“Sudah ku katakan padamu, taksi itu tidak akan datang!” seru Elvan tiba-tiba yang rupanya cukup mengagetkan bagi Kana.
Sejak tadi ia sudah menunggu taksi yang di pesannya datang, tapi sudah hampir 1 setengah jam berlalu taksi tersebut tetap saja tidak muncul.
Kana merasa malu pada Elvan yang sudah memberitahunya tapi ia tidak percaya.
“Maafkan aku…” sesal Kana. Wajahnya tampak muram, tapi bukan hanya itu. Ia juga merasa jika tubuhnya tidak enak. Ia sedikit lemas dan mulai terasa pusing.
Elvan tampak memperhatikan Kana, terlihat wajah wanita itu tampak pucat. Dengan cepat ia melirik jam di tangannya. Rupanya waktu makan siang sudah lewat beberapa jam.
“Kau terlihat tidak sehat?” tanya Elvan kemudian. Kana hanya mendongak sedikit kemudian menggeleng.
“Aku baik-baik saja,” jawabnya pelan.
Kana bergerak menjauh ketika Elvan duduk, seolah kedekatan atau keberadaannya membuat wanita itu takut.
Hingga sebuah pikiran terbersit di kepalanya, ‘Apa mungkin seseorang sudah menyakiti dan melukainya, maksudku sebelum kejadian tadi?’ gumamnya dalam hati.
‘Wanita ini tampak kehilangan rasa kepercayaan dirinya, dia lebih banyak diam dan menundukkan wajahnya,’ lanjutnya lagi. Tapi, Elvan merasa wanita itu kini sedikit terbuka, tanpa mengatakan ‘saya’ lagi dan digantikan dengan kata ‘aku’.
Tapi Elvan hanya diam, berdasarkan pengalamannya selama bekerja dan memimpin perusahaan. Lebih bijaksana jika tidak menyelidiki jiwa orang lain ataupun penasaran dengan apa yang sudah menimpa seseorang. Lagi pula, wanita ini hanya orang asing yang singgah sebentar ke tempatnya dan sebentar lagi akan pergi. Kecuali, ia memiliki alasan dan kepentingan khusus untuk mengetahuinya lebih dalam.
“Jadi, bagaimana aku bisa keluar dari sini?” tanyanya, Elvan hanya mengangkat sebelah alis matanya seakan ia tidak percaya dengan apa yang diucapkan oleh wanita itu, di mana tadi ia sudah menawarkan diri untuk mengantarnya, tapi di tolaknya. Dan lebih memilih menghubungi perusahaan taksi yang tak kunjung datang.
“Hmm, maksudku aku tidak mau merepotkanmu setelah semalam kau sudah mengijinkan ku tinggal di sini, dan membantuku tadi,” lanjut Kana. “Jadi aku memutuskan untuk pergi dari sini sendiri.”
“Sekarang sudah pukul 3 sore, dan apa kau tahu? Sebentar lagi di sini sudah sangat sepi,” ujar Elvan.
“A-aku tidak tahu itu,” jawab Kana seraya menurunkan pandangannya. Terlihat ia sedikit cemas.
“Dan aku tidak yakin, kau akan menemukan penginapan yang kosong di sekitar sini. Ini week end, pasti semua sudah penuh. Jika kau ingin mendapatkan penginapan mungkin kau harus benar-benar ke kota,” jelas Elvan.
Mata Kana membulat, ia benar-benar lupa dengan hal ini. Ia lupa jika tempatnya kini berada banyak tempat wisata di mana orang-orang berdatangan untuk berekreasi, terutama berendam di kolam air panas yang sumber airnya berasal dari mata air alami.
Saat memutuskan kabur, hanya inilah tempat satu-satunya yang pernah terpikirkan olehnya. Kana pernah datang ke sini bersama orang tuanya dulu. Dan itu sudah lama sekali, hingga saat sampai di sini ia sedikit terkejut karena sudah banyak perubahan yang cukup signifikan. Kini ia sadar, mungkin itu alasan ia bisa tersesat sejauh ini.
Kana ingin menginap di penginapan yang pernah ia datangi dulu, hanya saja ia lupa dengan namanya dan berada di sebelah mana tempat itu berada.
“Kira-kira berapa lama aku bisa sampai ke kota?” tanya Kana.
“Dengan mobil, dalam keadaan week end seperti ini bisa sampai 3 jam,” jawab Elvan.
Ada raut kekecewaan yang tampak di wajah Kana.
“Aku bisa mengantarmu untuk mencari penginapan di sekitar sini, jika kau mau?” tawar Elvan.
Senyum kembali muncul di wajah wanita itu, meski bibirnya masih terlihat pucat. Dan Elvan kagum dengan perubahan yang diakibatkan oleh senyum tersebut, terhadap tubuh Kana yang kurus. Sejenak wanita itu terlihat benar-benar cantik, tapi kemudian senyum itu kembali menghilang.
“Tapi aku tidak mau merepotkanmu,” ucapnya.
“Kau pilih mana? Merepotkanku atau kau berjalan sendiri di kebun yang sepi dan kembali di hadang oleh orang yang berniat jahat padamu lagi?”
***
Sudah 4 penginapan yang mereka datangi, tapi benar apa kata Elvan. Semua kamar sudah penuh oleh wisatawan yang datang.
Dan kini hanya tinggal tersisa 1 penginapan yang berada di dekat mereka yang belum di datangi.
Kana duduk di samping Elvan tidak bergerak sedikitpun, seperti sebuah patung atau boneka. Hanya sesekali saja ia menatap keluar jendela. Jalanan cukup padat. Dan Kana berharap jika penginapan terakhir itu masih memiliki kamar yang kosong.
Tapi sayangnya, tidak tersisa satu kamarpun yang bisa ia tempati saat bertanya pada resepsionisnya. Kana keluar dengan perasaan kecewa.
“Bagaimana?” tanya Elvan yang menunggunya di luar.
Kana menggeleng lemah, “Penuh…”
***
Sambil duduk di kursi kerjanya Elvan tampak bingung sesaat. Ia mencoba mengingat alasan dirinya tadi sampai menawarkan wanita asing itu untuk kembali menginap malam ini di tempatnya.
“Apa yang gue pikirin tadi, kenapa bego banget sih!” gerutunya pelan.
Tapi kemudian ia kembali berpikir, jika terjadi apa-apa dengan wanita itu. Maka dirinya lah orang terakhir yang terlihat bersamanya, hal itu karena ia mengantar wanita itu mencari penginapan. Besar kemungkinan akan ada seseorang yang masih mengingatnya.
“Tadi pagi aja dia sudah hampir di rampok, apa lagi di luar dalam keadaan gelap seperti sekarang.”
“Besok langsung gue anter ke penginapan atau terminal biar dia cepat pergi ke kota!”
Elvan kemudian memutuskan untuk kembali ke kamarnya, membersihkan dirinya dan segera beristirahat.
***
Saat ini Kana sudah berada di kamar yang tadi malam di tempatinya. Sebenarnya dia tidak mau menerima tawaran ini, tapi sampai penginapan terakhir yang mereka datangi, tidak ada satu pun kamar yang tersisa untuknya.
Dari pada ia bernasib seperti semalam, jadi dengan terpaksa ia menerima tawaran pria bernama Elvan itu.
“Meski bersikap dingin tapi dia baik,” gumam Kana yang kini duduk di sisi tempat tidurnya.
Kana masih merasa tidak enak untuk menerima tawaran ini, rasanya sangat canggung. Apa lagi mereka hanya tinggal berdua meski vila ini cukup besar, dirinya di lantai bawah, sedangkan pria itu di lantai atas.
“Aku tidak mengenalnya, tapi bukan berarti dia bersikap baik padaku, aku bisa begitu saja mempercayainya,” gumamnya sangat pelan seraya menolehkan wajahnya pada arah pintu. Dengan cepat Kana bangkit dari duduknya dan segera mengunci pintu tersebut, karena seingatnya tadi dia belum menguncinya.
“Tapi dia pemilik tempat ini, sudah pasti dia memiliki kunci cadangan. Aku harus menghalangi pintunya juga,” bisiknya sangat pelan. Kemudian Kana menatap kursi yang cukup besar yang terdapat di sudut ruangan. Dengan cepat ia menghampiri kursi tersebut dan segera mendorongnya untuk menahan pintu, agar pintu terhalang dan tak bisa di buka jika ada seseorang yang mencoba masuk ke dalam saat dirinya tidur.
Kana harus benar-benar waspada, ia tidak boleh percaya begitu saja pada orang asing.
Kana tersenyum getir, “Bahkan aku sudah di sakiti oleh orang yang sangat ku percaya…” bisiknya pelan, dengan tangan yang mengucap lembut perutnya. Di mana di sana terdapat luka memar yang cukup besar, dan masih terasa ngilu dan sakit.
-To Be Continue-
Hampir 2 jam berlalu, tapi Kana tetap saja tidak bisa memejamkan matanya. Selain suhu udara yang sangat dingin, beberapa kali kenangan buruk yang sudah menimpanya muncul kembali diingatannya. Kana menghembuskan napas panjang, kemudian ia menutup wajahnya dengan kedua tangannya. Rasanya matanya langsung saja terasa panas. 'Kenapa nasibku seperti ini...' lirihnya dalam hati. Kana hampir saja meneteskan air matanya, tapi dengan sekuat tenaganya ia berusaha menahannya. "Aku tidak mau lagi menangisi semua itu, aku harus kuat, aku pasti bisa," gumamnya pelan. Kana menggulirkan tubuhnya ke arah kanan kemudian memeluk bantal guling. Ia berusaha kembali mencoba untuk terlelap. Tapi masih saja sulit, sesekali ia menoleh ke arah pintu. Masih ada perasaan was-was dalam dirinya. Ia takut jika pria yang sudah menolongnya dan memberikan tempat untuk tidur malam ini memiliki niat yang jahat. Tapi, kursi yang di simpan untuk menghalangi pintu masih pada tempatnya. Dan tak ada upaya dari luar unt
Kana membuka matanya dengan perlahan, dan melihat langit-langit yang berwarna cokelat kayu. Kini ia ingat sepenuhnya berada di mana, karena sudah 2 malam ia tidur di kamar ini.Saat membangunkan tubuhnya untuk duduk, lagi-lagi rasa sakit di sekujur tubuhnya kembali terasa.Tiba-tiba saja ia kembali teringat pada kejadian dua hari yang lalu, saat mereka semua pergi ke rumah sakit, di saat hanya ada pelayan saja di dalam rumah. Di bantu oleh orang yang dia percaya, Kana melarikan diri dari rumah yang seperti neraka itu hanya dengan bermodalkan pakaian yang mampu ia bawa dalam koper yang besar itu.Tidak berapa lama, ia kabur dari rumah itu. Kana langsung menuju bank untuk mengambil semua uang tabungan dalam rekeningnya yang tidak seberapa. Dalam pelariannya diusahakan untuk tidak menggunakan kartu ATM nya, atau keberadaannya akan mudah di temukan dari transaksi kartu yang ia gunakan.Jika sampai kebera
Kini Kana sudah duduk berhadapan dengan pria bernama Elvan itu, sesekali Kana mengangkat dagunya tapi saat tahu pria itu tengah menatapnya ia segera menundukkan kembali wajahnya.Makanan yang sudah di masak olehnya sudah tersedia di atas meja makan, tapi tak ada dari salah satunya untuk mulai memakan makanan tersebut.Napasnya jadi tidak teratur, meski Elvan memiliki tampang yang rupawan tapi entah mengapa Kana selalu merasa takut dengan tatapannya.‘Aku mulai lapar…’ lirih Kana dalam hati.Kemudian setelah ia mengumpulkan keberaniannya, Kana kembali mengangkat wajahnya. “Aku akan menyiapkan makanan untukmu,” serunya pelan dengan tangan yang mulai mengambil piring untuk menyiapkan makanan bagi Elvan.Tapi, dengan cepat Elvan melarangnya. “Aku masih punya tangan, dan kau hanyalah tamu di sini.”Dengan spontan Kana men
Kana tidak mengerti, mengapa pria ini bisa berpikiran seperti itu padanya, bahkan ia tidak tahu nama belakang Elvan. Bagaimana dia bisa mengenal kedua orang tuanya. Kana benar-benar tidak habis pikir.‘Dan apa aku salah minta pekerjaan padanya? Meski hanya sementara?’ pikir Kana tidak tenang.Tapi mungkin bisa saja pria ini menganggapnya memiliki niat jahat, tidak sering wanita asing tiba-tiba saja datang begitu saja lantas meminta pekerjaan padanya. Pria itu tidak mengenalnya, dan Kana sendiri tidak akan bisa menunjukkan tanda pengenal padanya, karena dia pasti akan tahu, jika tanda pengenal itu tidak tertulis atas nama ‘Kana Zanitha’ nama yang ia karang kemarin, tapi Dayana Ekavira.Saat ini dirinya hanya bisa menyesal karena sudah menawarkan diri sebagai pengganti Bi Enah untuk sementara waktu.Begitu Elvan menghilang dari pandangannya karena pergi begitu saja meninggalkan Kana, tanpa terasa air matanya mengalir begitu saja.Entah karena perasaan menyesalnya atau karena pria itu t
Kana mendudukkan tubuhnya di sisi tempat tidur seraya menghembuskan napas panjangnya.“Dan aku kembali ke kamar ini lagi…” gumamnya pelan.’Masih ada perasaan malu yang menyelimuti dirinya, saat ia ketahuan berbohong. Pada dasarnya dia memang tidak pandai untuk berbohong.Kana membaringkan tubuhnya, dan memejamkan matanya. Ia akan beristirahat sebentar sebelum kembali menghadapi pertanyaan-pertanyaan yang akan Elvan lontarkan kembali padanya nanti.Kana yakin, pria itu akan tidak lupa bahwa ia belum mendapatkan jawaban yang diinginkannya darinya. Saat berjalan kembali ke vila, Elvan sempat melontar beberapa pertanyaan lagi padanya.Meski enggan, tapi Kana menjawabnya dan sedikit membubuhkan kebohongan di dalam jawabannya dan berharap Elvan tidak sadar dengan itu.Kana kembali membuka matanya, ia tahu pasti saat ini suami dan keluargan
Elvan memperhatikan Kana yang sedang makan dengan suapan-suapan kecilnya. Dan tak lama kemudian Kana tampak tersedak dengan makanannya dan terbatuk-batuk. Dengan reflek Elvan mendekatkan gelas minum milik Kana.“Minumlah…”Kana segera meraih gelas tersebut dan segera meneguknya.“T-terima kasih…” ujar Kana dengan tulus.Elvan tampak memperhatikan setiap gerak-gerik yang Kana lakukan. Hingga Kana sadar akan tindakan Elvan tersebut, saat menatapnya sekilas.Dan dengan cepat kembali menundukkan wajahnya kemudian memakan kembali makanannya yang masih bersisa.“Apa kau tinggal sendirian?” tanya Kana karena merasa canggung jika hanya diam dan makan saja. “Bi Enah hanya datang pagi dan pulang sore saja, kan?”“Hmm…” Elvan mengangguk.“Di mana istrimu? Apa dia tinggal di sini? Aku harus meminta izin padanya karenatinggal di
Elvan terkejut sekaligus lega, saat melihat wanita itu sudah berdiri di depan pintu. Seakan menunggu kedatangannya. Dan tidak mengerti mengapa ia harus merasa lega saat mengetahui jika wanita itu tidak pergi dari rumahnya saat ia sedang pergi untuk berbelanja.Dengan sigap Kana menghampiri Elvan ketika ia baru saja memarkir mobilnya. Elvan keluar dari dalam mobilnya kemudian membuka pintu bagian belakang dan mulai mengeluarkan kantong belanjaan.“Aku akan membantumu,” seru Kana seraya mengambil alih salah satu kantong belanjaan di tangannya.Meski sedikit risih karena terlalu dekat dengan wanita itu, tapi Elvan langsung menyerahkan kantong belajaan itu, berharap agar mereka kembali berjarak dengan cepat.Setelah dua kantong belanjaan di tangannya, Kana segera masuk ke dalam rumah. Di susul oleh Elvan yang sudah membawa kantong yang lainnya setelah sebelumnya mengunci kembali mobilnya. Dan
Pagi ini ketika Elvan terbangun dan pergi menuju dapur ia kembali menemukan Kana yang sudah mempersiapkan makanan mereka. Dan harus Elvan akui, jika setiap makanan yang dibuatkan oleh wanita ini memang enak dan benar-benar cocok di lidahnya.‘Harusnya suaminya merasa senang karena memiliki istri yang pandai memasak seperti ini,’ gumam Elvan dalam hati. Tapi kemudian ia berusaha mengenyahkan pemikiran tersebut, karena baginya ia tidak berhak untuk berpikiran seperti itu.Setelah menyelesaikan sarapannya, Elvan meninggalkan Kana sendirian di dalam dapur yang tampak mulai membereskan piring-piring yang sudah mereka gunakan.Saat sarapannya kali ini, hampir tidak ada pembicaraan di antara mereka sama sekali.Elvan akan melakukan aktivitasnya seperti biasa, yaitu mengecek semua laporan yang dikirimkan oleh Andrew. Dan ia hampir saja lupa, jika sudah seharian sejak kemarin ia tidak menyalakan p
Andrew yang sedang memejamkan matanya untuk beristirahat, mendengar suara ketukan di jendela mobilnya dan segera membuka matanya. Ia bisa melihat Metta yang sudah datang, hingga ia dengan cepat ia membuka kunci mobilnya sambil mematikan musik yang masih mengalun di dalam mobilnya. Untung saja ia menyetel suara musik di dalam mobilnya tidak terlalu kencang hingga suara ketukan itu dapat didengarnya karena mobilnya dilengkapi dengan peredam suara.“Kak, tidur?” tanya Metta saat ia membuka pintu mobil Andrew, tapi ia tidak masuk ke dalamnya.“Gak, cuma istirahat aja,” sahut Andrew.“Masih sakit?” tanya Metta lagi.Andrew menggeleng. Tak lama kemudian ia segera turun dari dalam mobil. Lalu berjalan menghampiri Metta.“Ada di mana dia? Apa kita mau temui dia sekarang juga?” tanya Andrew kemudian.“Kayanya dia udah di kantin deh, Kak.”“Mau sekarang?” tanya Andrew lagi.Metta mengangguk, “Tapi kita coba liat dia di kantin dulu ya… terus cari kesempatan buat aku ngajak dia ngobrol.”“Boleh,
Metta : Aku udah di kampus, Kak.Andrew yang sudah berada di ruangannya membaca pesan yang dikirimkan oleh Metta padanya. 2 hari yang lalu saat Metta menceritakan apa yang terjadi padanya, Andrew berjanji akan menemani Metta untuk menemui Tasya.Mungkin sebenarnya Metta berani menghadapinya sendiri, hanya saja Andrew sedikit khawatir ketika Metta akan menemui pria bernama Bagas itu juga.Jadi Andrew sedikit memaksa untuk ikut menemani Metta.Andrew : Aku akan menyelesaikan pekerjaanku terlebih dahulu, dan mencari alasan pada Kakak Iparmu untuk keluar.Metta : Siap, Kak. Aku ada dua sks sekarang, nanti siang ada kelas lagi.Andrew : Aku mengerti.Metta hanya menatap layar ponselnya, ia tak mengirim pesan lagi pada Andrew karena takut mengganggunya. “Lagi apa, Ta?” tanya Alina yang baru saja menghampirinya dan sedikit mengagetkan Metta.“Hei, gue baru bales chat,” sahut Metta.“Pacar Lu?” tanya Alina yang kini sudah duduk di samping Metta.Metta mengangguk, “Nanti setelah kelas ini sel
Sementara Andrew mandi, Metta mencuci mangkuk yang tadi sudah di gunakan Andrew untuk makan. Lalu ia duduk di sofa dan menyalakan televisi sambil menunggu Andrew selesai.Metta hanya bisa mengajak Andrew untuk bertukar pikiran dengan hasil temuannya kemarin di dekat tempat parkir. Karena hanya Andrew saja yang tahu masalah ini. Tidak mungkin ia menceritakan masalah ini pada orang tua atau kakaknya, ini hanya akan membuat mereka khawatir saja.Metta memindahkan channel televisi untuk mencari program yang menarik, tapi sayangnya tak ada satupun acara yang membuatnya tertarik untuk menonton, hingga ia hanya menyalakan televisinya begitu saja, sementara ia berkutat dengan ponselnya dan berselancar di internet.Sekitar 20 menit kemudian terdengar suara langkah mendekatinya, Metta langsung menoleh pada Andrew yang sudah selesai mandi dan berpakaian. Bisa di lihat rambutnya masih setengah basah. Andrew kemudian menghampiri Metta dan duduk di sebelah seraya mengambil remote televisi dan menco
Tanpa patah semangat Metta terus menekan bell pintu apartement Andrew. Ia sudah bisa menebaknya dari jawaban Andrew semalam. Mengajaknya latihan hari ini akan menjadi tantangan yang berat untuknya. Metta yakin jika Andrew sengaja, menulikan telinganya saat ia menekan bell apartement.“Ohh lihat saja! Aku bukan orang yang pantang menyerah jika hanya seperti ini!” seru Metta dengan penuh semangat, bukan hanya itu Metta juga melakukan panggilan suara pada ponsel Andrew, agar di dalam semakin tambah bising.Perpaduan bunyi ponsel dan bell begitu sangat sempurna. Itu pun jika ponsel Andrew tidak dalam keadaan mode silent.Sementara itu di dalam kamar di atas tempat tidur, Andrew menutupi kedua telinganya dengan bantal. Agar suara-suara ini tidak mengganggu waktunya untuk tidur.Ia berpikir, jika sebentar lagi juga Metta akan menyerah dan meninggalkan apartementnnya. Tapi dugaannya salah, 10 menit berlalu dan suara bell di dalam apartementnya serta ponselnya yang sudah ia ubah menjadi mode
Menjelang sore, Andrew harus menemani Mahanta untuk bertemu dengan salah satu rekan bisnis mereka. Karena saat ini Elvan belum bekerja penuh, ia akan pulang tepat waktu untuk meluangkan waktunya menemani Aya dan Arka.Hal tersebut bisa di mengerti oleh Mahanta, sebagai seorang ayah ia bisa memahami perasaan Elvan saat ini. Dulu saat Elvan dan kedua kakaknya masih kecil iapun tak ingin lama-lama berpisah dari mereka.Dan Elvan sendiri mendapatkan panggilan dari Ryan. Ryan dan istrinya sudah dalam perjalanan ke rumah Elvan untuk menjenguk Aya dan Arka. Karena saat Aya melahirkan Ryan bersama Riani sedang berada di luar kota selama 2 minggu penuh untuk menyelesaikan kasus yang harus mereka tangani. Riani masih membantu Ryan, meski kandungannya sudah semakin besar.Andrew yang mendengar Ryan datang ke rumah Elvan, saat selesai pertemuan dengan Mahanta ia ikut pulang ke rumah. Sudah sangat jarang mereka berkumpul bersama. Semuanya sedang berkumpul di ruang keluarga ketika Andrew dan Mahan
Suasana di kampus kini terasa lebih nyaman bagi Metta, karena kini ia mulai bisa berbaur dengan teman-temannya lagi. Dan Alina kerap menemaninya kemanapun saat berada di kampus, sama seperti awal-awal ia masuk kuliah.Begitu juga dengan Gladys dan teman-temannya yang sempat meminta maaf padanya atas perintah Pak Nasirin yang ingin memastikan kenyamanan mahasiswa saat berada di kampus. Gladys dan lainnya bisa berbaikan dengan Metta meski terlihat canggung dan hanya bicara seperlunya saja, tidak terlalu dekat seperti halnya dengan Alina.Saat semua teman sekelasnya sudah baik padanya, tidak begitu dengan Tasya. Tasya seakan masih menjaga jarak dengannya, bahkan masih menatap sinis padanya seakan tak suka dengan keberadaannya.“Aku masih gak ngerti deh sama Tasya, aku salah apa sama dia?” tanya Metta pada Alina yang kini tengah berada di kantin. Mereka berdua sedang menunggu kelas selanjutnya.“Beneran Lu gak inget, Ta?” tanya Alina.Metta menggeleng kemudian meminum jus miliknya.“Gue g
“Kakkk!!!” seru Metta yang langsung membuka pintu ruangan Andrew dan masuk begitu saja. Tentu saja Andrew yang sedang bekerja tiba-tiba terlonjak dari duduknya karena kaget.“Dihhh bocillll!! Kamu ngagetin aja sih!! Tetep aja ya gak ada sopan-sopannya!” dengus Andrew.Metta hanya menyengir lebar melihat Andrew terlonjak dan kesal padanya. Ia segera menutup kembali pintu ruangan Andrew dan berjalan mendekatinya.“Mau apa sih ke sini, hah? Gangguin lagi ada tugas? Lagi kerja nihhh!!” Andrew menggerutu.Metta terkekeh geli, “Iya iya maaf! Aduhh kebiasaan,” ujar Metta sambil duduk di kursi yang ada di depan Andrew.“Apa sih?? Bukannya kamu harusnya masih di kampus? Kenapa ada di sini?” tanya Andrew dengan ketus.“Udah selesai kuliah lah, Kak. Makanya bisa ke sini,” jawab Metta.“Terus ngapain ke sini?” tanya Andrew.“Mau bilang makasih!” ujar Metta dengan senyuman lebarnya hingga memperlihatkan deretan giginya yang rapi dan putih.Kening Andrew berkerut. “Buat apaan?”“Dihhh mulai deh pur
“Sendirian?” tanya seseorang pada Metta yang kini sedang duduk di taman, ia sedang menunggu kelas yang akan di laksanakan sekitar 20 menit lagi.“Iya…” sahut Metta singkat.“Boleh gue duduk di sini?” tanya Alina yang merupakan teman sekelas Metta.Metta mengangguk kaku, karena tak biasanya ada teman sekelasnya yang menyapanya seperti ini dan ingin duduk di dekatnya. Padahal ia bisa melihat masih ada beberapa bangku yang kosong lainnya.“Makasih,” ujarnya kemudian duduk di samping Metta.“Lu udah kerjain tugas dari Bu Ratna?” tanya Alina.“Udah…” Jawaban Metta masih singkat, karena ia masih merasa bingung dengan situasi saat ini.Sudah hampir lima menit Alina duduk di samping Metta, tapi Metta tak mengeluarkan sedikitpun suara apalagi mengajaknya berbicara. Hingga Alina akhirnya memberanikan diri untuk berbicara lebih dulu.“Metta…” Metta yang merasa di panggil kembali menoleh pada Alina.“Gua mau minta maaf…” ujarnya kemudian.“Maaf? Buat apa?” tanya Metta bingung dengan kening yang b
“Kamu liat gak tadi mereka pas kita pergi terus ngeliatin terus dan samperin Pak Nasirin?” tanya Andrew seraya berjalan di samping Metta dan sengaja merangkul pinggangnya.Metta mengangguk, “Iya aku juga ngeliat. Sampe segitunya mereka kepo,” sahut Metta.Andrew terkekeh geli, “Aku jadi penasaran apa yang Pak Nasirin bilang ke mereka.”“Sama, Kak. Aku juga penasaran deh. Dan oh ya… berarti dosen aku kerja di perusahaannya Kak Elvan dong?” tanya Metta kemudian.“Ya, kurang lebih begitu lah. Cuma emang Pak Nasirin paling dateng ke kantor sebulan sekali, ngantor dua hari di tempat finance. Di kantor kan ada satu orang finance yang ngurusin pajak. Kalau tutup buku atau ada masalah dengan pajak, baru dia standby tiap hari sampe masalah kelar,” jelas Andrew.“Ohhh gitu yaa… baru tahu aku!” sahut Metta.Tak lama kemudian mereka berdua sampai di Perpustakaan kampus. Kemudian Metta mengajak Andrew masuk ke dalam. Di dalam Perpustakaan pun, tak ayal Andrew yang tampak mencolok menjadi pusat p