Pak Mangun menghampiri Darto yang akan beranjak kembali mencari putrinya. Akan tetapi sebelum itu terjadi, ia menepuk bahu Darto dengan lembut dan mencoba menenangkan pria itu.
"Kang Darto," ujar Pak Mangun dengan suara rendah, "Saya mengerti kau ingin segera menemukan Ayu, tapi keadaan semakin berbahaya. Malam semakin larut. Akan bahaya jika terus melakukan pencarian sekarang." Darto menoleh dengan mata penuh amarah dan kegelisahan. "Apa maksudmu, Mangun? Kau menyuruhku untuk berhenti? Putriku di luar sana, mungkin terluka atau... Ash!" Pak Mangun menghela napas berat, menatap obor yang berkedip-kedip di tangan warga. "Aku tahu ini berat, tapi kita harus berpikir bijak. Hutan ini... bukan hutan biasa. Banyak hal yang tidak kita pahami di sini dan jika kita terus mencari dalam kegelapan seperti ini, kita hanya akan menambah jumlah yang hilang. Hewan buas lebih aktif di malam hari, dan kita tidak punya cukup perlengkapan untuk bertahan jika terjadi sesuatu." Seorang warga yang berdiri di dekat mereka ikut menimpali, "Pak Mangun benar, Kang Darto. Kita semua khawatir dengan keselamatan Ayu, tapi kita juga harus menjaga keselamatan semua warga yang ikut. Pencarian ini akan lebih baik jika dilanjutkan besok." Darto mengepalkan tangannya, merasa terjebak antara ketakutan yang melumpuhkan dan naluri seorang ayah yang ingin menyelamatkan anaknya. Ia menatap hutan yang gelap gulita, seolah-olah menunggu jawaban dari kegelapan itu sendiri. Kepala desa bernama Pak Karta yang sedari tadi diam memperhatikan diskusi tersebut, akhirnya melangkah maju. "Aku mengerti rasa cemasmu, Darto," katanya dengan suara tenang dan bijaksana. "Tapi kita harus mendengarkan Pak Mangun. Pencarian akan lebih baik jika di lakukan siang hari. Malam ini, kita akan kembali ke desa, mengatur strategi, dan berdoa untuk keselamatan Ayu. Begitu matahari terbit, kita akan mulai pencarian lagi dengan peralatan yang lebih baik." Darto menundukkan kepala, hatinya bergulat dengan ketidakpastian. Namun, akhirnya, dia mengangguk pelan. "Baiklah... kita lanjutkan besok pagi," katanya dengan suara serak, meskipun rasa putus asa masih menyelimuti hatinya. Pak Karta segera menginstruksikan warga untuk berkumpul dan bersiap kembali ke desa. "Kita akan mengatur kelompok pencari yang lebih besar besok pagi. Siapkan semua yang kalian butuhkan, dan kita akan berangkat saat matahari mulai terbit." Meskipun kecewa, warga desa patuh pada keputusan itu. Mereka mulai berjalan kembali ke arah desa dengan langkah berat. Pak Mangun berjalan di samping Darto, memberikan dukungan kepada pria itu, sementara kepala desa dan yang lainnya memastikan tidak ada yang tertinggal di belakang. Setibanya di desa, para warga berpisah menuju rumah masing-masing, sementara Darto terus melangkah menuju rumahnya yang berada di ujung jalan kecil. Di depan pintu rumah, dia berhenti sejenak, menarik napas dalam-dalam sebelum membuka pintu. Di dalam rumah, Ratna menunggu kepulangan suaminya dengan penuh kecemasan. Berharap suaminya akan membawa serta putri satu-satunya itu. Ketika pintu terbuka, Ratna langsung berdiri dari tempat duduknya. "Kang… Ayu di mana?" tanyanya dengan suara lirih. Darto menundukkan kepalanya, tak sanggup menatap mata istrinya. "Kami belum menemukannya, Ratna..." ucapnya pelan. Air mata Ratna langsung mengalir tanpa bisa ditahan. "Tidak… Tidak mungkin... Ayu, anak kita… dia... dia baik-baik saja, kan?" suaranya bergetar. Dia berjalan mendekati suaminya, mencari kepastian di balik kalimat-kalimat yang tak terucap. Darto hanya bisa memeluk istrinya erat, mencoba menenangkan meskipun hatinya sendiri penuh dengan ketakutan dan kekhawatiran. "Aku dan warga desa akan mencarinya lagi besok pagi, Ratna. Jangan khawatir, kita pasti akan menemukan Ayu," katanya dengan suara serak. Namun dalam pelukannya, Ratna bisa merasakan tubuh suaminya yang gemetar. Ia tahu bahwa Darto juga sama cemasnya dengan dirinya. Tidak ada kepastian, hanya harapan yang menggantung di udara malam yang dingin itu. Ratna menggenggam erat tangan Darto. "Kita harus percaya… kita harus percaya bahwa Ayu akan baik-baik saja. Dia gadis yang kuat," ujarnya, meski suaranya dipenuhi dengan air mata. Darto mengangguk tanpa berkata apa-apa. Di dalam hatinya, dia hanya bisa berdoa agar Ayu ditemukan dengan selamat esok hari. Di tempat yang berbeda, Kaelan menggendong Ayu menuju sebuah kamar mewah. Entah apa yang telah dia lakukan sehingga membuat gadis itu tak sadarkan diri. “Itu akibatnya jika kau tidak mematuhiku!” Gumamnya pelan sambil membaringkan gadis itu di atas ranjang. Dia menatap Ayu sejenak, gadis itu terbaring di ranjang mewah miliknya. “Kau tidak bisa melawan kehendakku. Semua ini bisa dihindari jika kau mau mendengarkanku.” Ayu yang tak sadarkan diri, hanya bisa terbaring tanpa tahu betapa mengerikannya situasi yang menimpanya. Kaelan meraih gelas berisi air yang terletak di meja samping ranjang dan mencelupkan ujung jari telunjuknya ke dalam cairan itu, kemudian menyentuhnya di bibir Ayu. “Lihatlah, bibirmu sangat kering.” Ucapnya pelan. Tok, tok, tok… Kaelan mengalihkan pandangannya dari Ayu saat terdengar suara ketukan di pintu. Suara Fors yang merupakan sahabat sekaligus penasehatnya, memecah keheningan. “Kaelan! Kau di dalam? Kita perlu bicara,” suara Fors terdengar tegas, disertai ketukan yang lebih keras. Dia beranjak meninggaklan Ayu. Ketika pintu dibuka, Fors berdiri di luar dengan ekspresi serius. “Kau membawa manusia?” tanya Fors tanpa basa-basi. Kaelan mengangguk, “Hmm, ya! Kau bisa merasakannya?” “Tentu saja, mari ikut denganku. Kita perlu bicara.” Ajak Fors. Kaelan mengikuti Fors dengan langkah cepat. Mereka berdua memasuki ruangan tertutup, dinding-dindingnya dilapisi kain hitam yang menyerap cahaya. Di dalamnya, aroma herbal dan kayu wangi memenuhi udara, menciptakan suasana yang serius dan misterius. “Baiklah, Kaelan kita perlu segera membahas ini,” kata Fors sambil menutup pintu dengan hati-hati, memastikan tidak ada yang mendengar mereka. “Kau tahu apa yang harus dilakukan sekarang. Sebagai satu-satunya keturunan terakhir Wolfric?” Kaelan mengangguk santai, “Tentu saja aku tahu. Aku harus segera menghasilkan keturunan.” “Benar sekali, kau harus menghasilkan keturunan. Sangat penting untukmu jika kau segera menikah. Sejarah keluargamu terancam punah. Wolfric telah berjuang selama ribuan tahun untuk menjaga kekuatan dan keberadaan kita dan sekarang, setelah semua yang terjadi, kau adalah harapan terakhir bagi bangsa serigala.” Kaelan berjalan mendekati kotak kaca yang berisi mahkota indah berkilau. Dengan lembut, dia menyentuh permukaan kaca seolah-olah merasakan kekuatan yang terpendam di dalamnya. “Fors,” katanya sambil tersenyum lebar, “aku akan menikahi gadis yang aku bawa hari ini.” Fors tertegun, ekspresinya berubah terkejut dan skeptis. “Menikahi manusia? Kaelan, itu tidak masuk akal! Kau tahu betapa rumitnya hubungan antara kita dan mereka. Manusia tidak akan pernah bisa memahami dunia kita. Jika kau melakukannya, itu bisa menghancurkan semuanya!” Kaelan mengangkat bahu, tampak tidak terpengaruh oleh ketidaksetujuan sahabatnya. “Mungkin itu cara terbaik untuk melindungi bangsa kita. Jika aku mengawininya, dia akan melahirkan keturunan setengah serigala. Bayangkan, Fors! Kita bisa membangun kembali kekuatan kita melalui darahnya.” Fors menggelengkan kepalanya, jelas tidak setuju. “Tetapi kau harus tahu bahwa tidak semua manusia akan menerima kenyataan ini. Mereka bisa melawan dan itu akan membawa bahaya bagi kita semua. Apa kau tidak ingat bagaimana bangsa manusia membantai kita habis-habisan?” Kaelan hanya tersenyum menanggapi ucapan Fors.Seribu tahun yang lalu, lebih tepatnya pada abad ke-11 pertengahn (1024-1025) Di sebuah Hutan para bangsa derigala hidup dengan damai. Pepohonan menjulang tinggi, membentuk kanopi yang melindungi tanah di bawahnya dari sinar matahari yang terik. Di tengah hutan ini berdiri megah Kerajaan Serigala, sebuah benteng yang menjadi rumah bagi manusia serigala yang dihormati dan ditakuti. Kaelan yang saat itu merupakan putra mahkota yang berusia dua puluh tahunan, duduk di tepi jendela istana. Dia mengamati kehidupan di luar, di mana anggota bangsanya berlatih bertarung, berlari dengan lincah dan berburu. Hari itu Wolfric, ayah dari Kaelan memimpin latihan para prajurit. Raja Serigala yang Agung itu dikenal dengan keberanian dan kebijaksanaannya. Dalam beberapa bulan terakhir, bisikan angin membawa kabar yang kurang baik. Ada rumor bahwa manusia mulai mengetahui keberadaan mereka. Hal itu membuat Wolfric memerintahkan para prajutit istana untuk berlatih dengan keras. Kaelan turun d
"Aku ingat, Fors," jawab Kaelan dengan tenang setelah membayangkapan apa yang jadi seribu tahun yang lalu. "Bahkan aku ingat jelas bagaimana Ayahku mati di tangan para manusia laknat itu. Aku akan menghasilkan banyak ketirunan dari bangsa manusia. Selama gadis ini ada di bawah kendaliku, semuanya akan berjalan sesuai rencana."Fors menghela napas dalam-dalam, jelas merasakan beratnya situasi. "Kau harus mempertimbangkan dengan matang, Kaelan. Gadis itu... dia bukan sekadar manusia. Jika sesuatu terjadi padanya dan keluarganya mengetahui, itu bisa memicu konflik yang lebih besar. Kita harus berhati-hati."Kaelan menatap sahabatnya dengan mata penuh keyakinan. "Aku tahu risikonya, Fors. Tapi aku sudah memutuskan. Dia akan menjadi bagian dari hidupku, bagian dari rencana kita." “Terserah padamu saja. Aku hanya takut para manusia akan mengetahui keberadaan kita dan membantai bangsa kita lagi.” Ujarnya sebelum pergi meninggalkan Kaelan. Keesokan harinya Ayu mengerjapkan matanya, mencob
Ayu menatap Kaelan dengan pandangan serius, napasnya masih tersengal setelah mendengar tuntutan aneh itu. Dia tahu tak ada gunanya berdebat terlalu lama, dan dia harus memikirkan cara untuk pulang secepat mungkin. Dengan suara lembut namun penuh ketegasan, dia akhirnya berkata, “Jika kau benar-benar ingin menikahiku, kau harus melakukan sesuatu untukku.”Kaelan mengangkat alis, tampak tertarik. “Apa itu?”Ayu menelan ludah, berusaha keras menahan kegugupannya. “Kau harus mengantarkanku pulang ke keluargaku dulu. Aku tidak bisa mengambil keputusan sebesar itu tanpa berbicara dengan orangtuaku. Kau harus mendapatkan restu mereka dan memintanya dengan baik-baik.”Kaelan diam sejenak, menatap Ayu dengan sorot mata penuh perhitungan. “Restu orangtua?” gumamnya pelan. “Kau serius?”Ayu mengangguk tegas, meskipun hatinya berdebar keras. “Ya, aku serius. Bagaimanapun juga, mereka adalah keluargaku. Jika kau benar-benar ingin menikahiku, kau harus melakukannya dengan cara yang benar.”Kaelan
Ayu berlari tersengal-sengal menuju rumahnya, napasnya tersendat-sendat, keringat bercucuran di dahinya. Kakinya yang lelah nyaris tersandung bebatuan di jalan setapak, namun ia terus memaksakan diri untuk berlari. Rumah Ayu terlihat samakin dekat dengan dinding kayunya yang mulai usang berdiri kokoh di ujung jalan kecil.Di teras, Ratna yang sedang menatap ke kejauhan, terkejut saat melihat sosok putrinya muncul dari balik pepohonan. "Ayu?" suaranya hampir bergetar. Rasa tak percaya menguasai dirinya.Sudah dua hari penuh Ratna diliputi kecemasan, tak tahu harus berbuat apa ketika Ayu hilang begitu saja. Meskipun warga desa sudah berbondong-bondong mencari Ayu ke segala penjuru, termasuk hutan Halimun yang gelap dan penuh misteri, jejak gadis itu tetap tak ditemukan. Namun kini, Ayu berdiri di hadapannya, tubuhnya penuh debu dan luka kecil, namun matanya tampak hidup meski lelah.“Ibu…ibu!” Teriaknya.Ratna segera berlari ke arah putrinya, memeluknya erat-erat, seolah memastikan A
"Auuuuu... auuuuuu!" Suara lolongan serigala yang panjang dan mencekam terdengar dari dalam hutan, memecah keheningan malam.Ayu terperenjat dari tidurnya, duduk tegak dengan napas tersengal-sengal. Jantungnya berdegup kencang. Dari seberang meja belajar, Darma menoleh dengan ekspresi khawatir. Ia berhenti menulis dan menatap kakaknya.“Kak, kenapa?” tanyanya.Ayu menggeleng pelan, masih terpaku pada jendela yang tertutup rapat. "Serigala itu... suaranya... sangat dekat," ucapnya berbisik, seolah takut mengundang sesuatu yang lebih mengerikan dari balik kegelapan.Darma menatap Ayu dengan tenang, meskipun sedikit heran melihat kakaknya begitu terguncang. Setelah beberapa detik keheningan, ia mendesah pelan, meletakkan pensilnya di meja.“Sudah biasa, Kak,” ucap Darma, suaranya tenang tapi penuh keyakinan. “Kita kan tinggal di tepian hutan jadi itu hal wajar. Serigala-serigala itu sering terdengar, apalagi kalau bulan penuh.”Ayu menoleh perlahan, masih dengan napas yang belum sepenu
Selepas shalat Isya berjamaah di Masjid Al-Hidayah, Darto merapikan sajadah dan menggulung sarungnya. Suasana masjid mulai lengang, hanya beberapa orang masih berdzikir di pojok masjid. Dia yang hendak melangkah keluar tidak sengaja berpapasan dengan Pak Karta selaku kepala desa,Beliau berjalan menghampirinya dari saf depan."Assalamualaikum, kang Darto," sapa Pak Karta dengan suara lembut."Waalaikumussalam, Pak Karta," jawabnya sambil tersenyum.Pak Karta menepuk bahu Darto pelan. "Saya dengar Ayu sudah ketemu? Alhamdulillah," ujarnya, nadanya penuh rasa syukur."Iya, Pak. Alhamdulillah." jawab Darma, suaranya agak pelan.Pak Karta tersenyum lebar, lalu melangkah ke pintu masjid. "Saya pamit dulu. Hati-hati di jalan kang, akhir-akhir ini saya sering dengar suara lolongan serigala.""Iya, Pak. Assalamualaikum," jawab Darto sambil membungkuk hormat."Waalaikumussalam," sahut Pak Karta sebelum keluar dari masjid, meninggalkan Darto.Pria berusia 50 tahunan itu pun ikut bergegas menin
Ayu melepaskan pelukannya, lalu berjalan menjauh dari Kaelan. “Dasar pria gila!” Umpatnya. Kaelan tersenyum sinis melihat ayu yang pergi begitu saja. “Kau tak akan pernah lolos dariku!” Dengan kecepatan kilat dia melesat layaknya angin. Dalam beberapa detik dia sudah berada di hadapan Ayu, hal itu membuat sang gadis terkejut. “Apa? K-kenapa kau bisa tiba-tiba ada disini?” Tanya Ayu sedikit gemetar. “Sudah ku katakan, kau tidak akan pernah lepas dariku! Kau harus ikut aku, Ayu.” Tangan kekar Kaelan menyentuh pipi mulusnya. Ayu menyingkirkan tangan Kaelan dari pipinya dengan kasar, menatap pria itu dengan penuh kemarahan. "Jangan sentuh aku lagi! Aku tidak peduli apa yang kau inginkan, aku tidak akan ikut denganmu!" Bentak Ayu. Kaelan menatap Ayu dengan tatapan dingin, tapi ada kilatan keras kepala di matanya. Saat Ayu berbalik untuk pergi, Kaelan dengan cepat meraih lengannya. "Kau pikir bisa kabur? Aku sudah bilang, kau tidak akan pernah bisa lepas dariku!" Ujar Kae
Kaelan tersenyum senang menatap Ayu, dia menggenggam tangan gadis itu lalu kembali membawanya melesat meninggalkan hutan.Sesaat kemudian, mereka tiba di depan pagar bambu rumah Ayu. Nafas Ayu tersengal, matanya menatap lurus ke depan, di mana ia melihat sosok Danu berdiri di depan pintu rumahnya. Dia tampak ragu, tangannya terangkat setengah, seolah ingin mengetuk pintu namun tidak yakin.“Kang Danu?” Gumam Ayu pelan, bahkan hampir berbisik.Kaelan mengerutkan kening. “Siapa dia?”Ayu berusaha melepas genggaman Kaelan dan melangkah maju, namun Kaelan menahannya.“Apa yang akan kau lakukan?” Tanya Kaelan.“Bukan urusanmu.” Jawabnya sambil melepaskan genggamannya.Kaelan membiarkan Ayu mendekati kekasihnya itu, “sedang apa kang Danu disini?” Tanya Ayu pada Danu.Danu tersentak mendengar suara Ayu, lalu berbalik. Wajahnya yang semula tegang seketika berubah lega saat melihat sang kekasih. "Ayu, kau baik-baik saja?" tanyanya cemas.Danu menghampirinya, tetapi Ayu tampak menjaga jarak.“
Malam itu Kaelan melangkah perlahan di bawah cahaya rembulan yang samar, mencoba menghindari setiap bunyi ranting atau dedaunan kering yang bisa membongkar keberadaannya. Di balik jendela kamar, istrinya tampak sedang berbicara dengan ibunya. “Huh, untung saja aku bergerak cepat.” Gumamnya pelan. Dia melesat mengitari rumah mertuanya hingga berhenti tepat di depan pintu. Dengan perlahan dia mengetuk pintu tersebut. Tok, tok, tok! Sementara itu di dalam Ayu dan ibunya menoleh saat mendengar ketukan pintu. “Bu, sepertinya itu Mas Kaelan.” Ucap Ayu. “Kamu sudah berbaikan dengan suamimu yu?” Tanya sang ibu. “Hmm, iya bu. Sebenarnya itu hanya kesalahpahaman.” Ujar Ayu beralasan. “Ya sudah, cepat bukakan pintu yu. Kasian suamimu.” Ucap sang ibu dengan lembut. Ayu bergegas menuju ruang tamu untuk membukakan pintu. Sesampainya di depan pintu, Ayu menarik napas panjang sebelum akhirnya memutar gagang pintu. Begitu pintu terbuka, Kaelan langsung menerobos masuk tanpa berkata sepatah k
Malam itu langit tampak gelap gulita, tidak ada bintang satupun menghiasi langit Jakarta. Kawlan tampak berdiri di depan jendela besar yang menghadap ke arah kota besar. Setelah pertengkaran dengan Ayu di memutuskan menenangkan diri di Markas bangsa serigala. Di sisi lain Leo tampak sibuk dengan benda pipih yang baru di belikan Fors. “Kae, ini bagaimana menggunkannya?” Tanyanya. Pria tampan itu menghiraukan seruan sahabatnya, tatapannya kosong. “Kae…tolong lah! Aku tidak mengerti menggunakan benda canggih ini.” Gerutunya sambil mengangkat ponsel yang ada di tangannya. Kaelan berbalik, tatapannya tajam seolah Leo telah mengganggunya. “Kau sangat berisik! Aku pergi,” katanya yang langsung nyelonong begitu saja. “Kau mau kemana kae?” Teriaknya lalu kembali fokus pada benda yang di pegangnya. Dia terus menggerutu sambil menatap layar ponselnya. Matanya terpaku pada beberapa ikon warna-warni yang bergerak di layar, merasa sedikit kebingungan dan frustrasi. Dengan ragu-ragu, ia me
"Jadi, maksudmu aku harus meninggalkan hutan dan hidup di antara manusia seperti yang kau lakukan?" Leo menatap Kaelan dengan sorot penuh keraguan. "Aku tidak sekuat itu, Kaelan. Menyaksikan bangsa kita dibantai, lalu hidup berdampingan dengan para pembunuh itu... bukan hal yang mudah." Kaelan mengangguk pelan, memahami keraguan sahabatnya. "Aku tahu, Leo. Tapi kita tidak punya pilihan lain. Dunia ini telah berubah, dan kita harus menyesuaikan diri atau punah. Aku tidak bisa membiarkan kenangan masa lalu menjadi penghalang. Kita butuh keturunan yang kuat untuk melanjutkan garis keturunan bangsa serigala." Leo terdiam tampak berpikir dejenak sebelum kembali berargumen. "Bagaimana jika mereka tahu kita masih hidup, Kaelan? Jika manusia tahu keberadaan kita… apa yang akan terjadi?" Kaelan menarik napas dalam-dalam, lalu menatap sahabatnya dengan tegas. "Itu risiko yang harus kita ambil. Kita tidak bisa bersembunyi selamanya. Selama kita bisa beradaptasi, tidak ada yang perlu kita
Malam itu Kaelan duduk di ruang keluarga sambil membaca laporan pekerjaan di laptopnya. Sedangkan Ayu di sebelahnya sambil mengelus perutnya yang masih rata. “Mas…” panggil Ayu pelan. Kaelan menoleh, memasang senyum lembut. "Ada apa, Sayang?" Ayu menatapnya dengan wajah polos tapi penuh harap. "Aku kayaknya lagi pengen sesuatu." Kaelan mengangkat alis, lalu menyimpan laptopnya. “Pengen apa? Bilang saja, biar aku carikan.” Ayu menggigit bibirnya menunduk sedikit malu. "Aku pengen makan mangga muda, Mas... yang asam, terus dicocol sama sambal rujak yang pedesnya." Kaelan menahan tawa kecil mengingat kejadian saat ia mencoba sambal ijo untuk pertama kalinya.“Mangga muda ya? Hmm, sebentar aku coba lihat dulu di kulkas. Kalau nggak ada aku akan cari di luar.” Ayu tersenyum lebar, matanya berbinar penuh harapan. “Serius, Mas? Terima kasih ya!” Kaelan mengangguk lalu beranjak menuju dapur untuk memeriksa kulkas. Namun, setelah membuka pintu kulkas dan memeriksa isinya, ia hanya mend
Kaelan kembali membawa piring dengan sepotong roti panggang berisi telur ceplok dan sayuran segar, memang terlihat biasa, tapi setidaknya bisa mengenyangkan istrinya. Ia tersenyum kecil, sedikit merasa bersalah."Maaf ya, sayang. Mungkin ini lebih cocok untukmu," katanya sambil meletakkan piring itu di depan Ayu.Ayu tersenyum tipis. "Nggak apa-apa, Mas. Aku ngerti kok."“Ya sudah cepat di makan.” Kata Kaelan.Kaelan melirik jam di tangannya, lalu dengan perlahan melepas celemek yang ia kenakan. Dia menghela napas sejenak sebelum menatap Ayu yang mulai menikmati roti panggang buatannya."Setelah makan, kamu istirahat saja ya, Sayang," ucap Kaelan sambil meletakkan celemeknya di meja. "Aku akan kembali tengah malam."Ayu menghentikan gerakannya, mengernyitkan alis. "Memangnha kamu mau ke mana?"Kaelan tersenyum paksa. "Aku ada rapat penting di kantor."“Rapat? Memangnya serigala punya kantor ya?” Tanya Ayu polos.Kaelan tersenyum sambil menggelengkan kepalanya.“Bukan, aku rapat bers
Pagi itu suasana rumah terasa berbeda. Ayu sibuk berkemas, memeriksa satu per satu barang yang akan dibawanya ke Jakarta. Hari ini ia akan ikut bersama suaminya, meninggalkan rumah orang tuanya untuk beberapa waktu.Ratna berdiri di ambang pintu kamar Ayu, memperhatikan putrinya dengan tatapan sedih. Sementara Darto duduk di ruang tamu sambil menunduk, mencoba menahan perasaan yang berkecamuk di dadanya. Darma adik laki-laki Ayu, mondar-mandir di depan kamar, tampak gelisah."Yakin nggak ada yang ketinggalan, Yu?" tanya Ratna, suaranya terdengar serak.Ayu berhenti sejenak, menatap ibunya dengan senyuman lembut. "Insya Allah nggak ada, Bu. Semua udah aku cek berkali-kali."Ratna menghela napas panjang. "Kamu bakal sering pulang, kan?"Ayu mendekat, menggenggam tangan ibunya. "Pasti, Bu. Lagian, Jakarta nggak jauh kok. Cuma beberapa jam aja."Darto yang sedari tadi diam, tiba-tiba angkat bicara. "Tetap aja, Ayu. Rumah ini bakal sepi tanpa kamu. Kita nggak terbiasa kalau kamu nggak di
“Aaaaaaa!” Ayu terbangun dari tidurnya dengan napas tersengal-sengal. Keringat dingin membasahi dahinya, sementara jantungnya berdegup kencang. Tangannya gemetar saat ia mencoba mengatur napas. Kamar yang gelap terasa mencekam setelah mimpi buruk yang baru saja menghantuinya."Ayu, ada apa?" Kaelan langsung terbangun mendengar teriakan Ayu. Matanya menyipit karena baru saja terjaga, tapi kekhawatiran tergambar jelas di wajahnya.Ayu tidak langsung menjawab. Ia hanya bisa menatap lurus ke depan, berusaha menenangkan dirinya. Kaelan semakin cemas dan duduk lebih dekat, meraih tangan Ayu."Kamu mimpi buruk, ya?" tanyanya lembut.Ayu mengangguk pelan, lalu menoleh ke arah Kaelan dengan mata masih dipenuhi rasa takut. "Iya, mimpi aneh dan menyeramkan...""Memangnya kamu mimpi apa? Ceritakan padaku," Kaelan mencoba menenangkan dengan suara pelan.Ayu menghela napas panjang, mencoba menenangkan detak jantungnya yang masih kencang. "Aku... aku mimpi melahirkan 3 bayi setigala sekaligus.”
Ayu menatap Kaelan dengan pandangan kosong, kata-kata yang baru saja diucapkan lelaki itu berputar-putar dalam pikirannya. Dia terdiam, tak tahu harus merespons apa. Di balik sinar matahari sore yang menerobos masuk melalui jendela, wajah Kaelan tampak tegang, penuh dengan beban yang tak terlihat sebelumnya. “Kau tak perlu bertanya. Aku akan menjelaskannya,” ujar Kaelan, suaranya rendah namun penuh keyakinan. Dia melangkah ke arah jendela, menatap ke luar seolah mencari kekuatan dari dunia yang terbentang di depannya. Ayu hanya bisa diam, menunggu penjelasan lebih lanjut yang terasa seperti pisau yang sebentar lagi akan menghujam ke dalam hidupnya. “Bangsaku... kami dalam bahaya besar,” lanjut Kaelan, suaranya terdengar berat. Dia menoleh, matanya yang gelap bertemu dengan Ayu. “Aku harus melakukan sesuatu. Kita….Harus segera memiliki keturunan sebanyak mungkin agar keturunan Wolfric tetap ada di dunia ini.” Ayu merasa dadanya sesak, dia masih mencoba memahami apa yang baru
Ayu terdiam, terpaku dengan kata-kata yang baru saja keluar dari mulut Kaelan. Sebelum sempat menjawab, Kaelan sudah melangkah mendekat. Tanpa bicara lagi, dia menarik Ayu ke dalam dekapannya. “Apa yang kau lakukan?” Tanya Ayu. “Sttt…diamlah!” Jawabnya. Wush! Dalam sekejap, Ayu merasakan tubuh mereka bergerak dengan kecepatan luar biasa, seolah terangkat oleh angin. Dunia di sekeliling mereka berubah menjadi bayangan yang kabur. Detik demi detik berlalu, kini mereka sudah berdiri di depan rumahnya. Ayu mengerjapkan mata, jantungnya masih berdetak kencang. “Kau…bagaimana jika ada yabg melihatnya.” Gerutu Ayu membuat Karlan tersenyum tipis. “Kau tenang saja tidak akan ada yang melihatnya!” Kaelan berjalan masuk lebih dulu, meninggalkan Ayu yang masih menggerutu di belakangnya. "Dasar makhluk jadi-jadian!" seru Ayu, meskipun suaranya sedikit pelan. Kaelan hanya menoleh sebentar dengan senyum tipis, tak menghiraukan keluhan Ayu. "Aku mau mandi," katanya santai, lalu melangk