Hampir 2 jam berlalu, tapi Kana tetap saja tidak bisa memejamkan matanya. Selain suhu udara yang sangat dingin, beberapa kali kenangan buruk yang sudah menimpanya muncul kembali diingatannya.
Kana menghembuskan napas panjang, kemudian ia menutup wajahnya dengan kedua tangannya. Rasanya matanya langsung saja terasa panas.
'Kenapa nasibku seperti ini...' lirihnya dalam hati.
Kana hampir saja meneteskan air matanya, tapi dengan sekuat tenaganya ia berusaha menahannya.
"Aku tidak mau lagi menangisi semua itu, aku harus kuat, aku pasti bisa," gumamnya pelan.
Kana menggulirkan tubuhnya ke arah kanan kemudian memeluk bantal guling. Ia berusaha kembali mencoba untuk terlelap.
Tapi masih saja sulit, sesekali ia menoleh ke arah pintu. Masih ada perasaan was-was dalam dirinya. Ia takut jika pria yang sudah menolongnya dan memberikan tempat untuk tidur malam ini memiliki niat yang jahat.
Tapi, kursi yang di simpan untuk menghalangi pintu masih pada tempatnya. Dan tak ada upaya dari luar untuk membuka pintu tersebut.
Bukan hanya suhu dingin dan kenangan buruk yang menghantuinya malam ini saja. Tapi Kana juga merasa tubuhnya semakin tidak enak.
Kana mencoba merasakan panas tubuhnya dengan menempelkan punggung tangannya di dahi dan lehernya.
"Sepertinya aku demam," gumamnya pelan.
Kana ingat, saat mengambil salep memar tadi, ia sempat melihat ada obat demam di sana.
Tapi Kana mengurungkan niatnya untuk mengambil obat tersebut sekarang. Ia takut jika pria itu memergokinya berkeliaran di dalam rumahnya di malam hari dan menuduhnya hendak mengambil atau mencuri barang miliknya.
"Besok pagi saja, saat Bi Enah sudah ada, aku akan minta padanya."
Kana kembali mencoba untuk tidur. Tapi semakin mencoba untuk memejamkan matanya ia semakin tak bisa terlelap. Tubuhnya semakin terasa tidak nyaman.
Dengan bermodal nekat, Kana bangkit dari tidurnya. Menggeser kan kembali kursi yang menghalangi pintu dan membuka kuncinya.
Sebelum keluar dari dalam kamar, Kana memastikan jika keadaan di luar cukup aman. Dengan sedikit mengendap Kana berjalan dengan sangat perlahan, agar langkahnya tidak menimbulkan suara.
Kana berhasil mencapai dapur, kemudian mengambil kotak obat tersebut. Ia lalu mengambil obat penurun demam yang ada di sana.
Tapi tiba-tiba saja Kana merasakan angin yang cukup kencang menerpa dirinya.
"Eh..." gumamnya sangat pelan.
Dengan obat di tangannya Kana melangkah keluar dari dapur. Mencoba memeriksa keadaan.
Tapi alangkah terkejutnya, saat Kana melihat salah satu pintu terbuka. Pintu yang mengarah ke bagian belakang vila.
Jantungnya berdegup kencang seketika. Ia takut jika ada orang lain yang masuk ke dalam Vila ini.
Dengan mengendap, Kana melangkah menuju pintu, dari tempat ia melihat jika pintu itu tidak ada kerusakan sama sekali.
'Apa mungkin dia lupa menutup pintunya?' Kana bertanya pada dirinya sendiri.
Kana melangkah semakin mendekati pintu, jika lupa menutupnya maka Kana akan menutup dan menguncinya.
Tidak ada suara apapun yang mencurigakan, semuanya tampak begitu hening. Hingga Kana bisa bernapas lega, dan yakin jika pria itu hanya lupa menutup pintunya.
Begitu Kana berdiri di dekat pintu yang terbuka lagi-lagi ia harus merasa kaget. Karena ia melihat jika ada seseorang yang sedang berdiri di luar dengan wajah yang menenggadah ke langit yang bertabur bintang.
Kana mencoba meyakinkan dirinya jika orang itu adalah Elvan, pria yang sudah menolongnya.
Dan benar saja setelah memastikannya, pria itu memanglah Elvan.
'Sedang apa dia di sana malam-malam seperti ini?' tanya Kana di dalam hatinya.
'Aku harus segera pergi dari sini sebelum dia melihatku, atau dia akan berpikir hal yang tidak-tidak padaku,' gumamnya lagi.
Malam ini entah mengapa Elvan kembali merasakan kerinduan yang begitu besar kepada istri yang sudah meninggalkan serta membawa anak mereka ikut bersama. Berulang-ulang Elvan menarik napas panjang dan menghembuskannya.
‘Kenapa kau tega meninggalkan ku sendirian, Dav…’ lirihnya dalam hati seraya memejamkan matanya.
Saat memejamkan matanya Elvan mendengar ada bunyi di belakangnya, dengan cepat ia memutar tubuhnya ke belakang langsung terarah pada pintu yang tadi di bukanya. Ia tidak melihat siapapun di sana.
“Siapa itu?!” pekik Elvan sedikit menyeramkan.
Karena tidak ada jawaban, Elvan langsung melangkahkan kakinya dengan lebar berjalan menuju pintu. Ia melihat sekelebat orang yang hendak melarikan diri dan benar saja ia menemukannya.
“M-maaf, apa aku mengagetkanmu?” tanya Kana dengan bibir yang bergetar.
Elvan hampir saja lupa, jika saat ini ia tidak sendirian di villa nya.
“Kau sedang apa?” tanya Elvan sedikit ketus, tapi matanya melirik pada tangan wanita itu yang tersembunyi di belakang, seakan ia menyembunyikan sesuatu.
“Kau mencuri sesuatu di rumahku, hah?” geram Elvan.
Kana langsung mendongak untuk menatap Elvan meski sekarang ia merasa ketakutan, bahkan tubuhnya mulai gemetaran. “T-tidak!” sahut Kana takut-takut seraya menggelengkan kepalanya.
“Bohong!” bentak Elvan, yang semakin membuat Kana ketakutan. “Apa yang ada di tanganmu! Perlihatkan padaku!”
Kana meringis, mengetahui kebodohannya. Saat Elvan memergokinya dengan spontan tangan yang sedang memegang obat penurun panas ia sembunyikan di belakang tubuhnya. Dan saat ini ia merasa sangat bodoh, karena tindakannya tersebut membuat orang lain curiga padanya.
“M-maafkan ak---” Kana hendak memperlihatkan tangannya, tapi Elvan sudah menarik tangannya terlebih dahulu untuk memastikan apa yang diambil oleh wanita itu.
Seketika keningnya berkerut saat melihat apa yang sedang di pegang oleh wanita itu.
“A-aku sedikit demam, t-tadinya aku mau menunggu sampai pagi untuk memintanya langsung padamu, m-maafkan aku. Aku tidak mencuri barang…” lirih Kana terbata-bata, bahkan matanya sudah memanas hendak menangis.
Tangannya masih menggenggam tangan wanita itu, dan Elvan bisa merasakan memang tubuh wanita itu sedikit hangat. Saat sadar ia masih memegang tangan wanita itu, Elvan segera melepaskannya.
Elvan sempat ragu, tapi saat merasakan hangat tubuh wanita itu melalui tangannya akhirnya ia percaya. Lagi pula sudah ada obat penurun panas di tangannya.
“Kalau begitu kau minum obat itu dan segera beristirahat,” ucapnya. Elvan segera menutup pintu dan menguncinya sebelum akhirnya meninggalkan wanita itu begitu saja.
Kana bisa bernapas lega karena bisa melewati menit-menit menegangkannya. Dan semua ini karena kebodohannya. Saat keberadaannya di ketahui pria itu kenapa ia harus kabur hingga kakinya tersandung dan hampir jatuh? Dan kenapa ia langsung menyembunyikan tangannya yang sedang memegang obat hingga pria itu mencurigainya.
“Aku benar-benar bodoh…” lirihnya pelan.
Setelah Elvan benar-benar meninggalkannya dan sudah tak terlihat lagi, Kana segera kembali berjalan menuju dapur untuk membawa segelas air. Lalu kembali ke kamar, minum obat dan segera tidur.
**
Elvan membaringkan tubuhnya di atas tempat tidur, rasanya ia masih tidak percaya dengan apa yang baru saja terjadi. Dan mengapa ia bisa lupa jika malam ini ada orang di sini, bukan hanya dirinya sendiri saja.
Elvan merasa marah dan sedikit malu karena ada seseorang yang melihatnya saat ia sedang termenung, mengingat nasib buruk yang sudah menimpanya. Di tinggalkan oleh istri yang di cintainya beserta calon anak mereka.
“Aku sudah terbiasa sendiri di sini, dan aku lupa adanya orang lain,” gumam Elvan pelan.
Elvan kemudian mematikan lampu tidur yang terdapat di atas nakas di samping tempat tidurnya. Lalu ia memutuskan untuk tidur malam ini, mencoba menenangkan kembali pikirannya.
- To be Continue -
Saran, kritik, Q&A I*: sr.novelllBaca juga Love By Accident, Our Destiny, The Perfect Lust, Calamity Of Love, Unconditional Love.Kana membuka matanya dengan perlahan, dan melihat langit-langit yang berwarna cokelat kayu. Kini ia ingat sepenuhnya berada di mana, karena sudah 2 malam ia tidur di kamar ini.Saat membangunkan tubuhnya untuk duduk, lagi-lagi rasa sakit di sekujur tubuhnya kembali terasa.Tiba-tiba saja ia kembali teringat pada kejadian dua hari yang lalu, saat mereka semua pergi ke rumah sakit, di saat hanya ada pelayan saja di dalam rumah. Di bantu oleh orang yang dia percaya, Kana melarikan diri dari rumah yang seperti neraka itu hanya dengan bermodalkan pakaian yang mampu ia bawa dalam koper yang besar itu.Tidak berapa lama, ia kabur dari rumah itu. Kana langsung menuju bank untuk mengambil semua uang tabungan dalam rekeningnya yang tidak seberapa. Dalam pelariannya diusahakan untuk tidak menggunakan kartu ATM nya, atau keberadaannya akan mudah di temukan dari transaksi kartu yang ia gunakan.Jika sampai kebera
Kini Kana sudah duduk berhadapan dengan pria bernama Elvan itu, sesekali Kana mengangkat dagunya tapi saat tahu pria itu tengah menatapnya ia segera menundukkan kembali wajahnya.Makanan yang sudah di masak olehnya sudah tersedia di atas meja makan, tapi tak ada dari salah satunya untuk mulai memakan makanan tersebut.Napasnya jadi tidak teratur, meski Elvan memiliki tampang yang rupawan tapi entah mengapa Kana selalu merasa takut dengan tatapannya.‘Aku mulai lapar…’ lirih Kana dalam hati.Kemudian setelah ia mengumpulkan keberaniannya, Kana kembali mengangkat wajahnya. “Aku akan menyiapkan makanan untukmu,” serunya pelan dengan tangan yang mulai mengambil piring untuk menyiapkan makanan bagi Elvan.Tapi, dengan cepat Elvan melarangnya. “Aku masih punya tangan, dan kau hanyalah tamu di sini.”Dengan spontan Kana men
Kana tidak mengerti, mengapa pria ini bisa berpikiran seperti itu padanya, bahkan ia tidak tahu nama belakang Elvan. Bagaimana dia bisa mengenal kedua orang tuanya. Kana benar-benar tidak habis pikir.‘Dan apa aku salah minta pekerjaan padanya? Meski hanya sementara?’ pikir Kana tidak tenang.Tapi mungkin bisa saja pria ini menganggapnya memiliki niat jahat, tidak sering wanita asing tiba-tiba saja datang begitu saja lantas meminta pekerjaan padanya. Pria itu tidak mengenalnya, dan Kana sendiri tidak akan bisa menunjukkan tanda pengenal padanya, karena dia pasti akan tahu, jika tanda pengenal itu tidak tertulis atas nama ‘Kana Zanitha’ nama yang ia karang kemarin, tapi Dayana Ekavira.Saat ini dirinya hanya bisa menyesal karena sudah menawarkan diri sebagai pengganti Bi Enah untuk sementara waktu.Begitu Elvan menghilang dari pandangannya karena pergi begitu saja meninggalkan Kana, tanpa terasa air matanya mengalir begitu saja.Entah karena perasaan menyesalnya atau karena pria itu t
Kana mendudukkan tubuhnya di sisi tempat tidur seraya menghembuskan napas panjangnya.“Dan aku kembali ke kamar ini lagi…” gumamnya pelan.’Masih ada perasaan malu yang menyelimuti dirinya, saat ia ketahuan berbohong. Pada dasarnya dia memang tidak pandai untuk berbohong.Kana membaringkan tubuhnya, dan memejamkan matanya. Ia akan beristirahat sebentar sebelum kembali menghadapi pertanyaan-pertanyaan yang akan Elvan lontarkan kembali padanya nanti.Kana yakin, pria itu akan tidak lupa bahwa ia belum mendapatkan jawaban yang diinginkannya darinya. Saat berjalan kembali ke vila, Elvan sempat melontar beberapa pertanyaan lagi padanya.Meski enggan, tapi Kana menjawabnya dan sedikit membubuhkan kebohongan di dalam jawabannya dan berharap Elvan tidak sadar dengan itu.Kana kembali membuka matanya, ia tahu pasti saat ini suami dan keluargan
Elvan memperhatikan Kana yang sedang makan dengan suapan-suapan kecilnya. Dan tak lama kemudian Kana tampak tersedak dengan makanannya dan terbatuk-batuk. Dengan reflek Elvan mendekatkan gelas minum milik Kana.“Minumlah…”Kana segera meraih gelas tersebut dan segera meneguknya.“T-terima kasih…” ujar Kana dengan tulus.Elvan tampak memperhatikan setiap gerak-gerik yang Kana lakukan. Hingga Kana sadar akan tindakan Elvan tersebut, saat menatapnya sekilas.Dan dengan cepat kembali menundukkan wajahnya kemudian memakan kembali makanannya yang masih bersisa.“Apa kau tinggal sendirian?” tanya Kana karena merasa canggung jika hanya diam dan makan saja. “Bi Enah hanya datang pagi dan pulang sore saja, kan?”“Hmm…” Elvan mengangguk.“Di mana istrimu? Apa dia tinggal di sini? Aku harus meminta izin padanya karenatinggal di
Elvan terkejut sekaligus lega, saat melihat wanita itu sudah berdiri di depan pintu. Seakan menunggu kedatangannya. Dan tidak mengerti mengapa ia harus merasa lega saat mengetahui jika wanita itu tidak pergi dari rumahnya saat ia sedang pergi untuk berbelanja.Dengan sigap Kana menghampiri Elvan ketika ia baru saja memarkir mobilnya. Elvan keluar dari dalam mobilnya kemudian membuka pintu bagian belakang dan mulai mengeluarkan kantong belanjaan.“Aku akan membantumu,” seru Kana seraya mengambil alih salah satu kantong belanjaan di tangannya.Meski sedikit risih karena terlalu dekat dengan wanita itu, tapi Elvan langsung menyerahkan kantong belajaan itu, berharap agar mereka kembali berjarak dengan cepat.Setelah dua kantong belanjaan di tangannya, Kana segera masuk ke dalam rumah. Di susul oleh Elvan yang sudah membawa kantong yang lainnya setelah sebelumnya mengunci kembali mobilnya. Dan
Pagi ini ketika Elvan terbangun dan pergi menuju dapur ia kembali menemukan Kana yang sudah mempersiapkan makanan mereka. Dan harus Elvan akui, jika setiap makanan yang dibuatkan oleh wanita ini memang enak dan benar-benar cocok di lidahnya.‘Harusnya suaminya merasa senang karena memiliki istri yang pandai memasak seperti ini,’ gumam Elvan dalam hati. Tapi kemudian ia berusaha mengenyahkan pemikiran tersebut, karena baginya ia tidak berhak untuk berpikiran seperti itu.Setelah menyelesaikan sarapannya, Elvan meninggalkan Kana sendirian di dalam dapur yang tampak mulai membereskan piring-piring yang sudah mereka gunakan.Saat sarapannya kali ini, hampir tidak ada pembicaraan di antara mereka sama sekali.Elvan akan melakukan aktivitasnya seperti biasa, yaitu mengecek semua laporan yang dikirimkan oleh Andrew. Dan ia hampir saja lupa, jika sudah seharian sejak kemarin ia tidak menyalakan p
Sekitar pukul 10 malam Kana memutuskan untuk pergi ke dapur, tiba-tiba saja perutnya terasa lapar. Ia tidak mau makanan berat, hanya cemilan saja. Dan berharap jika Elvan sudah tidur hingga ia tidak akan terlihat mengambil makanan secara diam-diam.Dengan perlahan Kana berjalan menuju dapur, dengan langkah yang sangat pelan Kana berjalan menyusuri dalam rumah, dari kamar menuju dapur. Saat siang derap langkah akan menggema di sini terdengar, apalagi malam hari. Semua sangat begitu hening, tak ada suara, kecuali suara jangkrik di luar sana.“Rasanya ini seperti saat aku berada di rumah saja, jika aku lapar di malam hari. Aku pasti akan mengendap-endap seperti maling begini…” bisik Kana.Kana teringat bagaimana ia di perlakukan di rumah itu, bahkan ia tidak bebas untuk mengambil makanan di rumah yang seharusnya seperti rumahnya itu sendiri.Pernah Kana ketahuan, dan hanya cacian sert
Andrew yang sedang memejamkan matanya untuk beristirahat, mendengar suara ketukan di jendela mobilnya dan segera membuka matanya. Ia bisa melihat Metta yang sudah datang, hingga ia dengan cepat ia membuka kunci mobilnya sambil mematikan musik yang masih mengalun di dalam mobilnya. Untung saja ia menyetel suara musik di dalam mobilnya tidak terlalu kencang hingga suara ketukan itu dapat didengarnya karena mobilnya dilengkapi dengan peredam suara.“Kak, tidur?” tanya Metta saat ia membuka pintu mobil Andrew, tapi ia tidak masuk ke dalamnya.“Gak, cuma istirahat aja,” sahut Andrew.“Masih sakit?” tanya Metta lagi.Andrew menggeleng. Tak lama kemudian ia segera turun dari dalam mobil. Lalu berjalan menghampiri Metta.“Ada di mana dia? Apa kita mau temui dia sekarang juga?” tanya Andrew kemudian.“Kayanya dia udah di kantin deh, Kak.”“Mau sekarang?” tanya Andrew lagi.Metta mengangguk, “Tapi kita coba liat dia di kantin dulu ya… terus cari kesempatan buat aku ngajak dia ngobrol.”“Boleh,
Metta : Aku udah di kampus, Kak.Andrew yang sudah berada di ruangannya membaca pesan yang dikirimkan oleh Metta padanya. 2 hari yang lalu saat Metta menceritakan apa yang terjadi padanya, Andrew berjanji akan menemani Metta untuk menemui Tasya.Mungkin sebenarnya Metta berani menghadapinya sendiri, hanya saja Andrew sedikit khawatir ketika Metta akan menemui pria bernama Bagas itu juga.Jadi Andrew sedikit memaksa untuk ikut menemani Metta.Andrew : Aku akan menyelesaikan pekerjaanku terlebih dahulu, dan mencari alasan pada Kakak Iparmu untuk keluar.Metta : Siap, Kak. Aku ada dua sks sekarang, nanti siang ada kelas lagi.Andrew : Aku mengerti.Metta hanya menatap layar ponselnya, ia tak mengirim pesan lagi pada Andrew karena takut mengganggunya. “Lagi apa, Ta?” tanya Alina yang baru saja menghampirinya dan sedikit mengagetkan Metta.“Hei, gue baru bales chat,” sahut Metta.“Pacar Lu?” tanya Alina yang kini sudah duduk di samping Metta.Metta mengangguk, “Nanti setelah kelas ini sel
Sementara Andrew mandi, Metta mencuci mangkuk yang tadi sudah di gunakan Andrew untuk makan. Lalu ia duduk di sofa dan menyalakan televisi sambil menunggu Andrew selesai.Metta hanya bisa mengajak Andrew untuk bertukar pikiran dengan hasil temuannya kemarin di dekat tempat parkir. Karena hanya Andrew saja yang tahu masalah ini. Tidak mungkin ia menceritakan masalah ini pada orang tua atau kakaknya, ini hanya akan membuat mereka khawatir saja.Metta memindahkan channel televisi untuk mencari program yang menarik, tapi sayangnya tak ada satupun acara yang membuatnya tertarik untuk menonton, hingga ia hanya menyalakan televisinya begitu saja, sementara ia berkutat dengan ponselnya dan berselancar di internet.Sekitar 20 menit kemudian terdengar suara langkah mendekatinya, Metta langsung menoleh pada Andrew yang sudah selesai mandi dan berpakaian. Bisa di lihat rambutnya masih setengah basah. Andrew kemudian menghampiri Metta dan duduk di sebelah seraya mengambil remote televisi dan menco
Tanpa patah semangat Metta terus menekan bell pintu apartement Andrew. Ia sudah bisa menebaknya dari jawaban Andrew semalam. Mengajaknya latihan hari ini akan menjadi tantangan yang berat untuknya. Metta yakin jika Andrew sengaja, menulikan telinganya saat ia menekan bell apartement.“Ohh lihat saja! Aku bukan orang yang pantang menyerah jika hanya seperti ini!” seru Metta dengan penuh semangat, bukan hanya itu Metta juga melakukan panggilan suara pada ponsel Andrew, agar di dalam semakin tambah bising.Perpaduan bunyi ponsel dan bell begitu sangat sempurna. Itu pun jika ponsel Andrew tidak dalam keadaan mode silent.Sementara itu di dalam kamar di atas tempat tidur, Andrew menutupi kedua telinganya dengan bantal. Agar suara-suara ini tidak mengganggu waktunya untuk tidur.Ia berpikir, jika sebentar lagi juga Metta akan menyerah dan meninggalkan apartementnnya. Tapi dugaannya salah, 10 menit berlalu dan suara bell di dalam apartementnya serta ponselnya yang sudah ia ubah menjadi mode
Menjelang sore, Andrew harus menemani Mahanta untuk bertemu dengan salah satu rekan bisnis mereka. Karena saat ini Elvan belum bekerja penuh, ia akan pulang tepat waktu untuk meluangkan waktunya menemani Aya dan Arka.Hal tersebut bisa di mengerti oleh Mahanta, sebagai seorang ayah ia bisa memahami perasaan Elvan saat ini. Dulu saat Elvan dan kedua kakaknya masih kecil iapun tak ingin lama-lama berpisah dari mereka.Dan Elvan sendiri mendapatkan panggilan dari Ryan. Ryan dan istrinya sudah dalam perjalanan ke rumah Elvan untuk menjenguk Aya dan Arka. Karena saat Aya melahirkan Ryan bersama Riani sedang berada di luar kota selama 2 minggu penuh untuk menyelesaikan kasus yang harus mereka tangani. Riani masih membantu Ryan, meski kandungannya sudah semakin besar.Andrew yang mendengar Ryan datang ke rumah Elvan, saat selesai pertemuan dengan Mahanta ia ikut pulang ke rumah. Sudah sangat jarang mereka berkumpul bersama. Semuanya sedang berkumpul di ruang keluarga ketika Andrew dan Mahan
Suasana di kampus kini terasa lebih nyaman bagi Metta, karena kini ia mulai bisa berbaur dengan teman-temannya lagi. Dan Alina kerap menemaninya kemanapun saat berada di kampus, sama seperti awal-awal ia masuk kuliah.Begitu juga dengan Gladys dan teman-temannya yang sempat meminta maaf padanya atas perintah Pak Nasirin yang ingin memastikan kenyamanan mahasiswa saat berada di kampus. Gladys dan lainnya bisa berbaikan dengan Metta meski terlihat canggung dan hanya bicara seperlunya saja, tidak terlalu dekat seperti halnya dengan Alina.Saat semua teman sekelasnya sudah baik padanya, tidak begitu dengan Tasya. Tasya seakan masih menjaga jarak dengannya, bahkan masih menatap sinis padanya seakan tak suka dengan keberadaannya.“Aku masih gak ngerti deh sama Tasya, aku salah apa sama dia?” tanya Metta pada Alina yang kini tengah berada di kantin. Mereka berdua sedang menunggu kelas selanjutnya.“Beneran Lu gak inget, Ta?” tanya Alina.Metta menggeleng kemudian meminum jus miliknya.“Gue g
“Kakkk!!!” seru Metta yang langsung membuka pintu ruangan Andrew dan masuk begitu saja. Tentu saja Andrew yang sedang bekerja tiba-tiba terlonjak dari duduknya karena kaget.“Dihhh bocillll!! Kamu ngagetin aja sih!! Tetep aja ya gak ada sopan-sopannya!” dengus Andrew.Metta hanya menyengir lebar melihat Andrew terlonjak dan kesal padanya. Ia segera menutup kembali pintu ruangan Andrew dan berjalan mendekatinya.“Mau apa sih ke sini, hah? Gangguin lagi ada tugas? Lagi kerja nihhh!!” Andrew menggerutu.Metta terkekeh geli, “Iya iya maaf! Aduhh kebiasaan,” ujar Metta sambil duduk di kursi yang ada di depan Andrew.“Apa sih?? Bukannya kamu harusnya masih di kampus? Kenapa ada di sini?” tanya Andrew dengan ketus.“Udah selesai kuliah lah, Kak. Makanya bisa ke sini,” jawab Metta.“Terus ngapain ke sini?” tanya Andrew.“Mau bilang makasih!” ujar Metta dengan senyuman lebarnya hingga memperlihatkan deretan giginya yang rapi dan putih.Kening Andrew berkerut. “Buat apaan?”“Dihhh mulai deh pur
“Sendirian?” tanya seseorang pada Metta yang kini sedang duduk di taman, ia sedang menunggu kelas yang akan di laksanakan sekitar 20 menit lagi.“Iya…” sahut Metta singkat.“Boleh gue duduk di sini?” tanya Alina yang merupakan teman sekelas Metta.Metta mengangguk kaku, karena tak biasanya ada teman sekelasnya yang menyapanya seperti ini dan ingin duduk di dekatnya. Padahal ia bisa melihat masih ada beberapa bangku yang kosong lainnya.“Makasih,” ujarnya kemudian duduk di samping Metta.“Lu udah kerjain tugas dari Bu Ratna?” tanya Alina.“Udah…” Jawaban Metta masih singkat, karena ia masih merasa bingung dengan situasi saat ini.Sudah hampir lima menit Alina duduk di samping Metta, tapi Metta tak mengeluarkan sedikitpun suara apalagi mengajaknya berbicara. Hingga Alina akhirnya memberanikan diri untuk berbicara lebih dulu.“Metta…” Metta yang merasa di panggil kembali menoleh pada Alina.“Gua mau minta maaf…” ujarnya kemudian.“Maaf? Buat apa?” tanya Metta bingung dengan kening yang b
“Kamu liat gak tadi mereka pas kita pergi terus ngeliatin terus dan samperin Pak Nasirin?” tanya Andrew seraya berjalan di samping Metta dan sengaja merangkul pinggangnya.Metta mengangguk, “Iya aku juga ngeliat. Sampe segitunya mereka kepo,” sahut Metta.Andrew terkekeh geli, “Aku jadi penasaran apa yang Pak Nasirin bilang ke mereka.”“Sama, Kak. Aku juga penasaran deh. Dan oh ya… berarti dosen aku kerja di perusahaannya Kak Elvan dong?” tanya Metta kemudian.“Ya, kurang lebih begitu lah. Cuma emang Pak Nasirin paling dateng ke kantor sebulan sekali, ngantor dua hari di tempat finance. Di kantor kan ada satu orang finance yang ngurusin pajak. Kalau tutup buku atau ada masalah dengan pajak, baru dia standby tiap hari sampe masalah kelar,” jelas Andrew.“Ohhh gitu yaa… baru tahu aku!” sahut Metta.Tak lama kemudian mereka berdua sampai di Perpustakaan kampus. Kemudian Metta mengajak Andrew masuk ke dalam. Di dalam Perpustakaan pun, tak ayal Andrew yang tampak mencolok menjadi pusat p