Dengan mengendarai motornya Elvan masih di liputi perasaan kesal, semua itu karena permintaan Andrew.
‘Sebagai teman dan wakil seharusnya dia bisa ngerti!’ dengus Elvan dalam hari seraya memacu motornya.
Elvan sudah berada di tengah-tengah kebun teh. Cukup jauh memang jarak dari villa untuk sampai di pemukiman yang lain terutama pasar meski menggunakan motor.
Elvan memacu motornya cukup cepat, begitu sampai di sebuah belokan dengan pohon besar tepat di sisi jalan sebelah kirinya dan sudah jauh dari villanya. Elvan bisa melihat seseorang yang dikenalinya sedang duduk di sana bersama koper besarnya di sampingnya.
Namun, Elvan tampak acuh meski mata mereka saling bertemu meski sesaat. Elvan yakin, wanita yang di temukannya pingsan semalam tidak mengenalinya, karen ia menggunakan helmnya. Hingga ia pergi begitu saja meninggalkan tempat tersebut.
Selama beberapa bulan ini, Elvan memang sedikit mulai bisa mengontrol emosinya. Hanya saja ia memang masih enggan untuk kembali ke Jakarta. Meski Andrew mengatakan hal yang penting agar ia kembali.
Elvan akan melampiaskan rasa kesalnya dengan berkeliling. Menyegarkan mata dan pikirannya untuk sesaat.
***
Dalam lamunannya Aya mendengar suara mesin motor yang menderu, dengan spontan ia menoleh pada arah sumber suara itu berasal. Dan benar saja, ia melihat sebuah motor dari kejauhan yang mendekat ke arahnya.
Sebuah senyum kecil terbersit di bibirnya, berharap ia bisa meminta tolong pengemudi tersebut untuk membawanya keluar dari tempat ini. Menuju jalan besar agar ia mudah untuk mencari kendaraan umum dan menemukan tempat penginapan untuknya tinggal beberapa saat.
Tapi, sayangnya Aya harus menelan kekecewaan saat motor tersebut melaju melewatinya begitu saja dengan cepat. Aya sempat menatap pengendara tersebut, dan mata mereka sempat bertemu. Tapi orang tersebut sepertinya enggan untuk membantu, meski ia sudah memasang wajah meminta pertolongan.
“Yah…” Aya mendengus pelan.
“Sepertinya aku memang harus meneruskan perjalananku dengan berjalan kaki,” gumamnya pelan.
Aya melirik jam di tangannya, rupanya sudah pukul 10 pagi. Dan matahari sudah meninggi, udara dingin sudah mulai menguar sedikit demi sedikit digantikan suhu yang hangat karena cahaya matahari yang langsung menerpa kulitnya.
Aya kembali bangkit dari duduknya, dan memutuskan untuk melanjutkan perjalanannya kembali. Jika semakin siang pasti akan semakin terasa panas.
“Ini saja sudah membuatku cukup berkeringat…” gumamnya pelan, tangannya kembali meraih kopernya dan mulai berjalan kembali.
***
Elvan menyodorkan segelas air putih di depan tamunya tersebut terlihat wajah tamunya tampak masih begitu shock.
“Kau tenanglah, kau sudah aman,” Elvan mencoba menenang wanita tersebut.
Wanita itu menenggadahkan wajahnya untuk menatap Elvan, keraguan jelas terlihat di wajahnya yang masih tampak pucat.
“T-terima kasih…” ucapnya dengan bibir gemetar, tangannya yang terlihat gemetar mulai meraih gelas tersebut dan meminumnya.
Elvan yakin, apa yang terjadi beberapa menit yang lalu masih membuat wanita inti shock dan ketakutan.
Elvan menarik napas, “Kau lapar?”
“Lapar?” tanya Aya, tapi mulutnya seakan ingin mengatakan sesuatu tapi ia tampak ragu. Apa yang menimpanya barusan benar-benar mengerikan. Untung saja ada seseorang yang menolongnya, sama seperti tadi malam, orang yang sama yang sudah menolongnya dua kali.
Elvan mengangguk.
Aya dengan cepat menggeleng, “Tidak, ini sudah cukup bagiku, terima kasih…”
Elvan berpikir sejenak, tapi kemudian ia segera bangkit dari duduknya dan berjalan menuju dapur. Membuka lemari es nya mencari makanan yang bisa disuguhkan pada tamunya tersebut.
Ada camilan di dalam lemari esnya dan Elvan mengambil beberapa cemilan tersebut kemudian ia kembali menghampiri wanita itu, dan langsung menaruh nya di atas meja.
Elvan harus melakukannya sendiri, karena Bi Enah sudah pergi meninggalkan villa tadi sesaat sebelum ia pergi. Bi Enah ada urusan mendadak hingga harus pulang lebih cepat hari ini.
“Akhir-akhir ini di daerah ini cukup rawan, ku pikir hanya terjadi pada malam hari saja, tidak dengan siang hari seperti ini,” ujar Elvan mengawali percakapan setelah duduk kembali.
Tampak bahu wanita itu sedikit bergetar dan hanya menundukkan kepalanya. Elvan bisa menyadarinya, dan mengerti dengan perasaan yang di rasakannnya saat ini, setelah apa yang menimpanya tadi.
Saat Elvan hendak kembali ke villa, begitu keluar dari jalan besar dan masuk ke jalan setapak ia menemukan wanita yang di tolongnya semalam sedang berusaha melawan dua orang pria muda yang hendak mengambil barang-barang dengan paksa.
Awalnya Elvan ingin mengacuhkannya, tapi ia tak bisa membiarkannya begitu saja. Hingga ia langsung turun dari motornya dan berusaha menolongnya.
“Ah, begitu rupanya,” cicit Aya pelan hampir tidak terdengar.
“Apa kau ingin ku antar ke kantor polisi untuk melaporkan kejadian yang sudah menimpamu?” tanya Elvan.
Tapi dengan cepat Aya menggeleng, dan ini menimbulkan sedikit kecurigaan di dalam diri Elvan. Aya menyadarinya.
“Maksudku, Tuan…” suara Aya terdengar ragu, “Hmm, terima kasih sebelumnya, tapi ku rasa itu tidak perlu, aku tidak terluka dan tidak ada barang-barang yang hilang, ku rasa itu tidak perlu.”
Hanya itu saja yang bisa Aya katakan, karena tak mungkin ia bisa mengatakan alasan yang sesungguhnya.
Aya yakin kini suami dan keluarga sudah menyadari dirinya yang sudah tidak ada di sana. Besar kemungkinan mereka sudah melaporkan dirinya yang menghilang pada polisi. Karena sudah lebih dari 24 jam dia pergi dari rumahnya.
Jika melaporkan kejadian tadi, pasti Aya harus menggunakan kartu identitasnya untuk melapor. Jika sampai identitasnya di ketahui maka pelariannya akan sia-sia.
“Oh… baiklah…” sahut Elvan kemudian.
“Kau nikmati saja makanan dan minummu, jika sudah tenang aku akan mengantarkanmu ke kota,” ujar Elvan kemudian.
“Hmm, terima kasih,” sahut Aya pelan seraya mengangguk.
“Ngomong-ngomong siapa namamu? Aku tidak enak hanya memanggilmu ‘kau’ saja padamu,” tanya Elvan sesaat sebelum meninggalkan wanita itu sendirian.
Wanita itu tampak menatap padanya dengan ragu sesaat sebelum membuka mulutnya, “Zanitha, Kana Zanitha!” jawab Aya cepat. Dan hanya itu namanya yang terlintas di benaknya.
“Baiklah, Kana, Aku Elvan.” Tanpa menyebut nama panjangnya, “Aku akan kembali ke ruang kerjaku dan menyelesaikan pekerjaanku. Setelah itu aku akan mengantarmu ke kota.”
Aya mengangguk pelan. Ia cukup lega karena pria bernama Elvan itu tidak mencurigai nama palsu yang diberikannya. Aya tidak mau mengambil resiko, jika sampai pria itu tahu siapa dirinya. Maka dari itu, mulai saat ini ia akan mencoba untuk hidup dengan nama barunya.
Aya mengamati punggung Elvan yang mulai menjauh darinya dan tak lama kemudian menghilang di tangga.
‘Dua hari sangat berat untukku!’ gumam Aya dalam hati.
Setelah kemarin dengan susah payah ia melarikan diri dari rumah keluarga besarnya, dan tadi ia hampir saja menjadi korban perampokan dengan kekerasan. Jika tidak ada pria itu, Aya sendiri tidak mau membayangkan apa yang saat ini terjadi padanya.
Aya memegang pergelangan tangan kirinya yang terasa sakit. Pergelangannya sakit setelah ia mencoba mempertahankan tas miliknya, di mana di dalam tasnya terdapat uang dan kartu identitas miliknya beserta beberapa barang berharga lainnya yang sempat ia bawa dari rumah.
Belum sembuh luka-luka di tubuhnya, kini harus di tambah dengan rasa sakit di pergelangan tangannya.
‘Tidak, Aya. Kau harus kuat, kau sudah membulatkan tekadmu untuk kabur, dan kau tidak bisa kembali lagi ke rumah yang terasa seperti neraka itu!’ serunya dalam hati.
Kemudian Aya menghela napas panjangnya, ia kemudian meraih gelas yang sudah berisi air minum yang tadi disuguhkan oleh pria itu. Dengan perlahan ia mengambilnya, tapi sebelum meminumnya Aya terlebih dahulu mengendusnya, berharap tidak ada racun atau apapun di dalamnya.
Aya tersenyum miring, “Bodoh, tidak mungkin ada racunnya. Dia sudah menolongku dua kali…” ujar Aya sangat pelan kemudian meminum minuman tersebut.
Di lantai 2 Elvan mencoba memperhatikan gerak-gerik dari wanita tersebut.
Elvan baru menyadari, jika wanita itu mungkin tidak mempercayai dirinya. Tapi ia sadar setelah apa yang menimpa padanya, mungkin semua orang akan melakukan hal yang sama. Termasuk dirinya.
- To be Continue -
Elvan kembali ke dalam ruang kerjanya dan kembali memeriksa emailnya, ada beberapa percakapan singkat yang ia terima di emailnya yang berasal dari Andrew. Andrew tetap memintanya untuk kembali ke Jakarta meski hanya sesaat, ia juga menjabarkan alasan-alasan kuat atas keinginannya tersebut. Elvan hanya bisa berdecak malas. “Lo ngirim banyak email karena Lo gak bisa hubungi hape gue, kan?” Setelah menerima panggilan Andrew, Elvan langsung menonaktifkan ponselnya. Sampai saat ini, dan ia belum ada niat untuk menyalakannya kembali. Elvan menyandarkan tubuhnya di sandaran kursi kerjanya, seraya menatap keluar jendela besar yang menghadap kebun teh yang tampak terang, karena matahari yang sudah sangat terik. Sesekali ia menghela napasnya. Ia menatap jauh hingga ke ujung kebun teh dengan tatapan tak terbacanya. Dalam hatinya ia bertanya-tanya tentang siapa wanita yang berada di dalam rumahnya kini. Tapi, dari gerak-geriknya Elvan sedikit yakin jika wanita itu tidak berkaitan dengan kedua
“Sudah ku katakan padamu, taksi itu tidak akan datang!” seru Elvan tiba-tiba yang rupanya cukup mengagetkan bagi Kana.Sejak tadi ia sudah menunggu taksi yang di pesannya datang, tapi sudah hampir 1 setengah jam berlalu taksi tersebut tetap saja tidak muncul.Kana merasa malu pada Elvan yang sudah memberitahunya tapi ia tidak percaya.“Maafkan aku…” sesal Kana. Wajahnya tampak muram, tapi bukan hanya itu. Ia juga merasa jika tubuhnya tidak enak. Ia sedikit lemas dan mulai terasa pusing.Elvan tampak memperhatikan Kana, terlihat wajah wanita itu tampak pucat. Dengan cepat ia melirik jam di tangannya. Rupanya waktu makan siang sudah lewat beberapa jam.“Kau terlihat tidak sehat?” tanya Elvan kemudian. Kana hanya mendongak sedikit kemudian menggeleng.“Aku baik-baik saja,” jawabnya pelan.Kana bergerak menjauh ketika Elvan duduk, seolah kedekatan atau keberadaannya membuat wanita itu takut.Hingga sebuah pikiran terbersit di kepalanya, ‘Apa mungkin seseorang sudah menyakiti dan melukainy
Hampir 2 jam berlalu, tapi Kana tetap saja tidak bisa memejamkan matanya. Selain suhu udara yang sangat dingin, beberapa kali kenangan buruk yang sudah menimpanya muncul kembali diingatannya. Kana menghembuskan napas panjang, kemudian ia menutup wajahnya dengan kedua tangannya. Rasanya matanya langsung saja terasa panas. 'Kenapa nasibku seperti ini...' lirihnya dalam hati. Kana hampir saja meneteskan air matanya, tapi dengan sekuat tenaganya ia berusaha menahannya. "Aku tidak mau lagi menangisi semua itu, aku harus kuat, aku pasti bisa," gumamnya pelan. Kana menggulirkan tubuhnya ke arah kanan kemudian memeluk bantal guling. Ia berusaha kembali mencoba untuk terlelap. Tapi masih saja sulit, sesekali ia menoleh ke arah pintu. Masih ada perasaan was-was dalam dirinya. Ia takut jika pria yang sudah menolongnya dan memberikan tempat untuk tidur malam ini memiliki niat yang jahat. Tapi, kursi yang di simpan untuk menghalangi pintu masih pada tempatnya. Dan tak ada upaya dari luar unt
Kana membuka matanya dengan perlahan, dan melihat langit-langit yang berwarna cokelat kayu. Kini ia ingat sepenuhnya berada di mana, karena sudah 2 malam ia tidur di kamar ini.Saat membangunkan tubuhnya untuk duduk, lagi-lagi rasa sakit di sekujur tubuhnya kembali terasa.Tiba-tiba saja ia kembali teringat pada kejadian dua hari yang lalu, saat mereka semua pergi ke rumah sakit, di saat hanya ada pelayan saja di dalam rumah. Di bantu oleh orang yang dia percaya, Kana melarikan diri dari rumah yang seperti neraka itu hanya dengan bermodalkan pakaian yang mampu ia bawa dalam koper yang besar itu.Tidak berapa lama, ia kabur dari rumah itu. Kana langsung menuju bank untuk mengambil semua uang tabungan dalam rekeningnya yang tidak seberapa. Dalam pelariannya diusahakan untuk tidak menggunakan kartu ATM nya, atau keberadaannya akan mudah di temukan dari transaksi kartu yang ia gunakan.Jika sampai kebera
Kini Kana sudah duduk berhadapan dengan pria bernama Elvan itu, sesekali Kana mengangkat dagunya tapi saat tahu pria itu tengah menatapnya ia segera menundukkan kembali wajahnya.Makanan yang sudah di masak olehnya sudah tersedia di atas meja makan, tapi tak ada dari salah satunya untuk mulai memakan makanan tersebut.Napasnya jadi tidak teratur, meski Elvan memiliki tampang yang rupawan tapi entah mengapa Kana selalu merasa takut dengan tatapannya.‘Aku mulai lapar…’ lirih Kana dalam hati.Kemudian setelah ia mengumpulkan keberaniannya, Kana kembali mengangkat wajahnya. “Aku akan menyiapkan makanan untukmu,” serunya pelan dengan tangan yang mulai mengambil piring untuk menyiapkan makanan bagi Elvan.Tapi, dengan cepat Elvan melarangnya. “Aku masih punya tangan, dan kau hanyalah tamu di sini.”Dengan spontan Kana men
Kana tidak mengerti, mengapa pria ini bisa berpikiran seperti itu padanya, bahkan ia tidak tahu nama belakang Elvan. Bagaimana dia bisa mengenal kedua orang tuanya. Kana benar-benar tidak habis pikir.‘Dan apa aku salah minta pekerjaan padanya? Meski hanya sementara?’ pikir Kana tidak tenang.Tapi mungkin bisa saja pria ini menganggapnya memiliki niat jahat, tidak sering wanita asing tiba-tiba saja datang begitu saja lantas meminta pekerjaan padanya. Pria itu tidak mengenalnya, dan Kana sendiri tidak akan bisa menunjukkan tanda pengenal padanya, karena dia pasti akan tahu, jika tanda pengenal itu tidak tertulis atas nama ‘Kana Zanitha’ nama yang ia karang kemarin, tapi Dayana Ekavira.Saat ini dirinya hanya bisa menyesal karena sudah menawarkan diri sebagai pengganti Bi Enah untuk sementara waktu.Begitu Elvan menghilang dari pandangannya karena pergi begitu saja meninggalkan Kana, tanpa terasa air matanya mengalir begitu saja.Entah karena perasaan menyesalnya atau karena pria itu t
Kana mendudukkan tubuhnya di sisi tempat tidur seraya menghembuskan napas panjangnya.“Dan aku kembali ke kamar ini lagi…” gumamnya pelan.’Masih ada perasaan malu yang menyelimuti dirinya, saat ia ketahuan berbohong. Pada dasarnya dia memang tidak pandai untuk berbohong.Kana membaringkan tubuhnya, dan memejamkan matanya. Ia akan beristirahat sebentar sebelum kembali menghadapi pertanyaan-pertanyaan yang akan Elvan lontarkan kembali padanya nanti.Kana yakin, pria itu akan tidak lupa bahwa ia belum mendapatkan jawaban yang diinginkannya darinya. Saat berjalan kembali ke vila, Elvan sempat melontar beberapa pertanyaan lagi padanya.Meski enggan, tapi Kana menjawabnya dan sedikit membubuhkan kebohongan di dalam jawabannya dan berharap Elvan tidak sadar dengan itu.Kana kembali membuka matanya, ia tahu pasti saat ini suami dan keluargan
Elvan memperhatikan Kana yang sedang makan dengan suapan-suapan kecilnya. Dan tak lama kemudian Kana tampak tersedak dengan makanannya dan terbatuk-batuk. Dengan reflek Elvan mendekatkan gelas minum milik Kana.“Minumlah…”Kana segera meraih gelas tersebut dan segera meneguknya.“T-terima kasih…” ujar Kana dengan tulus.Elvan tampak memperhatikan setiap gerak-gerik yang Kana lakukan. Hingga Kana sadar akan tindakan Elvan tersebut, saat menatapnya sekilas.Dan dengan cepat kembali menundukkan wajahnya kemudian memakan kembali makanannya yang masih bersisa.“Apa kau tinggal sendirian?” tanya Kana karena merasa canggung jika hanya diam dan makan saja. “Bi Enah hanya datang pagi dan pulang sore saja, kan?”“Hmm…” Elvan mengangguk.“Di mana istrimu? Apa dia tinggal di sini? Aku harus meminta izin padanya karenatinggal di
Andrew menitikkan air mata untuk pertama kalinya dalam hidupnya yang bisa ia ingat, saat ia mendengar suara tangisan putrinya yang baru saja lahir ke dunia ini.Kini ia resmi menyandang status sebagai seorang ayah.Ya, anaknya adalah seorang perempuan, sesuai dengan hasil pemeriksaan USG beberapa bulan yang lalu. Hingga dirinya dan Metta menyiapkan segala kebutuhan untuk putri mereka.Baik Andrew ataupun Metta tidak mempermasalahkan apakah mereka akan memiliki seorang putra ataupun putri. Semua anak sama saja, dan mereka akan mencintainya dengan setulus hati. Saat mereka memberitahu hasil USG pada Peter beberapa bulan yang lalu, ia menyambut dengan sangat gembira. Peter dulu sangat menginginkan anak perempuan yang menurutnya sangat menggemaskan jika memakai baju anak yang lucu-lucu tapi istrinya tidak bisa hamil lagi karena ada kanker di rahimnya hingga akhirnya merenggut nyawanya. Peter juga sudah diberitahu perkiraan hari kelahiran cucu perempuannya dan ia akan mengajukan cuti jauh
Selama seminggu ini Andrew berusaha untuk menjadi suami siaga, karena menurut perkiraan Metta akan melahirkan minggu ini. Elvan sendiri memberikan keringanan untuknya agar tidak terlalu lama berada di kantor ataupun datang ke kantor. Andrew hanya datang ke kantor sesekali saja, ia lebih banyak bekerja di apartement dan mengirimkan laporan via email pada Elvan.Bahkan pekerjaan keluar kota ataupun yang agak jauh dari Jakarta, semua di handle oleh Elvan.Seperti biasanya, Andrew saat ini berada di ruang keluarga. Ia menyalakan laptop miliknya dan bekerja di sana. Sesekali ia melakukan panggilan video dengan Elvan atau sekretarisnya, membicarakan pekerjaan mereka.Sedangkan Metta menemani Andrew dengan duduk di sofa, ia menselonjorkan kakinya ke atas sofa yang mulai terasa pegal. Bahkan kakinya tampak sedikit membengkak. Metta sudah tidak bisa banyak bergerak dengan perutnya yang besar, seakan hendak meledak.Metta sedikit meringis, saat ia bergerak untuk mencari posisi yang nyaman untu
Andrew langsung meraih tangan Metta dan menghadangnya, “Mau kemana? Udah duduk aja di sini, kenapa?” seru Andrew pada istrinya.“Aku mau turun, Kak!” seru Metta.Kening Andrew berkerut, “Ke lintasan?” tanyanya hampir tak percaya. Saat ini mereka berdua sedang berada di sirkuit. Karena Metta yang memaksa Andrew untuk menonton balapan yang ada di sirkuit hari ini. Dari pada membuat istrinya kembali sedih seperti beberapa bulan yang lalu, Andrew memilih untuk mengabulkan permintaan istrinya ini.Metta mengangguk antusias, “Iya dong, biar aku bisa liat dengan jelas motor mereka!” ujar Metta seraya menunjuk ke arah seorang pembalap yang masih berdiri di samping motornya dengan seorang mekanik. Pembalap itu tampak membicarakan sesuatu.“Aduhhhh! Itu terlalu dekat, kalau Sayangnya aku keserempet gimana? Aduhhh…” seru Andrew. “Ya gak dong, Kak. Aku kan di pinggir bukan ke tengah lintasan!” ujar Metta.“Gak boleh pokoknya gak boleh! Udah duduk manis aja di sini ya, ini udah keliatan jelas lo
Saat Andrew pulang ke apartement, ia merasa ada yang berbeda dengan istrinya tersebut. Metta menyambut kepulangannya dengan lembut dan seperti biasanya. Tapi, Andrew merasa jika senyuman Metta tampak hambar, bahkan tatapannya tampak kosong.Awalnya Andrew mengira mungkin Metta hanya kelelahan saja. Sejak Metta hamil, Andrew memang terbiasa membawa makan malam dari luar jika ibu mertuanya tidak datang menemani Metta. Karena Mama Hilda yang akan menyiapkan makanan, ia hanya tinggal menghangatkannya saja.Saat makan malampun, Metta masih menjawab setiap pertanyaannya dengan baik. Berbincang seperti biasanya, hanya saja Andrew masih merasa sedikit aneh dengan istrinya tersebut.Hingga sebelum waktu tidur, Andrew membuatkan susu untuk Metta. “Mau tidur sekarang?” tanya Andrew setelah menyimpan gelas bekas minum susu di meja.Metta mengangguk, “Iya, Kak. Aku mau tidur aja, agak ngantuk,” jawab Metta.Andrew mengangguki ucapan Metta, kemudian membantu menyelimuti tubuh Metta. Agar istri dan
Satu bulan berlalu, seharusnya di mana Metta sudah masuk kuliah di semester yang baru. Kini ia hanya bisa diam di dalam apartement. Bahkan hanya untuk keluar apartement dengan berjalan kaki menikmati fasilitas yang ada di gedung ini atau ke pertokoan dan mini market yang ada di sekitar apartement, ia harus lebih dahulu memberitahukan pada Andrew yang berada di kantor. Jika sudah sampai apartement lagi, Andrew pasti akan menghubunginya.Sejak hamil, Andrew juga melarang Metta untuk datang ke cafe Aya kecuali bersama dirinya. Ia tidak mau Metta kelelahan atau terpeleset saat membantu kesibukan di cafe. Andrew memang lebih protektif pada Metta demi kebaikan Metta dan kandungannya.Metta membaringkan tubuhnya di sofa sambil menatap ke arah jendela, ia menghembuskan napas panjangnya dengan tangan yang mulai membelai lembut perutnya. Perutnya masih terlihat rata, tapi beberapa celana mulai terasa sesak ketika di gunakan. Metta sendiri sudah tidak menggunakan celana jeans karena sudah mulai
“Gue hebat, kan? Tiga minggu-an udah jadi!” bangga Andrew pada Elvan, kini mereka berdua berada di taman belakang. Sedangkan yang lainnya menemani Metta di dalam dan mengobrol mengenai kehamilannya. Metta masih sangat muda dan tomboy sehingga Aya, Hilda dan Soraya memberikan ekstra perhatian dan wejangannya. Sementara Aji dan Mahanta ngobrol di ruangan kerja.“Bangga Lu? Gue juga gak lama kali!” dengus Elvan.“Iya emang gak lama, tapi cepetan gue kan?” Andrew masih begitu bangga, “Tokcer banget kan?”“Dih dasar, bukan itu yang harus Lu perhatiin sekarang, tapi kondisi istri Lu sama calon anak Lu!” seru Elvan mengingatkan.“Iyalahh, kalau itu gue dah paham bangettt! Tadi aja abis dari rumah sakit gue udah borong susu hamil banyak-banyak!” seru Andrew.“Bukan cuma itu! Tapi mulai sekarang Lu perhatiin Metta baik-baik, kebutuhan dia juga perhatian dia, biar anak kalian tumbuh dengan baik. Selalu anter Metta juga kalau mau periksa ke dokter,” ujar Elvan.“Gua paham!” seru Andrew.Elvan j
Dokter hanya bisa tersenyum kemudian menggeleng kecil, ia tak mengerti kenapa suami pasiennya tampak sangat kebingungan seperti saat ini dan memberikan pertanyaan konyol.“Tentu saja istri Anda yang hamil, Pak.” tanya dokter pria berusia sekitar 40 tahunan tersebut.“Saya akan memberikan rujukan untuk melakukan pemeriksaan ke dokter kandungan saat ini juga agar di berikan vitamin untuk kehamilan,” lanjut dokter tersebut seraya mulai menuliskan sesuatu di atas kertas.Andrew hanya bisa terbengong-bengong, begitu juga dengan Metta. Tapi Metta sudah mengerti sejak awal, hanya saja mulutnya tampak kaku dan terkunci rapat hingga tak bisa mengucapkan sepatah katapun.Beberapa detik kemudian Andrew seperti sadar dari pikiran kosongnya. “Jadi maksud dokter istri saya hamil? Gitu?” tanya Andrew tak percaya dan sedikit heboh.“Betul, Pak. Yang hamil, gak mungkin saya juga, kan?” tanya balik dokter tersebut.Kebahagiaan tak bisa dibendung lagi oleh Andrew, jika bisa berteriak ia sudah pasti bert
“Kamu ini gimana sih, Ndrew?! Istri sakit bukannya di perhatiin?!” tegur Soraya begitu Andrew masuk ke dalam ruang kerja milik Aya. Di mana saat ini Metta sedang duduk di sofa, seraya menghirup minyak angin dengan aroma theraphy, agar rasa pusing di kepalanya mereda. Bahkan Metta juga merasa mual.“Pagi tadi baik-baik aja, Mih,” ujar Andrew seraya menghampiri Metta dan duduk di sampingnya kemudian memeriksa keadaan Metta.“Sayangnya aku kenapa? Yuk ke dokter,” ajak Andrew panik melihat raut wajah Metta yang tampak amat lesu dan pucat.“Masuk angin tuh kayanya!” dengus Soraya kesal, “Kamu ajak Metta ngapain sih sampe kaya gitu?!”“Duh, Mih. Masa Andrew ceritain sih!” sahut Andrew. Soraya hanya bisa mendengus seraya memutar bola matanya jengah. “Dasar anak muda, kalau apa-apa tuh gak pake aturan! Maen trabas aja sih! Pake kira-kira dong, udah gini kan orang tua juga ikut khawatir!” desis Soraya.“Iya iya, Mih. Pokoknya Andrew mau bawa Metta dulu ke rumah sakit!” sahut Andrew.Metta men
Beberapa menit yang lalu Soraya datang ke cafe milik menantunya, dengan membawa Arka--cucunya yang digendong oleh pengasuhnya. Awalnya Soraya memang baru saja pulang dari rumah temannya, di mana anaknya baru saja pulang dari rumah sakit setelah melahirkan cucu teman Soraya.Soraya sengaja membawa Arka, karena ia menengoknya di rumah bukan rumah sakit. Jika masih di rumh sakit Soraya tak akan mengajak Arka. Lagipula Soraya tidak bisa meninggalkan Arksa sendirian dengan pengasuh saja, di mana ibunya saat ini sedang sibuk di cafe. Jadi Soraya membawa Arka.Maka dari itu Soraya mampir dan ingin melihat langsung cafe milik menantunya ini. Cafe ini sudah berjalan 3 bulan lamanya sejak pembukaan. Setelah pembukaan hanya sesekali Soraya datang. Karena ia fokus untuk ikut mengasuh dan mengawasi Arka di bawah asuhan pengasuhnya selama Aya fokus merintis cafe barunya ini.Soraya sendiri sudah mendengar mimpi Aya, baik dari Elvan atau Aya secara langsung. Jadi selama dua bulan ke belakang memang