Amira menyeringai mendengar itu. Tangannya terkepal, menahan emosi. Ia sangat tersinggung.
Dadanya bergemuruh ingin melawan, tapi ia tak punya kuasa. Seperti yang dikatakan pria itu tadi, dia bisa menghancurkan Amira kapan saja.Amira memilih diam. Lalu beranjak begitu saja dari hadapan pria itu.Aidan mengeluarkan handphone, lalu menghubungi asisten pribadinya, Marco."Hubungi Lidya, aku akan bayar 1 milyar untuk wanita itu (Amira) malam ini." Aidan memutuskan panggilannya setelah ia selesai mengutarakan kalimatnya.Matanya terpaku pada notifikasi panggilan tak terjawab dari kontak bernama 'istri'. Maka ia menghubungi balik istrinya."Kenapa kamu susah sekali dihubungi? Dari semalam aku sudah menelponmu, tapi kamu malah hilang ditelan bumi. Sebenarnya apa yang kamu lakukan sampai tidak menjawab panggilanku?" Ngomel wanita di seberang telepon.Wanita itu bernama Calista Salvador berumur 21 tahun. Usia pernikahan mereka bisa dibilang seumur jagung karena dua minggu mendatang pernikahan mereka genap satu tahun.Aidan sangat menyayangi Calista. Meski wanita itu cerewet dan suka mengomel tapi ia tetap sayang padanya."Aku hanya lagi sibuk saja, Sayang. Oh ya, bagaimana Belanda? Kapan kamu akan kembali ke Indonesia?" Aidan mencoba mengalihkan pembicsraan.Mood Aidan kembali setelah mendengar suara Calista. Ia berjalan menuju sofa lalu menjatuhkan bokongnya disana."Aku suka disini, tenang dan damai. Lain waktu, aku ingin berlibur disini bersamamu. Besok jadwal penerbanganku. Aku ingin kamu tinggalkan kesibukanmu, lalu jemput aku di bandara. Aku tidak mau saat menghubungimu, kamu kembali menghilang." Tuntut Calista kesal."Iya, aku mengerti."Panggilan telepon itu kemudian berakhir. Aidan hendak menyimpan kembali ponselnya, tapi Marco menelepon."Tuan, wanita itu menolak tawaran Anda."Aidan meringis. Tidak mengerti kenapa Amira menolak. Apa mungkin uang 1 milyar kurang?"Katakan padanya, aku bayar 5 milyar." Balas Aidan tak tanggung-tanggung. Ia tidak suka wanita itu menganggapnya remeh, mungkin dikiranya seorang Aidan Salvador tak mampu membayarnya."Baik, Tuan." Marco terkejut dengan nominal yang Aidan sebutkan, itu terlalu berlebihan. Tapi tugasnya hanya menuruti perintah.Wanita pelacur kelas Amira pasarannya sekitar 80-100 jutaan. Dan malam kemarin saat Amira melayani Aidan, ia dibayar 300 juta rupiah sekali tidur.Marco mendatangi rumah bordil Mami Lidya untuk bernegosiasi. Kebetulan disana ada Amira, maka ia langsung mengajak mereka mengobrol."Tuan Aidan memberikan tawaran 5 milyar." Jelas Marco tanpa bertele-tele.Percakapan mereka turut diperhatikan beberapa pelacur di sana. Semua telinga yang mendengarnya tercengang.Nominal itu terlalu jauh dari harga pasaran, akan sangat disayangkan bila ditolak. Lagi pula siapa yang akan menolak uang sebanyak itu?"Maaf, tapi aku menolak." Amira sama sekali tidak meragukan keputusannya. Ia dipandang bodoh disana, tapi ia tidak peduli.Ia melakukan pekerjaan ini demi pengobatan ibunya bukan untuk menjadi kaya. Ia tidak tertarik dengan uang, hanya sekedar membutuhkannya saja."Rara, apa yang kamu katakan? Kamu bahkan belum memikirkannya tapi sudah menjawab saja. Apa kamu yakin tidak membutuhkan uang 5 milyar?" Mami Lidya ikut heran dan tak percaya dengan keputusan Amira."Iya, Mami. Aku sangat yakin dengan keputusanku."Marco takjub dengan pendirian wanita yang duduk didepannya. Meski pekerjaannya cukup terhina, tapi tidak dengan harga dirinya.Terpaksa Marco keluar dari rumah bordil itu dengan tangan kosong. Ia tidak tahu lagi, bagaimana caranya mengatakan ini kepada Tuan Aidan? Semoga beliau tidak akan tersinggung."Dia menolaknya??" Aidan terkejut mendengar itu. Pandangannya dingin dan datar. Entah apa yang sedang ia pikirkan, tidak ada yang tahu.Masih di rumah bordil. Amira dikerumuni sejumlah pelacur yang bernaung di sana."Rara! Apa yang kamu pikirkan? Lupakan prinsipmu, dari mana lagi kamu akan mendapat uang sebanyak itu?""Sok jual mahal kamu, Ra!""Iya, Ra. Sangat disayangkan kamu menolak tawaran orang tadi."Pelacur-pelacur itu menyerang Amira dengan kalimat pedas. Meski sebenarnya mereka iri terhadapnya.Bagaimana tidak? Amira mendapat perlakuan khusus dari Mami Lidya karena Amira memiliki wajah yang sangat cantik, kebanyakan tamu muda, kaya dan terhormat nyaris semua Amira yang handle.Karena hampir semua client Amira jadi kecanduan akan pelayanan yang Amira berikan. Tapi untunglah, Amira memegang teguh prinsipnya.**Di tempat lain. Amira kembali merasa bersalah harus membelikan ibunya obat menggunakan uang haram, tapi ia tidak punya pilihan.Kanker payudara yang diderita ibunya sudah mencapai stadium tiga, pengeluarannya pun makin bertambah karena ibunya harus mendapatkan beberapa operasi yang harganya fantastis.Hanya pekerjaan terhina ini yang bisa membantu Amira. Yang sekarang terpenting baginya adalah kesembuhan ibunya."Bu? Ibu? Bangun, Bu!!" Amira histeris tiba-tiba ibunya tak sadarkan diri. Ia mengguncang tubuh kurus itu dengan mata berkaca-kaca.Hingga beberapa warga mulai berkumpul dan membantu Amira membawa ibunya ke rumah sakit.Setelah dokter memeriksa kondisi ibu Amira, ia memanggil gadis 21 tahun itu."Kanker pasien sudah masuk stadium 4. Kita harus segera melakukan operasi pengangkatan sel kanker." Berat hati dokter itu mengutarakan kalimatnya."Iya, Dokter. Lakukanlah. Aku janji akan bayar semua biayanya." Amira mendesak. Ia takut kehilangan ibunya."Maaf, kami hanya bisa melanjutkan tindakan setelah administrasi selesai."Amira gundah. Ingin memaksa, tapi tak bisa. Ia belum siap kehilangan ibunya."Malam ini pasien harus dioperasi. Biayanya berkisar 4,5 milyar rupiah. Anda bisa membayarnya lunas di administrasi, barulah kami bisa mengambil tindakan."Tubuh Amira lesu mendengar itu. Uang tabungannya jauh dari angka yang disebutkan dokter, lantas apa yang harus ia lakukan sekarang? Haruskah ia menerima tawaran Tuan Aidan?Amira tidak bisa berpikir jernih. Ia terdesak dan membutuhkan uang dalam waktu singkat. Tidak berpikir dua kali ia langsung mendatangi Mami Lidya."Aku mohon, Mami. Kali ini saja pinjamkan aku uang. Aku harus membayar lunas biaya operasi ibuku." Amira terisak. Tak kuat menahan beban ini."Maaf, Rara. Mami tidak bisa meminjamkanmu uang sebanyak itu. Lagipula hutangmu pada Mami masih banyak. Lebih baik kamu pertimbangkan tawaran Tuan Aidan saja. Dengan uang yang akan dia berikan, kamu bisa menggunakannya untuk biaya operasi ibumu."Amira terdiam dan berpikir. Dalam situasi ini, ia harus melakukan segala macam cara demi bisa menyelamatkan ibunya."Baiklah, Mami. Aku akan menerima tawaran Tuan Aidan.""Kamu serius?" Tanya Lidya terkejut.Amira mengangguk terpaksa. Hanya ini jalan satu-satunya yang tersisa.Tak berselang lama, Marco mendatangi Amira di rumah sakit. Ia membayar lunas biaya operasi ibunya Amira. Kemudian menyerahkan kepada wanita itu lembaran kertas."Apa ini?""Ini adalah kontrak perjanjian. Kamu bisa tanda tangan disana karena aku sudah membayar lunas biaya operasi ibumu. Mulai hari ini, kamu sah dibeli Tuan Aidan. Selama satu tahun, kamu hanya akan melayani hasratnya."Amira langsung menandatangani surat perjanjian kontrak itu tanpa berpikir dua kali. Ia tidak memiliki waktu untuk membacanya.Sampai saat ini, ia masih belum bisa berpikir jernih karena ibunya sedang di operasi."Semoga operasinya berjalan lancar.""Terima kasih." Lirih gadis itu.Marco satu-satunya orang yang menemani Amira disana. Namun, ia duduk di kursi tunggu bukan karena tanpa alasan, tapi karena setelah operasi itu ia akan membawah Amira, sebagaimana yang tercantum dalam kontrak mereka.Tak berselang lama pintu operasi terbuka. Muncul dari dalam sana dokter yang menangani ibunya Amira."Keluarga pasien?"Amira lekas menghampiri dokter itu. Tubuhnya gemetar. Kakinya lemas. Semoga ia mendapat kabar baik."Maaf harus menyampaikan ini, tapi nyawa pasien tidak tertolong." Dokter itu mengutarakan kalimatnya tanpa bertele-tele.Membuat Amira seketika terjatuh. Ia menangis sambil berteriak histeris, menolak kenyataan yang ada. Kenyataan cukup memukulnya.Marco turut merasakan apa yang
Besok hari.Amira mengerjap. Ia pingsan setelah kegiatan panasnya bersama Aidan berlanjut lebih panas, hingga memakan waktu hampir dua jam.Ia terisak mengingat kembali perlakuan kasar Aidan saat mereka berhubungan intim.Pria itu melakukannya dengan tidak berperasaan. Amira sudah beberapa kali meminta berhenti tapi pria itu seolah tuli.Amira mengira hidupnya akan lebih baik, karena tidak perlu melayani laki-laki berbeda setiap harinya. Belum lagi, Aidan memberikannya sejumlah fasilitas yang lebih dari cukup.Tapi, nyatanya apa? Hidupnya lebih sengsara dari sebelumnya. Laki-laki bernama, Aidan Salvador itu seperti iblis dari neraka.Amira menggunakan sisa tenaganya untuk membersihkan diri. Siang ini, ia ada mata kuliah maka ia perlu bersiap-siap.Beberapa waktu kemudian ia melaju ke kampus menggunakan motor matic yang terparkir di garasi tempat ia tinggal."Amira!" Dua orang wanita mendekati gadis itu. Mereka adalah teman dekat Amira di kampus."Elsa, Calista." Sebut Amira seraya men
Aidan menatap sinis Amira. Ia jengkel karena gadis itu bersuara tadi."Tidak, Sayang. Itu hanya suara dari ponsel Marco saja.""Masa sih?? Tapi suaranya mirip dengan teman kampusku."Aidan mencoba menenangkan istrinya. Ia ngotot memberitahu Calista bahwa dirinya sedang di jalan. Dan sebentar lagi sampai rumah.Panggilan telepon itu kemudian berakhir. Aidan menyimpan kembali ponselnya dalam saku lalu menatap Amira."Kau! Sini!" Panggilnya dengan tangan menunjuk pada pahanya yang mengangkang.Amira membawa langkahnya mendekat. Ia tahu maksud pria itu menyuruhnya berada disana."Cepat buka, dan puaskan aku." Perintah Aidan. Suaranya dingin dan wajahnya datar.Amira melakukan seperti yang pria itu katakan. Ia menurunkan resleting pada celana kain yang dikenakan Aidan, lalu meloloskan sebuah pedang dari dalam boxer.Pedang itu menjulur kokoh di wajah Amira. Besar dan panjang, Amira sering melihatnya beberapa hari terakhir ini.Amira masih menatap diam. Mulutnya mendadak susah mangap. Ia ti
Tangan Aidan berpindah ke rahang tirus Amira. Ia menekannya lalu menatap gadis itu dengan tajam dan dingin."Aku ingin kau merahasiakan apapun yang terjadi antara kita. Jangan sampai Calista tahu, paham?" Peringan Aidan dengan sorot mata tajam dan dingin.Amira mengangguk. Membuat Aidan melonggarkan tangannya. Ia mengambil langkah mundur, lalu memperhatikan Amira secara seksama."Angkat gaunmu." Perintah pria itu dengan suara kecil sehingga siapa saja yang berada di toilet wanita itu tidak dapat mendengarnya.Dua bola mata Amira melebar. Apa mungkin Aidan akan melakukan hubungan intim bersamanya disana. Setega itukah dia pada istrinya sendiri? Bukankah hari ini hari spesial mereka?"Sudah ku bilang angkat." Aidan berucap dengan dua tangan memegang gaun Amira, ia memaksanya mengangkat gaun itu ke atas.Tidak ada yang bisa Amira lakukan, ia tidak berdaya. Sudah tertulis jelas dalam kontrak mereka, bahwa dia akan melayani nafsu Aidan selama satu tahun.Ahh!Amira mendesah dengan suara ke
"Siapa yang datang, Amira?" Andre bertanya dengan dahi berkerut. Menganggap siapapun yang berada di balik pintu berhasil merusak niatnya ingin PDKT."A-aku juga tidak tahu." Amira gugup. Ia memandang takut pintu yang diketuk itu.Lanjutnya, "Aku akan membukanya dulu." Ia membawa langkahnya menuju pintu. Jantungnya dag dig dig, seperti sedang olahraga jantung.Tangannya gemetar memegang handle. Firasatnya mengatakan, bahwa orang yang berada di balik pintu itu adalah Aidan.Ceklek …Pintu terbuka, Amira seketika membelalak. Dugaannya benar, itu adalah Aidan Salvador. Amira terdiam mematung, menatap takut pria itu.Andre penasaran, siapa yang datang. Ia berjalan mengikuti Amira hingga ia mendapati seorang laki-laki rupawan yang tidak asing berdiri di sana."Aidan?" Sebut Andre kaget. Ia tidak mengerti kenapa suami dari sepupunya bisa berada disana. Apa hubungan laki-laki itu dengan Amira?Aidan sendiri juga tidak kalah terkejut melihat Andre berada di rumah pelacurnya."Sedang apa kau di
Kini gadis itu terkapar lemah di atas ranjang. Ia pingsan karena kelelahan dan kesakitan."Itu adalah hukumanmu!" Ucap Aidan menatapnya. Sorot matanya sama sekali tidak menampilkan belas kasihan, ia tidak menyesal dengan apa yang telah ia lakukan.Borgol dan tali di tangan dan kaki Amira sudah ia lepas. Ia berjalan ke kamar mandi untuk membersihkan diri.Setelahnya, ia keluar dengan rambut basah dan handuk melingkar di pinggang. Ia meraih ponselnya lalu mendapati beberapa panggilan tak terjawab dari istrinya.Ia duduk di sofa sambil mengelap rambutnya dengan handuk mini. Kemudian ia menghubungi istrinya, menunggu panggilan itu tersambung, pandangannya menatap Amira di ranjang.Ia tidak akan membiarkan rumah tangganya hancur hanya karena wanita pelacur itu.Panggilannya tak tersambung. Ia menyimpan kembali ponselnya, lalu mengenakan pakaiannya yang tergeletak di lantai.Hufftt..Ia menghembus nafas panjang, masih memperhatikan Amira dari tempatnya berada.Tatapannya kembali datar dan d
Marco baru saja akan datang ke tempat tinggal Amira untuk memberikan rekening yang telah ditransferkan uang sebesar 100 juta rupiah sebagai bulanan Amira.Namun, sepertinya ia tidak akan melakukan itu, karena Aidan menyuruhnya mengakhiri kontrak mereka.Jujur, Marco bertanya-tanya, apa yang sebenarnya terjadi sampai bosnya mengambil keputusan itu secara mendadak?Ia menduga, besar kemungkinan Nyonya Calista berhasil mencium kenakalan suaminya. Ya, itu pasti, karena kejadian seperti ini bukan baru pertama kali terjadi.Marco mendatangi tempat tinggal Amira. Ia akan menjelaskan apa yang telah menjadi keputusan Aidan."Benarkah???" Amira seperti tidak percaya mendengarnya. Ia menganga, dua bola matanya terbuka lebar. Apakah ini mimpi? Jika ini nyata, maka ia seperti terlahir kembali."Tuan Aidan menyuruhku menarik semua fasilitas yang dia berikan."Amira mengangguk bahagia. Ia sama sekali tidak keberatan. Lagi pula, ia tidak pernah menganggap semua yang diberikan Aidan menjadi miliknya.
Pandangan sendu Amira menatap jam kecil yang berada di ruang utama di kontrakan kecil itu.Pukul 7 pagi.Sonia menyuruhnya masuk kerja jam 10 pagi, itu artinya ia masih memiliki 3 jam sebelum pergi bekerja.Tiga jam Amira gunakan untuk berpikir tentang nasib janin yang berada dalam rahimnya.Digugurkan atau dipertahankan? Amira wajib memilih salah satu. Yang pertama, ia merasa tidak tega harus menggugurkan janinnya, bagaimanapun juga itu bakal jadi anaknya.Pilihan yang kedua, dipertahankan. Bagaimana ia akan mempertahankan janin itu? Apa yang akan orang-orang katakan padanya? Ia hamil diluar nikah, orang-orang pasti akan menanyakan siapa ayah dari anak dalam kandungannya.Lantas, bagaimana jika Aidan tahu ia hamil? Apakah pria itu akan membunuh calon anaknya, atau mengambil anaknya ketika telah lahir.Amira sangat bingung. Langkah pertama yang ia lakukan adalah bersiap-siap berangkat kerja. Beruntung, hari ini ia tidak memiliki mata kuliah, maka ia tidak perlu ke kampus.**Restoran
'Jangan, jangan itu adalah anakku.' Aidan berucap dalam hati.Namun, detik selanjutnya ia mengibaskan tangannya di depan wajah. Sambil tersenyum tipis.Ada-ada saja. Hal itu tidak mungkin terjadi. Buat apa memiliki anak dari wanita kupu-kupu malam. Aidan kembali bergumam dalam hati.Ia sebenarnya antusias dan ingin memiliki anak, tapi tidak dari rahim Amira."Mohon maaf, apa Anda Tuan Aidan Salvador?" Tanya seorang perawat yang baru saja datang."Hmp." Aidan berdehem menjawab itu. Seperti biasa wajahnya datar dan dingin seperti bongkahan es."Mari ikut saya, Tuan. Dokter sudah menunggu Anda di ruangannya." Perawat itu menggiring Aidan menuju ruangan dokter, yang juga merupakan dokter pribadi keluarga Salvador.Sesampainya dalam ruangan dokter, Aidan menjalani beberapa pemeriksaan."Tidak ada masalah serius. Sakit kepala dan lelah yang Tuan alami kemungkinan hanya terlalu capek dan banyak pikiran. Saya sarankan untuk istirahat dan jangan sampai stress." Jelas sang dokter begitu ramah.
Pandangan sendu Amira menatap jam kecil yang berada di ruang utama di kontrakan kecil itu.Pukul 7 pagi.Sonia menyuruhnya masuk kerja jam 10 pagi, itu artinya ia masih memiliki 3 jam sebelum pergi bekerja.Tiga jam Amira gunakan untuk berpikir tentang nasib janin yang berada dalam rahimnya.Digugurkan atau dipertahankan? Amira wajib memilih salah satu. Yang pertama, ia merasa tidak tega harus menggugurkan janinnya, bagaimanapun juga itu bakal jadi anaknya.Pilihan yang kedua, dipertahankan. Bagaimana ia akan mempertahankan janin itu? Apa yang akan orang-orang katakan padanya? Ia hamil diluar nikah, orang-orang pasti akan menanyakan siapa ayah dari anak dalam kandungannya.Lantas, bagaimana jika Aidan tahu ia hamil? Apakah pria itu akan membunuh calon anaknya, atau mengambil anaknya ketika telah lahir.Amira sangat bingung. Langkah pertama yang ia lakukan adalah bersiap-siap berangkat kerja. Beruntung, hari ini ia tidak memiliki mata kuliah, maka ia tidak perlu ke kampus.**Restoran
Marco baru saja akan datang ke tempat tinggal Amira untuk memberikan rekening yang telah ditransferkan uang sebesar 100 juta rupiah sebagai bulanan Amira.Namun, sepertinya ia tidak akan melakukan itu, karena Aidan menyuruhnya mengakhiri kontrak mereka.Jujur, Marco bertanya-tanya, apa yang sebenarnya terjadi sampai bosnya mengambil keputusan itu secara mendadak?Ia menduga, besar kemungkinan Nyonya Calista berhasil mencium kenakalan suaminya. Ya, itu pasti, karena kejadian seperti ini bukan baru pertama kali terjadi.Marco mendatangi tempat tinggal Amira. Ia akan menjelaskan apa yang telah menjadi keputusan Aidan."Benarkah???" Amira seperti tidak percaya mendengarnya. Ia menganga, dua bola matanya terbuka lebar. Apakah ini mimpi? Jika ini nyata, maka ia seperti terlahir kembali."Tuan Aidan menyuruhku menarik semua fasilitas yang dia berikan."Amira mengangguk bahagia. Ia sama sekali tidak keberatan. Lagi pula, ia tidak pernah menganggap semua yang diberikan Aidan menjadi miliknya.
Kini gadis itu terkapar lemah di atas ranjang. Ia pingsan karena kelelahan dan kesakitan."Itu adalah hukumanmu!" Ucap Aidan menatapnya. Sorot matanya sama sekali tidak menampilkan belas kasihan, ia tidak menyesal dengan apa yang telah ia lakukan.Borgol dan tali di tangan dan kaki Amira sudah ia lepas. Ia berjalan ke kamar mandi untuk membersihkan diri.Setelahnya, ia keluar dengan rambut basah dan handuk melingkar di pinggang. Ia meraih ponselnya lalu mendapati beberapa panggilan tak terjawab dari istrinya.Ia duduk di sofa sambil mengelap rambutnya dengan handuk mini. Kemudian ia menghubungi istrinya, menunggu panggilan itu tersambung, pandangannya menatap Amira di ranjang.Ia tidak akan membiarkan rumah tangganya hancur hanya karena wanita pelacur itu.Panggilannya tak tersambung. Ia menyimpan kembali ponselnya, lalu mengenakan pakaiannya yang tergeletak di lantai.Hufftt..Ia menghembus nafas panjang, masih memperhatikan Amira dari tempatnya berada.Tatapannya kembali datar dan d
"Siapa yang datang, Amira?" Andre bertanya dengan dahi berkerut. Menganggap siapapun yang berada di balik pintu berhasil merusak niatnya ingin PDKT."A-aku juga tidak tahu." Amira gugup. Ia memandang takut pintu yang diketuk itu.Lanjutnya, "Aku akan membukanya dulu." Ia membawa langkahnya menuju pintu. Jantungnya dag dig dig, seperti sedang olahraga jantung.Tangannya gemetar memegang handle. Firasatnya mengatakan, bahwa orang yang berada di balik pintu itu adalah Aidan.Ceklek …Pintu terbuka, Amira seketika membelalak. Dugaannya benar, itu adalah Aidan Salvador. Amira terdiam mematung, menatap takut pria itu.Andre penasaran, siapa yang datang. Ia berjalan mengikuti Amira hingga ia mendapati seorang laki-laki rupawan yang tidak asing berdiri di sana."Aidan?" Sebut Andre kaget. Ia tidak mengerti kenapa suami dari sepupunya bisa berada disana. Apa hubungan laki-laki itu dengan Amira?Aidan sendiri juga tidak kalah terkejut melihat Andre berada di rumah pelacurnya."Sedang apa kau di
Tangan Aidan berpindah ke rahang tirus Amira. Ia menekannya lalu menatap gadis itu dengan tajam dan dingin."Aku ingin kau merahasiakan apapun yang terjadi antara kita. Jangan sampai Calista tahu, paham?" Peringan Aidan dengan sorot mata tajam dan dingin.Amira mengangguk. Membuat Aidan melonggarkan tangannya. Ia mengambil langkah mundur, lalu memperhatikan Amira secara seksama."Angkat gaunmu." Perintah pria itu dengan suara kecil sehingga siapa saja yang berada di toilet wanita itu tidak dapat mendengarnya.Dua bola mata Amira melebar. Apa mungkin Aidan akan melakukan hubungan intim bersamanya disana. Setega itukah dia pada istrinya sendiri? Bukankah hari ini hari spesial mereka?"Sudah ku bilang angkat." Aidan berucap dengan dua tangan memegang gaun Amira, ia memaksanya mengangkat gaun itu ke atas.Tidak ada yang bisa Amira lakukan, ia tidak berdaya. Sudah tertulis jelas dalam kontrak mereka, bahwa dia akan melayani nafsu Aidan selama satu tahun.Ahh!Amira mendesah dengan suara ke
Aidan menatap sinis Amira. Ia jengkel karena gadis itu bersuara tadi."Tidak, Sayang. Itu hanya suara dari ponsel Marco saja.""Masa sih?? Tapi suaranya mirip dengan teman kampusku."Aidan mencoba menenangkan istrinya. Ia ngotot memberitahu Calista bahwa dirinya sedang di jalan. Dan sebentar lagi sampai rumah.Panggilan telepon itu kemudian berakhir. Aidan menyimpan kembali ponselnya dalam saku lalu menatap Amira."Kau! Sini!" Panggilnya dengan tangan menunjuk pada pahanya yang mengangkang.Amira membawa langkahnya mendekat. Ia tahu maksud pria itu menyuruhnya berada disana."Cepat buka, dan puaskan aku." Perintah Aidan. Suaranya dingin dan wajahnya datar.Amira melakukan seperti yang pria itu katakan. Ia menurunkan resleting pada celana kain yang dikenakan Aidan, lalu meloloskan sebuah pedang dari dalam boxer.Pedang itu menjulur kokoh di wajah Amira. Besar dan panjang, Amira sering melihatnya beberapa hari terakhir ini.Amira masih menatap diam. Mulutnya mendadak susah mangap. Ia ti
Besok hari.Amira mengerjap. Ia pingsan setelah kegiatan panasnya bersama Aidan berlanjut lebih panas, hingga memakan waktu hampir dua jam.Ia terisak mengingat kembali perlakuan kasar Aidan saat mereka berhubungan intim.Pria itu melakukannya dengan tidak berperasaan. Amira sudah beberapa kali meminta berhenti tapi pria itu seolah tuli.Amira mengira hidupnya akan lebih baik, karena tidak perlu melayani laki-laki berbeda setiap harinya. Belum lagi, Aidan memberikannya sejumlah fasilitas yang lebih dari cukup.Tapi, nyatanya apa? Hidupnya lebih sengsara dari sebelumnya. Laki-laki bernama, Aidan Salvador itu seperti iblis dari neraka.Amira menggunakan sisa tenaganya untuk membersihkan diri. Siang ini, ia ada mata kuliah maka ia perlu bersiap-siap.Beberapa waktu kemudian ia melaju ke kampus menggunakan motor matic yang terparkir di garasi tempat ia tinggal."Amira!" Dua orang wanita mendekati gadis itu. Mereka adalah teman dekat Amira di kampus."Elsa, Calista." Sebut Amira seraya men
Amira langsung menandatangani surat perjanjian kontrak itu tanpa berpikir dua kali. Ia tidak memiliki waktu untuk membacanya.Sampai saat ini, ia masih belum bisa berpikir jernih karena ibunya sedang di operasi."Semoga operasinya berjalan lancar.""Terima kasih." Lirih gadis itu.Marco satu-satunya orang yang menemani Amira disana. Namun, ia duduk di kursi tunggu bukan karena tanpa alasan, tapi karena setelah operasi itu ia akan membawah Amira, sebagaimana yang tercantum dalam kontrak mereka.Tak berselang lama pintu operasi terbuka. Muncul dari dalam sana dokter yang menangani ibunya Amira."Keluarga pasien?"Amira lekas menghampiri dokter itu. Tubuhnya gemetar. Kakinya lemas. Semoga ia mendapat kabar baik."Maaf harus menyampaikan ini, tapi nyawa pasien tidak tertolong." Dokter itu mengutarakan kalimatnya tanpa bertele-tele.Membuat Amira seketika terjatuh. Ia menangis sambil berteriak histeris, menolak kenyataan yang ada. Kenyataan cukup memukulnya.Marco turut merasakan apa yang