Mata kelabu itu masih menatap lurus ke arahku. Riuh gepuk tangan pengunjung seketika tak lagi kudengar. Padahal telapak tangan mereka masih saling menepuk. Gaduh teriakkan mereka tak lagi kudengar, padahal mulut mereka masih ternganga berseru dengan lebarnya. Mata itu seolah menghipnotis seluruh indera gerak.
Jay melangkah maju, spontan wajah pucat lelaki itu tersembunyi di belakang tubuh Jay yang atletis. Aku turun dari panggung dengan langkah sedikit pincang. Kulangkahkan kakiku terus hingga ke arah dapur. Zaki di sana, berdiri sambil mengacungkan jempol. Aku tersenyum sambil terus berjalan ke arah toilet. Setibanya di sana aku lantas mengunci pintu dari bilik yang aku tempati.
"Apa yang lelaki mengerikan itu lakukan di sini?" Kuremas jemariku dengan jemari yang lainnya. Kuatur napasku yang naik-turun tidak karuan.
Mungkinkah aku salah lihat? Iya! Pasti seperti itu! Lagi pula, bukannya tadi lampu bar sedang remang? Kutenangkan diriku sejenak di dalam sambil mengatur napas. Kakiku terasa lebih sakit dari sebelumnya. Mungkin aku harus berhenti beraktivitas untuk sejenak. Tapi? Bagaimana bisa aku melakukan itu?
Kulangkahkan kakiku keluar bilik kamar mandi saat gemuruh di dada mereda. Kuperbaiki letak rambut yang menutupi dahiku. Kuraba plester di sana seolah ingin memastikan bahwa barang mungil itu masih tetap menempel.
Kukeluarkan lipbalm dari dalam tasku kemudian mengoleskan benda tersebut ke atas permukaan bibir. Aku tersenyum mendapati bayangan diriku di atas pantulan cermin westafel.
Tunggu! Aku rasanya melupakan sesuatu. Kutekan bibirku dengan menggunakan jari telunjuk untuk mencoba mengingat hal yang terlupakan itu. Mataku menatap langit-langit kanan sudut ruangan ini.
"Astaga! Surat cintanya!" Kutepuk kepalaku dengan menggunakan telapak tangan.
Segera kurogoh saku celanaku dan menjepit potongan kertas yang ada di sana dengan menggunakan jemari. Kubuka lipatan kertas yang kini sukses berada di genggaman.
'Datanglah ke taman parkiran setelah jadwalmu selesai. Ada hal yang ingin aku sampaikan'
Begitulah isi pesan yang tertulis di atas kertas itu. Senyumanku merekah. Seribu pertanyaan datang berduyun-duyun menghiasi kepala. Bukannya ia bisa langsung mengirimi aku pesan text lewat ponselku? Mengapa mendadak menjadi kaku seperti ini?
Kembali kupandangi wajahku yang terpantul di cermin. Tanganku masih gemetar menggenggam secarik kertas yang sukses membuat guntur meledak di dalam dada. Apakah Jay akan mengungkapkan rasa? Apakah penantianku selama setahun belakangan ini akan berbuah manis?
Beribu lamunan mengambang di danau sanubari. Kudekap kertas tersebut sambil tertawa riang layaknya seorang anak kecil yang mendapatkan setoples permen bunga.
Segera kulangkahkan kakiku keluar toilet sambil menuju tempat yang Jay janjikan. Aku melewati dapur dan terus berjalan dengan perasaan yang meluap-luap.
"Vejacy!" Langkahku terhenti saat mendengar seseorang memanggilku. Kupalingkan kepalaku ke arah datangnya suara. Zaki datang menghampiriku dengan tergesa-gesa.
"Apa isinya? Kamu sudah baca?" Bola mataku memutar. Lelaki ini betul-betul gila urusan. Bagaimana bisa otaknya masih saja sanggup mengurusi urusanku di sela-sela tugas cafe yang padat? Kuhela napasku sambil membuat raut wajah yang kubuat-buat jengkel. Seketika bibirnya monyong menandakan sikap tak mau tahu.
"Cepatlah! Aku sedang banyak kerjaan," ucapnya sambil menggerak-gerakkan matanya dari sipit ke besar berulang-ulang. Aku tertawa.
"Ya, kalau begitu kerjakan. Jangan malah sibuk ingin tahu urusan orang," cibirku sambil terus menutup mulutku yang sudah tertawa terbahak-bahak dengan menggunakan telapak tangan. Senang rasanya menggoda lelaki yang sudah beristri dan beranak satu ini.
"Ish!" Dibuatnya tangannya tampak hendak meninju wajahku karena geram. Spontan aku mengangguk dan mundur selangkah.
"Baiklah, baiklah," ucapku sambil berusaha menghentikan tawa di sudut bibirku yang bergetar. Kutarik napasku sambil berusaha memasang wajah biasa-biasa saja.
"Dia mengajakku bertemu di suatu tempat. Dia ingin menyampaikan sesuatu, itulah yang dia tulis di kertas itu," ungkapku sambil berusaha menahan senyuman ini agar tidak lebih lebar lagi. Aku tak ingin harga diriku sebagai wanita berkelas jatuh begitu saja akibat ekspresiku yang berlebihan menanggapi pesan dari Jay.
"Serius?!" Gendang telingaku hampir saja pecah mendengar teriakkan Zaki. Tak peduli dengan tatapan orang-orang di sekeliling kami, ia malah bersorak kegirangan. Sebenarnya siapa yang menaruh hati pada Jay? Aku atau dia? Mengapa dia bisa sebahagia ini? Aku tertawa sambil menggenggam tangannya. Kami berdua melompat-lompat kecil, persis terlihat seperti dua anak kodok yang sangat bahagia.
"Pergilah! Jangan sampai dia menunggu!" tegas Zaki padaku. Aku mengangguk.
Kulangkahkan kakiku secepat yang aku bisa. Aku bahkan melompat-lompat dengan Zaki sebelumnya akibat perasaan bahagia yang tak kuasa untuk aku bendung. Nyilu dan sakit di pergelangan kaki seketika tak aku hiraukan lagi. Beginilah nyatanya. Terkadang hal-hal tentang cinta, bisa membuat nyali kita berubah dari satu menjadi sebelas.
Kini aku sudah melewati pintu depan cafe. Udara dingin seketika menembus kulit. Karena terlalu fokus dengan penampilanku, aku sampai lupa membawa jaket atau pun mantel. Aku memaki diri sendiri dalam hati. Mengapa aku bisa seceroboh ini?
Kulangkahkan kakiku terus menuju tempat yang Jay tulis di kertas itu. Hanya sisa sedikit lagi, aku akan sampai di sana. Dadaku rasanya ingin meledak dari raga. Rasa ngilu di pergelangan kaki membuatku harus melambatkan langkah. Biar bagaimanapun aku butuh kaki ini untuk melangkah ke altar pernikahanku nanti bersama Jay. Aku tertawa saat pikiran liar itu sejenak bertengger di sudut otak.
Taman parkiran sudah terlihat. Kuturuni tangga dengan hati-hati. Napasku tersengal-sengal menahan sakit di pergelangan kaki.
Kini aku sudah memasuki taman. Gemerlap lampu-lampu kecil jatuh menjuntai dari pepohonan ke tanah bagai tetesan hujan yang bercahaya. Aku melihatnya! Jay ada di sana, duduk di sebuah kursi kayu dengan santai sambil membelakangi jalan masuk.
Kudekati dia dengan langkah pelan. Kuletakkan tanganku ke dada untuk membantuku bernapas dengan benar, juga untuk mencoba meredakan gemuruh detak jantung yang liar ini.
"Jay ...," panggilku dengan perasaan berdebar. Jay menoleh, dengan segera ia berdiri dan menghampiriku. Senyum menawan itu kembali menghiasi wajahnya yang rupawan.
“Kau sudah datang rupanya,” jawabnya. Kurapikan rambutku yang dipermainkan angin malam. Hawa dingin membasuh bagian kulitku yang tak tertutup blouse.
“Jadi ... kamu sudah lama menungguku?” ucapku tak enak sambil menempatkan berat badanku pada kursi taman yang dingin. Dalam hati aku memaki diriku sendiri kembali yang lupa membawa mantel hangat malam ini. Padahal aku tahu, dalam waktu dekat, musim akan berubah menjadi semakin dingin di Gempita.
“Oh? Tidak perlu berbicara dengan nada tak enak seperti itu. Aku memang berniat ke sini lebih dulu.” Jay mengambil tempat persis di sampingku. Punggungnya bersandar pelan di sandaran kursi. Pandangannya mengarah kepada dua orang sejoli yang sedang berjalan melewati kami dengan senyum yang mengembang. Tangan mereka berdua saling bertautan satu sama lain. Sebahagia itukah jika sedang berada dengan seseorang yang kita sayangi? Aku lupa rasanya.
“Apa yang ingin kamu bicarakan?” Jantungku kembali berdegub kencang saat aku memberanikan diriku membuka percakapan seputar pertemuan ini. Jay memalingkan kepalanya padaku. Senyumnya kembali merekah. Semilir angin menusuk hingga ke dalam sanubari. Mengapa malam ini aku merasa sangat kedinginan? Apakah ini adalah isyarat bagiku untuk segera mendapatkan kehangatan dari seseorang yang begitu mengasihiku?
“Aku ingin mengajakmu pergi. Apakah kamu sibuk malam Minggu depan? Akan ada festival kembang api warna di alun-alun kota. Maukah kamu pergi menghabiskan malam Minggu bersamaku?” Mataku membulat.
‘Bermimpikah aku kini?’ Kucubit diriku berkali-kali dalam pikiran.
Kencan yang selama ini aku nantikan kini menjadi kenyataan? Senyumku terpahat dengan sempurna di wajah. Aku mengangguk malu sambil memperbaiki letak rambutku yang acak-acakan dipermainkan angin malam.
“Kamu merasa senang? Tak perlu malu seperti itu. Kamu adalah salah satu dari daftar orang-orang yang sangat aku percaya. Sangat nyaman bisa berada di sisimu setiap waktu.”
Deg!
Lagi! Serangan hati itu datang lagi. Aku bahkan tak tahu harus berkata apa. Lidahku kelu! Seolah sibuk bercakap dengan sanubariku, bibirku bungkam! Aku hanya bisa menatap wajah pemuda yang ada di hadapanku dengan perasaan gugup bercampur bahagia.
“Benarkah itu?” Kuberanikan diriku untuk membuka suara agar tak terlihat semakin bodoh.
Jay mendekatkan jemarinya menyentuh dahiku. Dirapikannya helai demi helai rambutku yang ada di sana. Dia mengangguk dengan senyuman yang membuatku ingin sekali menghamburkan diri ini ke dalam hangatnya pelukannya namun itu tak mungkin. Aku memang bahagia tapi tak harus membuang harga diri.
Dahinya berkerut seraya sentuhan jemarinya di permukaan plester luka yang masih dengan sempurna menempel di permukaan kulitku. Wajahnya seketika berubah menjadi khawatir.
“Kau terluka?” tanyanya sambil terus-menerus meneliti plester luka tersebut.
“Ah, luka itu juga kudapatkan saat aku terjatuh kemarin. Bersamaan dengan kakiku yang pincang ini,” jelasku sambil melirik kaki kananku yang sengaja aku angkat sedikit.
“Mengapa bisa sampai terjatuh? Apakah karena sedang membereskan rumah?” tanyanya. Kini genggamannya beralih ke telapak tanganku.
Memori malam itu kembali terlintas dipikiran. Haruskah aku menceritakan kejadian yang sebenarnya kepada Jay? Tidak! Aku spontan menggelengkan kepala. Jay tersenyum kebingungan melihat tingkahku yang tiba-tiba.
“Aku rasa bukan karena pekerjaan rumah,” ucapnya sambil melipatkan tangan. Apakah ini pertanda bahwa dia menuntut jawaban lebih? Aku tertunduk.
“Seseorang menabrakku di jalanan saat perjalanan pulang ke rumah. Ini murni sebagai sebuah kecelakaan. Jangan terlalu dipikirkan,” jelasku sambil mengusap pelan genggamannya padaku. Aku tak ingin kejadian mengerikan malam itu merusak momen romantis ini.
“Seseorang? Menggunakan kendaraan?” tanyanya. Aku menggeleng.
“Dia juga sedang berlari dan tidak sengaja menabrakku. Kami berdua terjatuh,” jelasku. Jay memain-mainkan kedua keningnya naik-turun.
“Seorang lelaki?" tanyanya kembali. Aku menggerutu dalam hatiku. Mengapa sekarang pertanyannya semakin banyak?
“Iya,” jawabku singkat.
“Mungkin ia terpesona saat melihatmu, makanya sampai tak bisa melihat jalan dengan jelas,” semburnya sambil tertawa lepas. Aku hanya bisa tersenyum lega. Akhirnya pertanyaannya bisa terhenti.
Digenggamnya kembali tanganku dengan erat. Senyumnya yang menawan tak lepas dari wajah tampan itu. Jantungku berdegup kencang seketika.
“Jangan lupa malam Minggu nanti, aku akan menunggumu di taman kota, pulul 07.00 malam. Berdandanlah secantik hari ini.” Tak sia-sia aku memaksakan diri dengan kaki pincangku untuk datang bernyanyi malam ini di cafe. Kebahagiaanku lengkap! Senyum malu-malu tercetak begitu saja di bibir, tak mampu diri ini untuk menahan.
“Dengar, aku harus kembali ke dalam karena acara akan selesai sebentar lagi. Kamu pulanglah dan beristirahat. Maaf karena tak bisa mengantarmu malam ini,” jelasnya padaku. Aku menggangguk. Jay kemudian beranjak pergi. Baru saja beberapa langkah meninggalkanku, ia kembali membalikkan badannya padaku.
“Oh, ya. Lelaki yang menabrakmu itu. Jika aku menemuinya, maka aku tak akan mengampuninya!” semburnya sambil tertawa renyah. Aku hanya bisa tersenyum menanggapi sambil melambaikan tangan. Kupandangi punggungnya hingga ia berlalu menaiki anak tangga menuju gedung utama.
Karena perkataan Jay yang terakhir, timbul niat isengku untuk membandingkan ketampanannya dengan pemuda bermata elang kemarin malam. Postur tubuh Jay jelas kalah dengan lelaki bermata tajam dan menakutkan itu. Ia lebih tinggi dan atletis. Jaket tebalnya tak mampu menyembunyikan lengannya yang berortot kata memaksaku terhimpit ke dinding gang. Agak jangkung, namun tak kurus. Tiba-tiba aku mengingat gurat wajah yang tadi aku lihat sekitar di bar bercahaya biru.
Tunggu! Apakah ....
“Don’t cry, Baby ....”
“Look up to the sky and take my hand ....”
“Don’t walk away, Babe ....”
“Cus i am here, always be your man.”
Aku tersentak saat mendengar sebuah suara yang menyanyikan lirik lagu yang sangat familiar di gendang telingaku. Sosok itu datang dari keremangan taman dan duduk di kursi yang sama denganku.
Dia?!
Sosok asing itu memalingkan kepalanya padaku. Seketika tulang belakangku terasa dingin. Mata kelabu yang tajam itu ibarat mengunci kedua korneaku hingga lumpuh tak berdaya. Bibirnya mengantup rapat sesaat setelah lirik lagu berhenti. Suaranya bagus, nada yang ia nyanyikan tepat tanpa cacat. Sejenak aku mengucapkan pujian atas suara merdu itu di dalam hati. "Kau ...." Kupeluk lenganku yang dingin saat tatapan itu tak berganti bidik sasar. Pemuda bermata elang di hadapanku menggganti posisi duduknya, diangkatnya satu pahanya kemudian meletakkannya di atas bangku taman, sedang kaki yang satunya masih menyentuh tanah. Badannya menghadap persis padaku. Diletakkannya sikunya di sandaran kursi. Sedangkan tangan itu saling mengait antara jemarinya satu dan jemari yang lainnya. "Sedalam itukah rindumu padaku?" Spontan aku melongo. "Huh?" Hanya itu yang mampu mulut ini ucapkan sebagai balasan. Lelaki ini tersenyum sinis. Wajahnya tak sepucat tempo hari.
Senja baru saja menyapa langit di daratan Gempita. Sebuah kota kecil di sudut bumi. Penuh dengan hiruk-pikuk, politik, keluarga dengan berbagai jenis status sosial dan hal-hal memuakkan lainnya. Aku tahu aku tidak berhak mengatakan hal buruk ini meski hanya berupa sebuah bisikan gaib di dalam sanubari. Tapi, itulah kenyataan yang aku rasakan. Hidup sebatang kara di kota yang penuh dengan cahaya lampu bahkan ketika hari masih dirajai sang mentari bukanlah hal yang menjadi sebuah rencana hidup. Peristiwa tujuh tahun yang lalu masih membekas di ingatan. Sebuah momen krusial yang membuat lara ini semakin mengikat kenyataan hidup. Lara hati berteman dengan semilir angin senja. Aku berjalan menyusuri jalanan yang ramai. Gerak angin senja mempermainkan helai rambut sesukanya. Kurapikan mantelku dengan segera saat angin kencang berikutnya berhembus. Kota ini akan memasuki iklim yang seperti ini setiap pertengahan tahun. Kupandangi kendaraan yang lalu-lalang sambil me
Mataku menerawang ke awang-awang. Kupandangi diriku yang terpantul di hadapan cermin. Dahiku luka karena kejadian malam ini. Kucuci luka itu dengan menggunakan cairan antiseptik, kemudian menempelkan plester khusus luka di sana. Aku sudah tiba di rumah sekitar setengah jam yang lalu. Tak ada pilihan yang lebih baik, selain menelpon taksi meskipun jarak hunianku sudah dekat. Dengan begitu, pegawai taxi bisa membantuku mengemasi barang-barangku yang terjatuh di jalanan. Aku baru saja selesai mandi air hangat. Kini kau terduduk di hadapan sebuah cermin besar di ruang tengah hunianku yang sederhana. Kubiarkan rambutku tergerai begitu saja dalam kondisi setengah basah. Mata elang itu! Mengapa tak ingin pergi dari ingatan? Kuselami nalarku mencoba untuk mengingat seluruh wajah yang aku temui di kota ini. Namun, nihil! Wajah pemuda itu tampak asing bagiku. Tak mampu kudapati aura yang sama seperti dirinya dari semua orang yang pernah aku temui di Gempita. Ma
"Terimakasih," ucapku pada driver taxi sesaat setelah membayar uang sewa dan melangkahkan kakiku keluar. Angin seketika mempermainkan rambut dan bagian bawah blouse yang aku kenakan. Kulangkahkan kakiku menuju gedung besar pusat belanjaan terbesar di Gempita ini. The Royal Palace, itulah namanya. Untung cafe kami berada di lantai dasar, dekat dengan taman dan air terjun buatan yang didesain khusus untuk tempat yang sempurna mengambil foto, lengkap pula dengan pojok literasi di samping kanan dan kiri. Tempat yang biasa disebut dengan The Royal atau pun The Rol-P ini didesain oleh satu dari sepuluh arsitek terkemuka di dunia, yang langsung di kontrak oleh Gempita dari luar negeri. Kota ini memang terkenal dengan kerumunan saudagar dan pebisnis handal. Menggabungkan konsep outdoor dan indoor, pusat berpelanjaan ini menjadi salah satu tempat yang sangat tepat untuk menghabiskan waktu baik bersama keraba
Sosok asing itu memalingkan kepalanya padaku. Seketika tulang belakangku terasa dingin. Mata kelabu yang tajam itu ibarat mengunci kedua korneaku hingga lumpuh tak berdaya. Bibirnya mengantup rapat sesaat setelah lirik lagu berhenti. Suaranya bagus, nada yang ia nyanyikan tepat tanpa cacat. Sejenak aku mengucapkan pujian atas suara merdu itu di dalam hati. "Kau ...." Kupeluk lenganku yang dingin saat tatapan itu tak berganti bidik sasar. Pemuda bermata elang di hadapanku menggganti posisi duduknya, diangkatnya satu pahanya kemudian meletakkannya di atas bangku taman, sedang kaki yang satunya masih menyentuh tanah. Badannya menghadap persis padaku. Diletakkannya sikunya di sandaran kursi. Sedangkan tangan itu saling mengait antara jemarinya satu dan jemari yang lainnya. "Sedalam itukah rindumu padaku?" Spontan aku melongo. "Huh?" Hanya itu yang mampu mulut ini ucapkan sebagai balasan. Lelaki ini tersenyum sinis. Wajahnya tak sepucat tempo hari.
Mata kelabu itu masih menatap lurus ke arahku. Riuh gepuk tangan pengunjung seketika tak lagi kudengar. Padahal telapak tangan mereka masih saling menepuk. Gaduh teriakkan mereka tak lagi kudengar, padahal mulut mereka masih ternganga berseru dengan lebarnya. Mata itu seolah menghipnotis seluruh indera gerak. Jay melangkah maju, spontan wajah pucat lelaki itu tersembunyi di belakang tubuh Jay yang atletis. Aku turun dari panggung dengan langkah sedikit pincang. Kulangkahkan kakiku terus hingga ke arah dapur. Zaki di sana, berdiri sambil mengacungkan jempol. Aku tersenyum sambil terus berjalan ke arah toilet. Setibanya di sana aku lantas mengunci pintu dari bilik yang aku tempati. "Apa yang lelaki mengerikan itu lakukan di sini?" Kuremas jemariku dengan jemari yang lainnya. Kuatur napasku yang naik-turun tidak karuan. Mungkinkah aku salah lihat? Iya! Pasti seperti itu! Lagi pula, bukannya tadi lampu bar sedang remang? Kutenangkan diriku sejenak di dalam sambil
"Terimakasih," ucapku pada driver taxi sesaat setelah membayar uang sewa dan melangkahkan kakiku keluar. Angin seketika mempermainkan rambut dan bagian bawah blouse yang aku kenakan. Kulangkahkan kakiku menuju gedung besar pusat belanjaan terbesar di Gempita ini. The Royal Palace, itulah namanya. Untung cafe kami berada di lantai dasar, dekat dengan taman dan air terjun buatan yang didesain khusus untuk tempat yang sempurna mengambil foto, lengkap pula dengan pojok literasi di samping kanan dan kiri. Tempat yang biasa disebut dengan The Royal atau pun The Rol-P ini didesain oleh satu dari sepuluh arsitek terkemuka di dunia, yang langsung di kontrak oleh Gempita dari luar negeri. Kota ini memang terkenal dengan kerumunan saudagar dan pebisnis handal. Menggabungkan konsep outdoor dan indoor, pusat berpelanjaan ini menjadi salah satu tempat yang sangat tepat untuk menghabiskan waktu baik bersama keraba
Mataku menerawang ke awang-awang. Kupandangi diriku yang terpantul di hadapan cermin. Dahiku luka karena kejadian malam ini. Kucuci luka itu dengan menggunakan cairan antiseptik, kemudian menempelkan plester khusus luka di sana. Aku sudah tiba di rumah sekitar setengah jam yang lalu. Tak ada pilihan yang lebih baik, selain menelpon taksi meskipun jarak hunianku sudah dekat. Dengan begitu, pegawai taxi bisa membantuku mengemasi barang-barangku yang terjatuh di jalanan. Aku baru saja selesai mandi air hangat. Kini kau terduduk di hadapan sebuah cermin besar di ruang tengah hunianku yang sederhana. Kubiarkan rambutku tergerai begitu saja dalam kondisi setengah basah. Mata elang itu! Mengapa tak ingin pergi dari ingatan? Kuselami nalarku mencoba untuk mengingat seluruh wajah yang aku temui di kota ini. Namun, nihil! Wajah pemuda itu tampak asing bagiku. Tak mampu kudapati aura yang sama seperti dirinya dari semua orang yang pernah aku temui di Gempita. Ma
Senja baru saja menyapa langit di daratan Gempita. Sebuah kota kecil di sudut bumi. Penuh dengan hiruk-pikuk, politik, keluarga dengan berbagai jenis status sosial dan hal-hal memuakkan lainnya. Aku tahu aku tidak berhak mengatakan hal buruk ini meski hanya berupa sebuah bisikan gaib di dalam sanubari. Tapi, itulah kenyataan yang aku rasakan. Hidup sebatang kara di kota yang penuh dengan cahaya lampu bahkan ketika hari masih dirajai sang mentari bukanlah hal yang menjadi sebuah rencana hidup. Peristiwa tujuh tahun yang lalu masih membekas di ingatan. Sebuah momen krusial yang membuat lara ini semakin mengikat kenyataan hidup. Lara hati berteman dengan semilir angin senja. Aku berjalan menyusuri jalanan yang ramai. Gerak angin senja mempermainkan helai rambut sesukanya. Kurapikan mantelku dengan segera saat angin kencang berikutnya berhembus. Kota ini akan memasuki iklim yang seperti ini setiap pertengahan tahun. Kupandangi kendaraan yang lalu-lalang sambil me