"Aku ingat, Fors," jawab Kaelan dengan tenang setelah membayangkapan apa yang jadi seribu tahun yang lalu. "Bahkan aku ingat jelas bagaimana Ayahku mati di tangan para manusia laknat itu. Aku akan menghasilkan banyak ketirunan dari bangsa manusia. Selama gadis ini ada di bawah kendaliku, semuanya akan berjalan sesuai rencana."
Fors menghela napas dalam-dalam, jelas merasakan beratnya situasi. "Kau harus mempertimbangkan dengan matang, Kaelan. Gadis itu... dia bukan sekadar manusia. Jika sesuatu terjadi padanya dan keluarganya mengetahui, itu bisa memicu konflik yang lebih besar. Kita harus berhati-hati." Kaelan menatap sahabatnya dengan mata penuh keyakinan. "Aku tahu risikonya, Fors. Tapi aku sudah memutuskan. Dia akan menjadi bagian dari hidupku, bagian dari rencana kita." “Terserah padamu saja. Aku hanya takut para manusia akan mengetahui keberadaan kita dan membantai bangsa kita lagi.” Ujarnya sebelum pergi meninggalkan Kaelan. Keesokan harinya Ayu mengerjapkan matanya, mencoba mengusir rasa pusing yang menguasai kepalanya. Ketika pandangannya mulai jelas, dia terkejut melihat dirinya berada di sebuah kamar mewah, yang terasa asing dan tak terjangkau oleh kehidupannya sehari-hari. Kaca besar di samping tempat tidur memperlihatkan pemandangan kota metropolitan yang padat, gedung-gedung tinggi menjulang, dan jalanan yang dipenuhi kendaraan yang melaju tanpa henti. “Apa... di mana aku? Apa yang terjadi padaku?” gumamnya pelan, suara seraknya hampir tak terdengar. Ia berusaha mengingat kejadian terakhir sebelum pingsan, tetapi hanya fragmen-fragmen samar yang muncul di benaknya. Dia ingat berjalan di hutan, mencari jalan pulang... dan kemudian, kegelapan. Langkah kaki terdengar mendekat dan Ayu langsung waspada. Pintu terbuka perlahan, menampilkan sosok Kaelan yang berjalan masuk dengan tatapan penuh arti. Senyum tipis menghiasi wajahnya. "Selamat pagi," sapa Kaelan dengan suara rendah, hampir terdengar menenangkan. "Kau sudah bangun." Ayu terlonjak, kaget merapatkan diri ke ujung tempat tidur, jantungnya berdegup kencang. "Kau? Apa yang kau lakukan padaku? Di mana aku?" Kaelan berhenti beberapa langkah dari tempat tidur, menatapnya dengan penuh kesabaran. "Kau aman di sini. Tak ada yang akan menyakitimu. Namaku Kaelan, dan kau ada di tempatku." "Tempatmu?" Ayu mengulang dengan bingung. "Apa maksudmu? Aku tidak mengenalmu! Mengapa kau membawaku ke sini?" Kaelan mendekat, duduk di kursi di samping tempat tidur. "Kau mungkin tidak mengenalku, tapi aku benar-benar tertarik padamu. Kau... spesial. Dan aku membutuhkanmu untuk sebuah tujuan besar." Ayu semakin kebingungan, ketakutan mulai merasuki dirinya. "Tujuan besar? Apa maksudmu? Aku ingin pulang. Kumohon, biarkan aku pergi!" Kaelan menggelengkan kepala pelan, “Sayangnya, kau tidak bisa pergi.” Ayu berusaha bangkit dari tempat tidur, tapi tubuhnya masih lemah. "Tidak! Kau tidak berhak menahanku di sini! Aku ingin pulang ke keluargaku!" Kaelan menatap Ayu yang berusaha bangkit, dengan senyum yang perlahan menghilang dari wajahnya. Dia tahu gadis itu akan mencoba melarikan diri dan dia tidak bisa membiarkan hal itu terjadi. Ayu terhuyung, tapi tetap memaksakan diri berdiri. Pandangan matanya tertuju ke arah pintu. Ketika Ayu mencapai pintu dan berusaha membukanya, Kaelan akhirnya mengulurkan tangannya. Dalam sekejap, energi tak terlihat melingkupi ruangan, menyelubungi Ayu dengan kekuatan yang tak bisa dilihat mata manusia. Ayu tiba-tiba merasakan tubuhnya melemah, napasnya tersengal, dan pandangannya mulai kabur. Dia terhuyung-huyung, merasa seluruh tubuhnya ditarik kembali ke tempat tidur, seperti beban berat menindihnya. Kaelan tetap diam, matanya tertuju pada tubuh Ayu yang perlahan terbaring di lantai. Dalam beberapa detik, tubuhnya berhenti bergerak, pingsan lagi dalam kendali penuh Kaelan. Dia mendekati tubuh Ayu, mengangkatnya dengan mudah dan menempatkannya kembali ke tempat tidur dengan hati-hati. "Kau tidak bisa pergi begitu saja sebelum aku tahu keistimewaan aroma tubuhmu itu." Dengan satu gerakan tangan, dia memanggil Fors yang sudah menunggu di balik pintu. Fors masuk dengan tatapan prihatin, tapi tak berkata apa-apa. "Jaga dia untuk sementara," perintah Kaelan tegas. "Jika dia bangun, suruh temui aku di ruang makan." Fors mengangguk, meskipun ekspresi di wajahnya masih menunjukkan keraguan. "Kau tahu ini akan semakin rumit, Kaelan. Semakin lama kau menahannya, semakin besar risiko yang kita hadapi." “Aku tidak peduli!” Jawabnya dingin. Beberapa saat kemudian, pengaruh sihir Kaelan hilang. Ayu kembali sadar dan melihat sosok pria asing berada disana. “Kau, siapa?” Tanyanya. “Kau tidak perlu tahu siapa aku, sebaiknya kau bergegas bangun karena tuan Kaelan sudah menunggunu di ruang makan.” Ujar Fors tanpa ekspresi. Ayu menelan ludah, tubuhnya masih lemah dan pikirannya penuh kebingungan. Namun, dia tahu tidak ada gunanya melawan Fors, pria dingin yang berdiri di hadapannya. Dengan langkah gontai, dia mengikuti Fors keluar dari kamar mewah tersebut. Mereka berjalan menyusuri lorong yang panjang, dihiasi perabotan mahal dan hiasan dinding yang menunjukkan betapa megahnya tempat ini. Setiap langkah terasa semakin berat bagi Ayu, rasa takutnya semakin membuncah. Dia tidak tahu di mana dirinya berada atau apa yang sebenarnya diinginkan Kaelan darinya. Setibanya di ruang makan, Ayu terpaku melihat pemandangan di depannya. Kaelan duduk dengan tenang di ujung meja panjang yang megah, tatapannya tertuju pada sepotong daging mentah yang masih tampak berdarah. Dia memotongnya dengan pisau dengan perlahan, kemudian mengangkat potongan daging itu dengan garpu dan menggigitnya dengan tenang, darah segar menetes di bibirnya. Wajah tampannya tampak tak terganggu sedikit pun, seolah-olah yang dia santap adalah makanan biasa. Ayu menahan napas, matanya membelalak ngeri. "Apa... apa yang dia lakukan?" suaranya bergetar, hampir tak mampu menutupi ketakutannya. Kaelan menoleh pelan ke arahnya, seolah baru menyadari keberadaan Ayu. Senyum tipis terbentuk di bibirnya yang masih ternoda darah. "Ah, kau sudah datang. Silakan duduk, Ayu." Ayu tetap berdiri di tempatnya, tubuhnya gemetar. "Aku tidak mengerti... apa yang kau inginkan dariku?" Kaelan meletakkan potongan dagingnya di atas piring, lalu menyeka mulutnya dengan serbet. "Kau akan segera tahu. Tapi untuk sekarang, duduklah. Makanlah sesuatu. Aku tidak ingin kau kelaparan." Ayu merasa ragu, hatinya berdebar kencang. Namun, dia tahu tidak ada gunanya menolak. Dengan sangat terpaksa, dia berjalan ke arah meja dan duduk di kursi di seberang Kaelan. Tangannya gemetar saat dia menatap piring di depannya, yang berisi makanan yang jauh lebih normal yaitu buah-buahan segar, roti, dan keju. Kaelan memandang Ayu dengan sorot mata penuh arti. "Kau mungkin merasa bingung dan takut sekarang, tapi jangan khawatir. Aku tidak akan menyakitimu... selama kau mematuhi perintahku." Ayu menelan ludah, merasa semakin terperangkap. "Kau... siapa sebenarnya? Dan apa yang kau inginkan dariku?" Kaelan bersandar di kursinya, menatap Ayu dengan intens. "Sudah aku katakan, aku Kaelan. Dan aku ingin kau menikah denganku.” Ucapnya dengan tiba-tiba. Ayu terbelalak kaget, mulutnya terbuka seakan ingin mengatakan sesuatu tapi tidak ada suara yang keluar. Setelah beberapa detik yang terasa seperti selamanya, ia akhirnya berkata, "Apa? Menikah denganmu? Tidak, itu tidak mungkin! Aku sudah memiliki kekasih!" Kaelan mengangkat alis, sedikit terkejut dengan respons cepatnya. "Kekasih?" gumamnya, suaranya rendah namun dingin. "Aku tidak peduli. Kau akan menikahimu." Ayu menggelengkan kepala, tubuhnya gemetar. "Tidak! Aku tidak mau menikah denganmu. Dan lagian..." Suaranya semakin lemah saat ia melirik piring Kaelan yang masih ada sisa daging mentah. "Kau... kau aneh. Aku melihatmu memakan daging mentah. Kau bukan orang biasa... Apakah kau... kau mempraktikkan ilmu hitam seperti dukun?" Kaelan tertawa kecil, suaranya dalam dan memikat namun membuat bulu kuduk Ayu meremang. "Ilmu hitam? Tidak, Ayu. Aku bukan dukun!" “Lalu kau apa? Manusia serigala?” Celetuk Ayu secara asal membuat pria di hadapannya terdiam. “Apa kau berpikir seperti itu?” Tanyanya. “Tidak! Kau aneh,” ungkap Ayu sembari melirik ke arah buah anggur hijau di hapannya. Melihat reaksi Ayu yang seperti itu membuatnya tersenyum, “Jika kau lapar, makanlah.” Ayu menatap anggur hijau di depannya, ragu untuk menyentuhnya. Di desanya, buah seperti ini sangat langka dan biasanya hanya bisa dilihat dari kejauhan di pasar. Bukan karena tidak ada, tapi harganya terlalu mahal untuk orang seperti dirinya. Perutnya yang kosong dan rasa penasaran akhirnya mengalahkan ketakutan yang menggantung di pikirannya. Dengan tangan gemetar, ia mengambil sebutir anggur dan perlahan memasukkannya ke dalam mulutnya. Rasa manis dan segar langsung memenuhi lidahnya, sejenak membuatnya lupa dengan situasi mengerikan yang tengah dihadapinya. Matanya terpejam menikmati kelezatan sederhana itu, sesuatu yang tak pernah ia rasakan sebelumnya. Kaelan memperhatikan Ayu dengan senyum tipis, senang melihat reaksinya. "Nikmat, bukan?" tanyanya dengan suara lembut yang justru membuat Ayu semakin tak nyaman. Ayu membuka matanya, menatap Kaelan dengan campuran rasa syukur dan kebingungan. "Kenapa kau menatap ku seperti itu?” “Memangnya aku tidak boleh menatap calon istriku sendiri?” Celetuknya membuat Ayu terdiam. “Apa yang kau bicarakan! Sudah aku katakan aku memiliki kekasih, aku tidak akan menikah denganmu.” Tegas Ayu sambil memakan buah anggur. “Tinggalkan kekasihmu itu dan menikahlah dengaku. Aku bisa memberikan apa saja untukmu. Uang, emas, berlian bahkan keturunan yang tampan.” Kata Kaelan membuat Ayu tertawa. “Hahaha! Kau aneh. Dengar yah tuan Kaelan yang terhormat. Kita tidak saling mencintai bahkan tak saling kenal. Aku tahu kau kaya raya, tapi aku tidak bisa. Aku sudah memiliki kekasih dan aku tidak bisa meninggalkannya.” Jelas Ayu. “Sudah aku katakan aku tidak peduli, aku akan tetap menikahimu. Jika kau setuju aku akan mengantarkanmu pulang sekarang.”Ayu menatap Kaelan dengan pandangan serius, napasnya masih tersengal setelah mendengar tuntutan aneh itu. Dia tahu tak ada gunanya berdebat terlalu lama, dan dia harus memikirkan cara untuk pulang secepat mungkin. Dengan suara lembut namun penuh ketegasan, dia akhirnya berkata, “Jika kau benar-benar ingin menikahiku, kau harus melakukan sesuatu untukku.”Kaelan mengangkat alis, tampak tertarik. “Apa itu?”Ayu menelan ludah, berusaha keras menahan kegugupannya. “Kau harus mengantarkanku pulang ke keluargaku dulu. Aku tidak bisa mengambil keputusan sebesar itu tanpa berbicara dengan orangtuaku. Kau harus mendapatkan restu mereka dan memintanya dengan baik-baik.”Kaelan diam sejenak, menatap Ayu dengan sorot mata penuh perhitungan. “Restu orangtua?” gumamnya pelan. “Kau serius?”Ayu mengangguk tegas, meskipun hatinya berdebar keras. “Ya, aku serius. Bagaimanapun juga, mereka adalah keluargaku. Jika kau benar-benar ingin menikahiku, kau harus melakukannya dengan cara yang benar.”Kaelan
Ayu berlari tersengal-sengal menuju rumahnya, napasnya tersendat-sendat, keringat bercucuran di dahinya. Kakinya yang lelah nyaris tersandung bebatuan di jalan setapak, namun ia terus memaksakan diri untuk berlari. Rumah Ayu terlihat samakin dekat dengan dinding kayunya yang mulai usang berdiri kokoh di ujung jalan kecil.Di teras, Ratna yang sedang menatap ke kejauhan, terkejut saat melihat sosok putrinya muncul dari balik pepohonan. "Ayu?" suaranya hampir bergetar. Rasa tak percaya menguasai dirinya.Sudah dua hari penuh Ratna diliputi kecemasan, tak tahu harus berbuat apa ketika Ayu hilang begitu saja. Meskipun warga desa sudah berbondong-bondong mencari Ayu ke segala penjuru, termasuk hutan Halimun yang gelap dan penuh misteri, jejak gadis itu tetap tak ditemukan. Namun kini, Ayu berdiri di hadapannya, tubuhnya penuh debu dan luka kecil, namun matanya tampak hidup meski lelah.“Ibu…ibu!” Teriaknya.Ratna segera berlari ke arah putrinya, memeluknya erat-erat, seolah memastikan A
"Auuuuu... auuuuuu!" Suara lolongan serigala yang panjang dan mencekam terdengar dari dalam hutan, memecah keheningan malam.Ayu terperenjat dari tidurnya, duduk tegak dengan napas tersengal-sengal. Jantungnya berdegup kencang. Dari seberang meja belajar, Darma menoleh dengan ekspresi khawatir. Ia berhenti menulis dan menatap kakaknya.“Kak, kenapa?” tanyanya.Ayu menggeleng pelan, masih terpaku pada jendela yang tertutup rapat. "Serigala itu... suaranya... sangat dekat," ucapnya berbisik, seolah takut mengundang sesuatu yang lebih mengerikan dari balik kegelapan.Darma menatap Ayu dengan tenang, meskipun sedikit heran melihat kakaknya begitu terguncang. Setelah beberapa detik keheningan, ia mendesah pelan, meletakkan pensilnya di meja.“Sudah biasa, Kak,” ucap Darma, suaranya tenang tapi penuh keyakinan. “Kita kan tinggal di tepian hutan jadi itu hal wajar. Serigala-serigala itu sering terdengar, apalagi kalau bulan penuh.”Ayu menoleh perlahan, masih dengan napas yang belum sepenu
Selepas shalat Isya berjamaah di Masjid Al-Hidayah, Darto merapikan sajadah dan menggulung sarungnya. Suasana masjid mulai lengang, hanya beberapa orang masih berdzikir di pojok masjid. Dia yang hendak melangkah keluar tidak sengaja berpapasan dengan Pak Karta selaku kepala desa,Beliau berjalan menghampirinya dari saf depan."Assalamualaikum, kang Darto," sapa Pak Karta dengan suara lembut."Waalaikumussalam, Pak Karta," jawabnya sambil tersenyum.Pak Karta menepuk bahu Darto pelan. "Saya dengar Ayu sudah ketemu? Alhamdulillah," ujarnya, nadanya penuh rasa syukur."Iya, Pak. Alhamdulillah." jawab Darma, suaranya agak pelan.Pak Karta tersenyum lebar, lalu melangkah ke pintu masjid. "Saya pamit dulu. Hati-hati di jalan kang, akhir-akhir ini saya sering dengar suara lolongan serigala.""Iya, Pak. Assalamualaikum," jawab Darto sambil membungkuk hormat."Waalaikumussalam," sahut Pak Karta sebelum keluar dari masjid, meninggalkan Darto.Pria berusia 50 tahunan itu pun ikut bergegas menin
Ayu melepaskan pelukannya, lalu berjalan menjauh dari Kaelan. “Dasar pria gila!” Umpatnya. Kaelan tersenyum sinis melihat ayu yang pergi begitu saja. “Kau tak akan pernah lolos dariku!” Dengan kecepatan kilat dia melesat layaknya angin. Dalam beberapa detik dia sudah berada di hadapan Ayu, hal itu membuat sang gadis terkejut. “Apa? K-kenapa kau bisa tiba-tiba ada disini?” Tanya Ayu sedikit gemetar. “Sudah ku katakan, kau tidak akan pernah lepas dariku! Kau harus ikut aku, Ayu.” Tangan kekar Kaelan menyentuh pipi mulusnya. Ayu menyingkirkan tangan Kaelan dari pipinya dengan kasar, menatap pria itu dengan penuh kemarahan. "Jangan sentuh aku lagi! Aku tidak peduli apa yang kau inginkan, aku tidak akan ikut denganmu!" Bentak Ayu. Kaelan menatap Ayu dengan tatapan dingin, tapi ada kilatan keras kepala di matanya. Saat Ayu berbalik untuk pergi, Kaelan dengan cepat meraih lengannya. "Kau pikir bisa kabur? Aku sudah bilang, kau tidak akan pernah bisa lepas dariku!" Ujar Kae
Kaelan tersenyum senang menatap Ayu, dia menggenggam tangan gadis itu lalu kembali membawanya melesat meninggalkan hutan.Sesaat kemudian, mereka tiba di depan pagar bambu rumah Ayu. Nafas Ayu tersengal, matanya menatap lurus ke depan, di mana ia melihat sosok Danu berdiri di depan pintu rumahnya. Dia tampak ragu, tangannya terangkat setengah, seolah ingin mengetuk pintu namun tidak yakin.“Kang Danu?” Gumam Ayu pelan, bahkan hampir berbisik.Kaelan mengerutkan kening. “Siapa dia?”Ayu berusaha melepas genggaman Kaelan dan melangkah maju, namun Kaelan menahannya.“Apa yang akan kau lakukan?” Tanya Kaelan.“Bukan urusanmu.” Jawabnya sambil melepaskan genggamannya.Kaelan membiarkan Ayu mendekati kekasihnya itu, “sedang apa kang Danu disini?” Tanya Ayu pada Danu.Danu tersentak mendengar suara Ayu, lalu berbalik. Wajahnya yang semula tegang seketika berubah lega saat melihat sang kekasih. "Ayu, kau baik-baik saja?" tanyanya cemas.Danu menghampirinya, tetapi Ayu tampak menjaga jarak.“
Di ruang tamu yang sederhana, Darto duduk dengan wajah yang serius. Di depannya Kaelan duduk dengan santai tanpa ekspresi. Darto memandang Kaelan sejenak sebelum menghela napas dalam-dalam. "Aku senang jika kau benar-benar serius dengan putriku. Tapi keputusan ini bukan hanya di tanganku," ucapnya sambil melirik ke arah putrinya yang duduk di sudut ruangan. "Aku menyerahkan sepenuhnya kepada Ayu. Jika dia setuju, maka aku juga akan menyetujuinya." Kaelan mengangguk dan menoleh ke arah Ayu, matanya menyiratkan sesuatu yang sulit diartikan. Ayu merasakan detak jantungnya semakin cepat, seolah mengerti tatapan Kaelan yang tajam seolah menuntut jawaban dari dirinya. Meski dia ingin menolak, itu hanya akan berakhir sia-sia. Kaelan tidak akan berhenti sampai dia mendapatkan apa yang diinginkannya. "Ayu..." suara Kaelan pelan namun tegas. "Bagaimana?" “Hmm, aku…aku menerima lamaranmu.” Jawab Ayu membuat Kaelan tersenyum senang. “Baiklah, kita akan menikah besok lusa. Apa saja yan
Siang itu, sebuah mobil hitam berhenti di depan gang. Fors seorang pria bertubuh tegap dengan pakaian formal, turun dari mobil sambil membawa sebuah koper besar. Dia melangkah menuju ke rumah sederhana di ujung gang. di mana orang tua Ayu sudah menunggunya di teras rumah. "Selamat siang, Pak, Bu," sapanya sopan sambil menyerahkan koper itu. "Ini amanat dari Kaelan untuk pernikahan besok." Ibu Ayu tersenyum ramah, menerima koper itu dengan tangan gemetar. Koper tersebut berisi uang tunai, jumlah yang tidak kecil, untuk memastikan segala keperluan pernikahan Ayu dan Kaelan sudah tertangani. Awalnya Kaelan ingin pernikahan mereka berlangsung di sebuah gedung mewah di Jakarta, lengkap dengan dekorasi megah. Namun, keluarga Ayu yang lebih menyukai kesederhanaan dan keakraban suasana desa, meminta agar pernikahan itu diadakan di kampung halaman mereka. Kaelan yang tak ingin Ayu lepas dari genggamannya, akhirnya mengalah dan sepenuhnya menyerahkan tanggung jawab dekorasi dan pengat
Malam itu Kaelan melangkah perlahan di bawah cahaya rembulan yang samar, mencoba menghindari setiap bunyi ranting atau dedaunan kering yang bisa membongkar keberadaannya. Di balik jendela kamar, istrinya tampak sedang berbicara dengan ibunya. “Huh, untung saja aku bergerak cepat.” Gumamnya pelan. Dia melesat mengitari rumah mertuanya hingga berhenti tepat di depan pintu. Dengan perlahan dia mengetuk pintu tersebut. Tok, tok, tok! Sementara itu di dalam Ayu dan ibunya menoleh saat mendengar ketukan pintu. “Bu, sepertinya itu Mas Kaelan.” Ucap Ayu. “Kamu sudah berbaikan dengan suamimu yu?” Tanya sang ibu. “Hmm, iya bu. Sebenarnya itu hanya kesalahpahaman.” Ujar Ayu beralasan. “Ya sudah, cepat bukakan pintu yu. Kasian suamimu.” Ucap sang ibu dengan lembut. Ayu bergegas menuju ruang tamu untuk membukakan pintu. Sesampainya di depan pintu, Ayu menarik napas panjang sebelum akhirnya memutar gagang pintu. Begitu pintu terbuka, Kaelan langsung menerobos masuk tanpa berkata sepatah k
Malam itu langit tampak gelap gulita, tidak ada bintang satupun menghiasi langit Jakarta. Kawlan tampak berdiri di depan jendela besar yang menghadap ke arah kota besar. Setelah pertengkaran dengan Ayu di memutuskan menenangkan diri di Markas bangsa serigala. Di sisi lain Leo tampak sibuk dengan benda pipih yang baru di belikan Fors. “Kae, ini bagaimana menggunkannya?” Tanyanya. Pria tampan itu menghiraukan seruan sahabatnya, tatapannya kosong. “Kae…tolong lah! Aku tidak mengerti menggunakan benda canggih ini.” Gerutunya sambil mengangkat ponsel yang ada di tangannya. Kaelan berbalik, tatapannya tajam seolah Leo telah mengganggunya. “Kau sangat berisik! Aku pergi,” katanya yang langsung nyelonong begitu saja. “Kau mau kemana kae?” Teriaknya lalu kembali fokus pada benda yang di pegangnya. Dia terus menggerutu sambil menatap layar ponselnya. Matanya terpaku pada beberapa ikon warna-warni yang bergerak di layar, merasa sedikit kebingungan dan frustrasi. Dengan ragu-ragu, ia me
"Jadi, maksudmu aku harus meninggalkan hutan dan hidup di antara manusia seperti yang kau lakukan?" Leo menatap Kaelan dengan sorot penuh keraguan. "Aku tidak sekuat itu, Kaelan. Menyaksikan bangsa kita dibantai, lalu hidup berdampingan dengan para pembunuh itu... bukan hal yang mudah." Kaelan mengangguk pelan, memahami keraguan sahabatnya. "Aku tahu, Leo. Tapi kita tidak punya pilihan lain. Dunia ini telah berubah, dan kita harus menyesuaikan diri atau punah. Aku tidak bisa membiarkan kenangan masa lalu menjadi penghalang. Kita butuh keturunan yang kuat untuk melanjutkan garis keturunan bangsa serigala." Leo terdiam tampak berpikir dejenak sebelum kembali berargumen. "Bagaimana jika mereka tahu kita masih hidup, Kaelan? Jika manusia tahu keberadaan kita… apa yang akan terjadi?" Kaelan menarik napas dalam-dalam, lalu menatap sahabatnya dengan tegas. "Itu risiko yang harus kita ambil. Kita tidak bisa bersembunyi selamanya. Selama kita bisa beradaptasi, tidak ada yang perlu kita
Malam itu Kaelan duduk di ruang keluarga sambil membaca laporan pekerjaan di laptopnya. Sedangkan Ayu di sebelahnya sambil mengelus perutnya yang masih rata. “Mas…” panggil Ayu pelan. Kaelan menoleh, memasang senyum lembut. "Ada apa, Sayang?" Ayu menatapnya dengan wajah polos tapi penuh harap. "Aku kayaknya lagi pengen sesuatu." Kaelan mengangkat alis, lalu menyimpan laptopnya. “Pengen apa? Bilang saja, biar aku carikan.” Ayu menggigit bibirnya menunduk sedikit malu. "Aku pengen makan mangga muda, Mas... yang asam, terus dicocol sama sambal rujak yang pedesnya." Kaelan menahan tawa kecil mengingat kejadian saat ia mencoba sambal ijo untuk pertama kalinya.“Mangga muda ya? Hmm, sebentar aku coba lihat dulu di kulkas. Kalau nggak ada aku akan cari di luar.” Ayu tersenyum lebar, matanya berbinar penuh harapan. “Serius, Mas? Terima kasih ya!” Kaelan mengangguk lalu beranjak menuju dapur untuk memeriksa kulkas. Namun, setelah membuka pintu kulkas dan memeriksa isinya, ia hanya mend
Kaelan kembali membawa piring dengan sepotong roti panggang berisi telur ceplok dan sayuran segar, memang terlihat biasa, tapi setidaknya bisa mengenyangkan istrinya. Ia tersenyum kecil, sedikit merasa bersalah."Maaf ya, sayang. Mungkin ini lebih cocok untukmu," katanya sambil meletakkan piring itu di depan Ayu.Ayu tersenyum tipis. "Nggak apa-apa, Mas. Aku ngerti kok."“Ya sudah cepat di makan.” Kata Kaelan.Kaelan melirik jam di tangannya, lalu dengan perlahan melepas celemek yang ia kenakan. Dia menghela napas sejenak sebelum menatap Ayu yang mulai menikmati roti panggang buatannya."Setelah makan, kamu istirahat saja ya, Sayang," ucap Kaelan sambil meletakkan celemeknya di meja. "Aku akan kembali tengah malam."Ayu menghentikan gerakannya, mengernyitkan alis. "Memangnha kamu mau ke mana?"Kaelan tersenyum paksa. "Aku ada rapat penting di kantor."“Rapat? Memangnya serigala punya kantor ya?” Tanya Ayu polos.Kaelan tersenyum sambil menggelengkan kepalanya.“Bukan, aku rapat bers
Pagi itu suasana rumah terasa berbeda. Ayu sibuk berkemas, memeriksa satu per satu barang yang akan dibawanya ke Jakarta. Hari ini ia akan ikut bersama suaminya, meninggalkan rumah orang tuanya untuk beberapa waktu.Ratna berdiri di ambang pintu kamar Ayu, memperhatikan putrinya dengan tatapan sedih. Sementara Darto duduk di ruang tamu sambil menunduk, mencoba menahan perasaan yang berkecamuk di dadanya. Darma adik laki-laki Ayu, mondar-mandir di depan kamar, tampak gelisah."Yakin nggak ada yang ketinggalan, Yu?" tanya Ratna, suaranya terdengar serak.Ayu berhenti sejenak, menatap ibunya dengan senyuman lembut. "Insya Allah nggak ada, Bu. Semua udah aku cek berkali-kali."Ratna menghela napas panjang. "Kamu bakal sering pulang, kan?"Ayu mendekat, menggenggam tangan ibunya. "Pasti, Bu. Lagian, Jakarta nggak jauh kok. Cuma beberapa jam aja."Darto yang sedari tadi diam, tiba-tiba angkat bicara. "Tetap aja, Ayu. Rumah ini bakal sepi tanpa kamu. Kita nggak terbiasa kalau kamu nggak di
“Aaaaaaa!” Ayu terbangun dari tidurnya dengan napas tersengal-sengal. Keringat dingin membasahi dahinya, sementara jantungnya berdegup kencang. Tangannya gemetar saat ia mencoba mengatur napas. Kamar yang gelap terasa mencekam setelah mimpi buruk yang baru saja menghantuinya."Ayu, ada apa?" Kaelan langsung terbangun mendengar teriakan Ayu. Matanya menyipit karena baru saja terjaga, tapi kekhawatiran tergambar jelas di wajahnya.Ayu tidak langsung menjawab. Ia hanya bisa menatap lurus ke depan, berusaha menenangkan dirinya. Kaelan semakin cemas dan duduk lebih dekat, meraih tangan Ayu."Kamu mimpi buruk, ya?" tanyanya lembut.Ayu mengangguk pelan, lalu menoleh ke arah Kaelan dengan mata masih dipenuhi rasa takut. "Iya, mimpi aneh dan menyeramkan...""Memangnya kamu mimpi apa? Ceritakan padaku," Kaelan mencoba menenangkan dengan suara pelan.Ayu menghela napas panjang, mencoba menenangkan detak jantungnya yang masih kencang. "Aku... aku mimpi melahirkan 3 bayi setigala sekaligus.”
Ayu menatap Kaelan dengan pandangan kosong, kata-kata yang baru saja diucapkan lelaki itu berputar-putar dalam pikirannya. Dia terdiam, tak tahu harus merespons apa. Di balik sinar matahari sore yang menerobos masuk melalui jendela, wajah Kaelan tampak tegang, penuh dengan beban yang tak terlihat sebelumnya. “Kau tak perlu bertanya. Aku akan menjelaskannya,” ujar Kaelan, suaranya rendah namun penuh keyakinan. Dia melangkah ke arah jendela, menatap ke luar seolah mencari kekuatan dari dunia yang terbentang di depannya. Ayu hanya bisa diam, menunggu penjelasan lebih lanjut yang terasa seperti pisau yang sebentar lagi akan menghujam ke dalam hidupnya. “Bangsaku... kami dalam bahaya besar,” lanjut Kaelan, suaranya terdengar berat. Dia menoleh, matanya yang gelap bertemu dengan Ayu. “Aku harus melakukan sesuatu. Kita….Harus segera memiliki keturunan sebanyak mungkin agar keturunan Wolfric tetap ada di dunia ini.” Ayu merasa dadanya sesak, dia masih mencoba memahami apa yang baru
Ayu terdiam, terpaku dengan kata-kata yang baru saja keluar dari mulut Kaelan. Sebelum sempat menjawab, Kaelan sudah melangkah mendekat. Tanpa bicara lagi, dia menarik Ayu ke dalam dekapannya. “Apa yang kau lakukan?” Tanya Ayu. “Sttt…diamlah!” Jawabnya. Wush! Dalam sekejap, Ayu merasakan tubuh mereka bergerak dengan kecepatan luar biasa, seolah terangkat oleh angin. Dunia di sekeliling mereka berubah menjadi bayangan yang kabur. Detik demi detik berlalu, kini mereka sudah berdiri di depan rumahnya. Ayu mengerjapkan mata, jantungnya masih berdetak kencang. “Kau…bagaimana jika ada yabg melihatnya.” Gerutu Ayu membuat Karlan tersenyum tipis. “Kau tenang saja tidak akan ada yang melihatnya!” Kaelan berjalan masuk lebih dulu, meninggalkan Ayu yang masih menggerutu di belakangnya. "Dasar makhluk jadi-jadian!" seru Ayu, meskipun suaranya sedikit pelan. Kaelan hanya menoleh sebentar dengan senyum tipis, tak menghiraukan keluhan Ayu. "Aku mau mandi," katanya santai, lalu melangk