Ayu terus berjalan, berusaha mengabaikan rasa takut yang semakin membebani langkahnya. Lolongan serigala yang tadi dibuat oleh Kaelan masih terngiang di telinganya, membuat bulu kuduknya meremang. Namun, di tengah kesunyian malam, lolongan lain terdengar, lebih keras dan nyata.
“Aauuuu! Auuuuu!” Matanya melebar dan tubuhnya gemetar hebat. Ia berhenti sejenak, berusaha meyakinkan dirinya bahwa itu hanyalah halusinasinya, tetapi suara langkah kaki yang berderak di antara pepohonan membuktikan sebaliknya. Seekor serigala hitam muncul di tepi hutan, matanya berkilauan dalam kegelapan. "Serigala..." gumam Ayu dengan suara bergetar, napasnya tersengal. "Tidak mungkin..." Serigala itu mengeluarkan geraman rendah, memperlihatkan taring-taring tajamnya. Jantung Ayu berdegup kencang. Dia ingin lari, tetapi kakinya seakan terpaku ke tanah. Panik melanda pikirannya dan akhirnya Ayu berteriak sekeras-kerasnya. "TOLONG! Tolong aku!" Dari dalam mobil, Kaelan mendengar teriakan itu dan menyeringai lebih lebar. Dia tahu saat-saat ini akan tiba. Dengan gerakan tenang dia membuka pintu mobil dan keluar, menghampiri Ayu yang tampak terperangkap di antara ketakutan dan keputusasaan. "Serigala-serigala itu merespons lolonganku tadi," katanya dingin ketika sudah berada cukup dekat dengan Ayu. Ayu menoleh, matanya penuh ketakutan saat melihat Kaelan mendekatinya. "Tolong... tolong aku. Aku tidak bisa menghadapi mereka..." Kaelan melangkah lebih dekat, menatap serigala yang kini mulai bergerak lebih agresif ke arah mereka. "Kau seharusnya mendengarkanku sejak awal," ucapnya, suaranya rendah dan menggema. "Tapi jangan khawatir, aku di sini untuk menolongmu." Sebelum Ayu bisa merespons, Kaelan melangkah di antara Ayu dan serigala yang mendekat. Tiba-tiba dari mata Kaelan ada pancaran cahaya merah pekat menyala. Serigala yang tadinya agresif mendadak berhenti, geramannya berubah menjadi tangisan kecil, seakan takut pada kekuatan yang tersembunyi di balik sosok pria misterius itu. Ayu yang berdiri di belakang Kaelan, tidak bisa mempercayai apa yang dilihatnya. Pria itu mengendalikan makhluk-makhluk liar ini hanya dengan tatapannya. "Ayo, masuk ke mobil," Kaelan berkata, suaranya kini lebih tenang namun penuh otoritas. "Kita harus segera pergi sebelum mereka berubah pikiran." Meskipun masih diliputi kebingungan dan ketakutan, Ayu tidak punya pilihan lain selain mengikuti perintahnya. Kaelan menunggu sampai Ayu kembali masuk ke dalam mobil sebelum dia sendiri kembali duduk di kursi pengemudi. "Kenapa... kenapa mereka terlihat ketakutan melihatmu?" tanya Ayu pelan, suaranya masih bergetar. Kaelan tidak langsung menjawab. Dia menyalakan mesin mobil dan mulai melaju kembali di jalanan yang sunyi, meninggalkan kegelapan hutan di belakang mereka. "Kau akan segera tahu, Ayu." Gadis itu terkejut pria itu tahu namanya, padahal mereka belum sempat berkenalan. “Kau tahu namaku?” Tanyanya lagi. “Hmm,” Kaelan menjawabnya hanya dengan deheman kecil yang hampir tak terdengar. “Aneh…sungguh aneh! Kenapa dia bisa tahu namuaku.” Pikirnya. “Tolong antarkan aku pulang. Kasian kesua orang tuaku, aku tidak mau membuat mereka khawatir.” Ayu kembali bersuara. Kaelan mengabaikan permintaan Ayu untuk beberapa saat, fokusnya tertuju pada jalan yang gelap dan lengang di depan mereka. Suara mesin mobil dan getaran di bawah roda menjadi satu-satunya suara yang memecah keheningan di antara mereka. “Tolong, antarkan aku pulang sekarang,” ulang Ayu, suaranya terdengar lebih memohon. “Aku benar-benar tidak ingin orang tuaku khawatir.” Kaelan hanya mendengus pelan tanpa mengalihkan pandangannya dari jalan. “Aku tidak bisa mengantarmu pulang sekarang.” Ayu terkejut dan langsung menatapnya dengan penuh kebingungan. "Kenapa tidak? Apa yang kau inginkan dariku?" Pria itu menoleh sedikit ke arahnya dan mata merahnya berkilauan samar dalam kegelapan. "Ada sesuatu yang berbeda tentangmu," gumamnya, nadanya terdengar seperti lebih berbicara kepada dirinya sendiri daripada kepada Ayu. "Aroma tubuhmu... itu tidak seperti manusia pada umumnya." Ayu tertegun. “Apa maksudmu? Ini tidak masuk akal!” Kaelan menarik napas panjang, lalu membuangnya perlahan. “Dengar, ada sesuatu yang menarik yang belum pernah aku temui sebelumnya. Aku penasaran akan hal itu, jadi ikutlah denganku.” Ayu menelan ludah dengan susah payah. “Aku hanya ingin pulang. Aku tidak tahu apa yang kau bicarakan. Tolong, cukup hentikan mobil ini dan biarkan aku pergi!” “Aku berjanji akan mengantarkanmu pulang, tapi tidak sekarang.” Ujar Kaelan. Sementara itu di desa suasana semakin mencekam. Warga desa berkumpul, membawa obor dan senjata seadanya. Mereka bergerak dalam kelompok, menyusuri jalan setapak yang biasa dilalui Ayu menuju perkebunan pinus. Malam itu terasa lebih gelap dari biasanya, seolah-olah kegelapan menyelimuti seluruh desa dengan misteri yang menakutkan. Darto ayah Ayu memimpin di depan, wajahnya penuh kecemasan. "Ayu! Ayu, di mana kau nak!" teriak Darto dengan suara yang penuh harap namun mulai dipenuhi rasa putus asa. Ia memutar kepalanya, menatap setiap sudut hutan dengan khawatir. Warga terus bergerak, menyisir setiap jengkal tanah. Di dekat tumpukan ranting yang berserakan, salah satu warga berhenti mendadak dan memanggil yang lain. "Pak Darto! Pak, Kemari!" teriak seorang pria yang sedang memegang obornya tinggi-tinggi. Darto segera berlari ke arah suara itu. Sesampainya di sana, ia melihat sesuatu yang membuat jantungnya berdegup lebih cepat. Di tanah tergeletak sebuah syal merah yang dikenali Darto sebagai milik Ayu. Di sekitarnya terlihat ranting-ranting patah. "Ini… ini syal milik putriku!" kata Darto dengan suara bergetar, ia berlutut dan meraih syal itu dengan tangan gemetar. Tak jauh dari syal tersebut, seorang warga lain menemukan sesuatu yang membuat suasana semakin tegang. "Lihat ini, disini banyak bulu!" seru pria itu, mengangkat sehelai bulu besar dengan ujung yang sedikit tajam. "Sepertinya ini bulu serigala." Para warga mulai bergumam di antara mereka, menyuarakan ketakutan mereka sendiri. Seorang pria tua yang sudah lama tinggal di desa itu bernama Pak Mangun angkat bicara, suaranya serak dan penuh peringatan. "Beberapa minggu terakhir, ada laporan serigala-serigala liar di sekitar hutan Halimun. Mereka makin berani mendekati desa. Bisa jadi Ayu dibawa hewan buas itu." Darto tersentak, wajahnya seketika pucat. "Tidak... Ayu tidak mungkin..." Salah satu warga lain mengangguk, wajahnya penuh kekhawatiran. "Jika serigala yang melakukannya, sudah di pastikan putri pak Darto di terkam." “Ssst…ngawur kamu!” Warga lain menyangkal. Pak Mangun melanjutkan perbicaraannya, "Masalahnya serigala-serigala itu tidak seperti yang biasa kita lihat. Mereka lebih besar, lebih ganas... dan beberapa orang yang pergi berburu pernah mendengar lolongan aneh di malam hari. Mungkin ada yang mengendalikan mereka." "Jangan bicara yang tidak-tidak, Mangun!" seru Darto, menolak untuk mempercayai hal-hal mistis yang tidak masuk akal. Warga desa lainnya semakin waspada, membentuk barisan lebih rapat. Cahaya obor mereka menyinari jalan setapak, sementara beberapa orang mulai mempersenjatai diri dengan tongkat dan parang. "Kita lanjutkan pencarian. Jangan berhenti sampai kita menemukan Ayu!" Darto berseru dengan tegas, meskipun ada getaran di suaranya. "Ayu akan ditemukan, apapun yang terjadi."Pak Mangun menghampiri Darto yang akan beranjak kembali mencari putrinya. Akan tetapi sebelum itu terjadi, ia menepuk bahu Darto dengan lembut dan mencoba menenangkan pria itu. "Kang Darto," ujar Pak Mangun dengan suara rendah, "Saya mengerti kau ingin segera menemukan Ayu, tapi keadaan semakin berbahaya. Malam semakin larut. Akan bahaya jika terus melakukan pencarian sekarang." Darto menoleh dengan mata penuh amarah dan kegelisahan. "Apa maksudmu, Mangun? Kau menyuruhku untuk berhenti? Putriku di luar sana, mungkin terluka atau... Ash!" Pak Mangun menghela napas berat, menatap obor yang berkedip-kedip di tangan warga. "Aku tahu ini berat, tapi kita harus berpikir bijak. Hutan ini... bukan hutan biasa. Banyak hal yang tidak kita pahami di sini dan jika kita terus mencari dalam kegelapan seperti ini, kita hanya akan menambah jumlah yang hilang. Hewan buas lebih aktif di malam hari, dan kita tidak punya cukup perlengkapan untuk bertahan jika terjadi sesuatu." Seorang warga yang berd
Seribu tahun yang lalu, lebih tepatnya pada abad ke-11 pertengahn (1024-1025) Di sebuah Hutan para bangsa derigala hidup dengan damai. Pepohonan menjulang tinggi, membentuk kanopi yang melindungi tanah di bawahnya dari sinar matahari yang terik. Di tengah hutan ini berdiri megah Kerajaan Serigala, sebuah benteng yang menjadi rumah bagi manusia serigala yang dihormati dan ditakuti. Kaelan yang saat itu merupakan putra mahkota yang berusia dua puluh tahunan, duduk di tepi jendela istana. Dia mengamati kehidupan di luar, di mana anggota bangsanya berlatih bertarung, berlari dengan lincah dan berburu. Hari itu Wolfric, ayah dari Kaelan memimpin latihan para prajurit. Raja Serigala yang Agung itu dikenal dengan keberanian dan kebijaksanaannya. Dalam beberapa bulan terakhir, bisikan angin membawa kabar yang kurang baik. Ada rumor bahwa manusia mulai mengetahui keberadaan mereka. Hal itu membuat Wolfric memerintahkan para prajutit istana untuk berlatih dengan keras. Kaelan turun d
"Aku ingat, Fors," jawab Kaelan dengan tenang setelah membayangkapan apa yang jadi seribu tahun yang lalu. "Bahkan aku ingat jelas bagaimana Ayahku mati di tangan para manusia laknat itu. Aku akan menghasilkan banyak ketirunan dari bangsa manusia. Selama gadis ini ada di bawah kendaliku, semuanya akan berjalan sesuai rencana."Fors menghela napas dalam-dalam, jelas merasakan beratnya situasi. "Kau harus mempertimbangkan dengan matang, Kaelan. Gadis itu... dia bukan sekadar manusia. Jika sesuatu terjadi padanya dan keluarganya mengetahui, itu bisa memicu konflik yang lebih besar. Kita harus berhati-hati."Kaelan menatap sahabatnya dengan mata penuh keyakinan. "Aku tahu risikonya, Fors. Tapi aku sudah memutuskan. Dia akan menjadi bagian dari hidupku, bagian dari rencana kita." “Terserah padamu saja. Aku hanya takut para manusia akan mengetahui keberadaan kita dan membantai bangsa kita lagi.” Ujarnya sebelum pergi meninggalkan Kaelan. Keesokan harinya Ayu mengerjapkan matanya, mencob
Ayu menatap Kaelan dengan pandangan serius, napasnya masih tersengal setelah mendengar tuntutan aneh itu. Dia tahu tak ada gunanya berdebat terlalu lama, dan dia harus memikirkan cara untuk pulang secepat mungkin. Dengan suara lembut namun penuh ketegasan, dia akhirnya berkata, “Jika kau benar-benar ingin menikahiku, kau harus melakukan sesuatu untukku.”Kaelan mengangkat alis, tampak tertarik. “Apa itu?”Ayu menelan ludah, berusaha keras menahan kegugupannya. “Kau harus mengantarkanku pulang ke keluargaku dulu. Aku tidak bisa mengambil keputusan sebesar itu tanpa berbicara dengan orangtuaku. Kau harus mendapatkan restu mereka dan memintanya dengan baik-baik.”Kaelan diam sejenak, menatap Ayu dengan sorot mata penuh perhitungan. “Restu orangtua?” gumamnya pelan. “Kau serius?”Ayu mengangguk tegas, meskipun hatinya berdebar keras. “Ya, aku serius. Bagaimanapun juga, mereka adalah keluargaku. Jika kau benar-benar ingin menikahiku, kau harus melakukannya dengan cara yang benar.”Kaelan
Ayu berlari tersengal-sengal menuju rumahnya, napasnya tersendat-sendat, keringat bercucuran di dahinya. Kakinya yang lelah nyaris tersandung bebatuan di jalan setapak, namun ia terus memaksakan diri untuk berlari. Rumah Ayu terlihat samakin dekat dengan dinding kayunya yang mulai usang berdiri kokoh di ujung jalan kecil.Di teras, Ratna yang sedang menatap ke kejauhan, terkejut saat melihat sosok putrinya muncul dari balik pepohonan. "Ayu?" suaranya hampir bergetar. Rasa tak percaya menguasai dirinya.Sudah dua hari penuh Ratna diliputi kecemasan, tak tahu harus berbuat apa ketika Ayu hilang begitu saja. Meskipun warga desa sudah berbondong-bondong mencari Ayu ke segala penjuru, termasuk hutan Halimun yang gelap dan penuh misteri, jejak gadis itu tetap tak ditemukan. Namun kini, Ayu berdiri di hadapannya, tubuhnya penuh debu dan luka kecil, namun matanya tampak hidup meski lelah.“Ibu…ibu!” Teriaknya.Ratna segera berlari ke arah putrinya, memeluknya erat-erat, seolah memastikan A
"Auuuuu... auuuuuu!" Suara lolongan serigala yang panjang dan mencekam terdengar dari dalam hutan, memecah keheningan malam.Ayu terperenjat dari tidurnya, duduk tegak dengan napas tersengal-sengal. Jantungnya berdegup kencang. Dari seberang meja belajar, Darma menoleh dengan ekspresi khawatir. Ia berhenti menulis dan menatap kakaknya.“Kak, kenapa?” tanyanya.Ayu menggeleng pelan, masih terpaku pada jendela yang tertutup rapat. "Serigala itu... suaranya... sangat dekat," ucapnya berbisik, seolah takut mengundang sesuatu yang lebih mengerikan dari balik kegelapan.Darma menatap Ayu dengan tenang, meskipun sedikit heran melihat kakaknya begitu terguncang. Setelah beberapa detik keheningan, ia mendesah pelan, meletakkan pensilnya di meja.“Sudah biasa, Kak,” ucap Darma, suaranya tenang tapi penuh keyakinan. “Kita kan tinggal di tepian hutan jadi itu hal wajar. Serigala-serigala itu sering terdengar, apalagi kalau bulan penuh.”Ayu menoleh perlahan, masih dengan napas yang belum sepenu
Selepas shalat Isya berjamaah di Masjid Al-Hidayah, Darto merapikan sajadah dan menggulung sarungnya. Suasana masjid mulai lengang, hanya beberapa orang masih berdzikir di pojok masjid. Dia yang hendak melangkah keluar tidak sengaja berpapasan dengan Pak Karta selaku kepala desa,Beliau berjalan menghampirinya dari saf depan."Assalamualaikum, kang Darto," sapa Pak Karta dengan suara lembut."Waalaikumussalam, Pak Karta," jawabnya sambil tersenyum.Pak Karta menepuk bahu Darto pelan. "Saya dengar Ayu sudah ketemu? Alhamdulillah," ujarnya, nadanya penuh rasa syukur."Iya, Pak. Alhamdulillah." jawab Darma, suaranya agak pelan.Pak Karta tersenyum lebar, lalu melangkah ke pintu masjid. "Saya pamit dulu. Hati-hati di jalan kang, akhir-akhir ini saya sering dengar suara lolongan serigala.""Iya, Pak. Assalamualaikum," jawab Darto sambil membungkuk hormat."Waalaikumussalam," sahut Pak Karta sebelum keluar dari masjid, meninggalkan Darto.Pria berusia 50 tahunan itu pun ikut bergegas menin
Ayu melepaskan pelukannya, lalu berjalan menjauh dari Kaelan. “Dasar pria gila!” Umpatnya. Kaelan tersenyum sinis melihat ayu yang pergi begitu saja. “Kau tak akan pernah lolos dariku!” Dengan kecepatan kilat dia melesat layaknya angin. Dalam beberapa detik dia sudah berada di hadapan Ayu, hal itu membuat sang gadis terkejut. “Apa? K-kenapa kau bisa tiba-tiba ada disini?” Tanya Ayu sedikit gemetar. “Sudah ku katakan, kau tidak akan pernah lepas dariku! Kau harus ikut aku, Ayu.” Tangan kekar Kaelan menyentuh pipi mulusnya. Ayu menyingkirkan tangan Kaelan dari pipinya dengan kasar, menatap pria itu dengan penuh kemarahan. "Jangan sentuh aku lagi! Aku tidak peduli apa yang kau inginkan, aku tidak akan ikut denganmu!" Bentak Ayu. Kaelan menatap Ayu dengan tatapan dingin, tapi ada kilatan keras kepala di matanya. Saat Ayu berbalik untuk pergi, Kaelan dengan cepat meraih lengannya. "Kau pikir bisa kabur? Aku sudah bilang, kau tidak akan pernah bisa lepas dariku!" Ujar Kae
Malam itu Kaelan melangkah perlahan di bawah cahaya rembulan yang samar, mencoba menghindari setiap bunyi ranting atau dedaunan kering yang bisa membongkar keberadaannya. Di balik jendela kamar, istrinya tampak sedang berbicara dengan ibunya. “Huh, untung saja aku bergerak cepat.” Gumamnya pelan. Dia melesat mengitari rumah mertuanya hingga berhenti tepat di depan pintu. Dengan perlahan dia mengetuk pintu tersebut. Tok, tok, tok! Sementara itu di dalam Ayu dan ibunya menoleh saat mendengar ketukan pintu. “Bu, sepertinya itu Mas Kaelan.” Ucap Ayu. “Kamu sudah berbaikan dengan suamimu yu?” Tanya sang ibu. “Hmm, iya bu. Sebenarnya itu hanya kesalahpahaman.” Ujar Ayu beralasan. “Ya sudah, cepat bukakan pintu yu. Kasian suamimu.” Ucap sang ibu dengan lembut. Ayu bergegas menuju ruang tamu untuk membukakan pintu. Sesampainya di depan pintu, Ayu menarik napas panjang sebelum akhirnya memutar gagang pintu. Begitu pintu terbuka, Kaelan langsung menerobos masuk tanpa berkata sepatah k
Malam itu langit tampak gelap gulita, tidak ada bintang satupun menghiasi langit Jakarta. Kawlan tampak berdiri di depan jendela besar yang menghadap ke arah kota besar. Setelah pertengkaran dengan Ayu di memutuskan menenangkan diri di Markas bangsa serigala. Di sisi lain Leo tampak sibuk dengan benda pipih yang baru di belikan Fors. “Kae, ini bagaimana menggunkannya?” Tanyanya. Pria tampan itu menghiraukan seruan sahabatnya, tatapannya kosong. “Kae…tolong lah! Aku tidak mengerti menggunakan benda canggih ini.” Gerutunya sambil mengangkat ponsel yang ada di tangannya. Kaelan berbalik, tatapannya tajam seolah Leo telah mengganggunya. “Kau sangat berisik! Aku pergi,” katanya yang langsung nyelonong begitu saja. “Kau mau kemana kae?” Teriaknya lalu kembali fokus pada benda yang di pegangnya. Dia terus menggerutu sambil menatap layar ponselnya. Matanya terpaku pada beberapa ikon warna-warni yang bergerak di layar, merasa sedikit kebingungan dan frustrasi. Dengan ragu-ragu, ia me
"Jadi, maksudmu aku harus meninggalkan hutan dan hidup di antara manusia seperti yang kau lakukan?" Leo menatap Kaelan dengan sorot penuh keraguan. "Aku tidak sekuat itu, Kaelan. Menyaksikan bangsa kita dibantai, lalu hidup berdampingan dengan para pembunuh itu... bukan hal yang mudah." Kaelan mengangguk pelan, memahami keraguan sahabatnya. "Aku tahu, Leo. Tapi kita tidak punya pilihan lain. Dunia ini telah berubah, dan kita harus menyesuaikan diri atau punah. Aku tidak bisa membiarkan kenangan masa lalu menjadi penghalang. Kita butuh keturunan yang kuat untuk melanjutkan garis keturunan bangsa serigala." Leo terdiam tampak berpikir dejenak sebelum kembali berargumen. "Bagaimana jika mereka tahu kita masih hidup, Kaelan? Jika manusia tahu keberadaan kita… apa yang akan terjadi?" Kaelan menarik napas dalam-dalam, lalu menatap sahabatnya dengan tegas. "Itu risiko yang harus kita ambil. Kita tidak bisa bersembunyi selamanya. Selama kita bisa beradaptasi, tidak ada yang perlu kita
Malam itu Kaelan duduk di ruang keluarga sambil membaca laporan pekerjaan di laptopnya. Sedangkan Ayu di sebelahnya sambil mengelus perutnya yang masih rata. “Mas…” panggil Ayu pelan. Kaelan menoleh, memasang senyum lembut. "Ada apa, Sayang?" Ayu menatapnya dengan wajah polos tapi penuh harap. "Aku kayaknya lagi pengen sesuatu." Kaelan mengangkat alis, lalu menyimpan laptopnya. “Pengen apa? Bilang saja, biar aku carikan.” Ayu menggigit bibirnya menunduk sedikit malu. "Aku pengen makan mangga muda, Mas... yang asam, terus dicocol sama sambal rujak yang pedesnya." Kaelan menahan tawa kecil mengingat kejadian saat ia mencoba sambal ijo untuk pertama kalinya.“Mangga muda ya? Hmm, sebentar aku coba lihat dulu di kulkas. Kalau nggak ada aku akan cari di luar.” Ayu tersenyum lebar, matanya berbinar penuh harapan. “Serius, Mas? Terima kasih ya!” Kaelan mengangguk lalu beranjak menuju dapur untuk memeriksa kulkas. Namun, setelah membuka pintu kulkas dan memeriksa isinya, ia hanya mend
Kaelan kembali membawa piring dengan sepotong roti panggang berisi telur ceplok dan sayuran segar, memang terlihat biasa, tapi setidaknya bisa mengenyangkan istrinya. Ia tersenyum kecil, sedikit merasa bersalah."Maaf ya, sayang. Mungkin ini lebih cocok untukmu," katanya sambil meletakkan piring itu di depan Ayu.Ayu tersenyum tipis. "Nggak apa-apa, Mas. Aku ngerti kok."“Ya sudah cepat di makan.” Kata Kaelan.Kaelan melirik jam di tangannya, lalu dengan perlahan melepas celemek yang ia kenakan. Dia menghela napas sejenak sebelum menatap Ayu yang mulai menikmati roti panggang buatannya."Setelah makan, kamu istirahat saja ya, Sayang," ucap Kaelan sambil meletakkan celemeknya di meja. "Aku akan kembali tengah malam."Ayu menghentikan gerakannya, mengernyitkan alis. "Memangnha kamu mau ke mana?"Kaelan tersenyum paksa. "Aku ada rapat penting di kantor."“Rapat? Memangnya serigala punya kantor ya?” Tanya Ayu polos.Kaelan tersenyum sambil menggelengkan kepalanya.“Bukan, aku rapat bers
Pagi itu suasana rumah terasa berbeda. Ayu sibuk berkemas, memeriksa satu per satu barang yang akan dibawanya ke Jakarta. Hari ini ia akan ikut bersama suaminya, meninggalkan rumah orang tuanya untuk beberapa waktu.Ratna berdiri di ambang pintu kamar Ayu, memperhatikan putrinya dengan tatapan sedih. Sementara Darto duduk di ruang tamu sambil menunduk, mencoba menahan perasaan yang berkecamuk di dadanya. Darma adik laki-laki Ayu, mondar-mandir di depan kamar, tampak gelisah."Yakin nggak ada yang ketinggalan, Yu?" tanya Ratna, suaranya terdengar serak.Ayu berhenti sejenak, menatap ibunya dengan senyuman lembut. "Insya Allah nggak ada, Bu. Semua udah aku cek berkali-kali."Ratna menghela napas panjang. "Kamu bakal sering pulang, kan?"Ayu mendekat, menggenggam tangan ibunya. "Pasti, Bu. Lagian, Jakarta nggak jauh kok. Cuma beberapa jam aja."Darto yang sedari tadi diam, tiba-tiba angkat bicara. "Tetap aja, Ayu. Rumah ini bakal sepi tanpa kamu. Kita nggak terbiasa kalau kamu nggak di
“Aaaaaaa!” Ayu terbangun dari tidurnya dengan napas tersengal-sengal. Keringat dingin membasahi dahinya, sementara jantungnya berdegup kencang. Tangannya gemetar saat ia mencoba mengatur napas. Kamar yang gelap terasa mencekam setelah mimpi buruk yang baru saja menghantuinya."Ayu, ada apa?" Kaelan langsung terbangun mendengar teriakan Ayu. Matanya menyipit karena baru saja terjaga, tapi kekhawatiran tergambar jelas di wajahnya.Ayu tidak langsung menjawab. Ia hanya bisa menatap lurus ke depan, berusaha menenangkan dirinya. Kaelan semakin cemas dan duduk lebih dekat, meraih tangan Ayu."Kamu mimpi buruk, ya?" tanyanya lembut.Ayu mengangguk pelan, lalu menoleh ke arah Kaelan dengan mata masih dipenuhi rasa takut. "Iya, mimpi aneh dan menyeramkan...""Memangnya kamu mimpi apa? Ceritakan padaku," Kaelan mencoba menenangkan dengan suara pelan.Ayu menghela napas panjang, mencoba menenangkan detak jantungnya yang masih kencang. "Aku... aku mimpi melahirkan 3 bayi setigala sekaligus.”
Ayu menatap Kaelan dengan pandangan kosong, kata-kata yang baru saja diucapkan lelaki itu berputar-putar dalam pikirannya. Dia terdiam, tak tahu harus merespons apa. Di balik sinar matahari sore yang menerobos masuk melalui jendela, wajah Kaelan tampak tegang, penuh dengan beban yang tak terlihat sebelumnya. “Kau tak perlu bertanya. Aku akan menjelaskannya,” ujar Kaelan, suaranya rendah namun penuh keyakinan. Dia melangkah ke arah jendela, menatap ke luar seolah mencari kekuatan dari dunia yang terbentang di depannya. Ayu hanya bisa diam, menunggu penjelasan lebih lanjut yang terasa seperti pisau yang sebentar lagi akan menghujam ke dalam hidupnya. “Bangsaku... kami dalam bahaya besar,” lanjut Kaelan, suaranya terdengar berat. Dia menoleh, matanya yang gelap bertemu dengan Ayu. “Aku harus melakukan sesuatu. Kita….Harus segera memiliki keturunan sebanyak mungkin agar keturunan Wolfric tetap ada di dunia ini.” Ayu merasa dadanya sesak, dia masih mencoba memahami apa yang baru
Ayu terdiam, terpaku dengan kata-kata yang baru saja keluar dari mulut Kaelan. Sebelum sempat menjawab, Kaelan sudah melangkah mendekat. Tanpa bicara lagi, dia menarik Ayu ke dalam dekapannya. “Apa yang kau lakukan?” Tanya Ayu. “Sttt…diamlah!” Jawabnya. Wush! Dalam sekejap, Ayu merasakan tubuh mereka bergerak dengan kecepatan luar biasa, seolah terangkat oleh angin. Dunia di sekeliling mereka berubah menjadi bayangan yang kabur. Detik demi detik berlalu, kini mereka sudah berdiri di depan rumahnya. Ayu mengerjapkan mata, jantungnya masih berdetak kencang. “Kau…bagaimana jika ada yabg melihatnya.” Gerutu Ayu membuat Karlan tersenyum tipis. “Kau tenang saja tidak akan ada yang melihatnya!” Kaelan berjalan masuk lebih dulu, meninggalkan Ayu yang masih menggerutu di belakangnya. "Dasar makhluk jadi-jadian!" seru Ayu, meskipun suaranya sedikit pelan. Kaelan hanya menoleh sebentar dengan senyum tipis, tak menghiraukan keluhan Ayu. "Aku mau mandi," katanya santai, lalu melangk