Maylin keluar dari taksi yang ditumpanginya, lalu berjalan dengan tangan menggenggam dua ikat bunga besar berwarna putih. Langkahnya berhenti di tempat yang telah menjadi tujuannya dari awal.
Maylin duduk berjongkok menghadap dua gundukan tanah yang ada di hadapannya. Bunga yang dibawanya, ia letakkan di atas masing-masing gundukan tanah di hadapannya. Kemudian mengelus-elus kedua batu nisan yang ditancapkan di gundukan tanah itu secara bergantian.
Maylin tersenyum melihat nama yang terukir di kedua batu nisan tersebut seraya meneteskan sebutir air mata sedih. Ia mendesah pelan. Nama yang terukir di dua batu itu, satunya adalah nama seseorang yang sangat ia cintai dan satunya lagi adalah nama buah hatinya yang pergi sebelum dilahirkan.
“Mengapa kau hanya membawa anak kita, Wan? Mengapa tidak membawaku pergi bersama kalian? Dengan begitu, aku tidak perlu mengetahui aib kedua orang tuaku.” Beberapa ungkapan hati dituturkan keluar oleh Maylin, terdengar begitu menyayat hati.
Ia sungguh-sungguh merindukan sosok Darwan dalam hidupnya. Rasanya Tuhan bersikap tidak adil untuknya. Apakah kesalahan yang diperbuat kedua orang tuanya, dirinya lantas tak pantas mencecap kebahagiaan?
“Tadi aku pergi menemui pria itu. Kau tahu pemandangan apa yang kulihat di sana?” Maylin tertawa keras-keras seiring air mata menitik jatuh dari kelopak matanya.
"Pria itu mengusap kepala putrinya dengan begitu lembut dan mereka tertawa bahagia bersama-sama. Dulu dia pernah melakukan hal yang sama padaku dan Rayla. Mengingat semua itu, kini hanya membuatku semakin membencinya,” imbuhnya dengan derai air mata.
Langit yang mendung kian lama kian pekat gelapnya. Angin dan guruh petir silir berganti. Tak lama kemudian, hujan turun mengguyur jalanan.
“Akan kurebut kebahagiaan mereka. Senyum di bibir mereka akan berubah menjadi tangisan yang tak akan terlupakan. Aku berharap kau membantuku dari sana, Wan.” Suara Maylin yang penuh kebulatan hati, teredam derasnya hujan yang mengguyur tubuhnya.
Air matanya yang telah bercampur dengan air hujan, tertiup bersama angin kencang. Udara dingin menusuk tulang-tulang rusuk yang menembus kulit putihnya. Namun, tidak dapat mengalihkan rasa sakit di hatinya.
Seandainya aku tahu bahwa tumbuh dalam keluarga yang tidak utuh terasa sepedih ini, dan seandainya saja aku tahu kebahagiaanku bersamamu hanya sesingkat ini, aku pasti memilih untuk tidak pernah dilahirkan ke dunia. Batinnya.
*****
Darwan Bimala dan Maylin Pramanta, mereka berdua telah berpacaran sejak sekolah menengah pertama. Darwan seorang pria dengan memiliki kesabaran yang luar biasa, mengingat sifat Maylin yang keras kepala dan bertemperamen mudah meledak.
Darwan selalu mengutamakan kepentingan Maylin. Baginya, kebahagiaan Maylin merupakan kebahagiannya sendiri juga. Oleh karena itu, Maylin begitu dimanjakan sehingga wanita itu menjadi ketergantungan pada Darwan.
Maylin sendiri pun merasa beruntung dapat bertemu dengan pria seperti Darwan. Hidupnya menjadi lebih berwarna setelah kehadiran Darwan. Bahkan, ia mendapatkan curahan kasih sayang dari kedua orang tua pria itu yang tidak ia dapatkan dari keluarganya sendiri.
Akan tetapi, hidup selalu penuh bahagia nyatanya tidak ada yang bersifat abadi. Takdir seakan tidak mengenal itu semua. Apa yang sudah diatur oleh takdir, kita tidak dapat mengaturnya. Tidak peduli apakah kita siap menghadapi dan menerimanya atau tidak.
Setengah tahun yang lalu, Maylin yang tengah mengidam meminta Darwan untuk mengantarkannya ke sebuah rumah makan. Padahal, jarak dari rumah ke tempat itu cukup jauh. Dibutuhkan waktu lebih dari setengah jam untuk sampai di sana. Namun, seperti biasa Darwan tidak menolak apa pun permintaan Maylin.
Dalam perjalanan pulang, hujan turun dengan derasnya. Darwan sudah melajukan mobilnya dengan sangat hati-hati. Akan tetapi, akibat seorang sopir yang tengah membawa truk boks dalam keadaan mengantuk, kecelakaan pun tak terelakkan. Truk tersebut menabrak mobil Darwan, lalu terguling hingga berpindah jalur.
Maylin sempat melihat tubuh Darwan yang berlumuran darah di aspal jalanan sebelum kesadarannya hilang beberapa detik kemudian akibat rasa sakit yang menggerogoti seluruh tubuhnya.
Mereka segera dilarikan ke rumah sakit terdekat. Namun, dalam perjalanan menuju rumah sakit, kondisi Darwan tengah mengalami perdarahan di dalam jaringan otak. Perdarahan tersebut mengakibatkan pembengkakan otak dan menyebabkan matinya sel-sel di otak.
Begitu tiba di rumah sakit, nyawa Darwan tidak dapat diselamatkan sedangkan Maylin mendapatkan benturan keras pada bagian perutnya sehingga membuatnya mengalami perdarahan hebat.
Kondisi janin yang masuk terlalu dalam ke dinding rahimnya, mengakibatkan dirinya harus segera melakukan operasi histerektomi. Maylin pun dipaksa kehilangan tiga hal sekaligus dalam hidupnya. Perasaan kehilangan yang sangat mendalam membuatnya rapuh.
Ketika mengingat tentang Darwan, ia merasakan sesak dan setiap melihat foto kebersamaan mereka membuatnya menangis tanpa henti. Ia juga tidak berani memejamkan kedua kelopak matanya untuk tidur sebab peristiwa kecelakaan itu selalu hadir dalam mimpinya. Semua itu semakin membuat dirinya tersiksa serta mulai kehilangan kewarasannya.
Rayla yang menemukan adiknya mengkonsumsi obat tidur hingga hampir merenggut nyawa karena overdosis, menganjurkan Maylin untuk pergi ke psikiater. Tidak ingin membuat kakaknya bersedih, Maylin akhirnya bersedia menjalani sesi terapi.
Kondisinya kini sudah lebih stabil. Meskipun begitu, obat anti depresan tetap selalu ia bawa sebab kejadian kecelakaan tersebut membuat dirinya mengalami gangguan stress pascatrauma.
*****
Elian Grayson Carter, pria blasteran Inggris, bergegas turun dari mobil, lantas berlari ke sisi yang satunya dan membuka pintunya, membopong tubuh dingin Maylin.
Frida Lewis terkejut penuh keheranan melihat kondisi putra sulungnya dan Maylin dengan tubuh basah kuyup oleh hujan. “Astaga! Apa yang telah terjadi pada Maylin?" Frida setengah berlari mengikuti langkah Elian menuju kamar Darwan.
Elian membaringkan tubuh dingin Maylin di atas ranjang. Tubuh wanita itu membiru, mengigil kencang dengan gigi menggeretak. Tingkat kesadarannya semakin menurun.
“Mom, tolong ganti pakaian Maylin. Aku telepon dokter.” Elian beranjak keluar dari kamar, lalu segera menghubungi dokter pribadi mereka.
“Apa yang sebenarnya telah terjadi pada Maylin? Kalian pergi ke mana? Mengapa basah kuyup?” Disertai raut wajah penuh cemas, Frida kembali melayangkan beberapa pertanyaan yang masih belum mendapatkan jawaban dari putranya.
“Tadi aku pergi ke pemakaman Darwan dan aku menemukan Maylin sudah berada di sana dalam keadaan terbaring di sisi makam dengan tubuh basah kuyup serta kulit yang teramat dingin. Aku tidak tahu berapa lama Maylin kehujanan, Mom.” Elian merasakan sesak yang teramat sangat ketika melihat kondisi Maylin yang begitu miris.
“Segera ganti pakaianmu yang basah itu, lalu minum air hangat. Mom di sini menjaga Maylin,” perintah Frida sembari menyalakan pemanas ruangan agar suhu tubuh Maylin tidak semakin menurun dikarenakan hipotermia.
“Tapi—” Elian tidak dapat menyelesaikan ucapannya karena sang ibu menyelanya.
“Mom yakin Maylin akan merasa bersalah apabila kau jatuh sakit setelah menolongnya. Tentunya kau tidak berharap Maylin semakin menjauhimu, ‘kan?”
Merasa ucapan ibunya benar, Elian mengangguk menurut. Setelah membasuh tubuh dengan air hangat dan berganti pakaian, Elian kembali ke kamar Darwan untuk melihat keadaan Maylin.
“Dokter Ryan sudah datang memberi suntikan dan obat. Beruntung Maylin mengalami hipotermia sedang.” Frida meletakkan kompres hangat untuk membantu menghangatkan calon menantu sekaligus putri angkatnya dengan telaten. Ia memang sudah menganggap Maylin seperti anak kandungnya sendiri.
“Apa Mom tahu mengapa Maylin tidak ingin pulang ke rumahnya sendiri?” tanya Elian tiba-tiba. Ia terheran ketika mendapati Maylin tinggal bersama ibu dan ayah tirinya.
Ia sama sekali tidak keberatan bila Maylin tinggal berapa lama pun yang wanita itu butuhkan. Justru kehadiran Maylin dapat menghilangkan rasa kesepian ibunya setelah Darwan meninggal.
Elian memiliki apartemen sendiri dan tinggal di sana. Meskipun begitu, terkadang ia masih pulang dan bermalam satu atau dua hari atas permintaan ibunya.
“Restin dan Maylin sedang bertengkar. Untuk sementara waktu, Maylin menetap di sini sampai kemarahannya reda,” jawab Frida.
Sebenarnya Elian masih ingin tahu masalah apa yang sedang terjadi pada Maylin. Namun, ia tak ingin Frida menaruh curiga padanya, maka ia pun tak bertanya lagi.
“Aku pulang kalau sudah menemukan pekerjaan baru. Aku tidak mau seharian penuh berada di dalam rumah.”Maylin segera memberi alasan ketika Rayla dan Deonartus Surbakti, tunangan Rayla, bertandang ke rumah Frida. Rayla dan Deon tengah berusaha membujuk Maylin agar kembali pulang ke rumah.“Bagaimana kalau bekerja di kantor Elian?” Frida tiba-tiba mengucapkan keluar pemikirannya. “Kebetulan Elian sedang mencari sekretaris. Biar Maylin saja yang menempati posisi itu.”“Tapi aku membutuhkan yang sudah berpengalaman sebab pekerjaan sekretarisku sangat banyak. Akan memakan waktu lebih lama kalau aku masih mau mengajari yang tidak memiliki basic sekretaris, Mom,” jawab Elian.“Diterima saja dulu Maylin sebagai sekretarismu. Siapa tahu dia memiliki persyaratan yang kau butuhkan.” Frida mengusulkan idenya itu semata-mata agar hubungan Elian dan Maylin kembali dekat seperti dulu.Sejak Elian melanjutkan pendidikannya ke negara kelahiran putra sulungnya itu, entah mengapa hubungan Elian dengan D
Disebuah rumah sederhana, terdapat beberapa orang tengah berkumpul di ruang tamu, mengobrol sembari membahas tentang pengiring pengantin pria dan wanita pada acara pernikahan Deonartus Surbakti dan Rayla Pramanta. “Yang akan menjadi bridesmaidnya adalah aku, Bella dan Alice,” ucap Maylin dengan nada yang tak terbantahkan. Ia percaya dengan mitos bahwa hanya wanita single yang boleh menjadi bridesmaid agar mereka dapat menemukan jodohnya di antara barisan groomsmen yang ada. “Ini pernikahanku, Lin. Biarkan aku yang mengambil keputusan.” Rayla mencebik kesal sebab adiknya dengan seenaknya mengatur pengiring di acara pernikahannya nanti. “Tapi bagaimana kalau setelah Agatha menjadi bridesmaid, dia dan Peter malah bercerai?” Maylin menyerang Rayla dengan pertanyaan balik. “Hei! Cinta kami tidak sedangkal itu!” pekik Agatha yang segera memprotes ucapan Maylin yang terdengar sangat mengerikan itu. “Lalu groomsmennya siapa saja?” tanya Bella mengalihkan topik pembicaraan. Rayla, Agatha
2 Tahun kemudian “Hari ini apa saja jadwalku, Lin?” Elian berjalan masuk ke ruang kerjanya setelah rapat bersama para direksi berakhir. Tangannya bergerak melonggarkan dasi yang melingkar di kerah bajunya. “Tidak ada, Pak.” Maylin mengambil jaket setelah pria itu melepaskan baju luar itu, kemudian menggantungkannya pada standing hanger yang terletak di sudut ruangan. Dua tahun menjadi Sekretaris Elian, membuatnya sedikit banyak mengetahui kebiasaan pria itu. Elian melirik Maylin dari sudut ekor matanya. Mengingat dirinya akan segera pergi meninggalkan wanita itu, ada perasaan tidak rela dalam hatinya. Haruskah ia membawa juga wanita itu pergi bersamanya? Seminggu yang lalu, ia mendapatkan telepon dari sang ayah, meminta padanya untuk kembali ke London dan mengurus kantor pusat di sana. Elian sempat menolak sebab ia tidak mau kehilangan Maylin untuk kedua kalinya. Cukup satu kali saja ia melakukan kesalahan. Akan tetapi, sang ayah tidak menerima penolakan terlebih atas sikap impusi
Pengajuan Maylin mengenai keinginannya untuk pindah ke kantor utama Carter Corporation langsung saja disetujui oleh Elian. Tanpa banyak bertanya, pria itu segera menugaskan bagian human resources departemen untuk mengurus segala macam kebutuhan mutasi tersebut. Maylin berdalih hendak mencari suasana baru ketika mengatakan alasannya pada sang ibu dan kakak. Meski kedua wanita itu merasa keberatan, tetapi akhirnya mereka pun dapat memahaminya. Mereka berharap dengan meninggalkan tempat yang memiliki kenangan menyakitkan, Maylin dapat fokus menata kembali hidupnya dan mencari kebahagiaan baru. ***** Leonel Norman duduk di kursi pengunjung salah satu café terkenal di kota ini seraya menunggu Maylin datang. Ia sudah membuat janji temu dengan wanita itu beberapa hari yang lalu. Sebelum tiba di tempat ini, ia mengunjungi kantor milik Deonartus terlebih dahulu. Ingatannya kembali tatkala sahabatnya itu memberikan peringatan disertai dengan tatapan menghunus tajam padanya. 'Kau boleh berm
Seorang wanita berparas cantik, berbalut dress hitam fit body dengan aksen sheer dan berpotongan model strapless, dengan tergesa-gesa melangkah mendekati sesosok pria yang sedang duduk di antara pengunjung restoran. Meskipun penampilan pria itu terlihat kasual, tetap saja tidak mengurangi ketampanan yang dimilikinya. “Sudah lama menunggu?” tanya Vlora setelah mendaratkan pantat dengan sempurna di atas kursi depan Elian seraya tersenyum simpul. Elian mengulurkan segelas smoothies blueberry ke arah Vlora yang diterima oleh wanita itu, lalu diteguknya minuman tersebut. Bertahun-tahun mengenal Vlora, ia paham betul dengan kebiasaan apa saja yang dikonsumsi wanita itu untuk menjaga berat badannya tetap ideal. “Tidak terlalu lama hingga aku sudah menghabiskan secangkir frappuccino dan ini adalah cangkir kedua,” kelakar Elian yang disambut tawa renyah oleh Vlora. “Anyway, terima kasih atas minumannya. Kau sangat memahami kebiasaan dan kesukaanku, Honey.” Sudah menjadi kebiasaan Vlora mema
“Pertama, genggam grip pistol dengan weapon hand secara penuh dan konsisten. Genggam dengan erat karena genggaman tersebut akan memberikan resistensi ke arah weapon hand saat pistol meletus. Jangan lupa, finger off. Telunjuk mengarah ke depan sejajar dengan laras. Saat kau sudah siap menembak, jari telunjuk weapon hand siap menekan pelatuk.” “Seperti ini?” Maylin mengikuti instruksi dari Leonel tentang cara menggenggam pistol yang efektif. Leonel memperbaiki posisi telapak tangan Maylin pada bagian weapon hand. “Tidak boleh ada jarak antara beaver tail dan selaput antara jempol dan telunjuk.” Ketika kulitnya bersentuhan dengan kulit Maylin, ia merasakan sensasi jantung yang berdetak kuat, tidak beraturan secara tiba-tiba. Shit! Ia belum pernah merasakan perasaan seperti ini tatkala berdekatan dengan wanita lainnya. “Prinsip ini berguna untuk memberikan tahanan saat ada recoil ke belakang dan mengarahkan recoil agar moncong tetap stabil menghadap ke depan,” imbuh Leonel sembari beru
Taksi yang ditumpang Maylin berhenti di depan coffe shop yang begitu ramai oleh pengunjung sebab sekarang adalah jam istirahat pegawai kantor. Setelah membayar ongkos, ia bergegas turun.Maylin menebarkan pandangan matanya ke sekeliling bagian outdoor dan akhirnya menangkap sosok wanita dalam usia tiga puluh tahun dengan kecantikan yang memesona bagi siapa saja yang melihatnya, tengah duduk seraya memainkan ponselnya. Ia mendengus kencang. Sepasang netranya memandang wanita itu dengan penuh kebencian.Konflik yang terjadi antara kedua orang tua mereka, membuatnya mendapatkan perlakuan tidak adil. Mengapa rahasia mereka tidak dibawa saja sampai ajal datang menjemput? Dengan begitu, ia tak akan tahu rahasia dibalik keluarganya yang tidak utuh, juga tidak perlu hidup dengan menaruh dendam. Sungguh Tuhan tak adil padanya.Maylin menarik kursi, lantas duduk di atasnya dengan posisi tegak dan punggung yang bersandar pada sandaran kursi. Dagunya di angkat tinggi-tinggi agar terlihat angkuh.
Jantung Maylin kini berdegup kencang. Tangannya tampak gemetar dan mengeluarkan keringat dingin. Ia merasakan kegugupan yang luar biasa ketika mobil yang ditumpanginya bergerak dengan kecepatan tinggi. Sejak masuk ke dalam mobil, Maylin dan Elian belum terlibat obrolan satu sama lain. Maylin tidak berani membuka mulutnya tatkala melihat amarah yang meluap-luap di balik manik abu-abu milik Elian. Tampak dengan jelas rahang pria itu mengetat serta cengkeraman pada setir mobilnya yang semakin mengerat seiring kakinya menginjak pedal gas sehingga mobil melaju lebih cepat. Maylin hendak bertanya ke mana pria itu akan membawanya. Namun, bibirnya terlalu kaku untuk berucap. Setahunya, jalan yang tengah dilalui Elian bukanlah menuju kantor. Tubuh Maylin berulang kali mendapatkan gaya dorong yang lebih besar ketika mobil sedang berbelok dalam kecepatan yang tinggi. Bahkan, Elian tidak menurunkan kecepatan mobil pada saat akan menyalip mobil lain. Ini adalah pertama kalinya Maylin melihat E
“Aku tidak menuntut banyak penjelasan saat tahu kalau kau sudah mengetahui dari Vlora, rahasia yang selama ini kusimpan rapat-rapat, lalu perubahan sikapmu setelah kita berada di kota ini ….” Maylin menjeda sejenak. Sepasang netranya menatap Elian penuh menyelisik, menunggu reaksi dari pria blasteran itu. “Bahkan, tanpa sepengetahuanku kau menutupi identitas keluargaku agar tidak diketahui Valo,” imbuhnya.Melihat ekspresi kedua mata abu-abu itu tersentak kaget, Maylin menemukan jawabannya. “Kau begitu misterius, Elian. Namun, aku tak akan protes karena itu adalah privasimu. Jadi, aku harap kau pun juga bisa menghargai privasiku.”Keheningan memenuhi mereka, kemudian melanjutkan sarapan dalam diam. Sampai ketika Maylin bangun dari kursinya dan membawa peralatan makan hendak mencucinya, suara Elian memecahkan kesunyian di antara mereka.“Semua yang kulakukan, terlepas dari baik atau buruk ….”Maylin memutar tubuhnya menghadap Elian. Kedua mata mereka kini saling bertemu. Sepasang iris
[Yeah, Deon menyuruhku menghapus semua data kalian untuk berjaga-jaga bila seseorang ingin mencari tahu tentang Frans Pramanta.]“Kalian yang dimaksud apakah mama, Rayla, juga tante Fifi?” Maylin mendelik, terkejut mendengar jawaban Leonel.[Seluruh keluargamu, sweety, termasuk Frans Pramanta. Ada apa? Dari mana kau mengetahuinya?]Serentetan pertanyaan itu menguap begitu saja dari bibir Leonel.“Kalau begitu, apakah diam-diam kak Leonel juga meretas database yang ada di dalam sistem perusahaan Elian, menghapus nama-nama keluarga yang kucantumkan di sana?” Alih-alih menjawab, Maylin balik bertanya. Tidak menutup kemungkinan Leonel melakukannya sebab pria itu memang ahli di bidang tersebut.Tidak ada suara jawaban dari pria itu. Maylin menjauhkan ponsel dari telinganya dan menatap layarnya sejenak mencoba memastikan. Masih tersambung.Maylin menempelkan kembali ponsel di telinga kanannya. “Halo? Kak Leo? Apakah kau masih berada di sana?”[Bukan aku.]“Apa maksudnya?” Dahi Maylin menger
“Jawaban seperti apa yang ingin kau dengar?” Elian balik bertanya dengan datar, “Kak Sio.”“Kau pasti memiliki alasan untuk melakukannya. Aku ingin tahu apa alasan itu.” Sio tersenyum tipis.Suasana menjadi hening beberapa saat. Elian hanya bergeming menatap Sio, menunggu pria itu memutuskan hukuman apa yang harus diterimanya sebagai konsekuensi melanggar peraturan yang telah ditetapkan oleh organisasi mereka.“Wanita itu … apakah dia yang menjadi alasanmu mengenyahkan bodyguard-mu sendiri?”Pertanyaan itu sukses membuat ekspresi wajah Elian berubah menjadi tegang. Hanya sesaat, karena sepersekian detik kemudian, ia kembali memasang wajah datarnya.Sio menyeringai menatap Elian. “Apakah uncle sudah tahu?”“Tidak,” jawab Elian singkat. Bagaimanapun juga, ia harus menyelamatkan posisi ayahnya yang telah mencoba menyembunyikan segala perbuatannya.Sio menghembuskan kembali asap rokoknya ke udara. “Kau tahu kalau aku memberikan kepercayaan penuh padamu, bukan? Terus terang aku sangat kece
Mendengar satu nama itu disebut, berhasil melenyapkan ketenangan yang baru saja Maylin dapatkan dari efek alkohol itu. Seketika tubuhnya menjadi kaku. Jantungnya seolah berhenti berdetak. “Kedua orang tuaku ….” Maylin berhenti sejenak.Padahal, ia telah mengubur dalam-dalam semua kenangan yang mengingatkannya pada kebahagiaan sekaligus kepedihan ke dalam lubuk hatinya. Namun, hanya sepersekian detik buih-buih kenangan yang telah lama terpendam itu mendadak berhamburan.Kepalanya tertunduk dalam, berusaha keras menahan rasa sesak serta amarah di dadanya dengan mengepal erat kedua tangannya di bawah meja hingga kuku-kukunya menusuk telapak tangannya.“Mereka membuangku ketika usiaku sepuluh tahun,” ucap Maylin melanjutkan. Kebohongan itu keluar dari mulutnya begitu saja.Kau tidak sepenuhnya berbohong, Lin. Bajingan itu memang meninggalkan kalian terhitung sudah empat belas tahun. Sebuah suara bergema di dalam benaknya.“Bolehkah aku tahu, apa yang telah terjadi?” tanya Valo.Ada keseri
Di depan lorong satu-satunya akses menuju ruang restoran, seorang wanita dengan rambut bergelombang cokelat dan seorang petugas terlihat tengah saling melempar argumen sementara seorang pria lain dengan balutan setelan jas biru dongker-nya berdiri di sebelah wanita itu.Ia hanya diam seraya mendengarkan perdebatan kedua orang dewasa itu yang terus berlanjut. Tidak peduli orang-orang yang berlalu lalang, menoleh ke arah mereka, sebelum kemudian memandang dirinya dengan tatapan memuja.Penampilannya dengan setelan resmi, membungkus tubuhnya yang sempurna. Wajah tampan maskulin, garis rahang yang tegas adalah perpaduan sempurna yang diidam-idamkan seluruh kaum adam di seluruh dunia sekaligus menggoda kaum hawa di saat yang bersamaan.Seolah Tuhan sedang bahagia ketika menciptakannya. Tampan. Kaya. Benar-benar godaan yang terlalu sulit untuk tidak menaruh perhatian, terkecuali Maylin Pramanta. Hanya wanita itu yang tidak terpesona pada seorang Valo Wren Osborn.“Apakah Anda tidak mengerti
Entah sudah berapa lama, Valo masih belum juga kembali. Pria itu hanya menyuruhnya agar menunggu di dalam mobil hingga akhirnya Maylin merasa bosan dan mengambil ponsel untuk mengusir kejenuhan tersebut. Dilihatnya hasil foto yang ada di kameranya seraya senyum-senyum sendiri.Ia kemudian mengirimkan beberapa foto kepada Rayla, bermaksud memamerkan kepada sang kakak. Tidak lama setelah foto terkirim, pesan masuk pun berbunyi.[Elian membawamu ke tempat lokasi syuting film legendaris Robin Hood dan Harry Potter? Kau sangat beruntung, adikku! Akan tetapi, kau menjadi sangat amat menyebalkan! Aku juga ingin berkunjung ke sana!]Maylin terkikik membaca balasan dari Rayla, lalu menggerakkan jemarinya di atas layar ponsel, mengetik sederet kalimat.[Mintalah pada kak Deon. Suami tercintamu itu tanpa ragu-ragu pasti mengabulkan keinginanmu. By the way, bukan Elian yang membawaku pergi, tetapi teman baruku.]Jemarinya berhenti bergerak untuk sejenak. Membaca sekali lagi pesannya sebelum menek
Tidak berapa lama kemudian, sepasang netranya membelalak. “No way! Tiket broomstick training! Seriously?” pekik Maylin dengan nada tidak percaya.“Tiket ini sangat terbatas. Aku mendapatkannya dengan susah payah karena diprioritaskan untuk pengunjung berusia 6 hingga 16 tahun. Jika kau mau berterima kasih padaku, cukup berhenti bersungut padaku. Deal?”Maylin melipat kedua tangannya. “Kau sendiri yang memulainya. Sudah kuperingatkan, aku bukan wanita murahan seperti wanita-wanita yang pernah bersamamu.”“Baiklah, aku mengaku bersalah. Maafkan aku, okay?” ujar Valo sembari mengulas senyum bersalah. Sedetik kemudian, dirinya terkejut setelah menyadari kalimat apa yang baru saja ia lontarkan. Kalimat itu meluncur begitu saja, tanpa direncanakan. Meskipun begitu ia tetap ingin terlihat tenang di hadapan wanita itu.Would somebody mind telling me, what the bloody hell’s going on? Valo memaki dalam hatinya.Maylin menghela napas pasrah. “All right! Aku tidak mau merusak suasana hatiku yang
“Kembali? Absolutely is no!" jawab Maylin sembari bersedekap. "Apakah kau pernah mendengar sebuah kereta akan mengemudikan balik ke stasiun yang telah mereka lewati hanya untuk mengangkut penumpang yang telat? Begitu pun dalam kamus hidupku. Tak akan kembali ke titik awal setelah melewatinya. Jika kau takut, pergilah. Aku bisa melanjutkannya sendiri. Tantangan ini sangat menyenangankan!” imbuhnya penuh semangat.Namun, baru beberapa langkah tubuhnya kembali menabrak dinding kaca tersebut. Tak hanya sekali—dua kali, hingga emosi wanita itu mulai terlihat dengan mengumpat setiap kali dirinya tertabrak.“Berhenti menertawaiku, Jerk!” Maylin menggeram kesal lantaran Valo tergelak kencang melihatnya berulang kali gagal mencari jalan di saat bersamaan tubuhnya menabrak kaca.“Perlu bantuan?” ujar Valo di tengah-tengah tawanya.Akan tetapi, sifat keras kepala yang begitu mendarah daging dalam diri wanita itu kontan menolak begitu saja. Ia ingin dengan caranya sendiri menaklukkan tantangan te
Valo dan Maylin segera turun dari jet, lalu di bawah jet telah ditunggu oleh beberapa pria berpakaian serba hitam dan juga sebuah limousine siap mengantar mereka.“Sama seperti Elian. Pengusaha terkenal seperti kami memang membutuhkan jasa bodyguard untuk melindungi kami dari ancaman,” ujar Valo menjelaskan ketika mendapati tatapan Maylin mengarah ke pengawalnya.Maylin bersikap tak acuh, lantas masuk ke dalam limousine tanpa sepatah kata. Tidak berselang lama, mobil perlahan bergerak meninggalkan parkiran pesawat. Sepanjang perjalanan Maylin tidak berhenti menatap pemandangan dari luar jendela mobil.Sekelilingnya didominasi daun-daun beragam warna yang melekat di dahan-dahan pohon, juga rerumputan hijau dan sinar matahari yang memancar serta awan yang berlapis hingga terlihat seperti bulu halus menjadi perpaduan yang indah hingga mencuri perhatian bagi siapa saja yang melewati sekitarnya. Dan juga sebuah kastil yang cukup megah dan terkenal, yakni Bamburg Castle. Beberapa kali Mayli