Elvan menutup mematikan laptopnya, cukup untuk hari ini ia bekerja dan mengamati perkembangan perusahaannya yang ada di Jakarta. Ia memijat keningnya dengan pelan seraya beranjak dari kursinya dan berjalan menuju beranda ruang kerjanya.
Dari tempatnya kini terlihat hamparan luas kebun teh yang begitu hijau dan asri. Pemandangan yang di dominasi warna hijau ini cukup menyegarkan untuk penglihatannya, dan mampu membuat dirinya merasa tenang.
Sudah hampir 5 bulan ia meninggalkan Jakarta dan menetap di Bandung. Lebih tepatnya Rancabali, Ciwidey. Kurang lebih sekitar 40 km meter dari kota Bandung ke arah selatan.
Elvan sengaja meninggalkan hiruk pikuk Jakarta demi pemulihan jiwanya. Baginya ini tempat ideal untuk menenangkan dirinya. Sekitar 8 bulan yang lalu adalah masa kelam bagi dirinya. Di mana ia harus kehilangan istri tercintanya beserta buah hati yang ada di dalam kandungan Davina--istri tercintanya. Mereka meregang nyawa saat mobil yang ditumpangi Davina tertabrak sebuah truk dengan rem yang blong di jalan tol.
Elvan merasa bersalah, karena siang itu ia tidak sempat untuk menjemput Davina yang baru saja pulang dari rumah sakit untuk mengecek kandungannya yang sudah menginjak 7 bulan.
Ditinggalkan oleh dua orang yang dicintainya membuat Elvan merasa shock dan sangat sedih. Berminggu-minggu lamanya ia mengalami gangguan makan. Hingga bobot tubuhnya banyak berkurang. Hampir setiap malam ia menangis dan meraung meratapi kepergian istri dan putranya.
“Sialll!” geramnya seraya mengeratkan pegangan tanggannya di pagar kayu beranda dan memejamkan matanya dengan kuat saat bayang 8 bulan yang lalu kembali muncul begitu saja di pikirannya.
Elvan sudah mendatangi seorang psikiater, sayangnya kenangan buruk itu selalu menghantuinya dan seakan enggan untuk menjauh darinya. Hingga akhirnya ia memutuskan pergi untuk meninggalkan rumah yang di tempatinya bersama Davina. Di mana banyak kenangan manis bersama istrinya di sana. Bukan hanya itu, kamar bayi yang sudah terisi lengkap dengan perabotan bayi mampu membuat air matanya kembali berderai.
Bukan hanya meninggalkan rumah, tapi Elvan meninggalkan kota di mana dia dan Davina sempat mengukir kehidupan indah mereka. Terlalu banyak tempat yang pernah mereka datangi bersama, hingga membuat Elvan membuat keputusan besar untuk meninggalkan Jakarta dan hidup dalam pengasingan.
Langit sudah berwarna jingga, sebentar lagi matahari akan terbenam. Dari pukul empat sore temperatur udara akan cepat menurun. Udara dingin mulai menusuk kulitnya. Awal dia tinggal di sini, Elvan sangat tersiksa oleh suhu yang begitu dingin berbanding terbalik dengan suhu di Jakarta.
Elvan kembali menghela napas, sebelum akhirnya memutuskan untuk masuk ke dalam sebelum ia membeku di luar.
Setelah menutup semua jendela rapat-rapat, Elvan memutuskan akan membuat teh panas di dapur. Teh dari hasil kebun yang berada di sisi Villa-nya.
Tak ada siapapun di villa ini kecuali dirinya. Hanya ada Bi Enah yang akan datang di pagi hari dan pergi menjelang sore untuk membersihkan villa dan mencuci pakaiannya. Sesekali memasak, namun Elvan sering lebih senang memasak makanannya sendiri. Dan Bi Enah akan membeli dan mengisi lemari es dengan bahan makanan yang dibutuhkannya.
Ada juga Mang Deden yang biasa mengurus tanaman dan rumput yang ada di sekitar villa. Atau memperbaiki jika ada kerusakan di villa. Rumah keduanya tidak terlalu jauh, dengan berjalan kaki akan memakan waktu sekitar 20 hingga 25 menit. Ada sebuah perkampungan yang berada di ujung perkebunan teh.
Sambil membawa teh panasnya, Elvan berjalan menuju ruang tengah. Di mana televisi berada, ia memutuskan untuk menonton berita. Sudah dua hari ia tidak menyalakan televisi miliknya.
Hari semakin gelap, udara sangat dingin di malam hari meski di cuaca panas. Bahkan mulutnya sudah mengeluarkan asap putih jika ia membuka mulutnya apalagi berbicara.
Saat melihat jam, waktu menunjukkan pukul 8 malam, biasanya ia akan keluar villa dan menatap langit yang begitu luas. Meski udara dingin menusuk kulitnya, itu bukan halangan. Ia akan mengenakan jaketnya dan menatap langit yang bertaburan bintang. Ini lah yang tak akan ditemuinya di Jakarta, asap polusi yang di hasilkan di siang hari akan menutupi keindahan malam.
Elvan mengambil jaketnya yang ia gantung tak jauh dari tempatnya, memakainya kemudian berjalan ke arah pintu belakang villa. Ada sebuah kolam kecil dengan air yang hangat di sana. Di sini ada beberapa sumber mata air hangat alami, dan air dari kolamnya berasal dari sana.
Villanya di dominasi oleh kayu, hanya kolamnya saja yang terlihat sedikit modern. Sedangkan kamar mandi di dalam didominasi oleh bebatuan alami dengan air hangat yang berasal dari sumbernya.
Elvan menenggadahkan kepalanya ke atas langit, tampak bintang sudah bertaburan dengan begitu indahnya. Berkelap-kelip seakan tak akan pernah padam.
“Bagaimana kabar kalian di sana? Apa kalian baik-baik saja?” serunya seakan ia berbicara dengan istri dan anaknya.
“Aku sendirian, apa kalian tidak kasian padaku meninggalkanku seperti ini? Kapan kalian akan menjemputku?”
Hatinya terasa pilu, andai saja mereka masih ada. Pasti saat ini Elvan akan mendengar celoteh-celotehan khas bayi dari mulut anak laki-lakinya. Atau omelan Davina yang selalu ia rindukan.
Tak terasa matanya mulai terasa panas. Rasa sesak mulai menguasai dadanya, relungnya begitu menyakitkan.
Elvan sedikit mengeram dan mengepalkan tangannya di dalam saku jaketnya. Air matanya hampir keluar sesaat ia mendengar suara benda jatuh dari arah kirinya. Dengan spontan Elvan menatap ke arah sana.
“Siapa itu?” tanyanya dengan nada serius dan sedikit menyeramkan.
“Sialan!! Pasti ada yang mencoba masuk lagi!” gerutu Elvan kemudian, dengan cepat ia masuk ke dalam villa dan mengambil senapan angin miliknya yang ia simpan untuk berjaga-jaga.
Beberapa hari yang lalu ada yang mencoba masuk paksa ke dalam villanya di tengah malam. Ia mencoba mengejar pencuri itu, hanya saja pencuri itu lari dengan cepat menuju kebun teh, dan Elvan harus kehilangan jejaknya.
Elvan memiliki tubuh yang tinggi dengan badan yang atletis, hanya saja kini ia sedikit lebih kurus meskipun lebih baik dari beberapa bulan sebelumnya. Berat badannya kembali naik, tapi tidak seperti sedia kala saat Davina masih berada di sisinya.
Untuk bertarung tangan kosong, Elvan tidak takut sama sekali. Karena ia menguasai bela diri.
Dengan langkah lebarnya dengan senapan di tangannya Elvan berjalan menuju kebun yang di penuhi oleh tanaman sayuran yang di tanam oleh Mang Deden.
Langkahnya terhenti saat matanya menangkap seseorang yang terbaring begitu saja di tanah di dekat tanaman tomat yang sebagian sudah berbuah.
Ia mengarahkan senapannya pada orang tersebut.
“Heii, kau pencuri! Jangan pura-pura pingsan! Jika tidak bangun aku akan menembakmu!” ancam Elvan.
Meski sudah mengancamnya tapi orang itu tidak bangun juga. Pencahayaan di sini sedikit temaram, karena sinar yang berasal hanya dari lampu teras villa. Hingga Elvan tidak terlalu melihatnya dengan begitu jelas.
“Heii!!” Elvan kini setengah berteriak. Tapi tetap saja orang itu tidak memberikan respon apapun.
Hingga akhirnya Elvan mendekat dengan sikap waspadanya masih mengarah senjata pada orang itu.
Lagi-lagi ia harus terkesiap kaget, saat mengetahui jika seorang wanitalah yang terbaring di tanah itu. Kening berkerut tapi tidak mengurangi kewaspadaannya. Ia menelisik keadaan sekitar, takut-takut jika ini adalah jebakan dari para pencuri.
Tapi tak ada apapun, hingga Elvan semakin mendekat dan kini sudah berdiri di samping wanita itu.
“Hei…” seru Elvan kini sedikit menurunkan suaranya. Tapi tetap tak ada respon.
Elvan berjongkok, dan menyentuh lehernya untuk memastikan apakah wanita itu bernyawa atau tidak.
“Masih hidup…” gumamnya pelan seraya menghembukan napas lega.
Jika sampai wanita itu sudah tak bernyawa maka dirinya harus menghubungi pihak kepolisian.
“Sedang apa dia di sini? Pingsan?” gumamnya lagi. Kemudian Elvan mencoba untuk menepuk-nepuk pipi wanita tersebut.
“Dia pingsan sungguhan!” decak Elvan.
“Ini merepotkanku saja!” keluhnya.
- To be Continue -
Tubuhnya terasa lelah dan begitu sakit, Aya masih merasakan rasa perih di luka-luka yang ada di sekujur tubuhnya. Ia meringis pelan, dan dengan perlahan ia mulai membuka matanya yang sejak beberapa menit yang lalu terkena cahaya. Namun sedetik kemudian ia langsung membulatkan matanya. “Aku di mana?” serunya dan langsung mendudukkan tubuhnya. “Aww… pusing…” gumamnya kemudian seraya langsung menyentuh kepalanya. Ia duduk dengan tiba-tiba, dan kondisi ini menurunkan tekanan darah yang lebih sedikit ke jantung hingga membuatnya pusing. Aya masih duduk dalam semenit ke depan, hingga dirinya sudah pulih sepenuhnya. Ia mulai mengedarkan pandangannya ke tempat di mana kini dirinya berada. Matanya mampu menangkap jika saat ini ia sedang berada di sebuah ruangan berukuran sekitar 4x5 meter, dengan nuansa coklat dan putih. Di mana lantai di lapisi oleh kayu berpermis hingga mengkilap. Tembok yang di dominasi oleh warna putih terlihat begitu bersih. Begitu juga dengan tempat tidur yang ia te
Elvan duduk di kursi tepat di hadapan wanita itu. “Oh---” wanita itu tampak terkejut dengan tindakan Elvan yang tiba-tiba duduk di hadapannya, seraya mengangkat sedikit wajahnya. Kesempatan itu tidak Elvan sia-siakan untuk menelisik penampilan wanita itu dengan lebih seksama. Wajah wanita ini tampak cantik, meski ia melihat ada luka kecil di wajahnya yang tidak ia lihat semalam. ‘Mungkin luka karena tersungkur ke tanah semalam, saat ia pingsan,’ tebak Elvan dalam hatinya. ‘Dia terlihat seperti wanita terpelajar, bukan wanita penggoda yang akan sengaja dikirimkan oleh kedua orang tuaku! Ck! Tapi apa peduliku!’ dengus Elvan kemudian. Tatapan Elvan tetap dengan penuh selidik, tapi masih terlihat ramah, “Apa urusanmu datang ke sini?” tanyanya kemudian. Wanita itu tampak terkejut dan sedikit kikuk, “Saya--ya…” jawab wanita itu terbata terhadap pertanyaan Elvan. Kemudian wanita tampak tersenyum ragu, “Semalam saya… hmm… mencari penginapan…” “Dan ini bukan penginapan!” ketus Elvan.
Dengan mengendarai motornya Elvan masih di liputi perasaan kesal, semua itu karena permintaan Andrew. ‘Sebagai teman dan wakil seharusnya dia bisa ngerti!’ dengus Elvan dalam hari seraya memacu motornya. Elvan sudah berada di tengah-tengah kebun teh. Cukup jauh memang jarak dari villa untuk sampai di pemukiman yang lain terutama pasar meski menggunakan motor. Elvan memacu motornya cukup cepat, begitu sampai di sebuah belokan dengan pohon besar tepat di sisi jalan sebelah kirinya dan sudah jauh dari villanya. Elvan bisa melihat seseorang yang dikenalinya sedang duduk di sana bersama koper besarnya di sampingnya. Namun, Elvan tampak acuh meski mata mereka saling bertemu meski sesaat. Elvan yakin, wanita yang di temukannya pingsan semalam tidak mengenalinya, karen ia menggunakan helmnya. Hingga ia pergi begitu saja meninggalkan tempat tersebut. Selama beberapa bulan ini, Elvan memang sedikit mulai bisa mengontrol emosinya. Hanya saja ia memang masih enggan untuk kembali ke Jakarta.
Elvan kembali ke dalam ruang kerjanya dan kembali memeriksa emailnya, ada beberapa percakapan singkat yang ia terima di emailnya yang berasal dari Andrew. Andrew tetap memintanya untuk kembali ke Jakarta meski hanya sesaat, ia juga menjabarkan alasan-alasan kuat atas keinginannya tersebut. Elvan hanya bisa berdecak malas. “Lo ngirim banyak email karena Lo gak bisa hubungi hape gue, kan?” Setelah menerima panggilan Andrew, Elvan langsung menonaktifkan ponselnya. Sampai saat ini, dan ia belum ada niat untuk menyalakannya kembali. Elvan menyandarkan tubuhnya di sandaran kursi kerjanya, seraya menatap keluar jendela besar yang menghadap kebun teh yang tampak terang, karena matahari yang sudah sangat terik. Sesekali ia menghela napasnya. Ia menatap jauh hingga ke ujung kebun teh dengan tatapan tak terbacanya. Dalam hatinya ia bertanya-tanya tentang siapa wanita yang berada di dalam rumahnya kini. Tapi, dari gerak-geriknya Elvan sedikit yakin jika wanita itu tidak berkaitan dengan kedua
“Sudah ku katakan padamu, taksi itu tidak akan datang!” seru Elvan tiba-tiba yang rupanya cukup mengagetkan bagi Kana.Sejak tadi ia sudah menunggu taksi yang di pesannya datang, tapi sudah hampir 1 setengah jam berlalu taksi tersebut tetap saja tidak muncul.Kana merasa malu pada Elvan yang sudah memberitahunya tapi ia tidak percaya.“Maafkan aku…” sesal Kana. Wajahnya tampak muram, tapi bukan hanya itu. Ia juga merasa jika tubuhnya tidak enak. Ia sedikit lemas dan mulai terasa pusing.Elvan tampak memperhatikan Kana, terlihat wajah wanita itu tampak pucat. Dengan cepat ia melirik jam di tangannya. Rupanya waktu makan siang sudah lewat beberapa jam.“Kau terlihat tidak sehat?” tanya Elvan kemudian. Kana hanya mendongak sedikit kemudian menggeleng.“Aku baik-baik saja,” jawabnya pelan.Kana bergerak menjauh ketika Elvan duduk, seolah kedekatan atau keberadaannya membuat wanita itu takut.Hingga sebuah pikiran terbersit di kepalanya, ‘Apa mungkin seseorang sudah menyakiti dan melukainy
Hampir 2 jam berlalu, tapi Kana tetap saja tidak bisa memejamkan matanya. Selain suhu udara yang sangat dingin, beberapa kali kenangan buruk yang sudah menimpanya muncul kembali diingatannya. Kana menghembuskan napas panjang, kemudian ia menutup wajahnya dengan kedua tangannya. Rasanya matanya langsung saja terasa panas. 'Kenapa nasibku seperti ini...' lirihnya dalam hati. Kana hampir saja meneteskan air matanya, tapi dengan sekuat tenaganya ia berusaha menahannya. "Aku tidak mau lagi menangisi semua itu, aku harus kuat, aku pasti bisa," gumamnya pelan. Kana menggulirkan tubuhnya ke arah kanan kemudian memeluk bantal guling. Ia berusaha kembali mencoba untuk terlelap. Tapi masih saja sulit, sesekali ia menoleh ke arah pintu. Masih ada perasaan was-was dalam dirinya. Ia takut jika pria yang sudah menolongnya dan memberikan tempat untuk tidur malam ini memiliki niat yang jahat. Tapi, kursi yang di simpan untuk menghalangi pintu masih pada tempatnya. Dan tak ada upaya dari luar unt
Kana membuka matanya dengan perlahan, dan melihat langit-langit yang berwarna cokelat kayu. Kini ia ingat sepenuhnya berada di mana, karena sudah 2 malam ia tidur di kamar ini.Saat membangunkan tubuhnya untuk duduk, lagi-lagi rasa sakit di sekujur tubuhnya kembali terasa.Tiba-tiba saja ia kembali teringat pada kejadian dua hari yang lalu, saat mereka semua pergi ke rumah sakit, di saat hanya ada pelayan saja di dalam rumah. Di bantu oleh orang yang dia percaya, Kana melarikan diri dari rumah yang seperti neraka itu hanya dengan bermodalkan pakaian yang mampu ia bawa dalam koper yang besar itu.Tidak berapa lama, ia kabur dari rumah itu. Kana langsung menuju bank untuk mengambil semua uang tabungan dalam rekeningnya yang tidak seberapa. Dalam pelariannya diusahakan untuk tidak menggunakan kartu ATM nya, atau keberadaannya akan mudah di temukan dari transaksi kartu yang ia gunakan.Jika sampai kebera
Kini Kana sudah duduk berhadapan dengan pria bernama Elvan itu, sesekali Kana mengangkat dagunya tapi saat tahu pria itu tengah menatapnya ia segera menundukkan kembali wajahnya.Makanan yang sudah di masak olehnya sudah tersedia di atas meja makan, tapi tak ada dari salah satunya untuk mulai memakan makanan tersebut.Napasnya jadi tidak teratur, meski Elvan memiliki tampang yang rupawan tapi entah mengapa Kana selalu merasa takut dengan tatapannya.‘Aku mulai lapar…’ lirih Kana dalam hati.Kemudian setelah ia mengumpulkan keberaniannya, Kana kembali mengangkat wajahnya. “Aku akan menyiapkan makanan untukmu,” serunya pelan dengan tangan yang mulai mengambil piring untuk menyiapkan makanan bagi Elvan.Tapi, dengan cepat Elvan melarangnya. “Aku masih punya tangan, dan kau hanyalah tamu di sini.”Dengan spontan Kana men
Andrew menitikkan air mata untuk pertama kalinya dalam hidupnya yang bisa ia ingat, saat ia mendengar suara tangisan putrinya yang baru saja lahir ke dunia ini.Kini ia resmi menyandang status sebagai seorang ayah.Ya, anaknya adalah seorang perempuan, sesuai dengan hasil pemeriksaan USG beberapa bulan yang lalu. Hingga dirinya dan Metta menyiapkan segala kebutuhan untuk putri mereka.Baik Andrew ataupun Metta tidak mempermasalahkan apakah mereka akan memiliki seorang putra ataupun putri. Semua anak sama saja, dan mereka akan mencintainya dengan setulus hati. Saat mereka memberitahu hasil USG pada Peter beberapa bulan yang lalu, ia menyambut dengan sangat gembira. Peter dulu sangat menginginkan anak perempuan yang menurutnya sangat menggemaskan jika memakai baju anak yang lucu-lucu tapi istrinya tidak bisa hamil lagi karena ada kanker di rahimnya hingga akhirnya merenggut nyawanya. Peter juga sudah diberitahu perkiraan hari kelahiran cucu perempuannya dan ia akan mengajukan cuti jauh
Selama seminggu ini Andrew berusaha untuk menjadi suami siaga, karena menurut perkiraan Metta akan melahirkan minggu ini. Elvan sendiri memberikan keringanan untuknya agar tidak terlalu lama berada di kantor ataupun datang ke kantor. Andrew hanya datang ke kantor sesekali saja, ia lebih banyak bekerja di apartement dan mengirimkan laporan via email pada Elvan.Bahkan pekerjaan keluar kota ataupun yang agak jauh dari Jakarta, semua di handle oleh Elvan.Seperti biasanya, Andrew saat ini berada di ruang keluarga. Ia menyalakan laptop miliknya dan bekerja di sana. Sesekali ia melakukan panggilan video dengan Elvan atau sekretarisnya, membicarakan pekerjaan mereka.Sedangkan Metta menemani Andrew dengan duduk di sofa, ia menselonjorkan kakinya ke atas sofa yang mulai terasa pegal. Bahkan kakinya tampak sedikit membengkak. Metta sudah tidak bisa banyak bergerak dengan perutnya yang besar, seakan hendak meledak.Metta sedikit meringis, saat ia bergerak untuk mencari posisi yang nyaman untu
Andrew langsung meraih tangan Metta dan menghadangnya, “Mau kemana? Udah duduk aja di sini, kenapa?” seru Andrew pada istrinya.“Aku mau turun, Kak!” seru Metta.Kening Andrew berkerut, “Ke lintasan?” tanyanya hampir tak percaya. Saat ini mereka berdua sedang berada di sirkuit. Karena Metta yang memaksa Andrew untuk menonton balapan yang ada di sirkuit hari ini. Dari pada membuat istrinya kembali sedih seperti beberapa bulan yang lalu, Andrew memilih untuk mengabulkan permintaan istrinya ini.Metta mengangguk antusias, “Iya dong, biar aku bisa liat dengan jelas motor mereka!” ujar Metta seraya menunjuk ke arah seorang pembalap yang masih berdiri di samping motornya dengan seorang mekanik. Pembalap itu tampak membicarakan sesuatu.“Aduhhhh! Itu terlalu dekat, kalau Sayangnya aku keserempet gimana? Aduhhh…” seru Andrew. “Ya gak dong, Kak. Aku kan di pinggir bukan ke tengah lintasan!” ujar Metta.“Gak boleh pokoknya gak boleh! Udah duduk manis aja di sini ya, ini udah keliatan jelas lo
Saat Andrew pulang ke apartement, ia merasa ada yang berbeda dengan istrinya tersebut. Metta menyambut kepulangannya dengan lembut dan seperti biasanya. Tapi, Andrew merasa jika senyuman Metta tampak hambar, bahkan tatapannya tampak kosong.Awalnya Andrew mengira mungkin Metta hanya kelelahan saja. Sejak Metta hamil, Andrew memang terbiasa membawa makan malam dari luar jika ibu mertuanya tidak datang menemani Metta. Karena Mama Hilda yang akan menyiapkan makanan, ia hanya tinggal menghangatkannya saja.Saat makan malampun, Metta masih menjawab setiap pertanyaannya dengan baik. Berbincang seperti biasanya, hanya saja Andrew masih merasa sedikit aneh dengan istrinya tersebut.Hingga sebelum waktu tidur, Andrew membuatkan susu untuk Metta. “Mau tidur sekarang?” tanya Andrew setelah menyimpan gelas bekas minum susu di meja.Metta mengangguk, “Iya, Kak. Aku mau tidur aja, agak ngantuk,” jawab Metta.Andrew mengangguki ucapan Metta, kemudian membantu menyelimuti tubuh Metta. Agar istri dan
Satu bulan berlalu, seharusnya di mana Metta sudah masuk kuliah di semester yang baru. Kini ia hanya bisa diam di dalam apartement. Bahkan hanya untuk keluar apartement dengan berjalan kaki menikmati fasilitas yang ada di gedung ini atau ke pertokoan dan mini market yang ada di sekitar apartement, ia harus lebih dahulu memberitahukan pada Andrew yang berada di kantor. Jika sudah sampai apartement lagi, Andrew pasti akan menghubunginya.Sejak hamil, Andrew juga melarang Metta untuk datang ke cafe Aya kecuali bersama dirinya. Ia tidak mau Metta kelelahan atau terpeleset saat membantu kesibukan di cafe. Andrew memang lebih protektif pada Metta demi kebaikan Metta dan kandungannya.Metta membaringkan tubuhnya di sofa sambil menatap ke arah jendela, ia menghembuskan napas panjangnya dengan tangan yang mulai membelai lembut perutnya. Perutnya masih terlihat rata, tapi beberapa celana mulai terasa sesak ketika di gunakan. Metta sendiri sudah tidak menggunakan celana jeans karena sudah mulai
“Gue hebat, kan? Tiga minggu-an udah jadi!” bangga Andrew pada Elvan, kini mereka berdua berada di taman belakang. Sedangkan yang lainnya menemani Metta di dalam dan mengobrol mengenai kehamilannya. Metta masih sangat muda dan tomboy sehingga Aya, Hilda dan Soraya memberikan ekstra perhatian dan wejangannya. Sementara Aji dan Mahanta ngobrol di ruangan kerja.“Bangga Lu? Gue juga gak lama kali!” dengus Elvan.“Iya emang gak lama, tapi cepetan gue kan?” Andrew masih begitu bangga, “Tokcer banget kan?”“Dih dasar, bukan itu yang harus Lu perhatiin sekarang, tapi kondisi istri Lu sama calon anak Lu!” seru Elvan mengingatkan.“Iyalahh, kalau itu gue dah paham bangettt! Tadi aja abis dari rumah sakit gue udah borong susu hamil banyak-banyak!” seru Andrew.“Bukan cuma itu! Tapi mulai sekarang Lu perhatiin Metta baik-baik, kebutuhan dia juga perhatian dia, biar anak kalian tumbuh dengan baik. Selalu anter Metta juga kalau mau periksa ke dokter,” ujar Elvan.“Gua paham!” seru Andrew.Elvan j
Dokter hanya bisa tersenyum kemudian menggeleng kecil, ia tak mengerti kenapa suami pasiennya tampak sangat kebingungan seperti saat ini dan memberikan pertanyaan konyol.“Tentu saja istri Anda yang hamil, Pak.” tanya dokter pria berusia sekitar 40 tahunan tersebut.“Saya akan memberikan rujukan untuk melakukan pemeriksaan ke dokter kandungan saat ini juga agar di berikan vitamin untuk kehamilan,” lanjut dokter tersebut seraya mulai menuliskan sesuatu di atas kertas.Andrew hanya bisa terbengong-bengong, begitu juga dengan Metta. Tapi Metta sudah mengerti sejak awal, hanya saja mulutnya tampak kaku dan terkunci rapat hingga tak bisa mengucapkan sepatah katapun.Beberapa detik kemudian Andrew seperti sadar dari pikiran kosongnya. “Jadi maksud dokter istri saya hamil? Gitu?” tanya Andrew tak percaya dan sedikit heboh.“Betul, Pak. Yang hamil, gak mungkin saya juga, kan?” tanya balik dokter tersebut.Kebahagiaan tak bisa dibendung lagi oleh Andrew, jika bisa berteriak ia sudah pasti bert
“Kamu ini gimana sih, Ndrew?! Istri sakit bukannya di perhatiin?!” tegur Soraya begitu Andrew masuk ke dalam ruang kerja milik Aya. Di mana saat ini Metta sedang duduk di sofa, seraya menghirup minyak angin dengan aroma theraphy, agar rasa pusing di kepalanya mereda. Bahkan Metta juga merasa mual.“Pagi tadi baik-baik aja, Mih,” ujar Andrew seraya menghampiri Metta dan duduk di sampingnya kemudian memeriksa keadaan Metta.“Sayangnya aku kenapa? Yuk ke dokter,” ajak Andrew panik melihat raut wajah Metta yang tampak amat lesu dan pucat.“Masuk angin tuh kayanya!” dengus Soraya kesal, “Kamu ajak Metta ngapain sih sampe kaya gitu?!”“Duh, Mih. Masa Andrew ceritain sih!” sahut Andrew. Soraya hanya bisa mendengus seraya memutar bola matanya jengah. “Dasar anak muda, kalau apa-apa tuh gak pake aturan! Maen trabas aja sih! Pake kira-kira dong, udah gini kan orang tua juga ikut khawatir!” desis Soraya.“Iya iya, Mih. Pokoknya Andrew mau bawa Metta dulu ke rumah sakit!” sahut Andrew.Metta men
Beberapa menit yang lalu Soraya datang ke cafe milik menantunya, dengan membawa Arka--cucunya yang digendong oleh pengasuhnya. Awalnya Soraya memang baru saja pulang dari rumah temannya, di mana anaknya baru saja pulang dari rumah sakit setelah melahirkan cucu teman Soraya.Soraya sengaja membawa Arka, karena ia menengoknya di rumah bukan rumah sakit. Jika masih di rumh sakit Soraya tak akan mengajak Arka. Lagipula Soraya tidak bisa meninggalkan Arksa sendirian dengan pengasuh saja, di mana ibunya saat ini sedang sibuk di cafe. Jadi Soraya membawa Arka.Maka dari itu Soraya mampir dan ingin melihat langsung cafe milik menantunya ini. Cafe ini sudah berjalan 3 bulan lamanya sejak pembukaan. Setelah pembukaan hanya sesekali Soraya datang. Karena ia fokus untuk ikut mengasuh dan mengawasi Arka di bawah asuhan pengasuhnya selama Aya fokus merintis cafe barunya ini.Soraya sendiri sudah mendengar mimpi Aya, baik dari Elvan atau Aya secara langsung. Jadi selama dua bulan ke belakang memang