Seorang wanita berparas cantik, berbalut dress hitam fit body dengan aksen sheer dan berpotongan model strapless, dengan tergesa-gesa melangkah mendekati sesosok pria yang sedang duduk di antara pengunjung restoran. Meskipun penampilan pria itu terlihat kasual, tetap saja tidak mengurangi ketampanan yang dimilikinya.
“Sudah lama menunggu?” tanya Vlora setelah mendaratkan pantat dengan sempurna di atas kursi depan Elian seraya tersenyum simpul.
Elian mengulurkan segelas smoothies blueberry ke arah Vlora yang diterima oleh wanita itu, lalu diteguknya minuman tersebut. Bertahun-tahun mengenal Vlora, ia paham betul dengan kebiasaan apa saja yang dikonsumsi wanita itu untuk menjaga berat badannya tetap ideal.
“Tidak terlalu lama hingga aku sudah menghabiskan secangkir frappuccino dan ini adalah cangkir kedua,” kelakar Elian yang disambut tawa renyah oleh Vlora.
“Anyway, terima kasih atas minumannya. Kau sangat memahami kebiasaan dan kesukaanku, Honey.” Sudah menjadi kebiasaan Vlora memanggil Elian dengan sebutan panggilan sayang sebab pria itu sendiri tidak pernah sekali pun menyatakan keberatan.
Sudah banyak pria yang tidak terhitung jumlahnya, mencoba menarik perhatian Vlora. Sayangnya, ia sudah menambatkan hatinya kepada Elian Grayson Carter. Ia langsung jatuh cinta kepada pria itu. Cinta pada pandangan pertama.
Pertemuan pertama mereka masih melekat dalam ingatannya. Ia dan Elian sama-sama mengambil kuliah Cambridge Judge Business School, di University of Cambridge. Bermula dari perkenalan yang tidak disengaja.
Ketika kaki Vlora melangkah dengan cepat melewati koridor kampus seraya membawa beberapa lembar kertas di tangannya, embusan angin kencang yang datang secara mendadak membuat kertas itu terbang dan berserakan di lantai. Elian yang kebetulan tengah lewat di sana, turut membantu Vlora memunguti satu per satu kertas-kertas tersebut.
Vlora ingat bagaimana ekspresi dingin Elian ketika mereka kali pertama bicara. Namun, baginya manik abu-abu milik Elian terlihat begitu memukau. Pesona mata itu seakan menghipnotisnya hingga hatinya berdesir pelan. Sejak pertemuan itulah, Vlora selalu mencari alasan dan kesempatan untuk mendekati Elian.
Kemudian, baru diketahui bahwa ayah Elian dan kakek Vlora ternyata adalah teman lama. Vlora pun semakin yakin Elian memang ditakdirkan untuknya. Oleh karena itu, ia tidak menyerah begitu saja, meski ia tahu ada wanita lain di hati pria itu. Vlora berharap suatu hari nanti Elian akan luluh atas ketulusan hatinya.
Elian sendiri bukannya tidak menyadari akan perasaan Vlora untuknya. Hanya saja ia tidak bisa membalas perasaan wanita itu karena hatinya telah dicuri oleh wanita terlarang untuknya, wanita yang tidak boleh ia cintai.
“Aku dengar kau akan kembali ke London.” Vlora membuka pembicaraan. Angin yang berembus pelan, membuat rambut bergelombangnya yang dibiarkan tergerai, bergerak menutupi wajahnya dari samping. Ia pun menyisipkan helaian rambut ke belakang telinganya.
Kepala Elian bergerak mengangguk. “Daddy memintaku segera kembali mengurus kantor di sana sementara beliau akan melakukan perjalanan bisnis ke beberapa negara.”
“Kalau begitu, kita akan berpisah dalam jangka waktu yang lama. Apa kau tak akan merindukanku nantinya, Elian?” Suara Vlora mulai bergetar ketika mengajukan pertanyaan itu seraya matanya menatap Elian sendu.
“Tentu saja, Vlora. Kau adalah sahabat terbaik yang kumiliki.”
“Aku ingin lebih dari sekadar sahabat.” Untuk kesekian kalinya Vlora menyatakan harapannya tersebut kepada Elian. Namun, jawaban yang diberikan Elian tetap sama.
“Aku tidak mau menyakiti hatimu, Vlora. Aku sudah mengatakan kepada daddy dan om Frans kalau aku tidak bisa memenuhi harapan mereka untuk menikahimu,” terang Elian sembari menyentuh jemari Vlora yang lentik.
Butiran bening menitik di pipi Vlora. Ia sungguh tidak mengerti, apa lagi yang kurang dari dirinya? Ia cantik, pintar juga berasal dari keluarga terpandang … seandainya saja tidak ada aib itu. Sayangnya, tidak ada manusia di dunia ini yang luput dari kesalahan dan kekhilafan. Jika orang-orang tahu aib tersebut, niscaya mereka semua akan membenci dan merendahkan keluarganya.
“Wanita seperti apa yang kau sukai, Elian? Katakan padaku. Aku akan mengubah diriku sesuai keinginanmu.” Nada putus asa mewarnai suara Vlora tatkala mengucapkannya.
Pertanyaan itu mampu membuat Elian seketika dihujani perasaan bersalah. Namun, ia memang tidak dapat memaksakan perasaannya. Jika ia menerima Vlora sementara hatinya milik wanita lain, bukan kah sama saja ia akan melukai hati Vlora semakin dalam?
“Bukan persoalan wanita seperti apa yang kusukai, melainkan tentang hatiku yang hanya menginginkan dirinya seorang. Dan kau bukan dia.”
Air mata meluncur turun bersama pertanyaan yang keluar dari mulut Vlora, “Apakah Maylin Pramanta wanita yang kau cintai, Elian?”
Elian terdiam, tidak segera menjawab.
“Apakah kau berpikir wanita itu tulus mencintaimu?”
Helaan napas keluar dari mulut Elian. Tentu saja dirinya tahu bahwa Maylin sampai saat ini hanya menganggapnya sebagai sahabat. Posisi adiknya di hati Maylin sulit digantikan.
Namun, itu bukan sesuatu yang ingin dibicarakannya saat ini. “Ada suatu hal yang mau kutanyakan padamu sebelum aku pergi, Vlora.”
“Kau ingin bertanya permasalahan apa antara diriku dengan Pramanta, bukan?” sambil menghapus sisa air mata dengan jemarinya, Vlora melayangkan pertanyaan balik pada Elian.
Elian tampak terkejut karena Vlora dapat menebaknya, tetapi hanya sesaat. Kemudian ia memasang wajah serius pada Vlora. “Tolong ceritakan padaku, sebenarnya rahasia apa yang kalian sembunyikan?”
“Apakah kau akan berubah pikiran setelah tahu apa alasan sekretarismu itu bermaksud merebutmu dariku?”
“Aku diam-diam telah mencintainya selama sebelas tahun, Vlora. Dan perasaan ini semakin kuat seiring kebersamaan yang membuat kami semakin lebih dekat.”
Pernyataan Elian kontan membuat Vlora menertawakan kebodohannya yang selalu berharap suatu hari nanti perasaannya akan berbalas sekaligus menangisi dirinya yang telah kalah.
Kenyataannya adalah tanpa Maylin merebut Elian pun, pria itu terlebih dahulu jatuh cinta kepada adik tirinya. “Semuanya bermula dari kesalahan orang tua kami ….”
Kemudian Vlora menceritakan sebuah rahasia yang selama ini disembunyikan rapat-rapat oleh keluarganya.
*****
Elian berjalan masuk ke dalam apartemennya dan melempar kunci mobil di meja, lalu duduk berselonjor di sofa ruang tamu. Helaan napas keluar dari bibirnya.
Kedua matanya terpejam, membiarkan ingatan dalam kepalanya tentang cerita Vlora tadi kembali terputar. Karena itukah Rayla, Maylin dan Auristela bertengkar beberapa tahun yang lalu? Pertengkaran yang hampir saja membuat kandungan Rayla keguguran.
Apa benar Maylin bersedia menjadi sekretarisnya hanya untuk membalaskan dendam seperti yang diucapkan Vlora tadi? Rasanya Elian tidak dapat mempercayai semua itu. Maylin tidak mungkin begitu tega menyakitinya.
Lalu apa alasan Maylin bersedia ikut bersamanya pindah ke London? Ia memang tidak menanyakannya kepada wanita itu sebab perasaan gembira yang begitu saja membuncah di hatinya, membuatnya berpikir alasan itu tidak lagi penting baginya.
Namun, kini ada suatu perasaan yang mengganggu dalam hatinya. Entah mengapa bayangan wajah seseorang yang sangat dikenalnya, melintas dalam pikirannya. Apakah mungkin …
Suara dering ponsel menginterupsi pikirannya. Elian mengambil ponsel dari saku celana, kemudian mengangkatnya setelah melihat tampilan sebuah nama. “Ada apa?”
[ …. ]
Sebuah jawaban dari seorang pria terdengar dari seberang sana, membuat senyum tipis penuh makna tersungging dari bibir Elian.
“Jangan biarkan mereka kabur!”
[ …. ]
Sekali lagi, suara dari seberang telepon kembali terdengar.
“Minggu depan aku akan kembali ke sana bersama sekretarisku. Siapkan pakaian untuknya sesuai musim di sana,” perintah Elian lagi sebelum mengakhiri sambungan telepon.
Elian menarik napas dalam-dalam, lalu berjalan menuju kamarnya. Ia tidak ingin membayangkan hal-hal yang tak pasti. Meskipun orang lain menganggap diri Maylin buruk, Elian tetap akan menjadi tempat sandaran yang terbaik untuk wanita itu. Ia akan selalu berada di sisi Maylin hingga maut memisahkan mereka.
“Pertama, genggam grip pistol dengan weapon hand secara penuh dan konsisten. Genggam dengan erat karena genggaman tersebut akan memberikan resistensi ke arah weapon hand saat pistol meletus. Jangan lupa, finger off. Telunjuk mengarah ke depan sejajar dengan laras. Saat kau sudah siap menembak, jari telunjuk weapon hand siap menekan pelatuk.” “Seperti ini?” Maylin mengikuti instruksi dari Leonel tentang cara menggenggam pistol yang efektif. Leonel memperbaiki posisi telapak tangan Maylin pada bagian weapon hand. “Tidak boleh ada jarak antara beaver tail dan selaput antara jempol dan telunjuk.” Ketika kulitnya bersentuhan dengan kulit Maylin, ia merasakan sensasi jantung yang berdetak kuat, tidak beraturan secara tiba-tiba. Shit! Ia belum pernah merasakan perasaan seperti ini tatkala berdekatan dengan wanita lainnya. “Prinsip ini berguna untuk memberikan tahanan saat ada recoil ke belakang dan mengarahkan recoil agar moncong tetap stabil menghadap ke depan,” imbuh Leonel sembari beru
Taksi yang ditumpang Maylin berhenti di depan coffe shop yang begitu ramai oleh pengunjung sebab sekarang adalah jam istirahat pegawai kantor. Setelah membayar ongkos, ia bergegas turun.Maylin menebarkan pandangan matanya ke sekeliling bagian outdoor dan akhirnya menangkap sosok wanita dalam usia tiga puluh tahun dengan kecantikan yang memesona bagi siapa saja yang melihatnya, tengah duduk seraya memainkan ponselnya. Ia mendengus kencang. Sepasang netranya memandang wanita itu dengan penuh kebencian.Konflik yang terjadi antara kedua orang tua mereka, membuatnya mendapatkan perlakuan tidak adil. Mengapa rahasia mereka tidak dibawa saja sampai ajal datang menjemput? Dengan begitu, ia tak akan tahu rahasia dibalik keluarganya yang tidak utuh, juga tidak perlu hidup dengan menaruh dendam. Sungguh Tuhan tak adil padanya.Maylin menarik kursi, lantas duduk di atasnya dengan posisi tegak dan punggung yang bersandar pada sandaran kursi. Dagunya di angkat tinggi-tinggi agar terlihat angkuh.
Jantung Maylin kini berdegup kencang. Tangannya tampak gemetar dan mengeluarkan keringat dingin. Ia merasakan kegugupan yang luar biasa ketika mobil yang ditumpanginya bergerak dengan kecepatan tinggi. Sejak masuk ke dalam mobil, Maylin dan Elian belum terlibat obrolan satu sama lain. Maylin tidak berani membuka mulutnya tatkala melihat amarah yang meluap-luap di balik manik abu-abu milik Elian. Tampak dengan jelas rahang pria itu mengetat serta cengkeraman pada setir mobilnya yang semakin mengerat seiring kakinya menginjak pedal gas sehingga mobil melaju lebih cepat. Maylin hendak bertanya ke mana pria itu akan membawanya. Namun, bibirnya terlalu kaku untuk berucap. Setahunya, jalan yang tengah dilalui Elian bukanlah menuju kantor. Tubuh Maylin berulang kali mendapatkan gaya dorong yang lebih besar ketika mobil sedang berbelok dalam kecepatan yang tinggi. Bahkan, Elian tidak menurunkan kecepatan mobil pada saat akan menyalip mobil lain. Ini adalah pertama kalinya Maylin melihat E
Suara derap langkah terdengar keras, pertanda pemilik kaki tengah terburu-buru. Kaki pria itu berhenti tepat di depan sebuah pintu. Tanpa mengetuknya, ia segera memutar gagang pintu dan berjalan masuk ke dalam ruangan.“Apa maksudmu tadi berkata pembunuh sepupumu tengah mengincar keluarga istriku?” tanya pria itu tanpa berbasa-basi.“Selamat siang, Tuan Deonartus Surbakti,” Dalbert Gene menyapa Bos Tuannya sembari membungkukkan tubuhnya dengan sopan.Kepala Deon mengangguk membalas sapaan Dalbert. Ia langsung membatalkan pertemuan penting bersama kolega bisnisnya ketika mendapat kabar penting dari sahabatnya, Leonel, dan bergegas datang ke markas Eagle.Leonel memberi kode kepada Dalbert untuk menjelaskan semuanya.“Beberapa waktu yang lalu, ada sebuah virus mencoba menyerang sistem database kita, Tuan Deonartus. Karena kita menggunakan pelindung yang kuat, virus itu tidak berhasil menginfeksi dan merusak jaringan sehingga data-data penting di sistem kita tidak megalami kerusakan. Pad
“Kau sudah mengutus anak buah kita untuk menjaga Maylin selama di sana?” bisik Leonel pada Dalbert. Ia tidak mau sahabatnya mendengar ucapannya tadi, lalu memberinya petuah yang sedikit panjang.Semenjak Deon menjadi kakak ipar Maylin, sahabatnya itu menjadi sangat protektif dalam menjaga satu-satunya adik ipar. Terlebih setelah Deon mengetahui tentang perjodohan yang diatur oleh kedua orang tua Leonel, membuat Deon acapkali memberi peringatan padanya untuk menjauhi adik iparnya itu.“Semua telah diatur, Tuan,” jawab Dalbert.“Bagu—” ucapan Leonel terhenti tatkala Deon berdiri di hadapannya dengan ponsel terulur ke arahnya. Leonel mengernyit menatap sahabatnya.“Aku tidak percaya sekretaris yang kupekerjakan malah mengkhianatiku dengan memberi laporan kepada Rayla bahwa aku membatalkan pertemuan penting dan entah pergi ke mana. Sekarang Rayla mau berbicara denganmu. Dia tidak percaya kalau aku sedang bersamamu.” Suara Deon terdengar frustrasi saat mengucapkannya.Gelak tawa keras dari
Britania, London Setelah menghabiskan waktu selama belasan jam, akhirnya terdengar announcement dari kapten pilot menyatakan bahwa pesawat telah memasuki area Britania dan sebentar lagi akan melakukan landing di salah satu bandara terbesar dan tersibuk di Inggris. Setelah pesawat berhasil melakukan pendaratan dengan aman dan lancar, Maylin dan Elian berderap keluar dari pesawat. Di depan pintu gate, tampak beberapa pria berjas hitam dan berkacamata gelap tengah berbaris rapi. Maylin mengernyit tatkala melihat beberapa pria berjas hitam itu membungkuk memberi hormat kepada Elian. Rentetan pertanyaan langsung muncul dalam kepalanya. Apakah mereka adalah Bodyguard-nya Elian? Apa tidak berlebihan dikawal Bodyguard sebanyak ini? Batinnya. “Sir Carter telah menunggu Anda di kediamannya. Kami sudah menyiapkan dua buah mobil, Sir,” lapor seorang Pengawal yang berdiri di sebelah kanan Elian, berbicara dalam bahasa Italia sehingga Maylin tidak mengerti sama sekali. Helaan napas lelah terde
Wangi maskulin yang kental dengan aroma spicy yang segar dari parfum Giorgio armani, menguar hingga ke sekeliling ruangan. Tanpa perlu menoleh, Maylin tahu siapakah pemilik parfum itu. Keakraban mereka dalam beberapa tahun belakangan ini, membuat Maylin mulai tahu kebiasaan Elian. Dua tahun lebih memang bukan kurun waktu yang panjang. Namun, cukup untuk saling mengenal satu sama lain. Kedua alis Elian bertaut tatkala melihat Maylin tengah memasukkan potongan bacon ke dalam mulutnya. “Mengapa tidak menungguku makan bersama?” “Dari sekian banyak tugas-tugas Sekretaris, apakah sarapan pagi bersama Bos juga termasuk di dalamnya?” Maylin bertanya balik tanpa mengalihkan pandangan pada makanan yang tersaji di depan matanya. Elian menggeser kursi, lantas duduk di sana dan memulai sarapannya. “Mulai hari ini, membuatkan sarapan pagi, makan siang dan makan malam untuk kita santap bersama adalah tugasmu. Hanya pada saat hari kerja saja, kau cukup siapkan sarapan pagi.” Maylin tidak menginda
“Apa yang baru saja kau katakan?” Tangan Elian terhenti di udara tatkala hendak memasukkan potongan roti ke dalam mulutnya.“Bantu aku cari kontrakan dengan harga sesuai kemampuanku,” ucap Maylin dengan suara lebih keras agar kali ini Elian dapat mendengar lebih jelas.Sesuai atas perintah pria itu, Maylin menyiapkan sarapan pagi untuk mereka berdua. Hari ini adalah hari pertama dirinya akan mulai bekerja di kantor utama Carter Corporation.“Kenapa?”“Kenapa?” Maylin berbalik tanya sembari mendelik kasar, menatap Elian yang juga tengah memandangnya dengan tatapan heran. Pria itu mendadak bodoh atau merendahkan dirinya?“Tentu saja karena gajiku tidak cukup menyewa sebuah flat. Biaya hidup di sini pasti mahal,” sinis Maylin.“Bukan itu yang kutanyakan. Maksudku, untuk apa mengontrak kalau tinggal di penthouse ini terasa jauh lebih nyaman?”“Apakah kau lupa ingatan, Mr. Elian? Seorang pria dan wanita yang tidak memiliki hubungan apa-apa selain berteman, tidak baik tinggal seatap,” tukas
“Aku tidak menuntut banyak penjelasan saat tahu kalau kau sudah mengetahui dari Vlora, rahasia yang selama ini kusimpan rapat-rapat, lalu perubahan sikapmu setelah kita berada di kota ini ….” Maylin menjeda sejenak. Sepasang netranya menatap Elian penuh menyelisik, menunggu reaksi dari pria blasteran itu. “Bahkan, tanpa sepengetahuanku kau menutupi identitas keluargaku agar tidak diketahui Valo,” imbuhnya.Melihat ekspresi kedua mata abu-abu itu tersentak kaget, Maylin menemukan jawabannya. “Kau begitu misterius, Elian. Namun, aku tak akan protes karena itu adalah privasimu. Jadi, aku harap kau pun juga bisa menghargai privasiku.”Keheningan memenuhi mereka, kemudian melanjutkan sarapan dalam diam. Sampai ketika Maylin bangun dari kursinya dan membawa peralatan makan hendak mencucinya, suara Elian memecahkan kesunyian di antara mereka.“Semua yang kulakukan, terlepas dari baik atau buruk ….”Maylin memutar tubuhnya menghadap Elian. Kedua mata mereka kini saling bertemu. Sepasang iris
[Yeah, Deon menyuruhku menghapus semua data kalian untuk berjaga-jaga bila seseorang ingin mencari tahu tentang Frans Pramanta.]“Kalian yang dimaksud apakah mama, Rayla, juga tante Fifi?” Maylin mendelik, terkejut mendengar jawaban Leonel.[Seluruh keluargamu, sweety, termasuk Frans Pramanta. Ada apa? Dari mana kau mengetahuinya?]Serentetan pertanyaan itu menguap begitu saja dari bibir Leonel.“Kalau begitu, apakah diam-diam kak Leonel juga meretas database yang ada di dalam sistem perusahaan Elian, menghapus nama-nama keluarga yang kucantumkan di sana?” Alih-alih menjawab, Maylin balik bertanya. Tidak menutup kemungkinan Leonel melakukannya sebab pria itu memang ahli di bidang tersebut.Tidak ada suara jawaban dari pria itu. Maylin menjauhkan ponsel dari telinganya dan menatap layarnya sejenak mencoba memastikan. Masih tersambung.Maylin menempelkan kembali ponsel di telinga kanannya. “Halo? Kak Leo? Apakah kau masih berada di sana?”[Bukan aku.]“Apa maksudnya?” Dahi Maylin menger
“Jawaban seperti apa yang ingin kau dengar?” Elian balik bertanya dengan datar, “Kak Sio.”“Kau pasti memiliki alasan untuk melakukannya. Aku ingin tahu apa alasan itu.” Sio tersenyum tipis.Suasana menjadi hening beberapa saat. Elian hanya bergeming menatap Sio, menunggu pria itu memutuskan hukuman apa yang harus diterimanya sebagai konsekuensi melanggar peraturan yang telah ditetapkan oleh organisasi mereka.“Wanita itu … apakah dia yang menjadi alasanmu mengenyahkan bodyguard-mu sendiri?”Pertanyaan itu sukses membuat ekspresi wajah Elian berubah menjadi tegang. Hanya sesaat, karena sepersekian detik kemudian, ia kembali memasang wajah datarnya.Sio menyeringai menatap Elian. “Apakah uncle sudah tahu?”“Tidak,” jawab Elian singkat. Bagaimanapun juga, ia harus menyelamatkan posisi ayahnya yang telah mencoba menyembunyikan segala perbuatannya.Sio menghembuskan kembali asap rokoknya ke udara. “Kau tahu kalau aku memberikan kepercayaan penuh padamu, bukan? Terus terang aku sangat kece
Mendengar satu nama itu disebut, berhasil melenyapkan ketenangan yang baru saja Maylin dapatkan dari efek alkohol itu. Seketika tubuhnya menjadi kaku. Jantungnya seolah berhenti berdetak. “Kedua orang tuaku ….” Maylin berhenti sejenak.Padahal, ia telah mengubur dalam-dalam semua kenangan yang mengingatkannya pada kebahagiaan sekaligus kepedihan ke dalam lubuk hatinya. Namun, hanya sepersekian detik buih-buih kenangan yang telah lama terpendam itu mendadak berhamburan.Kepalanya tertunduk dalam, berusaha keras menahan rasa sesak serta amarah di dadanya dengan mengepal erat kedua tangannya di bawah meja hingga kuku-kukunya menusuk telapak tangannya.“Mereka membuangku ketika usiaku sepuluh tahun,” ucap Maylin melanjutkan. Kebohongan itu keluar dari mulutnya begitu saja.Kau tidak sepenuhnya berbohong, Lin. Bajingan itu memang meninggalkan kalian terhitung sudah empat belas tahun. Sebuah suara bergema di dalam benaknya.“Bolehkah aku tahu, apa yang telah terjadi?” tanya Valo.Ada keseri
Di depan lorong satu-satunya akses menuju ruang restoran, seorang wanita dengan rambut bergelombang cokelat dan seorang petugas terlihat tengah saling melempar argumen sementara seorang pria lain dengan balutan setelan jas biru dongker-nya berdiri di sebelah wanita itu.Ia hanya diam seraya mendengarkan perdebatan kedua orang dewasa itu yang terus berlanjut. Tidak peduli orang-orang yang berlalu lalang, menoleh ke arah mereka, sebelum kemudian memandang dirinya dengan tatapan memuja.Penampilannya dengan setelan resmi, membungkus tubuhnya yang sempurna. Wajah tampan maskulin, garis rahang yang tegas adalah perpaduan sempurna yang diidam-idamkan seluruh kaum adam di seluruh dunia sekaligus menggoda kaum hawa di saat yang bersamaan.Seolah Tuhan sedang bahagia ketika menciptakannya. Tampan. Kaya. Benar-benar godaan yang terlalu sulit untuk tidak menaruh perhatian, terkecuali Maylin Pramanta. Hanya wanita itu yang tidak terpesona pada seorang Valo Wren Osborn.“Apakah Anda tidak mengerti
Entah sudah berapa lama, Valo masih belum juga kembali. Pria itu hanya menyuruhnya agar menunggu di dalam mobil hingga akhirnya Maylin merasa bosan dan mengambil ponsel untuk mengusir kejenuhan tersebut. Dilihatnya hasil foto yang ada di kameranya seraya senyum-senyum sendiri.Ia kemudian mengirimkan beberapa foto kepada Rayla, bermaksud memamerkan kepada sang kakak. Tidak lama setelah foto terkirim, pesan masuk pun berbunyi.[Elian membawamu ke tempat lokasi syuting film legendaris Robin Hood dan Harry Potter? Kau sangat beruntung, adikku! Akan tetapi, kau menjadi sangat amat menyebalkan! Aku juga ingin berkunjung ke sana!]Maylin terkikik membaca balasan dari Rayla, lalu menggerakkan jemarinya di atas layar ponsel, mengetik sederet kalimat.[Mintalah pada kak Deon. Suami tercintamu itu tanpa ragu-ragu pasti mengabulkan keinginanmu. By the way, bukan Elian yang membawaku pergi, tetapi teman baruku.]Jemarinya berhenti bergerak untuk sejenak. Membaca sekali lagi pesannya sebelum menek
Tidak berapa lama kemudian, sepasang netranya membelalak. “No way! Tiket broomstick training! Seriously?” pekik Maylin dengan nada tidak percaya.“Tiket ini sangat terbatas. Aku mendapatkannya dengan susah payah karena diprioritaskan untuk pengunjung berusia 6 hingga 16 tahun. Jika kau mau berterima kasih padaku, cukup berhenti bersungut padaku. Deal?”Maylin melipat kedua tangannya. “Kau sendiri yang memulainya. Sudah kuperingatkan, aku bukan wanita murahan seperti wanita-wanita yang pernah bersamamu.”“Baiklah, aku mengaku bersalah. Maafkan aku, okay?” ujar Valo sembari mengulas senyum bersalah. Sedetik kemudian, dirinya terkejut setelah menyadari kalimat apa yang baru saja ia lontarkan. Kalimat itu meluncur begitu saja, tanpa direncanakan. Meskipun begitu ia tetap ingin terlihat tenang di hadapan wanita itu.Would somebody mind telling me, what the bloody hell’s going on? Valo memaki dalam hatinya.Maylin menghela napas pasrah. “All right! Aku tidak mau merusak suasana hatiku yang
“Kembali? Absolutely is no!" jawab Maylin sembari bersedekap. "Apakah kau pernah mendengar sebuah kereta akan mengemudikan balik ke stasiun yang telah mereka lewati hanya untuk mengangkut penumpang yang telat? Begitu pun dalam kamus hidupku. Tak akan kembali ke titik awal setelah melewatinya. Jika kau takut, pergilah. Aku bisa melanjutkannya sendiri. Tantangan ini sangat menyenangankan!” imbuhnya penuh semangat.Namun, baru beberapa langkah tubuhnya kembali menabrak dinding kaca tersebut. Tak hanya sekali—dua kali, hingga emosi wanita itu mulai terlihat dengan mengumpat setiap kali dirinya tertabrak.“Berhenti menertawaiku, Jerk!” Maylin menggeram kesal lantaran Valo tergelak kencang melihatnya berulang kali gagal mencari jalan di saat bersamaan tubuhnya menabrak kaca.“Perlu bantuan?” ujar Valo di tengah-tengah tawanya.Akan tetapi, sifat keras kepala yang begitu mendarah daging dalam diri wanita itu kontan menolak begitu saja. Ia ingin dengan caranya sendiri menaklukkan tantangan te
Valo dan Maylin segera turun dari jet, lalu di bawah jet telah ditunggu oleh beberapa pria berpakaian serba hitam dan juga sebuah limousine siap mengantar mereka.“Sama seperti Elian. Pengusaha terkenal seperti kami memang membutuhkan jasa bodyguard untuk melindungi kami dari ancaman,” ujar Valo menjelaskan ketika mendapati tatapan Maylin mengarah ke pengawalnya.Maylin bersikap tak acuh, lantas masuk ke dalam limousine tanpa sepatah kata. Tidak berselang lama, mobil perlahan bergerak meninggalkan parkiran pesawat. Sepanjang perjalanan Maylin tidak berhenti menatap pemandangan dari luar jendela mobil.Sekelilingnya didominasi daun-daun beragam warna yang melekat di dahan-dahan pohon, juga rerumputan hijau dan sinar matahari yang memancar serta awan yang berlapis hingga terlihat seperti bulu halus menjadi perpaduan yang indah hingga mencuri perhatian bagi siapa saja yang melewati sekitarnya. Dan juga sebuah kastil yang cukup megah dan terkenal, yakni Bamburg Castle. Beberapa kali Mayli