Hari belum gelap ketika mobil yang dikendarainya memasuki halaman rumah milik orang tuanya. Elvan memarkirkan mobilnya di tempat biasa, dan ia bisa melihat jika ayahnya berada di rumah dari mobil milik ayahnya yang berada di dalam garasi.
Rasanya jantungnya berdebar saat ia mulai melangkah masuk ke dalam rumah. Di mana ia merasa seperti seorang remaja yang ketahuan oleh kedua orang tuanya jika ia memiliki seorang kekasih di luar sana. Dan bersiap-siap untuk di marahi, padahal saat ini usianya sudah 30 tahun dan pernah menikah.Elvan menghirup napas panjang kemudian menghembuskannya dengan perlahan, agar ia merasa semakin merasa tenang. Karena yang akan di hadapinya adalah ibunya, sedangkan Ayahnya siang tadi sudah mengetahui semuanya mengenai hubungannya dengan Aya. Elvan merasa sedikit lega karena tadi ayahnya bisa menerima penjelasannya. Dan kini Elvan tahu, tidak akan mudah untuk menghadapi ibunya, seperti menghadapi ayahnya. Ia sudah“K-kamu punya pacar??” tanya Soraya tergagap, kemudian mengerjap-ngerjapkan matanya.“Kenapa kamu gak bilang kalau udah punya pacar? Siapa namanya? Anak siapa? Apa Mamih kenal orang tuanya?” tanya Soraya bertubi-tubi.Napas Elvan tampak tercekat, tapi ia mencoba untuk tetap tenang dan mempersiapkan dirinya untuk mengatakan hal ini pada ibunya sekarang.“Dayana, dari keluarga Adiwilaga…” jawab Elvan.Soraya diam, mencoba mengingat. Sedangkan Mahanta sendiri juga diam, tapi ia memperhatikan dengan sangat jelas interaksi dari anak dan istrinya tersebut.“Kayanya Mamih familiar deh nama itu…” cicit Soraya pelan sambil mengingat-ingat. Tapi beberapa detik kemudian mata Soraya membelalak.“Apaaaaa?!!! Gakkk mungkinnnn!!! Bukannya nama itu... Sanjayaa?? Yang tadi kita omongin??” tanya Soraya tak percaya dan hampir shock.
Waktu menunjukkan hampir pukul 10 malam, dan Elvan baru saja sampai di apartementnya. Ia tidak menekan bell tapi langsung membuka kunci pintu karena ia membawa kunci dan takut membangunkan Aya jika Aya sudah tidur.Begitu masuk ke dalam Elvan mendengar sayup-sayup suara televisi yang menyala. Tapi ia tidak bisa melihat Aya, biasanya saat terdengar pintu di buka Aya akan langsung menghampirinya, tapi tidak dengan kali ini.Elvan melepas sepatunya kemudian mengganti dengan sendal yang ada di rak sepatu dekat pintu, lalu mulai berjalan perlahan lebih masuk ke dalam apartementnya.Elvan berjalan menuju ruang tengah di mana televisi berada, kemudian ia menemukan Aya yang sedang terlelap di sofa dengan televisi yang masih menyala.Elvan tersenyum lembut kemudian menghampiri Aya dan berjongkok di depan sofa setelah terlebih dahulu mematikan televisi yang menyala.“Kau menunggu sampai ke tiduran di sini?” bisik Elv
Tanpa di duga oleh Elvan sebelumnya, hari ini sekitar pukul 10 pagi ayahnya kembali datang ke kantor, dan kini ia sudah ada di ruangannya. Duduk di kursi yang biasa Elvan tempati, dan menatapnya dengan serius.“Apa kau tahu? Mamihmu marah saat kau pergi begitu saja dari rumah semalam,” ujar Mahanta membuka pembicaraan.“Aku bisa menebaknya, Dad…” sahut Elvan.“Lalu?” tanya Mahanta singkat.Elvan menatap ayahnya dengan serius, “Aku tetap pada pendirianku!” tegas Elvan.Terlihat Mahanta menghembuskan napas beratnya. Sebagai seorang ayah sekaligus suami, Mahanta sangat mengenal karakter istri dan putranya ini. Jika mereka berdua sudah berkeinginan maka akan sulit untuk dipatahkan. Dan kali ini, keinginan mereka bertentangan.“Mamihmu, gak akan bisa luluh begitu saja, dan sepanjang malam dia memikirkanmu terus…”Terlih
Aya dan Elvan sudah bangun sangat pagi, seperti biasanya Aya menyiapkan makanan untuk sarapan mereka berdua. Dan tak lama kemudian mereka membersihkan tubuhnya mereka. Tak banyak pakaian yang dibawa karena mereka hanya akan menginap satu hari saja di villa, jadi hanya Aya yang membawa koper. Sedangkan Elvan masih memiliki pakaian di villa.Sekitar setengah jam lagi mereka akan berangkat, kini mereka masih duduk santai menikmati teh mereka di depan televisi. Beberapa kali Elvan juga menerima panggilan dari rekan kerjanya termasuk Andrew. Meski hari libur tapi tetap saja ada beberapa pekerjaan yang harus di bahas olehnya.Aya hanya duduk manis di samping Elvan dan menemaninya. Ia sama sekali tidak terganggu dengan kesibukan Elvan. Aya sudah sangat menyadarinya, jika Elvan adalah orang penting dan harus bertanggung jawab terhadap pekerjaannya.Sesekali Aya menoleh pada Elvan, dan mendengarkan apa yang sedang di bicarakannya, dan Aya menutup mulutn
Soraya sedikit bisa menilai karakter wanita muda yang ada di hadapannya ini. Ia tahu jika wanita ini masih berusia sekitar 25 tahun, dan di umurnya sekarang ia harus menyandang status janda sebentar lagi setelah keputusan sidang keluar. Soraya bisa memastikan gugatannya akan di kabulkan, jika melihat pemberitaan yang ada di luar sana.Wanita ini memiliki wajah yang lembut diluar harus Soraya akui jika memang ia memiliki paras yang cantik.‘Pantas saja Elvan tergoda…’ serunya dalam hati. Lebih cantik dari pada saat ia lihat di foto yang ada di media. Meski tampak sedikit lebih kurus.Tapi wanita ini juga memiliki keberanian yang cukup meski awal-awalnya ia terlihat takut-takut. Dia juga memiliki ketenangan yang baik, dan beberapa kali berusaha menenangkan Elvan yang mulai menggebu.‘Wanita muda yang menarik, tapi aku tidak suka dengan statusnya…’Soraya sempat milihat pada tangan putranya yang masih menggenggam tangan wanita bernama Dayana ini, tanda ia siap melindungi dari siapapun.“
Jujur saja Soraya merasa terguncang dengan apa yang di jelaskan oleh Aya. Ia masih tak menyangka hal itu terjadi. Apa yang di alami wanita muda ini begitu sangat berat.‘Pantas saja ia ingin bercerai dengan suaminya, padahal mereka di jodohkan…’ lirih Soraya dalam hati.Soraya sempat terdiam beberapa saat, hingga Aya memutuskan untuk pergi ke dapur dan membawakan segelas air. Ia sampai lupa untuk menyuguhkan minuman pada ibunya Elvan.Saat minuman ada di depannya Soraya langsung meminumnya hingga sisa setengahnya, ia merasa sangat shock.Hingga beberapa menit kemudian, setelah dirinya merasa tenang Soraya kembali membuka mulutnya.“Mamih gak bisa ngomong apa-apa lagi terhadap hubungan kalian!” ujarnya.Soraya tampak memejamkan matanya sejenak kemudian memijat keningnya pelan. Sungguh rasanya tiba-tiba saja kepalanya terasa pusing.“Ini bukan artinya Mamih l
Sepeninggal ibunya dari apartementnya, Elvan dan Aya hanya bisa terdiam sesaat. Mencoba kembali mencerna apa yang baru saja terjadi pada mereka. Mencoba memastikan jika yang tadi bukanlah mimpi.“Ibumu baik, awalnya ku pikir akan sangat menakutkan…” lirih Aya membuka suara.Elvan menoleh pada Aya kemudian menatapnya, “Mamih memang begitu,” balas Elvan.Aya tersenyum lembut, “Aku hampir tidak menyangka jika ini terjadi. Lebih cepat dari dugaanku.”Elvan menganggukinya, Elvan menganggukinya, “Maafkan aku, sebenarya saat pulang ke rumah dua hari yang lalu, aku membicarakan hal ini dengan orang tuaku, karena siang harinya Dad mendatangiku di kantor. Dad sudah tahu keberadaanmu dan keterlibatanku pada masalahmu.” Elvan mencoba untuk jujur pada Aya“Oh… jadi begitu rupanya…”Elvan mengangguk, “Aku tidak bermaksud untuk membohongimu, aku akan mengatakannya tapi tidak dalam waktu dekat. Tapi, ternyata Mamih keburu datang ke sini karena ingin menemuimu secara langsung.”“Aku mengerti… tidak us
Elvan membelai lembut punggung Aya tanpa terhalang apapun karena ia sudah narik turun resleting dress yang di gunakan oleh Aya. Sedangkan lidahnya terus memagut lembut lidah Aya.Lidah bertemu lidah dan saling bertautan, hingga membuat sesuatu bergejolak di tubuh Aya. Ia melengkungkan tubuhnya ke tubuh Elvan. Dadanya menekan keras dada Elvan. Pinggul mereka berhimpitan.Aya bisa merasakan tubuh Elvan yang bergairah dan secara naluriah semakin mendekatkan tubuhnya pada Aya dan menekannya.Aya nyaris tidak menyadari, jika Elvan mulai melorotkan lengan dress yang di kenakannya, hingga pundaknya kini terekspose dengan sempurna. Udara dingin yang berasal dari AC menyentuh kulit Aya yang panas membara, bahkan kulit Aya yang putih sudah tampak kemerahaan.Aya hampir memekik, saat Elvan meloloskan bagian atas dress nya dan menariknya ke bawah, meloloskan di kedua sisi lengannya hingga bagian atasnya terbuka dengan bebas. Menyisakan b
Mata Metta membulat dengan sempurna mendengar perkataan Andrew. Bibirnya sedikit terbuka. Ia terdiam tak percaya dengan apa yang di dengarnya."M-maksudnya... kakak s-suka sama aku?" tanya Metta beberapa detik kemudian.Andrew mengangguk dengan tegas. Ada rasa lega di hatinya setelah mengungkapkan apa yang dipendamnya selama beberapa bulan ini. Terutama perasaan yang begitu menyiksanya selama hampir seminggu ini karena diabaikan oleh Metta. Sebelum Hilda meninggalkan rumah sakit, Andrew sudah merenungkan semuanya. Kini ia tidak akan mengingkari lagi apa yang dirasakannya. "Kakak jangan bercanda ah… gak lucu," sahut Metta."Apa aku keliatan sedang bercanda untuk hal seserius ini?”"Kakak kan kesel karena ku diemin beberapa hari ini. Jadi kali aja Kakak mau nge-prank aku untuk balas dendam," jawab Metta berusaha sesantai mungkin.Andrew menarik kursinya untuk lebih dekat dengan Metta yang sedang duduk di atas tempat tidurnya. "Tolong lihat mataku baik-baik. Apa kamu liat ada kebohonga
Hilda meninggalkan rumah sakit setelah ia membelikan Metta dan Andrew makanan untuk makan malam mereka berdua.Kini hanya tinggal Metta dan Andrew yang berdua saja di dalam ruang rawat inap. Untung saja tak ada pasien lain di ruangan ini, karena Elvan memang langsung meminta ruang VIP untuk Metta saat ia mengurus administrasi tadi.“Kak, kalau Kakak mau pulang, pulang aja. Aku gak apa-apa kok sendiriaan,” ujar Metta membuka pembicaraan yang sejak tadi hanya hening saja.Andrew langsung menoleh pada Metta dengan tatapan tak terbacanya. Kemudian ia bangkit dari sofa dan berpindah duduk di samping ranjang Metta.“Kenapa ngomong kaya gitu?” tanya Andrew.“Gak apa-apa, Kak. Aku takutnya Kakak banyak kerjaan, dan aku cuma repotin kakak aja.”Andrew menggeleng, “Bukannya tadi aku yang nawarin untuk jagain kamu di sini, lagian Elvan juga udh kasih ijin. Jadi santai aja,” jelas Andrew.“Iya sihhh, tapi…”Andrew tampak menghela napas, “Kamu masih marah sama aku dan gak mau aku di sini?”Metta m
Saat suasana sudah kondusif, Soraya sengaja mengajak Hilda untuk membeli beberapa minuman dan camilan yang bisa di makan oleh semua orang yang sedang menemani Metta.Soraya sengaja mengajak Hilda ke kafetaria yang berada di lantai 3 rumah sakit karena ada hal yang ingin ia bicarakan dengan serius pada Hilda, dan agar yang lainnya tidak mendengar pembicaraan mereka.Tanpa berbasa-basi, sambil menunggu pesanan mereka datang Soraya langsung memberitahu Hilda mengenai apa yang sebenarnya terjadi dengan Metta dan Andrew. Keadaan kafetaria tidak begitu ramai karena masih jam 15.30 sore di mana para pengunjung rumah sakit biasanya baru datang setelah jam kantor, dan masih beberapa jam lagi jam kantor akan usai.Tentu saja Hilda menyambut gembira atas ucapan Soraya tersebut, karena menurutnya Andrew memang sosok pria yang baik dan pengertian. Dan agar terkesan tidak jujur Soraya sendiri sedikit menceritakan kisah Andrew saat remaja dan memiliki beberapa mantan kekasih. Bukan untuk menjelekkan
Saat semuanya sudah mulai tenang, tiba-tiba saja pintu ruang inap Metta kembali terbuka. Hilda dan Aji muncul begitu saja dan langsung masuk ke dalam ruangan untuk melihat keadaan putri mereka.Wajah Hilda tampak panik dan khawatir begitu masuk ke dalam ruangan, ia langsung menghampiri Metta yang masih terbaring di atas tempat tidur.“Aduhhh, Ta. Gimana keadaan kamu sekarang?” tanya Hilda dengan sangat khawatir.“Metta baik kok, Ma. Cuma emang masih pusing aja,” jelas Metta."Baik gimana sih, liat itu kemejamu banyak noda darahnya...," ucap Hilda dengan suara bergetar seraya menyentuh kemeja bagian bahu Metta.“Dokter sudah memeriksa keadaannya kok, Ma. Kepala Metta di jahit 4 jahitan. Seharusnya bisa rawat jalan tapi Elvan memutuskan untuk rawat inap semalam supaya besok dokter bisa melakukan pemeriksaan lebih lanjut pada kepalanya.” Kini Elvan ikut bicara untuk menenangkan mertuanya.Elvan tidak perlu menjelaskan bagaimana ia bisa datang ke rumah sakit, karena ia sudah menjelaskanny
“Gimana keadaannya?” tanya Elvan menghampiri Andrew yang tengah menemani Metta.“Masih belum sadar,” sahut Andrew.“Papa sama Mama udah mau jalan ke sini. Gue belum kasih tau Aya sama Mamih, Lu tungguin dulu ya. Gue mau nelpon kantor juga minta Andi urusin motor Metta di kantor polisi,” ujar Elvan kemudian, lalu kembali meninggalkan Andrew sendirian untuk menemani Metta.Beberapa menit kemudian Metta bergerak dalam tidurnya dan dengan perlahan mulai membuka matanya.“Ta, kamu baik-baik aja? Ada yang sakit? Sebelah mana?” tanya Andrew panik.Metta menatap ke arah Andrew kemudian dengan spontan memegang kepalanya, “Aduhhh pusing… pusing banget,” lirihnya.“Bentar aku panggilin dulu dokter, tunggu tunggu!” ujar Andrew cemas dan sedikit panik.Dokter segera datang untuk memeriksa Metta, bukan hanya di periksa Metta juga di tanyai beberapa hal sederhana seperti nama dan alamat rumahnya, untuk memastikan jika tidak ada luka dalam yang mempengaruhi daya ingatnya.Saat pemeriksaan dokter berl
Lima hari setelah kejadian tersebut, lagi-lagi Metta tidak membalas pesan dari Andrew. Bahkan tidak membacanya sama sekali.Dan ini sungguh membuat Andrew sangat tersiksa.Elvan yang memperhatikan Andrew sejak tadi hanya bisa menggelengkan kepalanya pelan.“Masih gak bales?” tanya Elvan.Andrew mengangguk pasrah.“Susah ya hadepin cewek yang baru aja lepasin masa remajanya, ku pikir gak akan sampe segininya,” sahut Elvan kemudian.“Ya gitu deh…” balas Andrew.“Tapi Lu harus tetep sabar sih, susah loh dapetin cewek baek-baek kaya Metta sekarang,” goda Elvan.“Dih apa sih, kan gue udah bilang. Kalau gue sama dia tuh temenan aja,” sungut Andrew.Elvan kembali terkekeh, “Iya iya temenan aja. Tapi kalau gak ada kabar galauuu, sedihhh, uring-uringan…” ledek Elvan lagi.Andrew menoleh pada Elvan dengan tatapan nyalangnya. “Udah ahh, mending kita bahas masalah meeting kita yang tadi pagi sama klien aja!”“Pengalihan nih ceritanya?” goda Elvan.“Gak ada! Gak ada!” Elvan tersenyum lebar, “Lah
Siang ini Andrew memutuskan untuk makan siang di luar, dan ia juga memutuskan untuk pergi menemui Metta. Ia akan mengajak Metta untuk mampir di tempat balap yang resmi. Andrew keluar sebelum tepat jam makan siang agar memiliki waktu yang cukup lama, ia tidak khawatir karena ia sudah menyelesaikan pekerjaannya terlebih dahulu untuk rencananya ini.Andrew langsung melajukan mobilnyamenuju kampus Metta. Ia juga sudah mengirimi pesan chat pada Metta. Meski chatnya masih belum di balas oleh Metta.“Ck! Lagi-lagi gak di bales…” decak Andrew sambil terus mengendarai mobilnya.“Harus sabar sih sabar hadepin dia, tapi kan kalau terus-terusan kaya gini yang bete juga kali. Kesannya gue kaya yang salah banget terus, padahal kan apa yang dia lakuin itu berbahaya!” dengus Andrew kemudian. Sudah dua hari berlalu dan Metta kembali tidak mau membaca maupun membalas chat dari Andrew. 'Kaya dulu lagi. Liat chat masuk dari gue, langsung di hapus aja...'Andrew harus terjebak kemacetan selama beberapa
Sejak tadi Metta merasa begitu kesal, bahkan perasaan kesal itu masih saja bertahan meski kini ia sudah berada di dalam kamarnya.“Kenapa sih sama dia?! Aneh dehhh… jadi kaya mulai ngatur-ngatur gitu, pake ngancem mau di laporin segala! Apaan coba itu maksudnya!” dengus Metta.“Kalau sampe beneran dilarang balapan gimana? Dari mana aku dapet duit tambahan kalo butuh, hah??!” kesalnya lagi.Sesekali Metta membutuhkan tambahan uang untuk membeli aksesoris motor atau penambahan sparepart khusus agar performa motor balapnya tetap bagus dimana tidak mungkin ia meminta uang pada ayahnya, yang sejak awal tidak suka Metta mengendarai motor balap.Jam menunjukkan sekarang sudah lewat tengah malam, dan Metta masih saja kesal. Ia sudah mencoba untuk memejamkan matanya, tapi rasanya sangat sulit dengan perasaan kesalnya pada Andrew.Hingga ponselnya berbunyi, Metta meraih ponselnya yang rupanya Andrew menghubunginya melalui panggilan video. Tapi Metta memilih untuk tidak mengangkatnya sama sekali
Andrew hanya bisa menunggu Metta dengan perasaan kesal. Hingga akhirnya Metta kembali lagi ke kursinya."Lamaaa...." desis Andrew kemudian."Maaf, Kak. Udah lama soalnya gak ketemu sama mereka. Jadi keasikan ngobrol deh..." sahut Metta.Andrew sempat melirik ke arah mereka sebentar, sedangkan Metta kembali melanjutkan makannya yang tadi sempat tertunda."Mereka temen-temen balap mu?" tanya Andrew.Metta mengangguk, "Yups!""Gak ada ceweknya satupun kecuali kamu?""Yups!""Beneran? Cowok semua gitu?" tanya Andrew lagi tak percaya dan coba memastikannya kembali.Metta menatap Andrew, "Iya, Kak. Kan aku udah pernah bilang deh kalau gak salah. Ceweknya ya cuma aku doang kalau balapan, cewek banyak di sana paling nunggu di pinggir, di mana mereka itu pacar temen-temenku.""Oh ya ya, aku ingat.""Mereka cuman temanmu, kan?" tanya Andrew kemudian.Kening Metta tampak berkerut. "Iya, kan aku udah bilang tadi.""Tapi kok kaya akrab banget gitu?" tanya Andrew lagi. Karena ia melihat mereka begi