Kaelan tersenyum senang menatap Ayu, dia menggenggam tangan gadis itu lalu kembali membawanya melesat meninggalkan hutan.Sesaat kemudian, mereka tiba di depan pagar bambu rumah Ayu. Nafas Ayu tersengal, matanya menatap lurus ke depan, di mana ia melihat sosok Danu berdiri di depan pintu rumahnya. Dia tampak ragu, tangannya terangkat setengah, seolah ingin mengetuk pintu namun tidak yakin.“Kang Danu?” Gumam Ayu pelan, bahkan hampir berbisik.Kaelan mengerutkan kening. “Siapa dia?”Ayu berusaha melepas genggaman Kaelan dan melangkah maju, namun Kaelan menahannya.“Apa yang akan kau lakukan?” Tanya Kaelan.“Bukan urusanmu.” Jawabnya sambil melepaskan genggamannya.Kaelan membiarkan Ayu mendekati kekasihnya itu, “sedang apa kang Danu disini?” Tanya Ayu pada Danu.Danu tersentak mendengar suara Ayu, lalu berbalik. Wajahnya yang semula tegang seketika berubah lega saat melihat sang kekasih. "Ayu, kau baik-baik saja?" tanyanya cemas.Danu menghampirinya, tetapi Ayu tampak menjaga jarak.“
Di ruang tamu yang sederhana, Darto duduk dengan wajah yang serius. Di depannya Kaelan duduk dengan santai tanpa ekspresi. Darto memandang Kaelan sejenak sebelum menghela napas dalam-dalam. "Aku senang jika kau benar-benar serius dengan putriku. Tapi keputusan ini bukan hanya di tanganku," ucapnya sambil melirik ke arah putrinya yang duduk di sudut ruangan. "Aku menyerahkan sepenuhnya kepada Ayu. Jika dia setuju, maka aku juga akan menyetujuinya." Kaelan mengangguk dan menoleh ke arah Ayu, matanya menyiratkan sesuatu yang sulit diartikan. Ayu merasakan detak jantungnya semakin cepat, seolah mengerti tatapan Kaelan yang tajam seolah menuntut jawaban dari dirinya. Meski dia ingin menolak, itu hanya akan berakhir sia-sia. Kaelan tidak akan berhenti sampai dia mendapatkan apa yang diinginkannya. "Ayu..." suara Kaelan pelan namun tegas. "Bagaimana?" “Hmm, aku…aku menerima lamaranmu.” Jawab Ayu membuat Kaelan tersenyum senang. “Baiklah, kita akan menikah besok lusa. Apa saja yan
Siang itu, sebuah mobil hitam berhenti di depan gang. Fors seorang pria bertubuh tegap dengan pakaian formal, turun dari mobil sambil membawa sebuah koper besar. Dia melangkah menuju ke rumah sederhana di ujung gang. di mana orang tua Ayu sudah menunggunya di teras rumah. "Selamat siang, Pak, Bu," sapanya sopan sambil menyerahkan koper itu. "Ini amanat dari Kaelan untuk pernikahan besok." Ibu Ayu tersenyum ramah, menerima koper itu dengan tangan gemetar. Koper tersebut berisi uang tunai, jumlah yang tidak kecil, untuk memastikan segala keperluan pernikahan Ayu dan Kaelan sudah tertangani. Awalnya Kaelan ingin pernikahan mereka berlangsung di sebuah gedung mewah di Jakarta, lengkap dengan dekorasi megah. Namun, keluarga Ayu yang lebih menyukai kesederhanaan dan keakraban suasana desa, meminta agar pernikahan itu diadakan di kampung halaman mereka. Kaelan yang tak ingin Ayu lepas dari genggamannya, akhirnya mengalah dan sepenuhnya menyerahkan tanggung jawab dekorasi dan pengat
Hari pernikahan yang dinanti-nantikan Kaelan akhirnya tiba. Pemuda tampan itu melangkah keluar dari mobil mewah yang membawanya ke tempat acara, mengenakan setelan pengantin adat Sunda yang memukau. Beskap putih yang ia kenakan membalut tubuhnya dengan sempurna, dihiasi dengan ornamen emas yang mencerminkan keanggunan tradisi. Kepala Kaelan dihiasi dengan bendo, melengkapi penampilannya yang gagah dan berwibawa. Senyuman tipis terus terukir di wajahnya, namun di balik itu, ada tatapan tajam dan dingin yang hanya bisa dirasakan oleh beberapa orang.Saat Kaelan melangkah menuju pelaminan, suasana menjadi hening sejenak. Bisik-bisik pun mulai terdengar di antara para tamu undangan, terutama dari para tetangga yang tak bisa menahan kekaguman dan juga kecemburuan.“Lihat calonnya Dek Ayu, ganteng sekali pakai baju Sunda,” bisik seorang wanita berusia tiga puluhan, kagum dengan penampilannya yang memukau.“Ratna beruntung dapat menantu seperti dia, tampan dan kaya. Benar-benar sempurna,” s
Seperti pasangan pengantin pada umumnya, Kaelan mengajak Ayu menuju kamar. Perlahan dia mengangkat Ayu dalam gendongannya, mengayunkan langkah menuju kamar sederhana berdinding anyaman bambu. Senyum kecil terulas di wajah Kaelan saat ia menatap Ayu, gadis yang baru saja resmi menjadi istrinya. Namun di balik senyumnya, Kaelan tahu ada ketegangan yang menyelimuti Ayu. Gadis itu terdiam, bibirnya tertutup rapat tanpa sepatah kata pun. Kaelan bisa merasakan bahwa pikiran Ayu melayang-layang, jauh dari kegembiraan pernikahan ini. Ada sesuatu yang mengganjal, sebuah ketakutan yang wajar sebab Ayu tahu, pria yang kini menjadi suaminya bukanlah manusia biasa. Kaelan menurunkan Ayu perlahan ke atas tempat tidur, membiarkan keheningan melingkupi mereka. “Akhirnya, kita bisa melakukannya juga.” Bisik Kalean membuat Ayu membulatkan matanya. “A-apa maksudmu?” Tanyanya. Kaelan tersenyum penuh misteri, sorot matanya berubah menjadi sesuatu yang tidak mudah ditebak oleh Ayu. Tanpa tergesa-
Wush…Kaelan melesat cepat menuju dalam hutan Halimun yang gelap. Tubuhnya yang kekar melintasi pepohonan dengan liar, setiap langkahnya tak bersuara di bawah bayang-bayang malam. Cahaya rembulan samar-samar menembus celah-celah dedaunan, menyoroti bulu Abu-abu muda yang menutupi tubuhnya. Angin dingin berhembus, membawa aroma tanah lembap dan dedaunan basah.Kaelan dengan sosok serigalanya berhenti. Matanya menyala terang, dua bola cahaya kuning menembus kegelapan. Dia mendongakkan kepalanya ke langit, menatap bulan purnama yang menggantung tinggi. Dengan napas berat, dia melolong.“Auuuu…Auuuuu…”Suara itu menggema, menembus keheningan malam.Beberapa detik kemudian, dia mulai berubah. Tubuh serigalanya yang besar dan kekar perlahan menyusut. Bulu abu-abu muda yang menutupi tubuhnya hilang, digantikan kulit manusia yang berotot. Wujud serigala itu lenyap, berubah menjadi sosok pemuda yang tampan. Meski tubuhnya kembali normal, ada sesuatu yang masih liar dan buas dalam dirinya. Ma
Matahari sudah mulai meninggi, sinarnya yang hangat mulai menyinari halaman rumah sederhana itu. Di dapur Ayu sibuk membantu ibunya menyiapkan sarapan. Aroma nasi goreng dan telur yang digoreng memenuhi udara. Ayu mengambil piring-piring dari rak, menyerahkannya pada ibunya yang tengah membalik telur di wajan."Yu, mau telur ceplok atau dadar?" tanya Ratna sambil tersenyum, wajahnya lembut dengan kerutan usia yang penuh kasih."Dadar aja, Bu. Bapak juga lebih suka telur dadar dari pada telur ceplok," jawab Ayu sambil menyeka tangannya yang sedikit berminyak.Sedangkan, di luar rumah Kaelan duduk bersama mertuanya di bangku kayu yang sudah tua. Secangkir kopi hitam mengepul di tangannya, menambah kehangatan pagi yang tenang. Sang mertua, dengan rambut yang sudah memutih duduk di sebelahnya, memandang jauh ke arah kebun kecil di depan rumah."Nak, kapan rencananya kalian balik ke Jakarta?" tanya Darto memecah keheningan.Kaelan menarik napas panjang sebelum menjawab, "Secepatnya, Pak.
Ayu terdiam, terpaku dengan kata-kata yang baru saja keluar dari mulut Kaelan. Sebelum sempat menjawab, Kaelan sudah melangkah mendekat. Tanpa bicara lagi, dia menarik Ayu ke dalam dekapannya. “Apa yang kau lakukan?” Tanya Ayu. “Sttt…diamlah!” Jawabnya. Wush! Dalam sekejap, Ayu merasakan tubuh mereka bergerak dengan kecepatan luar biasa, seolah terangkat oleh angin. Dunia di sekeliling mereka berubah menjadi bayangan yang kabur. Detik demi detik berlalu, kini mereka sudah berdiri di depan rumahnya. Ayu mengerjapkan mata, jantungnya masih berdetak kencang. “Kau…bagaimana jika ada yabg melihatnya.” Gerutu Ayu membuat Karlan tersenyum tipis. “Kau tenang saja tidak akan ada yang melihatnya!” Kaelan berjalan masuk lebih dulu, meninggalkan Ayu yang masih menggerutu di belakangnya. "Dasar makhluk jadi-jadian!" seru Ayu, meskipun suaranya sedikit pelan. Kaelan hanya menoleh sebentar dengan senyum tipis, tak menghiraukan keluhan Ayu. "Aku mau mandi," katanya santai, lalu melangk
Malam itu Kaelan melangkah perlahan di bawah cahaya rembulan yang samar, mencoba menghindari setiap bunyi ranting atau dedaunan kering yang bisa membongkar keberadaannya. Di balik jendela kamar, istrinya tampak sedang berbicara dengan ibunya. “Huh, untung saja aku bergerak cepat.” Gumamnya pelan. Dia melesat mengitari rumah mertuanya hingga berhenti tepat di depan pintu. Dengan perlahan dia mengetuk pintu tersebut. Tok, tok, tok! Sementara itu di dalam Ayu dan ibunya menoleh saat mendengar ketukan pintu. “Bu, sepertinya itu Mas Kaelan.” Ucap Ayu. “Kamu sudah berbaikan dengan suamimu yu?” Tanya sang ibu. “Hmm, iya bu. Sebenarnya itu hanya kesalahpahaman.” Ujar Ayu beralasan. “Ya sudah, cepat bukakan pintu yu. Kasian suamimu.” Ucap sang ibu dengan lembut. Ayu bergegas menuju ruang tamu untuk membukakan pintu. Sesampainya di depan pintu, Ayu menarik napas panjang sebelum akhirnya memutar gagang pintu. Begitu pintu terbuka, Kaelan langsung menerobos masuk tanpa berkata sepatah k
Malam itu langit tampak gelap gulita, tidak ada bintang satupun menghiasi langit Jakarta. Kawlan tampak berdiri di depan jendela besar yang menghadap ke arah kota besar. Setelah pertengkaran dengan Ayu di memutuskan menenangkan diri di Markas bangsa serigala. Di sisi lain Leo tampak sibuk dengan benda pipih yang baru di belikan Fors. “Kae, ini bagaimana menggunkannya?” Tanyanya. Pria tampan itu menghiraukan seruan sahabatnya, tatapannya kosong. “Kae…tolong lah! Aku tidak mengerti menggunakan benda canggih ini.” Gerutunya sambil mengangkat ponsel yang ada di tangannya. Kaelan berbalik, tatapannya tajam seolah Leo telah mengganggunya. “Kau sangat berisik! Aku pergi,” katanya yang langsung nyelonong begitu saja. “Kau mau kemana kae?” Teriaknya lalu kembali fokus pada benda yang di pegangnya. Dia terus menggerutu sambil menatap layar ponselnya. Matanya terpaku pada beberapa ikon warna-warni yang bergerak di layar, merasa sedikit kebingungan dan frustrasi. Dengan ragu-ragu, ia me
"Jadi, maksudmu aku harus meninggalkan hutan dan hidup di antara manusia seperti yang kau lakukan?" Leo menatap Kaelan dengan sorot penuh keraguan. "Aku tidak sekuat itu, Kaelan. Menyaksikan bangsa kita dibantai, lalu hidup berdampingan dengan para pembunuh itu... bukan hal yang mudah." Kaelan mengangguk pelan, memahami keraguan sahabatnya. "Aku tahu, Leo. Tapi kita tidak punya pilihan lain. Dunia ini telah berubah, dan kita harus menyesuaikan diri atau punah. Aku tidak bisa membiarkan kenangan masa lalu menjadi penghalang. Kita butuh keturunan yang kuat untuk melanjutkan garis keturunan bangsa serigala." Leo terdiam tampak berpikir dejenak sebelum kembali berargumen. "Bagaimana jika mereka tahu kita masih hidup, Kaelan? Jika manusia tahu keberadaan kita… apa yang akan terjadi?" Kaelan menarik napas dalam-dalam, lalu menatap sahabatnya dengan tegas. "Itu risiko yang harus kita ambil. Kita tidak bisa bersembunyi selamanya. Selama kita bisa beradaptasi, tidak ada yang perlu kita
Malam itu Kaelan duduk di ruang keluarga sambil membaca laporan pekerjaan di laptopnya. Sedangkan Ayu di sebelahnya sambil mengelus perutnya yang masih rata. “Mas…” panggil Ayu pelan. Kaelan menoleh, memasang senyum lembut. "Ada apa, Sayang?" Ayu menatapnya dengan wajah polos tapi penuh harap. "Aku kayaknya lagi pengen sesuatu." Kaelan mengangkat alis, lalu menyimpan laptopnya. “Pengen apa? Bilang saja, biar aku carikan.” Ayu menggigit bibirnya menunduk sedikit malu. "Aku pengen makan mangga muda, Mas... yang asam, terus dicocol sama sambal rujak yang pedesnya." Kaelan menahan tawa kecil mengingat kejadian saat ia mencoba sambal ijo untuk pertama kalinya.“Mangga muda ya? Hmm, sebentar aku coba lihat dulu di kulkas. Kalau nggak ada aku akan cari di luar.” Ayu tersenyum lebar, matanya berbinar penuh harapan. “Serius, Mas? Terima kasih ya!” Kaelan mengangguk lalu beranjak menuju dapur untuk memeriksa kulkas. Namun, setelah membuka pintu kulkas dan memeriksa isinya, ia hanya mend
Kaelan kembali membawa piring dengan sepotong roti panggang berisi telur ceplok dan sayuran segar, memang terlihat biasa, tapi setidaknya bisa mengenyangkan istrinya. Ia tersenyum kecil, sedikit merasa bersalah."Maaf ya, sayang. Mungkin ini lebih cocok untukmu," katanya sambil meletakkan piring itu di depan Ayu.Ayu tersenyum tipis. "Nggak apa-apa, Mas. Aku ngerti kok."“Ya sudah cepat di makan.” Kata Kaelan.Kaelan melirik jam di tangannya, lalu dengan perlahan melepas celemek yang ia kenakan. Dia menghela napas sejenak sebelum menatap Ayu yang mulai menikmati roti panggang buatannya."Setelah makan, kamu istirahat saja ya, Sayang," ucap Kaelan sambil meletakkan celemeknya di meja. "Aku akan kembali tengah malam."Ayu menghentikan gerakannya, mengernyitkan alis. "Memangnha kamu mau ke mana?"Kaelan tersenyum paksa. "Aku ada rapat penting di kantor."“Rapat? Memangnya serigala punya kantor ya?” Tanya Ayu polos.Kaelan tersenyum sambil menggelengkan kepalanya.“Bukan, aku rapat bers
Pagi itu suasana rumah terasa berbeda. Ayu sibuk berkemas, memeriksa satu per satu barang yang akan dibawanya ke Jakarta. Hari ini ia akan ikut bersama suaminya, meninggalkan rumah orang tuanya untuk beberapa waktu.Ratna berdiri di ambang pintu kamar Ayu, memperhatikan putrinya dengan tatapan sedih. Sementara Darto duduk di ruang tamu sambil menunduk, mencoba menahan perasaan yang berkecamuk di dadanya. Darma adik laki-laki Ayu, mondar-mandir di depan kamar, tampak gelisah."Yakin nggak ada yang ketinggalan, Yu?" tanya Ratna, suaranya terdengar serak.Ayu berhenti sejenak, menatap ibunya dengan senyuman lembut. "Insya Allah nggak ada, Bu. Semua udah aku cek berkali-kali."Ratna menghela napas panjang. "Kamu bakal sering pulang, kan?"Ayu mendekat, menggenggam tangan ibunya. "Pasti, Bu. Lagian, Jakarta nggak jauh kok. Cuma beberapa jam aja."Darto yang sedari tadi diam, tiba-tiba angkat bicara. "Tetap aja, Ayu. Rumah ini bakal sepi tanpa kamu. Kita nggak terbiasa kalau kamu nggak di
“Aaaaaaa!” Ayu terbangun dari tidurnya dengan napas tersengal-sengal. Keringat dingin membasahi dahinya, sementara jantungnya berdegup kencang. Tangannya gemetar saat ia mencoba mengatur napas. Kamar yang gelap terasa mencekam setelah mimpi buruk yang baru saja menghantuinya."Ayu, ada apa?" Kaelan langsung terbangun mendengar teriakan Ayu. Matanya menyipit karena baru saja terjaga, tapi kekhawatiran tergambar jelas di wajahnya.Ayu tidak langsung menjawab. Ia hanya bisa menatap lurus ke depan, berusaha menenangkan dirinya. Kaelan semakin cemas dan duduk lebih dekat, meraih tangan Ayu."Kamu mimpi buruk, ya?" tanyanya lembut.Ayu mengangguk pelan, lalu menoleh ke arah Kaelan dengan mata masih dipenuhi rasa takut. "Iya, mimpi aneh dan menyeramkan...""Memangnya kamu mimpi apa? Ceritakan padaku," Kaelan mencoba menenangkan dengan suara pelan.Ayu menghela napas panjang, mencoba menenangkan detak jantungnya yang masih kencang. "Aku... aku mimpi melahirkan 3 bayi setigala sekaligus.”
Ayu menatap Kaelan dengan pandangan kosong, kata-kata yang baru saja diucapkan lelaki itu berputar-putar dalam pikirannya. Dia terdiam, tak tahu harus merespons apa. Di balik sinar matahari sore yang menerobos masuk melalui jendela, wajah Kaelan tampak tegang, penuh dengan beban yang tak terlihat sebelumnya. “Kau tak perlu bertanya. Aku akan menjelaskannya,” ujar Kaelan, suaranya rendah namun penuh keyakinan. Dia melangkah ke arah jendela, menatap ke luar seolah mencari kekuatan dari dunia yang terbentang di depannya. Ayu hanya bisa diam, menunggu penjelasan lebih lanjut yang terasa seperti pisau yang sebentar lagi akan menghujam ke dalam hidupnya. “Bangsaku... kami dalam bahaya besar,” lanjut Kaelan, suaranya terdengar berat. Dia menoleh, matanya yang gelap bertemu dengan Ayu. “Aku harus melakukan sesuatu. Kita….Harus segera memiliki keturunan sebanyak mungkin agar keturunan Wolfric tetap ada di dunia ini.” Ayu merasa dadanya sesak, dia masih mencoba memahami apa yang baru
Ayu terdiam, terpaku dengan kata-kata yang baru saja keluar dari mulut Kaelan. Sebelum sempat menjawab, Kaelan sudah melangkah mendekat. Tanpa bicara lagi, dia menarik Ayu ke dalam dekapannya. “Apa yang kau lakukan?” Tanya Ayu. “Sttt…diamlah!” Jawabnya. Wush! Dalam sekejap, Ayu merasakan tubuh mereka bergerak dengan kecepatan luar biasa, seolah terangkat oleh angin. Dunia di sekeliling mereka berubah menjadi bayangan yang kabur. Detik demi detik berlalu, kini mereka sudah berdiri di depan rumahnya. Ayu mengerjapkan mata, jantungnya masih berdetak kencang. “Kau…bagaimana jika ada yabg melihatnya.” Gerutu Ayu membuat Karlan tersenyum tipis. “Kau tenang saja tidak akan ada yang melihatnya!” Kaelan berjalan masuk lebih dulu, meninggalkan Ayu yang masih menggerutu di belakangnya. "Dasar makhluk jadi-jadian!" seru Ayu, meskipun suaranya sedikit pelan. Kaelan hanya menoleh sebentar dengan senyum tipis, tak menghiraukan keluhan Ayu. "Aku mau mandi," katanya santai, lalu melangk