Beranda / Romansa / Cinta dalam Gempita / Part 5 (Sepenggal Kalimat Misterius)

Share

Part 5 (Sepenggal Kalimat Misterius)

Penulis: Yun Sarneeta
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

Sosok asing itu memalingkan kepalanya padaku. Seketika tulang belakangku terasa dingin. Mata kelabu yang tajam itu ibarat mengunci kedua korneaku hingga lumpuh tak berdaya. Bibirnya mengantup rapat sesaat setelah lirik lagu berhenti. Suaranya bagus, nada yang ia nyanyikan tepat tanpa cacat. Sejenak aku mengucapkan pujian atas suara merdu itu di dalam hati.

"Kau ...." Kupeluk lenganku yang dingin saat tatapan itu tak berganti bidik sasar.

Pemuda bermata elang di hadapanku menggganti posisi duduknya, diangkatnya satu pahanya kemudian meletakkannya di atas bangku taman, sedang kaki yang satunya masih menyentuh tanah. Badannya menghadap persis padaku. Diletakkannya sikunya di sandaran kursi. Sedangkan tangan itu saling mengait antara jemarinya satu dan jemari yang lainnya.

"Sedalam itukah rindumu padaku?" Spontan aku melongo.

"Huh?" Hanya itu yang mampu mulut ini ucapkan sebagai balasan. Lelaki ini tersenyum sinis.

Wajahnya tak sepucat tempo hari. Aku melihatnya jauh lebih jelas kini di bawah terpaan lampu taman. Rambutnya yang ikal tampak keren dengan gaya potongan yang cocok dengan bentuk wajahnya. Agak panjang bagian depannya namun tak terlihat kampungan seperti layaknya anak muda masa kini yang ingin sekali mengadopsi gaya rambut model preman jalanan. Alis matanya tebal, sedang bibirnya tampak lebih menawan dariku. Apakah betul bibir menawan itulah yang menciumku malam kemarin? Kutepis pikiran memuakkan itu jauh-jauh sambil kembali fokus ke topik pembicaraan yang membingungkan ini.

"Iya, kau merindukanku. Hanya saja kamu malu untuk mengakuinya," ucapnya tanpa berkedip. Mulutku semakin terbuka lebar. Ingin rasanya kusiram wajahnya dengan baluran oli kotor. Pria ini pasti sudah tidak waras. 

"Aku tak punya waktu meladeni lelaki gila." Aku berdiri. Kulangkahkan kakiku dengan tegas.

Gawat!

Aku terhuyung ke samping. Rasa sakit semakin menjadi di pergelangan kaki kananku. Dengan sigap lelaki ini berdiri! Lengannya dengan cepat menangkap tubuhku agar tak terjatuh. Aroma manis chocolate cappucino menggelitik hidung. Kupejamkan mataku menikmati semerbak bau manis itu sejenak. Dituntunnya lenganku agar aku kembali duduk di kursi taman. Rasa sakit di pergelangan kaki membuatku menurut.

Lelaki bermata kelabu ini berjongkok persis di hadapan kursi taman. Kini dialah yang mendongak, sedang aku? Ya! Pandanganku tak bisa lepas dari wajah arogan itu. Senyum sinisnya kembali tercetak di sana. Sial! Nampaknya dia tahu aku sedang memerhatikan wajahnya. Kupalingkan wajahku ke arah jalanan. Mencoba mencari titik di mana aku bisa melabuhkan sejenak rasa maluku agar dadaku berhenti bergemuruh.

"Kau bisa melihatku selama yang kamu mau. Haruskah aku duduk seperti ini hingga matahari terbit?" Kutatap ia seketika dengan pandangan tidak percaya. Lelaki ini ... menjengkelkan!

"Jangan buang waktuku. Mengapa kau di sini?" tanyaku sambil menepiskan kalimat godaannya barusan. Aku tak suka menanggapi lelaki sembarangan.

"Karena kau merindukanku." Aku menjambak rambutku kesal. Kupandangi ia dengan perasaan pasrah.

"Menjauhlah. Aku bahkan tak punya secuil niat pun untuk mengetahui namamu," ucapku sambil melipat kedua tangan di depan dada. Tatapannya masih sama. Dingin, angkuh, dan terkesan tidak memiliki rasa kasihan.

"Kau memiliki suara yang indah." 

Lagi! Jantungku kembali berdegup kencang. Perlahan kedua tanganku turun ke atas paha. Kuberanikan diri menatap mata elang itu. Seolah ada sejuta buku dengan gembok raksasa yang menguji nyali ini untuk memecahkan kode rahasianya. Mengapa tatapan menakutkan itu begitu memesona?

"Terimakasih untuk menyanyikan lagu kenangan manis kita berdua," ucapnya seraya meletakkan tangan ke depan dadanya sendiri sambil membuat wajah haru yang membuatku ingin muntah seketika. 

Kupandangi ia dengan raut wajah bingung. Ternyata dia bukan hanya seorang lelaki yang kikir akan senyuman, namun ia juga kikir akan kata-kata. Apa yang membentuknya hingga menjadi sedingin ini? Secercah rasa penasaran muncul di benakku. Terlalu sibuk dengan pikiranku sendiri, tak sadar aku sudah bungkam dalam waktu yang lama.

Pemuda di hadapanku mendongak. Lambat ia mengangkat wajahnya hingga jarak mata kami hanya menyisakan sejengkal tangan bayi.

"Haruskah aku membuatmu mengingatnya kembali?"

Deg!

Tatapan itu! Mengapa dari dekat wajahnya terlihat pucat seperti ini. Lirik itu menari-nari di dalam benakku. Lirik yang keluar dari speaker ponselku saat ia dengan sigap mencabut kabel earphone milikku di himpitan gang. Mana bisa aku lupakan momen ketika aku dengan pasrahnya menyerahkan kebanggaanku pada lelaki asing yang membuat kakiku terluka? Tangannya bergerak menyentuh pipi dan leherku yang membeku karena angin malam. Pipiku memanas. Kudorong tubuhnya agar menjauh, kemudian aku berdiri dengan segera. Tak mungkin akan kubiarkan lelaki tak tahu diri ini menyentuhku lagi!

Lelaki di hadapanku kini bangkit dan kami pun berdiri beriringan. Tangannya pelan membuka mantel hitamnya yang panjang. Tampak lengannya yang putih dibalut oleh kaos lengan pendek dengan gambar logo seekor beruang berukuran kecil di bagian sudut kanan dadanya. Tepat seperti dugaanku. Badan lelaki ini memang bagus. Dalam sekejap mantel panjang itu sudah membalut pundakku. Dengan cekatan ia merapikan bagian depan mantel tanpa memerdulikan wajahku yang kaget bukan kepalang. Bagaimana jika tangannya yang sok lincah itu secara tidak sengaja menyentuh hartaku yang lain di sana?

Lelaki ini kemudian mendekatkan wajahnya ke telinga kiriku. Hangat napasnya menggelitik leher, membuat bulu tengkukku meremang dalam rasa yang campur aduk.

"Hanya ada dua kemungkinan mengapa seorang pria membiarkan wanita yang akan ia kencani kedinginan dan pulang sendiri. Yang pertama, karena dia tidak peduli dan yang kedua karena dia mencintai wanita lain."

Aku terkejut bukan kepalang. Napasku tertahan seraya wajahnya yang menjauh senti demi senti. Bayang-bayang kalimat terakhit dari bibir menawan itu membuat awan hitam berkumpul di dalam kepala. Benarkah itu? Kuteptis segala kemungkinan buruk yang mulai terbayang.

"Sejak kapan kau di sini? Dasar penguntit!" sergahku tak terima mendengar penghinaannya terhadap Jay secara tidak langsung. Lelaki yang ada di hadapanku kini menyeringai. Aku bergidik ngeri.

Ia membelakangiku dan mengambil beberapa langkah menjauh. Kemudian ia kembali! Matanya menatap lurus ke arah wajahku. Seketika kuraba pipiku untuk memastikan kulit mulusku tak terluka oleh tatapan mengerikan itu.

Perbedaan tinggi badan antara kami berdua membuatnya harus tertunduk untuk menatap mataku dalam posisi yang sejajar. Kedua indera penglihatanku membesar saat mata kelabu itu beradu dengan warna hitam pekat korneaku. Seolah auraku ciut di bawah naungan wajahnya dalam keremangan. Didekatkan bibirnya pada telingaku sekali lagi.

"Katakan pada lelakimu bahwa akan jauh lebih baik jika kami tidak bertemu."

Sebuah bisikan yang sukses meremukkan keberanian. Napasku naik-turun menahan rasa takut dan sesak. Kucengkeram bagian depan mantel yang aku kenakan dengan kuat. Wajahnya menjauh seiring langkah yang berjalan memunggungi diri yang diselimuti oleh rasa bingung dan dilema. Sedetik ... dua detik ... lagi! Dia menghilang dalam keremangan.

Aku terhenyak ke dudukan kursi taman. Napasku masih terasa sesak. Jelas! Lelaki itu adalah seorang maniak berdarah dingin! Kutekan dadaku sambil berusaha mengatur napas yang naik-turun. Gemuruh di dada ikut memompa darah naik ke ubun-ubun.

"Hampir saja aku mati ketakutan," ucapku pada diriku sendiri.

Aku beranjak dan berjalan ke arah trotoar dengan cepat namun hati-hati. Kupandangi kiri dan kananku jangan sampai si lelaki maniak itu masih di sana mengintaiku ibarat burung hantu yang kelaparan. Ingin rasanya segera tiba di rumah dan mengunci pintu rapat-rapat. Dengan begitu, aku akan jauh merasa lebih aman.

Ada banyak taxi kosong yang menawarkan jasa di samping troroar. Tanpa basa-basi kupesan satu kemudian menyebutkan alamat rumah. Kusandarkan punggungku yang mulai terasa hangat ke jok belakang. Mobil melaju dengan pelan. Aroma manis kembali tercium dari mantel hitam yang masih membalut tubuhku.

Bayang-bayang lelaki bertama kelabu tadi masih menggerayangi pikiran. Senyumannya, matanya, wajahnya yang beku. Sudahlah! Aku pasti sudah tertular auranya yang tidak waras. Tidak sampai dua puluh menit, aku pun sampai. Kubayar sewa taxi dan turun dari mobil. Kubuka pintu rumah, menguncinya dan mulai berbenah diri. 

Ranjang yang empuk menyambutku. Kurebahkan diriku di sana sambil memikirkan kencanku malam Minggu nanti. 

"Aku harus belanja besok," ucapku sebelum akhirnya terlelap.

                                                                 ***

Jam baru saja menunjukkan pukul 10.00 pagi. Aku sudah siap untuk keluar rumah. Taxi yang aku pesan sudah menungguku di  luar. Hari ini aku akan ke butik dan mencari pakaian terbaik untuk kencan pertamaku. Setelah hampir satu jam berkendara, aku pun tiba di butik besar yang aku inginkan.

Mataku dimanjakan oleh puluhan pakaian mewah dengan harga selangit. Tempat yang lumayan ramai ini selalu memajang baju dengan merek terkemuka. Mataku tertuju pada sebuah dress putih selutut tanpa lengan lengkap dengan hiasan kancing di bagian depannya. Kusentuh bahannya, aku berdecak kagum. Seseorang menghampiriku, dia tampaknya adalah pegawai butik. Itu kuketahui dari tanda pengenal yang terpampang jelas di dadanya.

"Itu edisi khusus. Lengkap dengan mantel musim dingin." Dengan cekatan pegawai tersebut berjalan menuju rak lainnya dan membawa serta sebuah mantel cokelat dengan garis putih vertikal di kedua bahunya. Kuraba sejenak mantel tersebut untuk mengecek material dari kainnya. Lagi-lagi aku berdecak kagum. Baju-baju di sini ternyata sangat bagus kualitasnya. Tak heran di pagi-pagi seperti ini, butik ini sudah ramai oleh pengunjung.

Penduduk kota Gempita adalah sekumpulan orang-orang yang bisa dibilang mengutamakan penampilan dibandingkan dengan profesi. Tak heran banyak rumah-rumah tergadai dan banyak orang awam yang tertipu akan apa yang terlihat oleh kedua.

"Aku ambil yang ini." Tak menunggu lama aku langsung menentukan pilihan. Aku memang wanita yang seperti ini. Secepat kilat mengambil kesempatan tanpa membuang waktu. Inilah yang membuatku gampang merasa luluh oleh rayuan lelaki.

Selanjutnya, aku akan mencari sepatu. Akan aku pilih boots se-betis saja agar kakiku tak merasa dingin. Untuk legging aku masih punya di rumah. Aku melangkah ke kumpulan rak sepatu khhusus wanita. Mataku membesar kagum melihat banyaknya sepatu cantik berjejer sepanjang lorong.

Kuraih sepatu yang sesuai dengan model yang aku inginkan. Sebuah boots berwarna cokelat dengan atasan berbulu lembut yang hangat. Modelnya tak terlalu mencolok. Aku tersenyum kemudian menuju cermin dan mengenakan sepatu tersebut. Kutepuk kepalaku dengan menggunakan telapak tangan. Mengapa tadi tak ke ruang ganti untuk mencoba baju ini? Ah, sudahlah.

"Sepatu itu cocok untukmu." Seorang wanita tua berambut panjang tiba-tiba saja tampak di permukaan cermin. Kudekap dadaku dengan menggunkan telapak tangan untuk meredakan keterkejutanku. Wanita tua itu tersenyum.

"Oh, Sweetie, apakah aku membuatmu takut?" Aku tertawa lega saat melihat senyuman teduh wanita tua ini.

"Oh, tidak apa-apa," jawabku seraya melempar senyum padanya.

"Gadis manis, apa kau bersiap untuk sebuah kencan?" tanyanya sambil memegang kedua bahuku yang dingin. Bayangan kami berdua terpantul di depan cermin kaca.

"Iya," jawabku sambil tersipu malu.

Tatapan matanya berubah menjadi dingin, lambat-laun senyumku sirna. Kuamati garis wajahnya di hadapan cermin. Wanita tua ini tersenyum. Perlahan kulepaskan kedua tangannya dari bahuku sambil tersenyum kikuk.

Wanita tua ini mendekati wajahku dengan tatapan yang menyeramkan. Matanya seolah ingin keluar dari wajahnya sendiri. Aku menghimpit diriku membelakangi cermin sambil menatap wajah wanita tua ini dengan gentar. Bibirnya bergetar seolah hendak mengatakan sebuah rahasia yang sudah lama terpendam.

"Hanya ada dua kemungkinan mengapa seorang pria membiarkan wanita yang akan ia kencani kedinginan dan pulang sendiri. Yang pertama, karena dia tidak peduli dan yang kedua karena dia mencintai wanita lain."

Dadaku tersentak. Aku tak mampu lagi berkata-kata. Tubuhku hampir saja ambruk ke lantai melihat wanita tua ini tertawa keras-keras di hadapanku.

"Takdir buruk!! Takdir buruk!!" serunya dengan lantang sambil menghentak-hentakkan kakinya ke lantai butik.

"Hahaha!" tawanya menggelegar melihat aku yang hanya bisa memegang dadaku dengan tangan yang bergetar.

Pegawai butik datang berlari ke arah kami bersama dengan petugas keamanan. Dengan sigap, wanita tua itu di seret hingga tawanya meredup dari pendengaran. Pegawai butik yang lainnya datang menghampiriku dengan wajah panik.

"Kau tak apa, Nona?" Aku hanya bisa menggeleng tak berdaya sembari terduduk jongkok di lantai.

"Maaf atas ketidaknyamanan ini. Saya sebagai manajer butik mengucapkan maaf yang sebesar-besarnya." Suara lain membuat kepalaku terdongak ke atas. Kudapati wajah seorang wanita dengan paras yang rupawan dan karismatik.

Wanita itu kemudian membantuku berdiri.

"Ah, eh, aku tak apa," jawabku sambil tergagap. Kupandangi pegawai butik yang berdiri di belakang nyonya besar ini. Pegawai itu tampak meraa takut.

"Semuanya yang Nona beli silahkan bayar setengah harga. Semoga di lain hari, butik kami selalu menjadi pilihan bagi Nona. Saya pamit dulu." Wanita itu pergi sebelum mengulas sebuah senyum di bibirnya.

"Mari, Nona. Ikut saya," ajak pegawai butik.

Aku membayar semuanya setengah harga. Bayang-bayang tentang wanita tua tadi masih merajai pikiran. Kulangkahkan kakiku keluar butik, ditemani petugas keamanan di belakangku.

"Berhati-hatilah, Nona. Have a good day," sapa petugas tersebut. Aku tersenyum. Rasa pemasaran membuatku membuka suara.

"Apakah kejadian seperti ini sudah biasa terjadi?" tanyaku.

"Ini yang pertama kalinya," jawabnya. Hatiku kembali tertumbuk kaku.

Apakah ....

Bab terkait

  • Cinta dalam Gempita   Part 1 (Siapa?)

    Senja baru saja menyapa langit di daratan Gempita. Sebuah kota kecil di sudut bumi. Penuh dengan hiruk-pikuk, politik, keluarga dengan berbagai jenis status sosial dan hal-hal memuakkan lainnya. Aku tahu aku tidak berhak mengatakan hal buruk ini meski hanya berupa sebuah bisikan gaib di dalam sanubari. Tapi, itulah kenyataan yang aku rasakan. Hidup sebatang kara di kota yang penuh dengan cahaya lampu bahkan ketika hari masih dirajai sang mentari bukanlah hal yang menjadi sebuah rencana hidup. Peristiwa tujuh tahun yang lalu masih membekas di ingatan. Sebuah momen krusial yang membuat lara ini semakin mengikat kenyataan hidup. Lara hati berteman dengan semilir angin senja. Aku berjalan menyusuri jalanan yang ramai. Gerak angin senja mempermainkan helai rambut sesukanya. Kurapikan mantelku dengan segera saat angin kencang berikutnya berhembus. Kota ini akan memasuki iklim yang seperti ini setiap pertengahan tahun. Kupandangi kendaraan yang lalu-lalang sambil me

  • Cinta dalam Gempita   Part 2 ( Lelaki dalam Sanubari)

    Mataku menerawang ke awang-awang. Kupandangi diriku yang terpantul di hadapan cermin. Dahiku luka karena kejadian malam ini. Kucuci luka itu dengan menggunakan cairan antiseptik, kemudian menempelkan plester khusus luka di sana. Aku sudah tiba di rumah sekitar setengah jam yang lalu. Tak ada pilihan yang lebih baik, selain menelpon taksi meskipun jarak hunianku sudah dekat. Dengan begitu, pegawai taxi bisa membantuku mengemasi barang-barangku yang terjatuh di jalanan. Aku baru saja selesai mandi air hangat. Kini kau terduduk di hadapan sebuah cermin besar di ruang tengah hunianku yang sederhana. Kubiarkan rambutku tergerai begitu saja dalam kondisi setengah basah. Mata elang itu! Mengapa tak ingin pergi dari ingatan? Kuselami nalarku mencoba untuk mengingat seluruh wajah yang aku temui di kota ini. Namun, nihil! Wajah pemuda itu tampak asing bagiku. Tak mampu kudapati aura yang sama seperti dirinya dari semua orang yang pernah aku temui di Gempita. Ma

  • Cinta dalam Gempita   Part 3 (Lirik untuk Jiwa-Jiwa yang Sepi)

    "Terimakasih," ucapku pada driver taxi sesaat setelah membayar uang sewa dan melangkahkan kakiku keluar. Angin seketika mempermainkan rambut dan bagian bawah blouse yang aku kenakan. Kulangkahkan kakiku menuju gedung besar pusat belanjaan terbesar di Gempita ini. The Royal Palace, itulah namanya. Untung cafe kami berada di lantai dasar, dekat dengan taman dan air terjun buatan yang didesain khusus untuk tempat yang sempurna mengambil foto, lengkap pula dengan pojok literasi di samping kanan dan kiri. Tempat yang biasa disebut dengan The Royal atau pun The Rol-P ini didesain oleh satu dari sepuluh arsitek terkemuka di dunia, yang langsung di kontrak oleh Gempita dari luar negeri. Kota ini memang terkenal dengan kerumunan saudagar dan pebisnis handal. Menggabungkan konsep outdoor dan indoor, pusat berpelanjaan ini menjadi salah satu tempat yang sangat tepat untuk menghabiskan waktu baik bersama keraba

  • Cinta dalam Gempita   Part 4 (Ajakan Kencan Impian)

    Mata kelabu itu masih menatap lurus ke arahku. Riuh gepuk tangan pengunjung seketika tak lagi kudengar. Padahal telapak tangan mereka masih saling menepuk. Gaduh teriakkan mereka tak lagi kudengar, padahal mulut mereka masih ternganga berseru dengan lebarnya. Mata itu seolah menghipnotis seluruh indera gerak. Jay melangkah maju, spontan wajah pucat lelaki itu tersembunyi di belakang tubuh Jay yang atletis. Aku turun dari panggung dengan langkah sedikit pincang. Kulangkahkan kakiku terus hingga ke arah dapur. Zaki di sana, berdiri sambil mengacungkan jempol. Aku tersenyum sambil terus berjalan ke arah toilet. Setibanya di sana aku lantas mengunci pintu dari bilik yang aku tempati. "Apa yang lelaki mengerikan itu lakukan di sini?" Kuremas jemariku dengan jemari yang lainnya. Kuatur napasku yang naik-turun tidak karuan. Mungkinkah aku salah lihat? Iya! Pasti seperti itu! Lagi pula, bukannya tadi lampu bar sedang remang? Kutenangkan diriku sejenak di dalam sambil

Bab terbaru

  • Cinta dalam Gempita   Part 5 (Sepenggal Kalimat Misterius)

    Sosok asing itu memalingkan kepalanya padaku. Seketika tulang belakangku terasa dingin. Mata kelabu yang tajam itu ibarat mengunci kedua korneaku hingga lumpuh tak berdaya. Bibirnya mengantup rapat sesaat setelah lirik lagu berhenti. Suaranya bagus, nada yang ia nyanyikan tepat tanpa cacat. Sejenak aku mengucapkan pujian atas suara merdu itu di dalam hati. "Kau ...." Kupeluk lenganku yang dingin saat tatapan itu tak berganti bidik sasar. Pemuda bermata elang di hadapanku menggganti posisi duduknya, diangkatnya satu pahanya kemudian meletakkannya di atas bangku taman, sedang kaki yang satunya masih menyentuh tanah. Badannya menghadap persis padaku. Diletakkannya sikunya di sandaran kursi. Sedangkan tangan itu saling mengait antara jemarinya satu dan jemari yang lainnya. "Sedalam itukah rindumu padaku?" Spontan aku melongo. "Huh?" Hanya itu yang mampu mulut ini ucapkan sebagai balasan. Lelaki ini tersenyum sinis. Wajahnya tak sepucat tempo hari.

  • Cinta dalam Gempita   Part 4 (Ajakan Kencan Impian)

    Mata kelabu itu masih menatap lurus ke arahku. Riuh gepuk tangan pengunjung seketika tak lagi kudengar. Padahal telapak tangan mereka masih saling menepuk. Gaduh teriakkan mereka tak lagi kudengar, padahal mulut mereka masih ternganga berseru dengan lebarnya. Mata itu seolah menghipnotis seluruh indera gerak. Jay melangkah maju, spontan wajah pucat lelaki itu tersembunyi di belakang tubuh Jay yang atletis. Aku turun dari panggung dengan langkah sedikit pincang. Kulangkahkan kakiku terus hingga ke arah dapur. Zaki di sana, berdiri sambil mengacungkan jempol. Aku tersenyum sambil terus berjalan ke arah toilet. Setibanya di sana aku lantas mengunci pintu dari bilik yang aku tempati. "Apa yang lelaki mengerikan itu lakukan di sini?" Kuremas jemariku dengan jemari yang lainnya. Kuatur napasku yang naik-turun tidak karuan. Mungkinkah aku salah lihat? Iya! Pasti seperti itu! Lagi pula, bukannya tadi lampu bar sedang remang? Kutenangkan diriku sejenak di dalam sambil

  • Cinta dalam Gempita   Part 3 (Lirik untuk Jiwa-Jiwa yang Sepi)

    "Terimakasih," ucapku pada driver taxi sesaat setelah membayar uang sewa dan melangkahkan kakiku keluar. Angin seketika mempermainkan rambut dan bagian bawah blouse yang aku kenakan. Kulangkahkan kakiku menuju gedung besar pusat belanjaan terbesar di Gempita ini. The Royal Palace, itulah namanya. Untung cafe kami berada di lantai dasar, dekat dengan taman dan air terjun buatan yang didesain khusus untuk tempat yang sempurna mengambil foto, lengkap pula dengan pojok literasi di samping kanan dan kiri. Tempat yang biasa disebut dengan The Royal atau pun The Rol-P ini didesain oleh satu dari sepuluh arsitek terkemuka di dunia, yang langsung di kontrak oleh Gempita dari luar negeri. Kota ini memang terkenal dengan kerumunan saudagar dan pebisnis handal. Menggabungkan konsep outdoor dan indoor, pusat berpelanjaan ini menjadi salah satu tempat yang sangat tepat untuk menghabiskan waktu baik bersama keraba

  • Cinta dalam Gempita   Part 2 ( Lelaki dalam Sanubari)

    Mataku menerawang ke awang-awang. Kupandangi diriku yang terpantul di hadapan cermin. Dahiku luka karena kejadian malam ini. Kucuci luka itu dengan menggunakan cairan antiseptik, kemudian menempelkan plester khusus luka di sana. Aku sudah tiba di rumah sekitar setengah jam yang lalu. Tak ada pilihan yang lebih baik, selain menelpon taksi meskipun jarak hunianku sudah dekat. Dengan begitu, pegawai taxi bisa membantuku mengemasi barang-barangku yang terjatuh di jalanan. Aku baru saja selesai mandi air hangat. Kini kau terduduk di hadapan sebuah cermin besar di ruang tengah hunianku yang sederhana. Kubiarkan rambutku tergerai begitu saja dalam kondisi setengah basah. Mata elang itu! Mengapa tak ingin pergi dari ingatan? Kuselami nalarku mencoba untuk mengingat seluruh wajah yang aku temui di kota ini. Namun, nihil! Wajah pemuda itu tampak asing bagiku. Tak mampu kudapati aura yang sama seperti dirinya dari semua orang yang pernah aku temui di Gempita. Ma

  • Cinta dalam Gempita   Part 1 (Siapa?)

    Senja baru saja menyapa langit di daratan Gempita. Sebuah kota kecil di sudut bumi. Penuh dengan hiruk-pikuk, politik, keluarga dengan berbagai jenis status sosial dan hal-hal memuakkan lainnya. Aku tahu aku tidak berhak mengatakan hal buruk ini meski hanya berupa sebuah bisikan gaib di dalam sanubari. Tapi, itulah kenyataan yang aku rasakan. Hidup sebatang kara di kota yang penuh dengan cahaya lampu bahkan ketika hari masih dirajai sang mentari bukanlah hal yang menjadi sebuah rencana hidup. Peristiwa tujuh tahun yang lalu masih membekas di ingatan. Sebuah momen krusial yang membuat lara ini semakin mengikat kenyataan hidup. Lara hati berteman dengan semilir angin senja. Aku berjalan menyusuri jalanan yang ramai. Gerak angin senja mempermainkan helai rambut sesukanya. Kurapikan mantelku dengan segera saat angin kencang berikutnya berhembus. Kota ini akan memasuki iklim yang seperti ini setiap pertengahan tahun. Kupandangi kendaraan yang lalu-lalang sambil me

DMCA.com Protection Status