Mataku menerawang ke awang-awang. Kupandangi diriku yang terpantul di hadapan cermin. Dahiku luka karena kejadian malam ini. Kucuci luka itu dengan menggunakan cairan antiseptik, kemudian menempelkan plester khusus luka di sana.
Aku sudah tiba di rumah sekitar setengah jam yang lalu. Tak ada pilihan yang lebih baik, selain menelpon taksi meskipun jarak hunianku sudah dekat. Dengan begitu, pegawai taxi bisa membantuku mengemasi barang-barangku yang terjatuh di jalanan.
Aku baru saja selesai mandi air hangat. Kini kau terduduk di hadapan sebuah cermin besar di ruang tengah hunianku yang sederhana. Kubiarkan rambutku tergerai begitu saja dalam kondisi setengah basah. Mata elang itu! Mengapa tak ingin pergi dari ingatan?
Kuselami nalarku mencoba untuk mengingat seluruh wajah yang aku temui di kota ini. Namun, nihil! Wajah pemuda itu tampak asing bagiku. Tak mampu kudapati aura yang sama seperti dirinya dari semua orang yang pernah aku temui di Gempita.
Masih terbayang jelas bagaimana tubuhku terhimpit ke tepian gedung dengan eratnya. Masih terbayang bagaimana ia menatapku dalam diam hingga membawa diri ini jatuh ke dalam situasi yang memperdaya. Siapa dia?
Kuraba bibirku sambil mengingat momen tiba-tiba yang aku lalui bersama pria mata elang itu. Apakah kami akan kembali bertemu? Tunggu! Aku pasti sudah gila! Jika memang di hari esok aku melihatnya dengan tidak sangaja sekali pun, aku akan memilih untuk lari dan menjauh. Sudah cukup keterkejutan dan rasa takutku malam ini.
Tatapanku beralih ke pergelangan kakiku yang mulai membiru. Sakitnya tak seperti pada awal aku terjatuh, namun tetap saja memberiku rasa sulit dan sakit saat berpijak. Besok aku ada jadwal bernyanyi di cafe. Kuharap aku tak menakuti pelanggan jika datang dengan kondisi seperti ini.
Aku tertatih menuju pembaringan. Kuletakkan badanku di sana. Rasa hangat dan tenang membuat mata ingin menutup diri. Namun, bayangan pria bermata kelabu itu masih saja menari-nari di pikiran.
Kuubah posisi baringku dan memunggungi dinding kamar. Bibirku bergerak pelan.
"Ibu ...."
***
Mentari pagi menyapa Gempita. Aku sudah telaten bergelut dengan bumbu dapur dan potongan daging sapi yang siap untuk di masak. Aku ingin makan daging hari ini. Sudah lama rasanya tak mencicipi daging sapi.
Rumah sederhana ini sudah menjadi saksi dari tiap langkahku menjalani hidup. Sejak Ayah dan Ibu pergi, akulah yang merawat rumah ini. Rumah inilah yang menjadi pelindung tubuh di segala musim yang menyelimuti Gempita.
Aku tak tahu keluarga Ayah, juga Ibu! Selama kami hidup bersama, orangtuaku tidak pernah mengajakku untuk menemui sanak-saudara yang lain. Ayah berkata bahwa mereka pindah ke kota ini saat Ibu tengah hamil dengan usia kandungan yang sudah mencapai delapan bulan.
Hubungan percintaan Ayah dan ibuku sangat rumit. Hingga akhirnya mereka berdua memilih untuk meninggalkan kota kelahiran dan datang ke Gempita dengan harapan untuk meraih kebahagiaan dan ketenangan hidup.
Harus aku akui! Mereka adalah orangtua yang luar biasa! Ayah adalah kekasih pertamaku dalam hidup ini dan Ibu adalah malaikat yang membawaku melihat dan merasa. Hingga sampai mereka tiada, aku tak pernah mendengar bentakkan ataupun amarah dari mereka berdua. Aku juga tumbuh dengan baik, tak menyusahkan mereka dan juga tak manja. Mereka mendukung semua hal-hal baik yang ingin aku lakukan. Selalu!
Ikatan cinta Ayah dan Ibu selalu membuatku kagum dan iri. Di sepanjang kehidupan mereka berdua, aku tak pernah mendengar orangtuaku bertengkar atau pun berbicara dengan nada yang tinggi. Ibu adalah sosok yang elegan, modis, dan protektif terhadap aku. Sedang Ayah adalah sosok yang selalu siap diandalkan dalam setiap situasi. Ibu juga sangat suka memasak. Karena itulah, awal mula ia dan Ayah pindah ke kota ini, mereka mengais cuan lewat berdagang masakan khusus untuk menu sarapan. Sup kentang dan bubur labu adalah menu favorit warga kota pada saat itu.
Setelah aku barusia tiga belas tahun, Ayah mendapatkan promosi besar di perusahaan asuransi tempat ia bekerja. Ibu memilih untuk membuka sebuah kios di kota dan akhirnya Ayah membeli rumah ini. Sayangnya, usaha Ibu tak berjalan lancar saat kami pindah lokasi penjualan. Makanya, ia memutuskan untuk berhenti menjual dan fokus untuk mengurus keluarga dan rumah. Lagipula, pesangon ayahku sudah lebih dari cukup untuk membiayai kehidupan kami di kota ini.
Tanganku berhenti menumis bumbu saat kudengar ponselku berbunyi. Kuletakkan kedua earphones ke lubang telinga dan menekan tombol hijau di layar putih yang kuletakkan di atas meja.
"Iya, Ki?" ucapku sebagai pengganti kata 'halo'.
"Kamu ada jadwal, 'kan di cafe malam ini?" Suara Zaki bertanya dari seberang sana.
"Iya," jawabku singkat. Zaki adalah salah satu pegawai cafe. Dia juga pemuda yang baik dan tampan. Aku tahu! Dia sudah berkeluarga dan beranak satu. Apa salahnya mengagumi ciptaan Yang Maha Kuasa?
"Kita baru saja menerima tawaran bagus," ucapnya.
"Tawaran bagus?" Kutuang irisan daging sapi ke atas wajan yang sudah harum karena penuh dengan bumbu.
"Iya! Pak Jay baru saja menelponku. Cafe kita sebentar malam akan tutup untuk umum. Di sewa, dari jam tujuh sampai sebelas malam," ujarnya membuatku berteriak girang.
"Wah! Rezeki, nih!" semburku sambil mengaduk irisan daging dengan menggunakan sendok.
"Makanya, dandan yang cantik! Cafenya di sewa untuk acara makan malam komunitas katanya. Mendengar penjelasan Zaki aku malah mengetok sendiri pucuk kepalaku dengan menggunakan ujung sendok.
Bagaimana bisa aku tampil dengan kualitas terbaik berteman perban luka dan kaki pincang seperti ini?
"Mata elang sialan!" umpatku tak sadarkan diri.
"Apanya?" Zaki tertegun.
"Ini, Ki. Minyak gorengnya muncrat ke tangan." Aku harus berbohong untuk menutupi kebohodanku sendiri.
"Oh. Jadi, hari ini kita datang lebih awal. Pukul lima semuanya sudah harus kumpul di cafe," jelasnya lalu memustuskan hubungan telepon.
Kucopot kedua earphones yang sebelumnya terpasang. Dengan cekatan aku mengangkat wajan dan menuangkan isinya ke dalam wadah yang sudah aku sediakan. Tak lupa juga kubuat salad buah dan sayur, lengkap dengan toping mayonaise. Setelah semua hidangan siap di meja, aku mulai makan dengan lahap sambil menonton TV.
Siaran lokal di kota ini sangat monoton. Drama yang ada selalu dihiasi percintaan muda-mudi atau pun pasangan muda yang baru menikah kompleks dengan sejuta masalah rumah tangga di dalamnya. Selalu saja tentang orang ketiga yang berusaha atau bahkan berhasil merebut hati dan perhatian si tokoh lelaki. Mengapa kebanyakan tokoh lelaki, yah yang imannya selalu diuji dengan kehadiran orang ketiga?
Kuteguk air dinginku dengan nikmat seraya memikirkan jawaban dari pertanyaan tersebut. Mungkin, karena jumlah wanita yang semakin hari semakin melonjak mengisi dunia. Entahlah, bukan urusanku!
Kucuci bersih semua perabotan yang terbakai dan beberes rumah. Satu hari ini akan kuisi dengan waktu romantis bersama gitar baruku. Untung saja kejadian mengerikan semalam tidak melukai Kevee, gitarku.
Apakah lelaki bermata elang itu baik-baik saja? Kugeleng-gelengkan kepalaku segera saat memori serampangan itu mulai kembali menghantui alam pikir. Lagi, itu semua bukan urusanku! Bahkan jika ia sekarang juga sudah mati dikeroyok gerombolan pemuda tempo hari, itu tetap bukan urusanku. Dan juga, untuk apa aku memikirkan lelaki yang tidak aku kenal? Mengerikan pula!
Satu hari itu kuhabiskan dengan menulis lagu baru juga melakukan hal-hal normal seperti pada umumnya hari Sabtu-ku berlalu. Tak lupa, aku juga menyiapkan materi untuk bahan mengajarku Senin nanti di sekolah.
Setelah makan siang, aku memilih untuk sejenak berbaring dan membaca buku. Aku suka membaca buku tentang perjalanan hidup, motivasi dan juga romansa. Ada sedikit rasa iri dan inginku setiap kali mata ini harus membaca serentetan kejadian manis tentang dua insan yang sedang memadu kasih di dalam buku. Cinta? Entahlah, jangan tanya aku.
Aku juga sudah menulis list lagu yang nanti akan aku nyanyikan di cafe. Malam ini tentunya bukan hanya aku yang akan dipanggil bernyanyi di sana. Karena ada acara khusus, maka setidaknya akan ada tiga orang penyanyi yang akan mengisi acara, termasuk diriku.
Waktu menunjukkan pukul tiga sore. Aku memilih untuk mandi dan segera bersiap-siap. Kupilih untuk menggunakan celana panjang dan sepatu boots saja kali ini. Lengkap dengan atasan blouse pendek dengan model bagian atasnya yang memamerkan leher dan bahuku yang jenjang.
"Mungkin ada baiknya untuk aku perban," ucapku sambil menatap nanar ke arah pergelangan kakiku yang tampak biru kehitam-hitaman seperti baru saja tergigit zombie yang lapar.
Kuoleskan saleb sebelum akhirnya melilitkan perban di pergelangan kaki kananku. Rambutku aku cepol tinggi dihiasi dengan ikat rambut yang kupu-kupu yang elegan. Rambut bagian depan kubiarkan menjuntai sebagai sarana perlindungan atas plester kecil yang menempel di dahi.
Kupandangi diriku dengan puas di hadapan cermin kaca. Celana panjang putih yang menampilkan kedua kakiku yang ramping dan jenjang, dipasangkan dengan blouse pendek se-perut berwarna hitam. Hingga boots hitam rata dengan hiasan glitter di ujung atasnya. Ok! Aku siap.
Kuraih tasku yang berada di gantungan seraya menelpon taxi online. Aku tak ingin menyiksa kaki kananku dengan berjalan kaki ke cafe.
Ting!
Sebuah notifikasi masuk di ponselku. Kubuka pesan dari aplikasi yang biasa kugunakan itu. Senyumku merekah.
[Aku yakin Zaki sudah memberitahumu. Jangan sampai telat. Tak sabar ingin segera melihatmu, Sweetie]
Terkesan biasa saja namun mampu meluluhkan hati. Pesan dari seseorang yang namanya kusimpan diikuti oleh emotikon hati berwarna putih di kontak teleponku itu membuat detak jantungku bergemuruh.
Panggilan sayang yang selalu ia ucapkan saat bertemu tak lupa ia sematkan di penghujung pesan. Jay! Manager muda yang mengelola cafe tempatku bekerja. Seorang pemuda dengan senyum yang selalu menawan, gaya yang modis, serta memiliki latar belakang pendidikan dan keluarga yang cukup terpandang di kota.
Sudah setahun kami menjalin kedekatan tanpa ada status yang mengikat. Terkadang ingin kugigit wajahnya sambil berteriak lantang dalam hati, menyuruhnya segera menyatakan perasaan padaku. Aku yakin! Dia juga menyukaiku! Getaran hati yang aku miliki saat pertama kali melangkahkan kedua kakiku di hadapan cafe kala itu adalah momen sakral yang tak bisa kutuai dalam ucap dan tulis.
Jay! Lelaki yang mendiami sanubariku setahun belakangan ini. Lelaki yang mampu membuatku lupa akan wajah pemuda yang membuat jiwa ini remuk hingga meragukan keberadaan cinta sejati. Lelaki yang selalu bertutur kata dengan lembut, bahkan saat aku sedang marah dan kesakitan.
Taxi online pesananku sudah tiba. Kulangkahkan kakiku memasuki mobil dengan pelan, mengingat kakiku yang masih terasa sakit saat kupijakkan. Kututup pintu mobil sambil bersandar di jok belakang. Pemandangan kota Gempita mulai memanjakan kedua mata saat mobil ini melaju.
Jay, aku datang!
"Terimakasih," ucapku pada driver taxi sesaat setelah membayar uang sewa dan melangkahkan kakiku keluar. Angin seketika mempermainkan rambut dan bagian bawah blouse yang aku kenakan. Kulangkahkan kakiku menuju gedung besar pusat belanjaan terbesar di Gempita ini. The Royal Palace, itulah namanya. Untung cafe kami berada di lantai dasar, dekat dengan taman dan air terjun buatan yang didesain khusus untuk tempat yang sempurna mengambil foto, lengkap pula dengan pojok literasi di samping kanan dan kiri. Tempat yang biasa disebut dengan The Royal atau pun The Rol-P ini didesain oleh satu dari sepuluh arsitek terkemuka di dunia, yang langsung di kontrak oleh Gempita dari luar negeri. Kota ini memang terkenal dengan kerumunan saudagar dan pebisnis handal. Menggabungkan konsep outdoor dan indoor, pusat berpelanjaan ini menjadi salah satu tempat yang sangat tepat untuk menghabiskan waktu baik bersama keraba
Mata kelabu itu masih menatap lurus ke arahku. Riuh gepuk tangan pengunjung seketika tak lagi kudengar. Padahal telapak tangan mereka masih saling menepuk. Gaduh teriakkan mereka tak lagi kudengar, padahal mulut mereka masih ternganga berseru dengan lebarnya. Mata itu seolah menghipnotis seluruh indera gerak. Jay melangkah maju, spontan wajah pucat lelaki itu tersembunyi di belakang tubuh Jay yang atletis. Aku turun dari panggung dengan langkah sedikit pincang. Kulangkahkan kakiku terus hingga ke arah dapur. Zaki di sana, berdiri sambil mengacungkan jempol. Aku tersenyum sambil terus berjalan ke arah toilet. Setibanya di sana aku lantas mengunci pintu dari bilik yang aku tempati. "Apa yang lelaki mengerikan itu lakukan di sini?" Kuremas jemariku dengan jemari yang lainnya. Kuatur napasku yang naik-turun tidak karuan. Mungkinkah aku salah lihat? Iya! Pasti seperti itu! Lagi pula, bukannya tadi lampu bar sedang remang? Kutenangkan diriku sejenak di dalam sambil
Sosok asing itu memalingkan kepalanya padaku. Seketika tulang belakangku terasa dingin. Mata kelabu yang tajam itu ibarat mengunci kedua korneaku hingga lumpuh tak berdaya. Bibirnya mengantup rapat sesaat setelah lirik lagu berhenti. Suaranya bagus, nada yang ia nyanyikan tepat tanpa cacat. Sejenak aku mengucapkan pujian atas suara merdu itu di dalam hati. "Kau ...." Kupeluk lenganku yang dingin saat tatapan itu tak berganti bidik sasar. Pemuda bermata elang di hadapanku menggganti posisi duduknya, diangkatnya satu pahanya kemudian meletakkannya di atas bangku taman, sedang kaki yang satunya masih menyentuh tanah. Badannya menghadap persis padaku. Diletakkannya sikunya di sandaran kursi. Sedangkan tangan itu saling mengait antara jemarinya satu dan jemari yang lainnya. "Sedalam itukah rindumu padaku?" Spontan aku melongo. "Huh?" Hanya itu yang mampu mulut ini ucapkan sebagai balasan. Lelaki ini tersenyum sinis. Wajahnya tak sepucat tempo hari.
Senja baru saja menyapa langit di daratan Gempita. Sebuah kota kecil di sudut bumi. Penuh dengan hiruk-pikuk, politik, keluarga dengan berbagai jenis status sosial dan hal-hal memuakkan lainnya. Aku tahu aku tidak berhak mengatakan hal buruk ini meski hanya berupa sebuah bisikan gaib di dalam sanubari. Tapi, itulah kenyataan yang aku rasakan. Hidup sebatang kara di kota yang penuh dengan cahaya lampu bahkan ketika hari masih dirajai sang mentari bukanlah hal yang menjadi sebuah rencana hidup. Peristiwa tujuh tahun yang lalu masih membekas di ingatan. Sebuah momen krusial yang membuat lara ini semakin mengikat kenyataan hidup. Lara hati berteman dengan semilir angin senja. Aku berjalan menyusuri jalanan yang ramai. Gerak angin senja mempermainkan helai rambut sesukanya. Kurapikan mantelku dengan segera saat angin kencang berikutnya berhembus. Kota ini akan memasuki iklim yang seperti ini setiap pertengahan tahun. Kupandangi kendaraan yang lalu-lalang sambil me
Sosok asing itu memalingkan kepalanya padaku. Seketika tulang belakangku terasa dingin. Mata kelabu yang tajam itu ibarat mengunci kedua korneaku hingga lumpuh tak berdaya. Bibirnya mengantup rapat sesaat setelah lirik lagu berhenti. Suaranya bagus, nada yang ia nyanyikan tepat tanpa cacat. Sejenak aku mengucapkan pujian atas suara merdu itu di dalam hati. "Kau ...." Kupeluk lenganku yang dingin saat tatapan itu tak berganti bidik sasar. Pemuda bermata elang di hadapanku menggganti posisi duduknya, diangkatnya satu pahanya kemudian meletakkannya di atas bangku taman, sedang kaki yang satunya masih menyentuh tanah. Badannya menghadap persis padaku. Diletakkannya sikunya di sandaran kursi. Sedangkan tangan itu saling mengait antara jemarinya satu dan jemari yang lainnya. "Sedalam itukah rindumu padaku?" Spontan aku melongo. "Huh?" Hanya itu yang mampu mulut ini ucapkan sebagai balasan. Lelaki ini tersenyum sinis. Wajahnya tak sepucat tempo hari.
Mata kelabu itu masih menatap lurus ke arahku. Riuh gepuk tangan pengunjung seketika tak lagi kudengar. Padahal telapak tangan mereka masih saling menepuk. Gaduh teriakkan mereka tak lagi kudengar, padahal mulut mereka masih ternganga berseru dengan lebarnya. Mata itu seolah menghipnotis seluruh indera gerak. Jay melangkah maju, spontan wajah pucat lelaki itu tersembunyi di belakang tubuh Jay yang atletis. Aku turun dari panggung dengan langkah sedikit pincang. Kulangkahkan kakiku terus hingga ke arah dapur. Zaki di sana, berdiri sambil mengacungkan jempol. Aku tersenyum sambil terus berjalan ke arah toilet. Setibanya di sana aku lantas mengunci pintu dari bilik yang aku tempati. "Apa yang lelaki mengerikan itu lakukan di sini?" Kuremas jemariku dengan jemari yang lainnya. Kuatur napasku yang naik-turun tidak karuan. Mungkinkah aku salah lihat? Iya! Pasti seperti itu! Lagi pula, bukannya tadi lampu bar sedang remang? Kutenangkan diriku sejenak di dalam sambil
"Terimakasih," ucapku pada driver taxi sesaat setelah membayar uang sewa dan melangkahkan kakiku keluar. Angin seketika mempermainkan rambut dan bagian bawah blouse yang aku kenakan. Kulangkahkan kakiku menuju gedung besar pusat belanjaan terbesar di Gempita ini. The Royal Palace, itulah namanya. Untung cafe kami berada di lantai dasar, dekat dengan taman dan air terjun buatan yang didesain khusus untuk tempat yang sempurna mengambil foto, lengkap pula dengan pojok literasi di samping kanan dan kiri. Tempat yang biasa disebut dengan The Royal atau pun The Rol-P ini didesain oleh satu dari sepuluh arsitek terkemuka di dunia, yang langsung di kontrak oleh Gempita dari luar negeri. Kota ini memang terkenal dengan kerumunan saudagar dan pebisnis handal. Menggabungkan konsep outdoor dan indoor, pusat berpelanjaan ini menjadi salah satu tempat yang sangat tepat untuk menghabiskan waktu baik bersama keraba
Mataku menerawang ke awang-awang. Kupandangi diriku yang terpantul di hadapan cermin. Dahiku luka karena kejadian malam ini. Kucuci luka itu dengan menggunakan cairan antiseptik, kemudian menempelkan plester khusus luka di sana. Aku sudah tiba di rumah sekitar setengah jam yang lalu. Tak ada pilihan yang lebih baik, selain menelpon taksi meskipun jarak hunianku sudah dekat. Dengan begitu, pegawai taxi bisa membantuku mengemasi barang-barangku yang terjatuh di jalanan. Aku baru saja selesai mandi air hangat. Kini kau terduduk di hadapan sebuah cermin besar di ruang tengah hunianku yang sederhana. Kubiarkan rambutku tergerai begitu saja dalam kondisi setengah basah. Mata elang itu! Mengapa tak ingin pergi dari ingatan? Kuselami nalarku mencoba untuk mengingat seluruh wajah yang aku temui di kota ini. Namun, nihil! Wajah pemuda itu tampak asing bagiku. Tak mampu kudapati aura yang sama seperti dirinya dari semua orang yang pernah aku temui di Gempita. Ma
Senja baru saja menyapa langit di daratan Gempita. Sebuah kota kecil di sudut bumi. Penuh dengan hiruk-pikuk, politik, keluarga dengan berbagai jenis status sosial dan hal-hal memuakkan lainnya. Aku tahu aku tidak berhak mengatakan hal buruk ini meski hanya berupa sebuah bisikan gaib di dalam sanubari. Tapi, itulah kenyataan yang aku rasakan. Hidup sebatang kara di kota yang penuh dengan cahaya lampu bahkan ketika hari masih dirajai sang mentari bukanlah hal yang menjadi sebuah rencana hidup. Peristiwa tujuh tahun yang lalu masih membekas di ingatan. Sebuah momen krusial yang membuat lara ini semakin mengikat kenyataan hidup. Lara hati berteman dengan semilir angin senja. Aku berjalan menyusuri jalanan yang ramai. Gerak angin senja mempermainkan helai rambut sesukanya. Kurapikan mantelku dengan segera saat angin kencang berikutnya berhembus. Kota ini akan memasuki iklim yang seperti ini setiap pertengahan tahun. Kupandangi kendaraan yang lalu-lalang sambil me