan semuanya.“Beberapa waktu yang lalu, ada sebuah virus mencoba menyerang sistem database kita, Tuan Deonartus. Karena kita menggunakan pelindung yang kuat, virus itu tidak berhasil menginfeksi dan merusak jaringan sehingga data-data penting di sistem kita tidak megalami kerusakan. Pad
“Kau sudah mengutus anak buah kita untuk menjaga Maylin selama di sana?” bisik Leonel pada Dalbert. Ia tidak mau sahabatnya mendengar ucapannya tadi, lalu memberinya petuah yang sedikit panjang.Semenjak Deon menjadi kakak ipar Maylin, sahabatnya itu menjadi sangat protektif dalam menjaga satu-satunya adik ipar. Terlebih setelah Deon mengetahui tentang perjodohan yang diatur oleh kedua orang tua Leonel, membuat Deon acapkali memberi peringatan padanya untuk menjauhi adik iparnya itu.“Semua telah diatur, Tuan,” jawab Dalbert.“Bagu—” ucapan Leonel terhenti tatkala Deon berdiri di hadapannya dengan ponsel terulur ke arahnya. Leonel mengernyit menatap sahabatnya.“Aku tidak percaya sekretaris yang kupekerjakan malah mengkhianatiku dengan memberi laporan kepada Rayla bahwa aku membatalkan pertemuan penting dan entah pergi ke mana. Sekarang Rayla mau berbicara denganmu. Dia tidak percaya kalau aku sedang bersamamu.” Suara Deon terdengar frustrasi saat mengucapkannya.Gelak tawa keras dari
Britania, London Setelah menghabiskan waktu selama belasan jam, akhirnya terdengar announcement dari kapten pilot menyatakan bahwa pesawat telah memasuki area Britania dan sebentar lagi akan melakukan landing di salah satu bandara terbesar dan tersibuk di Inggris. Setelah pesawat berhasil melakukan pendaratan dengan aman dan lancar, Maylin dan Elian berderap keluar dari pesawat. Di depan pintu gate, tampak beberapa pria berjas hitam dan berkacamata gelap tengah berbaris rapi. Maylin mengernyit tatkala melihat beberapa pria berjas hitam itu membungkuk memberi hormat kepada Elian. Rentetan pertanyaan langsung muncul dalam kepalanya. Apakah mereka adalah Bodyguard-nya Elian? Apa tidak berlebihan dikawal Bodyguard sebanyak ini? Batinnya. “Sir Carter telah menunggu Anda di kediamannya. Kami sudah menyiapkan dua buah mobil, Sir,” lapor seorang Pengawal yang berdiri di sebelah kanan Elian, berbicara dalam bahasa Italia sehingga Maylin tidak mengerti sama sekali. Helaan napas lelah terde
Wangi maskulin yang kental dengan aroma spicy yang segar dari parfum Giorgio armani, menguar hingga ke sekeliling ruangan. Tanpa perlu menoleh, Maylin tahu siapakah pemilik parfum itu. Keakraban mereka dalam beberapa tahun belakangan ini, membuat Maylin mulai tahu kebiasaan Elian. Dua tahun lebih memang bukan kurun waktu yang panjang. Namun, cukup untuk saling mengenal satu sama lain. Kedua alis Elian bertaut tatkala melihat Maylin tengah memasukkan potongan bacon ke dalam mulutnya. “Mengapa tidak menungguku makan bersama?” “Dari sekian banyak tugas-tugas Sekretaris, apakah sarapan pagi bersama Bos juga termasuk di dalamnya?” Maylin bertanya balik tanpa mengalihkan pandangan pada makanan yang tersaji di depan matanya. Elian menggeser kursi, lantas duduk di sana dan memulai sarapannya. “Mulai hari ini, membuatkan sarapan pagi, makan siang dan makan malam untuk kita santap bersama adalah tugasmu. Hanya pada saat hari kerja saja, kau cukup siapkan sarapan pagi.” Maylin tidak menginda
“Apa yang baru saja kau katakan?” Tangan Elian terhenti di udara tatkala hendak memasukkan potongan roti ke dalam mulutnya.“Bantu aku cari kontrakan dengan harga sesuai kemampuanku,” ucap Maylin dengan suara lebih keras agar kali ini Elian dapat mendengar lebih jelas.Sesuai atas perintah pria itu, Maylin menyiapkan sarapan pagi untuk mereka berdua. Hari ini adalah hari pertama dirinya akan mulai bekerja di kantor utama Carter Corporation.“Kenapa?”“Kenapa?” Maylin berbalik tanya sembari mendelik kasar, menatap Elian yang juga tengah memandangnya dengan tatapan heran. Pria itu mendadak bodoh atau merendahkan dirinya?“Tentu saja karena gajiku tidak cukup menyewa sebuah flat. Biaya hidup di sini pasti mahal,” sinis Maylin.“Bukan itu yang kutanyakan. Maksudku, untuk apa mengontrak kalau tinggal di penthouse ini terasa jauh lebih nyaman?”“Apakah kau lupa ingatan, Mr. Elian? Seorang pria dan wanita yang tidak memiliki hubungan apa-apa selain berteman, tidak baik tinggal seatap,” tukas
Sebuah mobil sedan putih berhenti di depan gedung pencakar langit yang terletak di perkotaan London. Gedung yang sangat tinggi dengan memiliki 180 meter dan berlantai 40 sehingga menjadikannya gedung tertinggi kedua di perkotaan London.Elian dan Maylin segera turun dari mobil setelah Pengawal membukakan pintu mobil untuk mereka. Maylin menatap takjub gedung tinggi di hadapannya.Penampilan fisik gedung yang menawan mampu menjadi faktor penentu kesuksesan dalam suatu perusahaan. Kini Maylin mengerti bahwa perusahaan Carter Corporation termasuk salah satu perusahaan terbesar di negara ini.“Good Morning, Sir.” Satu per satu pegawai yang berpapasan dengan Elian, menyapa pria itu dengan sopan.Elian melangkah perlahan dengan acuh tak acuh melewati pegawainya begitu saja. Wajahnya datar tanpa ekspresi serta tatapan tajam dari sepasang netranya.Maylin memperhatikan sikap Elian yang sungguh berbanding terbalik saat pria itu masih berada di kotanya. Perubahan sikap itu mengundang banyak tan
“Aku tidak menuntut banyak penjelasan saat tahu kalau kau sudah mengetahui dari Vlora, rahasia yang selama ini kusimpan rapat-rapat, lalu perubahan sikapmu setelah kita berada di kota ini ….” Maylin menjeda sejenak. Sepasang netranya menatap Elian penuh menyelisik, menunggu reaksi dari pria blasteran itu. “Bahkan, tanpa sepengetahuanku kau menutupi identitas keluargaku agar tidak diketahui Valo,” imbuhnya.Melihat ekspresi kedua mata abu-abu itu tersentak kaget, Maylin menemukan jawabannya. “Kau begitu misterius, Elian. Namun, aku tak akan protes karena itu adalah privasimu. Jadi, aku harap kau pun juga bisa menghargai privasiku.”Keheningan memenuhi mereka, kemudian melanjutkan sarapan dalam diam. Sampai ketika Maylin bangun dari kursinya dan membawa peralatan makan hendak mencucinya, suara Elian memecahkan kesunyian di antara mereka.“Semua yang kulakukan, terlepas dari baik atau buruk ….”Maylin memutar tubuhnya menghadap Elian. Kedua mata mereka kini saling bertemu. Sepasang iris
[Yeah, Deon menyuruhku menghapus semua data kalian untuk berjaga-jaga bila seseorang ingin mencari tahu tentang Frans Pramanta.]“Kalian yang dimaksud apakah mama, Rayla, juga tante Fifi?” Maylin mendelik, terkejut mendengar jawaban Leonel.[Seluruh keluargamu, sweety, termasuk Frans Pramanta. Ada apa? Dari mana kau mengetahuinya?]Serentetan pertanyaan itu menguap begitu saja dari bibir Leonel.“Kalau begitu, apakah diam-diam kak Leonel juga meretas database yang ada di dalam sistem perusahaan Elian, menghapus nama-nama keluarga yang kucantumkan di sana?” Alih-alih menjawab, Maylin balik bertanya. Tidak menutup kemungkinan Leonel melakukannya sebab pria itu memang ahli di bidang tersebut.Tidak ada suara jawaban dari pria itu. Maylin menjauhkan ponsel dari telinganya dan menatap layarnya sejenak mencoba memastikan. Masih tersambung.Maylin menempelkan kembali ponsel di telinga kanannya. “Halo? Kak Leo? Apakah kau masih berada di sana?”[Bukan aku.]“Apa maksudnya?” Dahi Maylin menger
“Jawaban seperti apa yang ingin kau dengar?” Elian balik bertanya dengan datar, “Kak Sio.”“Kau pasti memiliki alasan untuk melakukannya. Aku ingin tahu apa alasan itu.” Sio tersenyum tipis.Suasana menjadi hening beberapa saat. Elian hanya bergeming menatap Sio, menunggu pria itu memutuskan hukuman apa yang harus diterimanya sebagai konsekuensi melanggar peraturan yang telah ditetapkan oleh organisasi mereka.“Wanita itu … apakah dia yang menjadi alasanmu mengenyahkan bodyguard-mu sendiri?”Pertanyaan itu sukses membuat ekspresi wajah Elian berubah menjadi tegang. Hanya sesaat, karena sepersekian detik kemudian, ia kembali memasang wajah datarnya.Sio menyeringai menatap Elian. “Apakah uncle sudah tahu?”“Tidak,” jawab Elian singkat. Bagaimanapun juga, ia harus menyelamatkan posisi ayahnya yang telah mencoba menyembunyikan segala perbuatannya.Sio menghembuskan kembali asap rokoknya ke udara. “Kau tahu kalau aku memberikan kepercayaan penuh padamu, bukan? Terus terang aku sangat kece
Mendengar satu nama itu disebut, berhasil melenyapkan ketenangan yang baru saja Maylin dapatkan dari efek alkohol itu. Seketika tubuhnya menjadi kaku. Jantungnya seolah berhenti berdetak. “Kedua orang tuaku ….” Maylin berhenti sejenak.Padahal, ia telah mengubur dalam-dalam semua kenangan yang mengingatkannya pada kebahagiaan sekaligus kepedihan ke dalam lubuk hatinya. Namun, hanya sepersekian detik buih-buih kenangan yang telah lama terpendam itu mendadak berhamburan.Kepalanya tertunduk dalam, berusaha keras menahan rasa sesak serta amarah di dadanya dengan mengepal erat kedua tangannya di bawah meja hingga kuku-kukunya menusuk telapak tangannya.“Mereka membuangku ketika usiaku sepuluh tahun,” ucap Maylin melanjutkan. Kebohongan itu keluar dari mulutnya begitu saja.Kau tidak sepenuhnya berbohong, Lin. Bajingan itu memang meninggalkan kalian terhitung sudah empat belas tahun. Sebuah suara bergema di dalam benaknya.“Bolehkah aku tahu, apa yang telah terjadi?” tanya Valo.Ada keseri
Di depan lorong satu-satunya akses menuju ruang restoran, seorang wanita dengan rambut bergelombang cokelat dan seorang petugas terlihat tengah saling melempar argumen sementara seorang pria lain dengan balutan setelan jas biru dongker-nya berdiri di sebelah wanita itu.Ia hanya diam seraya mendengarkan perdebatan kedua orang dewasa itu yang terus berlanjut. Tidak peduli orang-orang yang berlalu lalang, menoleh ke arah mereka, sebelum kemudian memandang dirinya dengan tatapan memuja.Penampilannya dengan setelan resmi, membungkus tubuhnya yang sempurna. Wajah tampan maskulin, garis rahang yang tegas adalah perpaduan sempurna yang diidam-idamkan seluruh kaum adam di seluruh dunia sekaligus menggoda kaum hawa di saat yang bersamaan.Seolah Tuhan sedang bahagia ketika menciptakannya. Tampan. Kaya. Benar-benar godaan yang terlalu sulit untuk tidak menaruh perhatian, terkecuali Maylin Pramanta. Hanya wanita itu yang tidak terpesona pada seorang Valo Wren Osborn.“Apakah Anda tidak mengerti
Entah sudah berapa lama, Valo masih belum juga kembali. Pria itu hanya menyuruhnya agar menunggu di dalam mobil hingga akhirnya Maylin merasa bosan dan mengambil ponsel untuk mengusir kejenuhan tersebut. Dilihatnya hasil foto yang ada di kameranya seraya senyum-senyum sendiri.Ia kemudian mengirimkan beberapa foto kepada Rayla, bermaksud memamerkan kepada sang kakak. Tidak lama setelah foto terkirim, pesan masuk pun berbunyi.[Elian membawamu ke tempat lokasi syuting film legendaris Robin Hood dan Harry Potter? Kau sangat beruntung, adikku! Akan tetapi, kau menjadi sangat amat menyebalkan! Aku juga ingin berkunjung ke sana!]Maylin terkikik membaca balasan dari Rayla, lalu menggerakkan jemarinya di atas layar ponsel, mengetik sederet kalimat.[Mintalah pada kak Deon. Suami tercintamu itu tanpa ragu-ragu pasti mengabulkan keinginanmu. By the way, bukan Elian yang membawaku pergi, tetapi teman baruku.]Jemarinya berhenti bergerak untuk sejenak. Membaca sekali lagi pesannya sebelum menek
Tidak berapa lama kemudian, sepasang netranya membelalak. “No way! Tiket broomstick training! Seriously?” pekik Maylin dengan nada tidak percaya.“Tiket ini sangat terbatas. Aku mendapatkannya dengan susah payah karena diprioritaskan untuk pengunjung berusia 6 hingga 16 tahun. Jika kau mau berterima kasih padaku, cukup berhenti bersungut padaku. Deal?”Maylin melipat kedua tangannya. “Kau sendiri yang memulainya. Sudah kuperingatkan, aku bukan wanita murahan seperti wanita-wanita yang pernah bersamamu.”“Baiklah, aku mengaku bersalah. Maafkan aku, okay?” ujar Valo sembari mengulas senyum bersalah. Sedetik kemudian, dirinya terkejut setelah menyadari kalimat apa yang baru saja ia lontarkan. Kalimat itu meluncur begitu saja, tanpa direncanakan. Meskipun begitu ia tetap ingin terlihat tenang di hadapan wanita itu.Would somebody mind telling me, what the bloody hell’s going on? Valo memaki dalam hatinya.Maylin menghela napas pasrah. “All right! Aku tidak mau merusak suasana hatiku yang
“Kembali? Absolutely is no!" jawab Maylin sembari bersedekap. "Apakah kau pernah mendengar sebuah kereta akan mengemudikan balik ke stasiun yang telah mereka lewati hanya untuk mengangkut penumpang yang telat? Begitu pun dalam kamus hidupku. Tak akan kembali ke titik awal setelah melewatinya. Jika kau takut, pergilah. Aku bisa melanjutkannya sendiri. Tantangan ini sangat menyenangankan!” imbuhnya penuh semangat.Namun, baru beberapa langkah tubuhnya kembali menabrak dinding kaca tersebut. Tak hanya sekali—dua kali, hingga emosi wanita itu mulai terlihat dengan mengumpat setiap kali dirinya tertabrak.“Berhenti menertawaiku, Jerk!” Maylin menggeram kesal lantaran Valo tergelak kencang melihatnya berulang kali gagal mencari jalan di saat bersamaan tubuhnya menabrak kaca.“Perlu bantuan?” ujar Valo di tengah-tengah tawanya.Akan tetapi, sifat keras kepala yang begitu mendarah daging dalam diri wanita itu kontan menolak begitu saja. Ia ingin dengan caranya sendiri menaklukkan tantangan te
Valo dan Maylin segera turun dari jet, lalu di bawah jet telah ditunggu oleh beberapa pria berpakaian serba hitam dan juga sebuah limousine siap mengantar mereka.“Sama seperti Elian. Pengusaha terkenal seperti kami memang membutuhkan jasa bodyguard untuk melindungi kami dari ancaman,” ujar Valo menjelaskan ketika mendapati tatapan Maylin mengarah ke pengawalnya.Maylin bersikap tak acuh, lantas masuk ke dalam limousine tanpa sepatah kata. Tidak berselang lama, mobil perlahan bergerak meninggalkan parkiran pesawat. Sepanjang perjalanan Maylin tidak berhenti menatap pemandangan dari luar jendela mobil.Sekelilingnya didominasi daun-daun beragam warna yang melekat di dahan-dahan pohon, juga rerumputan hijau dan sinar matahari yang memancar serta awan yang berlapis hingga terlihat seperti bulu halus menjadi perpaduan yang indah hingga mencuri perhatian bagi siapa saja yang melewati sekitarnya. Dan juga sebuah kastil yang cukup megah dan terkenal, yakni Bamburg Castle. Beberapa kali Mayli