Share

Bagian 6

"Aku ingat, Fors," jawab Kaelan dengan tenang setelah membayangkapan apa yang jadi seribu tahun yang lalu. "Bahkan aku ingat jelas bagaimana Ayahku mati di tangan para manusia laknat itu. Aku akan menghasilkan banyak ketirunan dari bangsa manusia. Selama gadis ini ada di bawah kendaliku, semuanya akan berjalan sesuai rencana."

Fors menghela napas dalam-dalam, jelas merasakan beratnya situasi. "Kau harus mempertimbangkan dengan matang, Kaelan. Gadis itu... dia bukan sekadar manusia. Jika sesuatu terjadi padanya dan keluarganya mengetahui, itu bisa memicu konflik yang lebih besar. Kita harus berhati-hati."

Kaelan menatap sahabatnya dengan mata penuh keyakinan. "Aku tahu risikonya, Fors. Tapi aku sudah memutuskan. Dia akan menjadi bagian dari hidupku, bagian dari rencana kita."

“Terserah padamu saja. Aku hanya takut para manusia akan mengetahui keberadaan kita dan membantai bangsa kita lagi.” Ujarnya sebelum pergi meninggalkan Kaelan.

Keesokan harinya Ayu mengerjapkan matanya, mencoba mengusir rasa pusing yang menguasai kepalanya.

Ketika pandangannya mulai jelas, dia terkejut melihat dirinya berada di sebuah kamar mewah, yang terasa asing dan tak terjangkau oleh kehidupannya sehari-hari. Kaca besar di samping tempat tidur memperlihatkan pemandangan kota metropolitan yang padat, gedung-gedung tinggi menjulang, dan jalanan yang dipenuhi kendaraan yang melaju tanpa henti.

“Apa... di mana aku? Apa yang terjadi padaku?” gumamnya pelan, suara seraknya hampir tak terdengar.

Ia berusaha mengingat kejadian terakhir sebelum pingsan, tetapi hanya fragmen-fragmen samar yang muncul di benaknya. Dia ingat berjalan di hutan, mencari jalan pulang... dan kemudian, kegelapan.

Langkah kaki terdengar mendekat dan Ayu langsung waspada. Pintu terbuka perlahan, menampilkan sosok Kaelan yang berjalan masuk dengan tatapan penuh arti. Senyum tipis menghiasi wajahnya.

"Selamat pagi," sapa Kaelan dengan suara rendah, hampir terdengar menenangkan. "Kau sudah bangun."

Ayu terlonjak, kaget merapatkan diri ke ujung tempat tidur, jantungnya berdegup kencang. "Kau? Apa yang kau lakukan padaku? Di mana aku?"

Kaelan berhenti beberapa langkah dari tempat tidur, menatapnya dengan penuh kesabaran. "Kau aman di sini. Tak ada yang akan menyakitimu. Namaku Kaelan, dan kau ada di tempatku."

"Tempatmu?" Ayu mengulang dengan bingung. "Apa maksudmu? Aku tidak mengenalmu! Mengapa kau membawaku ke sini?"

Kaelan mendekat, duduk di kursi di samping tempat tidur. "Kau mungkin tidak mengenalku, tapi aku benar-benar tertarik padamu. Kau... spesial. Dan aku membutuhkanmu untuk sebuah tujuan besar."

Ayu semakin kebingungan, ketakutan mulai merasuki dirinya. "Tujuan besar? Apa maksudmu? Aku ingin pulang. Kumohon, biarkan aku pergi!"

Kaelan menggelengkan kepala pelan, “Sayangnya, kau tidak bisa pergi.”

Ayu berusaha bangkit dari tempat tidur, tapi tubuhnya masih lemah. "Tidak! Kau tidak berhak menahanku di sini! Aku ingin pulang ke keluargaku!"

Kaelan menatap Ayu yang berusaha bangkit, dengan senyum yang perlahan menghilang dari wajahnya. Dia tahu gadis itu akan mencoba melarikan diri dan dia tidak bisa membiarkan hal itu terjadi.

Ayu terhuyung, tapi tetap memaksakan diri berdiri. Pandangan matanya tertuju ke arah pintu.

Ketika Ayu mencapai pintu dan berusaha membukanya, Kaelan akhirnya mengulurkan tangannya. Dalam sekejap, energi tak terlihat melingkupi ruangan, menyelubungi Ayu dengan kekuatan yang tak bisa dilihat mata manusia.

Ayu tiba-tiba merasakan tubuhnya melemah, napasnya tersengal, dan pandangannya mulai kabur. Dia terhuyung-huyung, merasa seluruh tubuhnya ditarik kembali ke tempat tidur, seperti beban berat menindihnya.

Kaelan tetap diam, matanya tertuju pada tubuh Ayu yang perlahan terbaring di lantai. Dalam beberapa detik, tubuhnya berhenti bergerak, pingsan lagi dalam kendali penuh Kaelan.

Dia mendekati tubuh Ayu, mengangkatnya dengan mudah dan menempatkannya kembali ke tempat tidur dengan hati-hati.

"Kau tidak bisa pergi begitu saja sebelum aku tahu keistimewaan aroma tubuhmu itu."

Dengan satu gerakan tangan, dia memanggil Fors yang sudah menunggu di balik pintu. Fors masuk dengan tatapan prihatin, tapi tak berkata apa-apa.

"Jaga dia untuk sementara," perintah Kaelan tegas. "Jika dia bangun, suruh temui aku di ruang makan."

Fors mengangguk, meskipun ekspresi di wajahnya masih menunjukkan keraguan. "Kau tahu ini akan semakin rumit, Kaelan. Semakin lama kau menahannya, semakin besar risiko yang kita hadapi."

“Aku tidak peduli!” Jawabnya dingin.

Beberapa saat kemudian, pengaruh sihir Kaelan hilang. Ayu kembali sadar dan melihat sosok pria asing berada disana.

“Kau, siapa?” Tanyanya.

“Kau tidak perlu tahu siapa aku, sebaiknya kau bergegas bangun karena tuan Kaelan sudah menunggunu di ruang makan.” Ujar Fors tanpa ekspresi.

Ayu menelan ludah, tubuhnya masih lemah dan pikirannya penuh kebingungan. Namun, dia tahu tidak ada gunanya melawan Fors, pria dingin yang berdiri di hadapannya. Dengan langkah gontai, dia mengikuti Fors keluar dari kamar mewah tersebut.

Mereka berjalan menyusuri lorong yang panjang, dihiasi perabotan mahal dan hiasan dinding yang menunjukkan betapa megahnya tempat ini. Setiap langkah terasa semakin berat bagi Ayu, rasa takutnya semakin membuncah. Dia tidak tahu di mana dirinya berada atau apa yang sebenarnya diinginkan Kaelan darinya.

Setibanya di ruang makan, Ayu terpaku melihat pemandangan di depannya. Kaelan duduk dengan tenang di ujung meja panjang yang megah, tatapannya tertuju pada sepotong daging mentah yang masih tampak berdarah.

Dia memotongnya dengan pisau dengan perlahan, kemudian mengangkat potongan daging itu dengan garpu dan menggigitnya dengan tenang, darah segar menetes di bibirnya.

Wajah tampannya tampak tak terganggu sedikit pun, seolah-olah yang dia santap adalah makanan biasa.

Ayu menahan napas, matanya membelalak ngeri. "Apa... apa yang dia lakukan?" suaranya bergetar, hampir tak mampu menutupi ketakutannya.

Kaelan menoleh pelan ke arahnya, seolah baru menyadari keberadaan Ayu. Senyum tipis terbentuk di bibirnya yang masih ternoda darah. "Ah, kau sudah datang. Silakan duduk, Ayu."

Ayu tetap berdiri di tempatnya, tubuhnya gemetar. "Aku tidak mengerti... apa yang kau inginkan dariku?"

Kaelan meletakkan potongan dagingnya di atas piring, lalu menyeka mulutnya dengan serbet. "Kau akan segera tahu. Tapi untuk sekarang, duduklah. Makanlah sesuatu. Aku tidak ingin kau kelaparan."

Ayu merasa ragu, hatinya berdebar kencang. Namun, dia tahu tidak ada gunanya menolak. Dengan sangat terpaksa, dia berjalan ke arah meja dan duduk di kursi di seberang Kaelan. Tangannya gemetar saat dia menatap piring di depannya, yang berisi makanan yang jauh lebih normal yaitu buah-buahan segar, roti, dan keju.

Kaelan memandang Ayu dengan sorot mata penuh arti. "Kau mungkin merasa bingung dan takut sekarang, tapi jangan khawatir. Aku tidak akan menyakitimu... selama kau mematuhi perintahku."

Ayu menelan ludah, merasa semakin terperangkap. "Kau... siapa sebenarnya? Dan apa yang kau inginkan dariku?"

Kaelan bersandar di kursinya, menatap Ayu dengan intens. "Sudah aku katakan, aku Kaelan. Dan aku ingin kau menikah denganku.” Ucapnya dengan tiba-tiba.

Ayu terbelalak kaget, mulutnya terbuka seakan ingin mengatakan sesuatu tapi tidak ada suara yang keluar.

Setelah beberapa detik yang terasa seperti selamanya, ia akhirnya berkata, "Apa? Menikah denganmu? Tidak, itu tidak mungkin! Aku sudah memiliki kekasih!"

Kaelan mengangkat alis, sedikit terkejut dengan respons cepatnya. "Kekasih?" gumamnya, suaranya rendah namun dingin. "Aku tidak peduli. Kau akan menikahimu."

Ayu menggelengkan kepala, tubuhnya gemetar. "Tidak! Aku tidak mau menikah denganmu. Dan lagian..." Suaranya semakin lemah saat ia melirik piring Kaelan yang masih ada sisa daging mentah. "Kau... kau aneh. Aku melihatmu memakan daging mentah. Kau bukan orang biasa... Apakah kau... kau mempraktikkan ilmu hitam seperti dukun?"

Kaelan tertawa kecil, suaranya dalam dan memikat namun membuat bulu kuduk Ayu meremang.

"Ilmu hitam? Tidak, Ayu. Aku bukan dukun!"

“Lalu kau apa? Manusia serigala?” Celetuk Ayu secara asal membuat pria di hadapannya terdiam.

“Apa kau berpikir seperti itu?” Tanyanya.

“Tidak! Kau aneh,” ungkap Ayu sembari melirik ke arah buah anggur hijau di hapannya.

Melihat reaksi Ayu yang seperti itu membuatnya tersenyum, “Jika kau lapar, makanlah.”

Ayu menatap anggur hijau di depannya, ragu untuk menyentuhnya. Di desanya, buah seperti ini sangat langka dan biasanya hanya bisa dilihat dari kejauhan di pasar. Bukan karena tidak ada, tapi harganya terlalu mahal untuk orang seperti dirinya.

Perutnya yang kosong dan rasa penasaran akhirnya mengalahkan ketakutan yang menggantung di pikirannya.

Dengan tangan gemetar, ia mengambil sebutir anggur dan perlahan memasukkannya ke dalam mulutnya. Rasa manis dan segar langsung memenuhi lidahnya, sejenak membuatnya lupa dengan situasi mengerikan yang tengah dihadapinya. Matanya terpejam menikmati kelezatan sederhana itu, sesuatu yang tak pernah ia rasakan sebelumnya.

Kaelan memperhatikan Ayu dengan senyum tipis, senang melihat reaksinya. "Nikmat, bukan?" tanyanya dengan suara lembut yang justru membuat Ayu semakin tak nyaman.

Ayu membuka matanya, menatap Kaelan dengan campuran rasa syukur dan kebingungan. "Kenapa kau menatap ku seperti itu?”

“Memangnya aku tidak boleh menatap calon istriku sendiri?” Celetuknya membuat Ayu terdiam.

“Apa yang kau bicarakan! Sudah aku katakan aku memiliki kekasih, aku tidak akan menikah denganmu.” Tegas Ayu sambil memakan buah anggur.

“Tinggalkan kekasihmu itu dan menikahlah dengaku. Aku bisa memberikan apa saja untukmu. Uang, emas, berlian bahkan keturunan yang tampan.” Kata Kaelan membuat Ayu tertawa.

“Hahaha! Kau aneh. Dengar yah tuan Kaelan yang terhormat. Kita tidak saling mencintai bahkan tak saling kenal. Aku tahu kau kaya raya, tapi aku tidak bisa. Aku sudah memiliki kekasih dan aku tidak bisa meninggalkannya.” Jelas Ayu.

“Sudah aku katakan aku tidak peduli, aku akan tetap menikahimu. Jika kau setuju aku akan mengantarkanmu pulang sekarang.”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status