Marco baru saja akan datang ke tempat tinggal Amira untuk memberikan rekening yang telah ditransferkan uang sebesar 100 juta rupiah sebagai bulanan Amira.Namun, sepertinya ia tidak akan melakukan itu, karena Aidan menyuruhnya mengakhiri kontrak mereka.Jujur, Marco bertanya-tanya, apa yang sebenarnya terjadi sampai bosnya mengambil keputusan itu secara mendadak?Ia menduga, besar kemungkinan Nyonya Calista berhasil mencium kenakalan suaminya. Ya, itu pasti, karena kejadian seperti ini bukan baru pertama kali terjadi.Marco mendatangi tempat tinggal Amira. Ia akan menjelaskan apa yang telah menjadi keputusan Aidan."Benarkah???" Amira seperti tidak percaya mendengarnya. Ia menganga, dua bola matanya terbuka lebar. Apakah ini mimpi? Jika ini nyata, maka ia seperti terlahir kembali."Tuan Aidan menyuruhku menarik semua fasilitas yang dia berikan."Amira mengangguk bahagia. Ia sama sekali tidak keberatan. Lagi pula, ia tidak pernah menganggap semua yang diberikan Aidan menjadi miliknya.
Pandangan sendu Amira menatap jam kecil yang berada di ruang utama di kontrakan kecil itu.Pukul 7 pagi.Sonia menyuruhnya masuk kerja jam 10 pagi, itu artinya ia masih memiliki 3 jam sebelum pergi bekerja.Tiga jam Amira gunakan untuk berpikir tentang nasib janin yang berada dalam rahimnya.Digugurkan atau dipertahankan? Amira wajib memilih salah satu. Yang pertama, ia merasa tidak tega harus menggugurkan janinnya, bagaimanapun juga itu bakal jadi anaknya.Pilihan yang kedua, dipertahankan. Bagaimana ia akan mempertahankan janin itu? Apa yang akan orang-orang katakan padanya? Ia hamil diluar nikah, orang-orang pasti akan menanyakan siapa ayah dari anak dalam kandungannya.Lantas, bagaimana jika Aidan tahu ia hamil? Apakah pria itu akan membunuh calon anaknya, atau mengambil anaknya ketika telah lahir.Amira sangat bingung. Langkah pertama yang ia lakukan adalah bersiap-siap berangkat kerja. Beruntung, hari ini ia tidak memiliki mata kuliah, maka ia tidak perlu ke kampus.**Restoran
'Jangan, jangan itu adalah anakku.' Aidan berucap dalam hati.Namun, detik selanjutnya ia mengibaskan tangannya di depan wajah. Sambil tersenyum tipis.Ada-ada saja. Hal itu tidak mungkin terjadi. Buat apa memiliki anak dari wanita kupu-kupu malam. Aidan kembali bergumam dalam hati.Ia sebenarnya antusias dan ingin memiliki anak, tapi tidak dari rahim Amira."Mohon maaf, apa Anda Tuan Aidan Salvador?" Tanya seorang perawat yang baru saja datang."Hmp." Aidan berdehem menjawab itu. Seperti biasa wajahnya datar dan dingin seperti bongkahan es."Mari ikut saya, Tuan. Dokter sudah menunggu Anda di ruangannya." Perawat itu menggiring Aidan menuju ruangan dokter, yang juga merupakan dokter pribadi keluarga Salvador.Sesampainya dalam ruangan dokter, Aidan menjalani beberapa pemeriksaan."Tidak ada masalah serius. Sakit kepala dan lelah yang Tuan alami kemungkinan hanya terlalu capek dan banyak pikiran. Saya sarankan untuk istirahat dan jangan sampai stress." Jelas sang dokter begitu ramah.
"Rara, malam ini kamu akan melayani seorang CEO Muda. Dia sudah membayarmu mahal, jadi Mami harap kamu memberikan service terbaik untuknya.""Baik, Mami."Namanya Amira Evelyn berumur 21 tahun, kerap dipanggil Rara saat sedang melakukan pekerjaannya sebagai pelacur.Satu tangannya menenteng sebuah tas berisikan pakaian ganti untuk digunakan setelah pekerjaannya selesai.Ia dibawa seorang pria berpakaian jas menuju hotel berbintang. Pria itu mengantarnya sampai ke dalam kamar President Suite."Tunggu disini." Perintah pria itu, meminta Amira menunggu di ruang tamu dalam kamar ini.Sementara pria tadi melangkah menuju arah ranjang. Sepertinya ia akan melapor kepada seseorang yang berada disana yang merupakan client Amira malam ini."Tuan, wanita kiriman Lidya sudah datang." Jelas Marco, selaku asisten pribadi dari pria yang tengah duduk di kursi, samping ranjang."Suruh dia kesini." Balas Aidan sebelum menyeduh kopinya. Suaranya serak dan terdengar tegas.Namanya, Aidan Salvador berumu
Amira menyeringai mendengar itu. Tangannya terkepal, menahan emosi. Ia sangat tersinggung.Dadanya bergemuruh ingin melawan, tapi ia tak punya kuasa. Seperti yang dikatakan pria itu tadi, dia bisa menghancurkan Amira kapan saja.Amira memilih diam. Lalu beranjak begitu saja dari hadapan pria itu.Aidan mengeluarkan handphone, lalu menghubungi asisten pribadinya, Marco."Hubungi Lidya, aku akan bayar 1 milyar untuk wanita itu (Amira) malam ini." Aidan memutuskan panggilannya setelah ia selesai mengutarakan kalimatnya.Matanya terpaku pada notifikasi panggilan tak terjawab dari kontak bernama 'istri'. Maka ia menghubungi balik istrinya."Kenapa kamu susah sekali dihubungi? Dari semalam aku sudah menelponmu, tapi kamu malah hilang ditelan bumi. Sebenarnya apa yang kamu lakukan sampai tidak menjawab panggilanku?" Ngomel wanita di seberang telepon.Wanita itu bernama Calista Salvador berumur 21 tahun. Usia pernikahan mereka bisa dibilang seumur jagung karena dua minggu mendatang pernikahan
Amira langsung menandatangani surat perjanjian kontrak itu tanpa berpikir dua kali. Ia tidak memiliki waktu untuk membacanya.Sampai saat ini, ia masih belum bisa berpikir jernih karena ibunya sedang di operasi."Semoga operasinya berjalan lancar.""Terima kasih." Lirih gadis itu.Marco satu-satunya orang yang menemani Amira disana. Namun, ia duduk di kursi tunggu bukan karena tanpa alasan, tapi karena setelah operasi itu ia akan membawah Amira, sebagaimana yang tercantum dalam kontrak mereka.Tak berselang lama pintu operasi terbuka. Muncul dari dalam sana dokter yang menangani ibunya Amira."Keluarga pasien?"Amira lekas menghampiri dokter itu. Tubuhnya gemetar. Kakinya lemas. Semoga ia mendapat kabar baik."Maaf harus menyampaikan ini, tapi nyawa pasien tidak tertolong." Dokter itu mengutarakan kalimatnya tanpa bertele-tele.Membuat Amira seketika terjatuh. Ia menangis sambil berteriak histeris, menolak kenyataan yang ada. Kenyataan cukup memukulnya.Marco turut merasakan apa yang
Besok hari.Amira mengerjap. Ia pingsan setelah kegiatan panasnya bersama Aidan berlanjut lebih panas, hingga memakan waktu hampir dua jam.Ia terisak mengingat kembali perlakuan kasar Aidan saat mereka berhubungan intim.Pria itu melakukannya dengan tidak berperasaan. Amira sudah beberapa kali meminta berhenti tapi pria itu seolah tuli.Amira mengira hidupnya akan lebih baik, karena tidak perlu melayani laki-laki berbeda setiap harinya. Belum lagi, Aidan memberikannya sejumlah fasilitas yang lebih dari cukup.Tapi, nyatanya apa? Hidupnya lebih sengsara dari sebelumnya. Laki-laki bernama, Aidan Salvador itu seperti iblis dari neraka.Amira menggunakan sisa tenaganya untuk membersihkan diri. Siang ini, ia ada mata kuliah maka ia perlu bersiap-siap.Beberapa waktu kemudian ia melaju ke kampus menggunakan motor matic yang terparkir di garasi tempat ia tinggal."Amira!" Dua orang wanita mendekati gadis itu. Mereka adalah teman dekat Amira di kampus."Elsa, Calista." Sebut Amira seraya men
Aidan menatap sinis Amira. Ia jengkel karena gadis itu bersuara tadi."Tidak, Sayang. Itu hanya suara dari ponsel Marco saja.""Masa sih?? Tapi suaranya mirip dengan teman kampusku."Aidan mencoba menenangkan istrinya. Ia ngotot memberitahu Calista bahwa dirinya sedang di jalan. Dan sebentar lagi sampai rumah.Panggilan telepon itu kemudian berakhir. Aidan menyimpan kembali ponselnya dalam saku lalu menatap Amira."Kau! Sini!" Panggilnya dengan tangan menunjuk pada pahanya yang mengangkang.Amira membawa langkahnya mendekat. Ia tahu maksud pria itu menyuruhnya berada disana."Cepat buka, dan puaskan aku." Perintah Aidan. Suaranya dingin dan wajahnya datar.Amira melakukan seperti yang pria itu katakan. Ia menurunkan resleting pada celana kain yang dikenakan Aidan, lalu meloloskan sebuah pedang dari dalam boxer.Pedang itu menjulur kokoh di wajah Amira. Besar dan panjang, Amira sering melihatnya beberapa hari terakhir ini.Amira masih menatap diam. Mulutnya mendadak susah mangap. Ia ti
'Jangan, jangan itu adalah anakku.' Aidan berucap dalam hati.Namun, detik selanjutnya ia mengibaskan tangannya di depan wajah. Sambil tersenyum tipis.Ada-ada saja. Hal itu tidak mungkin terjadi. Buat apa memiliki anak dari wanita kupu-kupu malam. Aidan kembali bergumam dalam hati.Ia sebenarnya antusias dan ingin memiliki anak, tapi tidak dari rahim Amira."Mohon maaf, apa Anda Tuan Aidan Salvador?" Tanya seorang perawat yang baru saja datang."Hmp." Aidan berdehem menjawab itu. Seperti biasa wajahnya datar dan dingin seperti bongkahan es."Mari ikut saya, Tuan. Dokter sudah menunggu Anda di ruangannya." Perawat itu menggiring Aidan menuju ruangan dokter, yang juga merupakan dokter pribadi keluarga Salvador.Sesampainya dalam ruangan dokter, Aidan menjalani beberapa pemeriksaan."Tidak ada masalah serius. Sakit kepala dan lelah yang Tuan alami kemungkinan hanya terlalu capek dan banyak pikiran. Saya sarankan untuk istirahat dan jangan sampai stress." Jelas sang dokter begitu ramah.
Pandangan sendu Amira menatap jam kecil yang berada di ruang utama di kontrakan kecil itu.Pukul 7 pagi.Sonia menyuruhnya masuk kerja jam 10 pagi, itu artinya ia masih memiliki 3 jam sebelum pergi bekerja.Tiga jam Amira gunakan untuk berpikir tentang nasib janin yang berada dalam rahimnya.Digugurkan atau dipertahankan? Amira wajib memilih salah satu. Yang pertama, ia merasa tidak tega harus menggugurkan janinnya, bagaimanapun juga itu bakal jadi anaknya.Pilihan yang kedua, dipertahankan. Bagaimana ia akan mempertahankan janin itu? Apa yang akan orang-orang katakan padanya? Ia hamil diluar nikah, orang-orang pasti akan menanyakan siapa ayah dari anak dalam kandungannya.Lantas, bagaimana jika Aidan tahu ia hamil? Apakah pria itu akan membunuh calon anaknya, atau mengambil anaknya ketika telah lahir.Amira sangat bingung. Langkah pertama yang ia lakukan adalah bersiap-siap berangkat kerja. Beruntung, hari ini ia tidak memiliki mata kuliah, maka ia tidak perlu ke kampus.**Restoran
Marco baru saja akan datang ke tempat tinggal Amira untuk memberikan rekening yang telah ditransferkan uang sebesar 100 juta rupiah sebagai bulanan Amira.Namun, sepertinya ia tidak akan melakukan itu, karena Aidan menyuruhnya mengakhiri kontrak mereka.Jujur, Marco bertanya-tanya, apa yang sebenarnya terjadi sampai bosnya mengambil keputusan itu secara mendadak?Ia menduga, besar kemungkinan Nyonya Calista berhasil mencium kenakalan suaminya. Ya, itu pasti, karena kejadian seperti ini bukan baru pertama kali terjadi.Marco mendatangi tempat tinggal Amira. Ia akan menjelaskan apa yang telah menjadi keputusan Aidan."Benarkah???" Amira seperti tidak percaya mendengarnya. Ia menganga, dua bola matanya terbuka lebar. Apakah ini mimpi? Jika ini nyata, maka ia seperti terlahir kembali."Tuan Aidan menyuruhku menarik semua fasilitas yang dia berikan."Amira mengangguk bahagia. Ia sama sekali tidak keberatan. Lagi pula, ia tidak pernah menganggap semua yang diberikan Aidan menjadi miliknya.
Kini gadis itu terkapar lemah di atas ranjang. Ia pingsan karena kelelahan dan kesakitan."Itu adalah hukumanmu!" Ucap Aidan menatapnya. Sorot matanya sama sekali tidak menampilkan belas kasihan, ia tidak menyesal dengan apa yang telah ia lakukan.Borgol dan tali di tangan dan kaki Amira sudah ia lepas. Ia berjalan ke kamar mandi untuk membersihkan diri.Setelahnya, ia keluar dengan rambut basah dan handuk melingkar di pinggang. Ia meraih ponselnya lalu mendapati beberapa panggilan tak terjawab dari istrinya.Ia duduk di sofa sambil mengelap rambutnya dengan handuk mini. Kemudian ia menghubungi istrinya, menunggu panggilan itu tersambung, pandangannya menatap Amira di ranjang.Ia tidak akan membiarkan rumah tangganya hancur hanya karena wanita pelacur itu.Panggilannya tak tersambung. Ia menyimpan kembali ponselnya, lalu mengenakan pakaiannya yang tergeletak di lantai.Hufftt..Ia menghembus nafas panjang, masih memperhatikan Amira dari tempatnya berada.Tatapannya kembali datar dan d
"Siapa yang datang, Amira?" Andre bertanya dengan dahi berkerut. Menganggap siapapun yang berada di balik pintu berhasil merusak niatnya ingin PDKT."A-aku juga tidak tahu." Amira gugup. Ia memandang takut pintu yang diketuk itu.Lanjutnya, "Aku akan membukanya dulu." Ia membawa langkahnya menuju pintu. Jantungnya dag dig dig, seperti sedang olahraga jantung.Tangannya gemetar memegang handle. Firasatnya mengatakan, bahwa orang yang berada di balik pintu itu adalah Aidan.Ceklek …Pintu terbuka, Amira seketika membelalak. Dugaannya benar, itu adalah Aidan Salvador. Amira terdiam mematung, menatap takut pria itu.Andre penasaran, siapa yang datang. Ia berjalan mengikuti Amira hingga ia mendapati seorang laki-laki rupawan yang tidak asing berdiri di sana."Aidan?" Sebut Andre kaget. Ia tidak mengerti kenapa suami dari sepupunya bisa berada disana. Apa hubungan laki-laki itu dengan Amira?Aidan sendiri juga tidak kalah terkejut melihat Andre berada di rumah pelacurnya."Sedang apa kau di
Tangan Aidan berpindah ke rahang tirus Amira. Ia menekannya lalu menatap gadis itu dengan tajam dan dingin."Aku ingin kau merahasiakan apapun yang terjadi antara kita. Jangan sampai Calista tahu, paham?" Peringan Aidan dengan sorot mata tajam dan dingin.Amira mengangguk. Membuat Aidan melonggarkan tangannya. Ia mengambil langkah mundur, lalu memperhatikan Amira secara seksama."Angkat gaunmu." Perintah pria itu dengan suara kecil sehingga siapa saja yang berada di toilet wanita itu tidak dapat mendengarnya.Dua bola mata Amira melebar. Apa mungkin Aidan akan melakukan hubungan intim bersamanya disana. Setega itukah dia pada istrinya sendiri? Bukankah hari ini hari spesial mereka?"Sudah ku bilang angkat." Aidan berucap dengan dua tangan memegang gaun Amira, ia memaksanya mengangkat gaun itu ke atas.Tidak ada yang bisa Amira lakukan, ia tidak berdaya. Sudah tertulis jelas dalam kontrak mereka, bahwa dia akan melayani nafsu Aidan selama satu tahun.Ahh!Amira mendesah dengan suara ke
Aidan menatap sinis Amira. Ia jengkel karena gadis itu bersuara tadi."Tidak, Sayang. Itu hanya suara dari ponsel Marco saja.""Masa sih?? Tapi suaranya mirip dengan teman kampusku."Aidan mencoba menenangkan istrinya. Ia ngotot memberitahu Calista bahwa dirinya sedang di jalan. Dan sebentar lagi sampai rumah.Panggilan telepon itu kemudian berakhir. Aidan menyimpan kembali ponselnya dalam saku lalu menatap Amira."Kau! Sini!" Panggilnya dengan tangan menunjuk pada pahanya yang mengangkang.Amira membawa langkahnya mendekat. Ia tahu maksud pria itu menyuruhnya berada disana."Cepat buka, dan puaskan aku." Perintah Aidan. Suaranya dingin dan wajahnya datar.Amira melakukan seperti yang pria itu katakan. Ia menurunkan resleting pada celana kain yang dikenakan Aidan, lalu meloloskan sebuah pedang dari dalam boxer.Pedang itu menjulur kokoh di wajah Amira. Besar dan panjang, Amira sering melihatnya beberapa hari terakhir ini.Amira masih menatap diam. Mulutnya mendadak susah mangap. Ia ti
Besok hari.Amira mengerjap. Ia pingsan setelah kegiatan panasnya bersama Aidan berlanjut lebih panas, hingga memakan waktu hampir dua jam.Ia terisak mengingat kembali perlakuan kasar Aidan saat mereka berhubungan intim.Pria itu melakukannya dengan tidak berperasaan. Amira sudah beberapa kali meminta berhenti tapi pria itu seolah tuli.Amira mengira hidupnya akan lebih baik, karena tidak perlu melayani laki-laki berbeda setiap harinya. Belum lagi, Aidan memberikannya sejumlah fasilitas yang lebih dari cukup.Tapi, nyatanya apa? Hidupnya lebih sengsara dari sebelumnya. Laki-laki bernama, Aidan Salvador itu seperti iblis dari neraka.Amira menggunakan sisa tenaganya untuk membersihkan diri. Siang ini, ia ada mata kuliah maka ia perlu bersiap-siap.Beberapa waktu kemudian ia melaju ke kampus menggunakan motor matic yang terparkir di garasi tempat ia tinggal."Amira!" Dua orang wanita mendekati gadis itu. Mereka adalah teman dekat Amira di kampus."Elsa, Calista." Sebut Amira seraya men
Amira langsung menandatangani surat perjanjian kontrak itu tanpa berpikir dua kali. Ia tidak memiliki waktu untuk membacanya.Sampai saat ini, ia masih belum bisa berpikir jernih karena ibunya sedang di operasi."Semoga operasinya berjalan lancar.""Terima kasih." Lirih gadis itu.Marco satu-satunya orang yang menemani Amira disana. Namun, ia duduk di kursi tunggu bukan karena tanpa alasan, tapi karena setelah operasi itu ia akan membawah Amira, sebagaimana yang tercantum dalam kontrak mereka.Tak berselang lama pintu operasi terbuka. Muncul dari dalam sana dokter yang menangani ibunya Amira."Keluarga pasien?"Amira lekas menghampiri dokter itu. Tubuhnya gemetar. Kakinya lemas. Semoga ia mendapat kabar baik."Maaf harus menyampaikan ini, tapi nyawa pasien tidak tertolong." Dokter itu mengutarakan kalimatnya tanpa bertele-tele.Membuat Amira seketika terjatuh. Ia menangis sambil berteriak histeris, menolak kenyataan yang ada. Kenyataan cukup memukulnya.Marco turut merasakan apa yang